Minggu, 19 Mei 2013

Demokrasi Hidup Tapi Moral Mati


 

Politik tidak dengan sendirinya kotor. Dia hanya kotor ditangan mereka yang otaknya penuh kekotoran. Ketika kekuasaan dilaksanakan dengan kekuasaan itu sendiri - - dan diisi sesuka hati para penguasa - - maka kekuasaan dengan sendirinya akan melahirkan politik kotor, jahat dan penuh kekejaman. Kekuasaan yang diisi dengan tingkah laku politik seperti itu akan melahirkan penguasa otoriter.

    Pendeknya, para tiran yang kejam itu lahir dari gagasan dan struktur kehidupan politik yang melegalkan pemerkosaan terhadap moral masyarakat. Jika tekanan penguasa sangat besar, control social dengan sendirinya menipis.Dalam tatanan politik seperti itu, warga masyarakat akan kehilangan pegangan moral. Moral hidup, dan terpelihara dengan baik, di tangan penguasa. Tapi moral matu mengenaskan, juga ditangan penguasa. Penguasa mana yang menjadi pembunuh moral, dan mana yang menghidup-hidupi moral social kita, bukan pokok bahasan di esai ini.

    Ini satu cara pandang. Cara pandang lain bisa juga sebaliknya. Bila calon penguasa yang punya watak dasarnya sudah otoriter, dia akan dengan sendirinya, menampilkan warna dan tingkah laku politik yang kotor, jahat, dan kejam seperti yang disebutkan di atas . Disini politik menyimpang secara leluasa dari idealism. Makin lama - - perlahan-lahan - - politik sama sekali tidak ada hubungannya denga idealisme. Dengan sendirinya politik berjalan tanpa moralitas yang diharapkan masyarakat.

    Ketakutan pada penguasa akan membuat warga masyarakat berpegang hanya pada keselamatan. Bagi kebanyakan orang, moral kalah penting dengan keselamatan jiwa. Sikap oportunis lahir; moral boleh "mampus" (maaf) asal aku selamat. Kehidupan boleh kacau balau, yang penting aku selamat.

    Tak mengherankan bila mereka "mengiyakan" - - demi keselamatan tadi - - apapun tindakan penguasa. Ketika pada akhirnya moral social sudah mati, orang tak menyadari lagi kapan kematiannya dimulai. Orang juga tidak tahu, di mana moral yang sudah mati itu dimakamkan.

    Bahkan kita tak lagi menyadari bahwa kita hidip tanpa moralitas lagi. Mungkin persis seperti kondisi kehidupan politik kita sekarang ini. Dimana-mana, pada akhirnya, tampak jelas, para koruptor "rebutan slamet". Pengadilan dengan segenap "lawyer" yang gagah dan kaya, tak lebih dari tempat mencari "slamet" dan bukan lagi tempat membuktikan secara jujur kebenaran hukum.

    Di Indonesia sekarang ini, orang yang tingkah laku politik nya diwarnai idealism ditolak dimanapun. Di dalam birokrasi, jika ada tokoh yang bekerja atas dasar kejujuran, dan menolak diajak menyimpang, dia di cap tidak tahu mengenai apa yang disebut "real polititics". Dia disebut - - dengan sinis - - idealis. Dan jangan lupa, "idealis" ini konotasinya negative, buruk, tidak tahu "adat".

    Maka jelas bagi kita, "real politics" itu artinya "menyimpang" dari apa yang luhur dan mulia. Tapi dilingkungan masyarakat politik, kaum birokrasi dan para penegak hukum - - yang pelan-pelan menjadi idiot dan dungu - - semua penyimpangan itu diterima sebagai kewajaran. Polisi yang gajinya tidak besar, tetapi memiliki sepuluh rumah dan asset dalam jumlah besar, yang tak masuk akal bila dihubungkan dengan gajinya itu dianggap sudah "lumrah" dan "wajar".

    Pegawai negeri golongan A, belum lama bekerja, usianya baru tiga puluh tahun tetapi memiliki simpanan di bank dalam jumlah luar biasa besar, itu tidak dianggap aneh. Seorang "lawyer" terkemuka, dan disebut pejuang demokrasi di negeri ini, dengan sigap membelanya, seolah dia - - orang muda yang dibelanya itu - - orang muda yang harus di muliakan selamanya. Dan makin ama orang menganggap seolah apa yang disebut "real politics" - - artinya kotor, jahat dan kejam - - itu menjadi sebuah kemuliaan tersendiri.

    Orang-orang baik di negeri ini, yang nalar politik dan kebudayaannya sehat, yang mencintai negerinya seperti mencintai ibunya sendiri,frustrasi ditengah penyimpangan demi penyimpangan yang "dirayakan" sebagai kemuliaan. Di mana-mana orang bicara demokrasi, tapi tak seorang pun tak peduli moral kita sudah mati.

    Disadari atau tidak, media turut "merayakannya" . Para koruptor dan mantan koruptor, politisi busuk dan sejenisnya yang masih selalu "dipanggul" media kesana kemari, dan dijadikan nara sumber untuk membahas persoalan penting di dalam masyarakat , apa itu artinya bila bukan "merayakan" suatu penyimpangan yang seharusnya dijauhi? Kecenderungan media yang mengiklankan tokoh-tokoh yang secara moral sangat tidak layak menjadi pemimpin, terasa mengenaskan.

    Ini juga merupakan "real politics" zaman sekarang. Media dan perusahaan "demokrasi" macam itu memiliki saham yang besar dalam langkah-langkah mereka "membimbing" warga masyarakat kejalan kegelapan karena tokoh tokoh yang terpilih, yang disebut "pilihan rakyat" ternyata tokoh yang tak berbuat apa-apa , atau tokoh buruk, tiran, serta mengancam kenyamanan hidup berbangsa secara sehat.

    Watak "idiot" dan dungu - - mengiyakan apa saja, dan neberima apa saja yang datang dari penguasa, menular dilingkungan masyarakat berkat media yang cerewet, yang tidak bijaksana merumuskan politik pemberitaan dan penyiaran.

    Orang-orang yang nakar politik dan kebudayaannya sehat, sudah pasti frustrasi menghadapi kenyataan hidup ini. Ya, betul, demokrasi kelihatannya hidup. "kelihatannya" karena apa saja seolah dilakukan secara demokratis. Tapi bagaimana di dalam demokrasi, moral koq terbunuh, tanpa seorangpun yang bisa disebut "terdakwa" atas pembunuhan itu? (dicopy dari opini Mohamad Sobary, 13 mei 2013, Koran Sindo)

    
 

      

Rabu, 15 Mei 2013

Pragmatisme Gembosi Pancasila (Demokrasi Abaikan Nilai dan Tujuan)


 

Sistem demokrasi langsung dan berbiaya tinggi semakin menyuburkan perilaku pragmatis dikalangan partai politik yang mengutamakan jalan pintas untuk kepentingan sendiri. Ini menggembosi nilai-nilai luhur Pancasila yang mengusung prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

    Penilaian itu diungkapkan pengajar fiksafar universitas Indonesia, Tommy F Awui. Dan pengajar Sosiologi Politik Universitas Gadjahmada, Arie Sudjito, secara terpisah di Jakarta, jumat. Kedua akademisi itu menilai Pancasila saat ini semakin diabaikan, terutama oleh elite politik pemegang kekuasaan. Secara formal lima prinsip dasar Negara itu masih disebut tetapi tidak melandasi setiap kebijakan.

    Tommy F Awuy mengatakan, demokrasi dengan system pemilihan langsung pada semua jenjang sekarang ini memicu politik berbiaya tinggi. Demi memenangi Pemilu atau Pilkada, partai harus mengeluarkan biaya besar untuk membuat program-program yang memikat masyarakat. Jika perlu partai tak segan menerapkan politik uang.

Partai sebagai pusat praktik politik menjadi sangat pragmatis. Kegiatan politik dijalankan dengan tujuan untuk menghidupi partai. Pada saat bersamaan, kapitalisme global semakin menjadikan semua hal diukur dengan logika pasar, material dan untung rugi. "perilaku prahmatis itu menggembosi nilai-nilai Pancasila yang menekankan sikap gotong royongm kemanusiaan , Ketuhanan ,Persatuan,Kerakyatan, Keadilan" katanya.

Bagi Ari Sudjito demokrasi saat ini digerakkan dengan logika yg terlalu procedural sehingga mengabaikan nilai dan tujuan demokrasi. Semua terjebak dalam pola pikir mau gampang saja, enggan berproses, nebgekoka perbedaan, dan bermusyawarah. Elite politik mengalami pendangkalan pikiran sehingga mengaburkan salah dan benar.

Jika dibiarkan, ikatan ke Indonesiaan bakal memudar. Secara administrative Indonesia masih ada dan punya batas-batas geografis. Namun secara ideologis bangsa ini terkoyak. Orang Jakarta, Papua, atau Aceh tidak lagi bersaudara.Lalu kelompok mayoritas mendominasi dan minoritas merasa ditekan. "Rakyat pun galau gampang marah, rakyat mengalami disorientasi karena kehilangan keteladanan dan rujukan: ujarnya.

Kondisi itu harus menjadi bahan refleksi dan evakuasi semua pihak. Elite politik harus mengurangi sikap pragmatis sekaligus menempa diri menjadi teladan. Presiden, menteri, legeslatif, dan yudikatif harus punya kesadaran untuk menggunakan wewenang sesuai Pancasila dan UUD 1945. Pada saat bersamaan rakyat didorong untuk mengembangkan nilai-nilai keIndonesiaan di lingkungan masing-masing. Pancasila perlu dibumikan dalam praktik sehari hari.

Tommy berharap bangsa Indonesia mengevaluasi system politik demokrasi yang liberal, langsung dan berbiaya mahal. Praktik demokrasi harus dilandasi dengan nilai-nilai Pancasila yang ber-orientasi pada bangsa, rakyat, kemajuan bersama, kecerdasan, kehidupan, dan kesejahteraan umum.(IAM. Kompas 4 mei 2013)

Politisi pindah parpol;

@Hasan basri agus (Gubernur Jambi 2010-2015); Golkar ---àDemokrat (ketua DPD Jambi).

@Ilham Arief sirajuddin (walikota Makassar 2009-2014)Golkar--àDemokrat (ketua DPD Sulsel)

@Yuddy Chrisnandi (anggota DPR Golkar) Golkar --àHanura (ketua DPP)

@Zainul Majdi (gubernur NTB 2008-2013) PBB---àDemokrat (ketua DPD)

@Ahmad Syafii (bupati Pemekasan 2003-2008) PPP--àdemokrat (angg DPR 2009 -2014)

@Sinyo Harry sarundajang (gubernur Sulut 2005-2015) PDIP--àDemokrat (angg dewan Pembina)


 


 

Kamis, 09 Mei 2013

Kanker Ganas Itu Telah Menyebar Kesegala Penjuru (Analisis Ekonomi)


 

    Minyak bumi merupakan sumber daya alam tak terbarukan. Generasi sekarang tak berhak mengurasnya untuk mengkonsumsi sekarang dengan sesuka hati. "Kejahatan" generasi sekarang kian menjadi –jadi karena tiga hal.

    Pertama, tingkat eksploitasi telah melebihi penemuan cadangan baru sehingga secara tak sadar kita telah "memperkosa" bumi karena cadangan margin pun terus disedot.

    Kedua, dana yang diperolah dari bagi hasil minyak dan pajak keuntungan perusahaan minyak sudah tidak cukup untuk menutup pengeluaran bagi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Pada tahun 2002 APBN tekor sebesar Rp 34 triliun dan pada APBN 2013 naik menjadi Rp 49 triliun.

    Ketiga, jika tak ada langkah nyata segera untuk mengendalikan keborosan ini, pemerintah harus menambah utang baru sebesar Rp 180 triliun dari yang telah direncanakan sebesar Rp 120 triliun. Dengan demikian keseluruhan utang baru tahun ini mernjadi Rp 300 triliun, Kompas 19/4).

    Tambahan beban utang itu sudah barang tentu harus dipikul generasi mendatang. Ketidak adilan antar generasi kian menjadi –jadi. Pemerintah "malas" memikirkan cara agar beban tak ditumpahkan seluruhnya kepada generasi mendatang.

    Betapa deficit APBN sangat terkait erat dengan subsidi BBM terlihat dari kenyataan bahwa selama Sembilan tahun terkhir subsidi BBM selalu lebih besar dari pada nilai deficit APBN, kecuali 2009.

    Apakah dengan membiarkan kanker ganas terus bersemayam hingga ke generasi mendatang akan membuat geberasi sekarang terbebas dari petaka? Sangat tidak. Generasi sekarang pun sudah merasakan deritanya. Rasa sakit belum begitu terasa karena pemerintah menyuntikkan obat penawar sakit yang bernama subsidi BBM. Namun akar dari kanker terus menjalar kesekujur tubuh perekonomian dewasa ini.

    Mari kita tengok beberapa saja yang paling mencolok.

Pertama, konsumsi BBM melaju kian deras, sementara produksi minyak turun terus sehingga impor minyak (minyak mentah dan BBM). Dalam waktu hanya Sembilan tahun, impor minyak meningkat lima kali lipat lebih, dari 7,5 milyar dollar AS pada 2003 menjadi 39,5 milyar dollar AS pada 2012. Akibat selanjutnya, kita memasuki era deficit perdagangan minyak sejak 2004. Defisit ini meroket dari 3,8 milyar dollar AS pada 2004 menjadi 23 milyar dollar AS pada 2012 atau melonjak enam kali lipat dalam waktu hanya delapan tahun. Lebih parah lagi sejak 2013 transaksi perdagangan minyak mentah, sekalipun sudah mengalami deficit, suatu goresan sejarah baru.

    Adalah defisit minyak tersebut yang lambat laun menggerogoti transaksi perdagangan Indonesia sehingga akhirnya melahirkan lagi sejarah baru, yaitu deficit transalsi perdagangan (ekspor barang dikurangi impor barang) sejal 2012.

    Defisit transaksi perdagangan mengakibatkan akun semasa (ekspor barang dan jasa dikurangi impor barang dan jasa) ikut tertekan. Tidak tanggung tanggung akun semasa memburuk dengan cepat, dari surplus 10,6 milyar dollar AS pada 2009 turun menjadi 5,1 milyar dollar AS pada 2010 dan 1,7 milyar dollar AS pada 2011, lalu berbalik menjadi deficit menganga lebar sebesar 24,2 milyar dollarAS pada 2012. Faktor inilah yang membuat nilai tukar rupiah sudah lebih dari setahun melemah, kenyal di atas Rp 9000 per dollar AS.

    Kedua, APBN semakin tidak sehat. Subsidi BBM bukan sekedar membengkakkan deficit APBN, tetapi juga telah membuat primary balance (penerimaan pemerintah dikurangi pengeluaran pemerintah di luar pembayaran bunga tang pemerintah). Sejak 2012. Sejarah baru lagi di era pemerintahan Susilo Yudhoyono.

    Pada APBN 2012 defisit keseimbangan primer mencapai Rp 45,5 triliun, sedangkan pada APBN 2013 Rp 40,1 triliun. Defisit keseimbangan primer tahun 2013 berpotensi membengkak 65 persen menjadi 66, 4 triliun (bank dunia, Indonesia Economic quarterly, maret 2013). Defisit keseimbangan primer (primary balance) berpotensi besar menurunkan harga dan menaikkan imbal hasil dari surat utang pemerintah sehingga bakal menambah beban utang.

    Ketiga, produksi BBM mengalami penurunan karena selama puluhan tahun tak ada pembangunan kilang baru. Selain memperparah deficit minyak, kita pun kehilangan kesempatan menghasilkan tambahan naphta yang bersama kondensat merupakan bahan baku utama industry petro kimia yang boleh dikatakan merupakan "ibu" industry manufaktur.

    Tak heran, daya saing Indonesia terus terpuruk. Pada tahun 2012 daya saing kita menurut world competitveness Yearbook 2012 yang diterbitkan IMD turun lima peringkat disbanding tahun sebelumnya dengan skor hanya 59,5 dari skor tertinggi 100. Adapun menurut Global competitiveness Report 2012-2013 yang diterbitkan forum ekonomi dunia, peringkat Indonesia juga turun dari urutan ke-46 pada 2011 menjadi urutan ke -50 pada 2012.

    Kemerosotan daya saing tampak mencolok dari data transaksi perdagangan produk manufaktur. Defisit manufaktur terjadi sejak 2008 sebesar 24,4 milyar dollar AS dan terus memburuk hingga mencapai 51,4 milyar dollar AS tahun lalu.

    Sempurna sudah nestapa perdagangan luar negeri kita yang telah mengalami triple deficite; manufaktur, energy dan pangan. Ketiga deficit ini terjadi pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Satu-satunya yang surplus tinggal produk berbasis sumber daya alam, seperti tambang dan perkebunan.

    Tatkala kanker ganas sudah menyebar kesekujur perekonomian, pemerintah masih saja mengutak -utik pilihan-pilihan kebijakan yang sejauh ini tampaknya justru tak menohok keakar masalah. Bahkan justru, sebaliknya berpotensi menimbulkan makin banyak komplikasi dan ketidakpastian.

    Kemoterapi adalah satu-satunya terapy bagi kanker yang sudah menjalar kesekujur perekonomian. Sangat pahit, memang, tetapi jika tidak ditempuh bakal menimbulkan dampak mematikan. Teramat mahal ongkos yang bakal harus dibayar. Itulah resiko yang harus diambil oleh seorang pemimpin Negara, bukan pemimpin partai. (Kompas 22 april, Faisal Basri, Ekonom)