Minggu, 30 Agustus 2009

--- Untuk direnungkan --- EKONOMI PANCASILA: EKONOMI RAKYAT ATAU KERAKYATAN?



Sumber: Business news 13 Maret 2003

Dirasakan sangat penting untuk menelusuri kembali pemikiran alm. Prof. Mubyarto sang pencetus Ekonomi Pancasila, maka saya sadur kembali hasil wawancara dengan beliau di blog ini agar kita semua mendapatkan pencerahan untuk mengembangkan dan memahami nya secara kritis agar para peneliti di perguruan tinggi mau menggali dan merekonstruksi pemikiran tentang ekonomi kerakyatan. Sebab, apabila hal ini tidak segera diperbaiki maka setiap rezim pemerintahan sejak Soeharto akan mengalami kesalahan yang sama yaitu tidak melaksanakan Undang-Undang Dasar (khususnya pasal 33) secara murni dan konsekwen. Sangat diperlukan campur tangan Mahkamah Konstitusi untuk meluruskan dan mengingatkan kesalahan ini kepada pemerintah yang sah. (Abdul Muin angkat)


Acara diskusi kecil dengan Profesor Dr. Mubyarto di Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI), Jakarta 7 maret 2003, mengupas kembali makna ekonomi Pancasila yang diajukannya semenjak awal tahun 1990-an. Diskusi tersebut pada dasarnya mencari hubungan antara ekonomi rakyat, ekonomi kerakyatan, dan ekonomi Pancasila.

Mubyarto menegaskan, sila pertama dan sila kedua dari Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab -- merupakan landasan idiil dari konsep Ekonomi Pancasila. Sementara itu sila ketiga dan sila keempat, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan—merupakan landasan operasional dari konsepsi Ekonomi Pancasila tersebut. Sedangkan sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia - - adalah sasaran/tujuan akhir dari konsep Ekonomi Pancasila.

Mekanisme operasional Ekonomi Pancasila cenderung berbeda dengan ekonomi neo klasik yang dikembangkan di Negara-negara maju dari sejak awal operasionalnya. Mubyarto menggambarkan, mekanisme operasional yang dikembangkan kaum Neoklasik tersebut pada dasarnya telah dilakukan pemisahan secara jelas antara produksi, konsumsi, dan distribusi. Namun di dalam perekonomian nasional (Indonesia) tidak secara tegas pemisahan produksi, konsumsi, dan distribusi tersebut itu terjadi.

Secara sederhana digambarkan, seorang petani sebagai produsen terhadap kegiatan pertanian bahan makanan, namun pada saat yang sama si petani juga menjadi konsumen dari hasil produksinya. Di lain sisi, industri kecil yang dikelola secara formal maupun informal juga melakukan hal yang sama dimana hasil produksinya tidak hanya dijual ke pasar bebas akan tetapi juga dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga dari pemiliki maupun karyawan dari industri kecil tersebut. Apabila diamati apa yang terjadi di inggris dimana pemikiran mahzab klasik dan neoklasik berkembang, justru seorang petani tidak dapat menikmati produknya secara langsung, karena seluruh produknya harus dilempar ke pasar, dan mereka menikmati produk itu melalui pembelian di pasar. Jadi belum tentu dari hasil produknya yang dikonsumsi tersebut.

Disinilah Mubyarto mendefinisikan ekonomi Pancasila sebagai bentuk perekonomian yang dijalankan secara kekeluargaan tanpa memisahkan secara tegas aspek produksi, aspek konsumsi, dan aspek distribusi. Inilah bentuk perekonomian rakyat yang terjadi di Indonesia sepanjang zaman. Jadi Mubyarto menganggap bahwa ekonomi Pancasila adalah ekonomi rakyat.

Kenapa ekonomi rakyat? Alasannya, bentuk kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi yang sulit dipisahkan di antara pelaku-pelaku kegiatan ekonomi di Indonesia menunjukkan tingkat perputarannya yang relatif masih rendah. Kemudian bentuk perekonomian bangsa Indonesia relatif masih dianggap sebagai perekonomian rumah tangga penduduk. Jadi, perekonomian yang berkembang di Indonesia masih digolongkan ke dalam bentuk perekonomian kaum papa.

Jadi, karena perekonomian nasional dikategorikan sebagai ekonomi rakyat--- maka perlu adanya "keberpihakan" pemerintah terhadap kaum papa ini yang menjalankan perekonomiandalam bentuk antar rumah tangga-rumah tangga penduduk. Artinya "keberpihakan" terhadap masyarakat kecil, grassroot, akan mampu mencapai bentuk ekonomi Pancasila (rakyat), yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Alasannya, lebih 100 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini dikategorikan di bawah ambang garis kemiskinan, poverty line.

Kalau ini yang diharapkan, tentunya berbagai kebijakan pemerintah semenjak diusulkannya ekonomi Pancasila di awal tahun 1980-an harus mengarah pada pemberdayaan perekonomian "wong cilik." Namun apa lacur, berbagai bentuk skema kredit yang disalurkan, di dasawarsa 1980-an dan 1990-an, oleh perbankan Indonesia sebesar 80% di antaranya diarahkan kepada pengusaha besar, konglomerat. Porsi yang disalurkan kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) hanya sebesar 20% saja.

Melihat ketimpangan distribusi penyaluran kredit ini, tentunya hal ini menuntut keseimbangan proses distribusi ekonomi Pancasila adalah ekonomi rakyat yang menghendaki "keberpihakan" kepada masyarakat kelas "wong cilik." Mubyarto mendapat tekanan dari para konglomerat dan elit-elit politik di rezim soeharto agar pengertian ekonomi Pancasila tidak hanya dalam bentuk ekonomi rakyat, karena ini memberikan konotasi akan pentingnya seluruh masyarakat Indonesia, baik yang bergerak di bidang usaha kecil, usaha menengah, maupun usaha besar. Dengan perubahan pandangan yang lebih luas ini, maka para konglomerat bisa berlindung ke dalam definisi ekonomi kerakyatan dan bukan ke dalam definisi ekonomi rakyat. Tuntutan perubahan ini telah menjadi ajang di dalam penulisan perekonomian Indonesia sebagai ekonomi kerakyatan yang termaktub di dalam berbagai Garis Besar Haluan Negara semenjak akhir dasawarsa 1980-an hingga kini, seperti yang tertuang pula di dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 (BN 6580 hal.12B-23B dst) tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000-2004.

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi rakyat, walaupun melalui berbagai intervensi dari kepentingan-kepentingan tertentu berubah menjadi ekonomi kerakyatan. Namun bagaimanapun, ekonomi Pancasila- menurut penggagasnya, Prof. Dr. Mubyarto, - mempunyai perbedaan operasional dibandingkan dengan bentuk ekonomi yang dikembangkan kaum Neoklasik.

Perbedaan itu terletak pada sifat produksi, konsumsi, dan distribusinya dari masyarakat "timur" seperti bangsa Indonesia khususnya (Asia Tenggara umumnya) dengan masyarakat "barat" (seperti Eropa, Amerika maupun Australia). Sistem ekonomi di Negara-negara "barat" itu sangat percaya melalui mekanisme produksi dan konsumsi yang terpisahkan secara ketat mampu melakukan distribusi secara merata dengan sendirinya, trickling down effect. Namun sewaktu konsep tersebut di aplikasikan di Negara-negara "timur" nampaknya tidak berjalan dengan baik.

Kalau begini masalahnya, kenapa pemikiran Mubyarto belum bergulir secara operasional dalam bentuk mekanisme prinsip, bentuk dan ekonomi rakyat (kerakyatan) ? jawabannya sederhana, pertama, usaha menuju ekonomi rakyat belum didukung sepenuh hati. Kedua, anggapan pendidikan terbaik berada di Negara-negara "barat" sehingga ilmu ekonomi yang dipelajari murid sekolah kita yang belajar di Negara-negara "barat" tersebut tentunya yang diwakili oleh mazhab klasik dan neo klaqsik. Ketiga, sudah adakah keberpihakan bangsa - - khususnya para peneliti, ilmuwan dan birokrat - - untuk menggali konsep ekonomi Pancasila itu? (HS)

3 komentar:

  1. ini adalah negara indonesia jadi haruslah kepentingan rakyat indonesia yang harus didahulukan. kemakmuran dan kesejahteraannya (rakyat INA),bukan kepentingan pribadi apalagi kepentingan negara lain.

    BalasHapus
  2. Ass pak,,,,,,,sy hendrawan aditya ank smstr VIII angktn 2005 NPM 2005-40-067!!!!!!!menurut sy ekonomi pancasila sangat cocok di Indonesia biar bangsa Indonesia makmur dan sejahtera......

    BalasHapus
  3. jadi sifat2 petani indonesia menurut prof.Dr.mubyarto ap????

    BalasHapus