Senin, 27 Juni 2011

Gerakan Efisiensi Nasional (Perlukah?)


Oleh: Abdul Muin Angkat

Kalam;

      Dalam konteks efisiensi dan pembangunan manusia seutuhnya lahir dan batin, masih perlukah kita memikirkan terbangunnya system ekonomi Pancasila yang berbasis pasal 33 UUD 1945 yang sampai sekarang masih terkena dampak radiasi amandemen untuk kepentingan neo liberalisme, neo-kolonialisme? Masihkah kita punya harapan bahwa ekonomi Pancasila merupakan satu-satunya system yang bisa menjamin terlaksananya demokrasi ekonomi, yang disusun secara rasional dan memberikan tempat yang layak bagi etos kerja modern?
      Etos kerja nasional adalah semangat dan perilaku rakyat di dalam menyikapi dan mencapai tujuan nasional secara efisien dan efektif yaitu masyarakat yang adil dan makmur. "Pemimpin adalah sumber moral dari suatu etos kerja"(Jansen Sinamo).Fungsi kepemimpinan di dalam suatu organisasi besar seperti Negara adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan dengan cara membimbing dan mengarahkannya secara fungsional. Seorang pemimpin adalah katalisator perubahan dan juga merupakan agent of development bagi suatu masyarakat yang sedang membangun.
Pada kenyataannya etos kerja tersebut justru dilanggar oleh para wakil rakyat yang duduk di DPR seperti issue pembangunan gedung baru yang ditaksir semula bernilai 1,6 triliun kemudian secara tiba-tiba dikurangi menjadi 1,138 triliun yang dilaksanakan tanpa tender terbuka, dan secara diam-diam disetujui oleh Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) yang diketuai oleh Ketua DPR sendiri.
      Sebuah gedung yang super mewah yang semula dirancang agar lantai atas dibangun kolam renang yang dirasionalisasikan sebagai upaya preventif apabila gedung terancam kebakaran, yang bisa menampung 2600 anggota dan staf ahli, yang mempunyai ruangan yang representative untuk menerima tamu kehormatan dari parlemen asing. Yang paling absurd adalah bahwa kemiringan dan keretakan gedung tersebut telah dijadikan alasan para anggota dalam perasaan ketidaknyamanan, karena takut rubuh. Bukankah Kementerian PU telah menjamin bahwa daya tahan gedung yang baru berusia 15 tahun masih bisa bertahan sampai 40 tahun kedepan?
      Mengapa etos kerja modern kita kedepankan? apakah pantas kinerja DPR yang hanya menghasilkan hanya 17 RUU setahun dari target 70 RUU yang menjadi tanggung jawab legeslasi, memaksakan diri untuk membangun gedung mewah untuk dirinya dengan alasan memperlancar tugas? Apakah pantas mendahulukan fasilitas lainnya semacam reward tetapi dalam penilaian masyarakat kinerja DPR belum maksimal? Mengapa Ketua DPR ngotot untuk meneruskan pembangunan padahal belum sepenuhnya disetujui Fraksi-fraksi ? Mengapa kritik tajam dari masyarakat bahwa DPR bisu, tidak digubris dan lalai memperjuangkan aspirasi rakyat?

Warisan Feodal
      Bukankah pada zaman feodal agraris kerajaan-kerajaan nusantara para penguasa menciptakan kerja yang menghalangi mobilitas social sebagai wahana untuk melestarikan kekuasaannya?Dan pada saat VOC dengan alasan perdagangan, berkuasa di Indonesia melakukan penguasaan territorial dengan cara devide et impera.
     Burhanuddin Muhtadi, dosen FISIP UIN Jakarta secara gamblang menjelaskan,bahwa pembangunan gedung baru DPR sebagai symbol arsitektur kekuasaan - - menelan dana 800 juta untuk satu ruang anggota - -sungguh fantastis. Inilah manivestasi deva-raja yang membuat singgasana yang berjarak antara kawula lan
gusti. Menurut mitologi Hindu di Asia Tenggara para dewa tinggal di atas gunung. Mitologi gunung tidak hanya monopoli kerajaan jawa lama, (tahta = siti inggil) tetapi juga dinasti kerajaan Srwijaya dan Sjailendra, 'yang dipertuan di gunung'.
      Survei Kompas terbaru telah mencatat penolakan sebesar 82,2 % responden tentang rencana pembangunan gedung baru DPR tersebut. Tapi apa yang terjadi adalah kengototan ketua DPR Marzuki Alie untuk tetap melanjutkan pembangunan dengan alasan bahwa rapat konsultasi BURT telah menetapkan persetujuannya. …"Cuma elite yang paham, rakyat biasa gak bisa dibawa" ujar Marzuki, dengan arogan.
    Mengapa bawah sadar bangsa ini masih menyimpan memori bahwa kekuasaan adalah segala-galanya?Bahwa rakyat harus patuh dan taat kepada kekuasaan, dimana warisan feodal tersebut, yang membuat jarak antara Negara dan rakyatnya sangat kentara dipertahankan? Transformasi nilai-nilai demokrasi pasca Proklamasi Kemerdekaan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 belum sepenuhnya dilaksanakan secara konsekwen oleh penyelenggara negara. Pernyataan tersebut secara tegas dinyatakan dalam alinea keempat yaitu bahwa "kemerdekaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam satu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila".
    Bukankah 'kedaulatan rakyat' yang direpresentasikan oleh DPR dalam parlemen, seyogianya menjadi kewajiban dan pedoman bagi setiap anggota untuk memperjuangkan kepentingan rakyat? Dalam kasus Marzuki Alie sebagai Ketua DPR tapi ragu untuk bersikap pro rakyat bukankah ini suatu penghianatan kepada konstitusi?Masihkah dapat diterima nalar bahwa alasan pembangunan Gedung baru DPR tidak merupakan pemborosan uang rakyat? Lebih jauh lagi mengapa Voting pembentukan Pansus pemberantasan Mafia pajak, di mentahkan oleh partai-partai koalisi pemerintah?.
    Pasca 13 tahun reformasi di Indonesia efisiensi nasional seyogianya sudah menjadi prioritas pembangunan dimana iklim kemasyarakatan yang mengakui rasionalitas dan tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai luhur bangsa, tidak harus menggoyangkan kepercayaan diri bangsa dan nasionalisme. Kajian-kajian ideologis, dimana Pancasila dinyatakan ideology terbuka dan modern harus mampu menggugah semangat juang untuk menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila memerlukan tumbuhnya nasionalisme berdaya nalar tinggi, rasional dan objektif. Kita tidak perlu terpuruk dibawah bayang-bayang nasionalisme sempit dan romantic.
    Dengan tidak dihargainya rasionalitas dalam pemikiran ideologis, tidak akan menumbuhkan efisiensi nasional, karena kita tetap bergelut dengan pemikiran-pemikiran yang tidak kontekstual - - menyebabkan keterbelakangan ini akan menumbuhkan nasionalisme sempit- - atau munculnya paham dogmatis lainnya, dengan segala gejala anarkis dan emosionalitas, yang pada gilirannya menciptakan gangguan-gangguan besar, dalam pertumbuhan bangsa dan stabilitas nasional.
     Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang pemalas, karena tidak ada yang lebih rajin daripada petani kita yang menghabiskan demikian banyak tenaga untuk menyambung hidupnya. Yang menjadi masalah adalah bahwa bekerja keras untuk mengejar kelebihan material tidak termasuk etos kerja sebagian bangsa kita. Ketika kebutuhan minimal seseorang telah tercapai, maka seketika itu juga ia berhenti bekerja. 

Etos Kerja Modern.
    Efisiensi sungguh merupakan masalah besar, karena di dalam abad modern ini, derajad kemajuan suatu bangsa dapat diukur antara lain dari tingkat efisiensi di segala bidang. Bangsa ini, masih belum sama sekali memiliki sifat efisiensi tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan  pertama, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 4,7 juta atau 2,03 % dari jumlah penduduk, bukankah demi efisiensi jumlah ini bisa dipangkas separuhnya? Atau dengan melakukan kebijakan pensiun muda dengan kompensasi tertentu? Kaitannya adalah dengan pembiayaan atau belanja pegawai yang dikeluarkan sebesar 70% dari APBN setiap tahunnya. Yang tersisa hanya 30 % sebagai modal pembangunan. Kedua, setiap tahun, anggaran untuk  lembaga non struktural  meningkat. Tahun 2008 pemerintah menganggarkan sekitar 2,81 triliun, tahun 2009 menjadi 3,42 triliun, tahun 2010, alokasi anggarannya menjadi 14,9 triliun untuk 85 lembaga. Berapa sebenarnya jumlah lembaga non struktural  yang menjadi beban negara? dan apakah sebenarnya lembaga tersebut dibutuhkan dan berfungsi dengan baik? Selain lembaga negara nonstruktural yang  kini berjumlah 88 lembaga  nonstruktural, masih ada 28 lembaga  non kementerian, belum termasuk Satuan tuga (satgas) atau Tim  yang dibentuk oleh Presiden maupun Wakil Presiden RI. Hanya untuk biaya 88 lembaga negara  nonstruktural saja sudah menyedot 38 triliun rupiah, maka diperkirakan 60 triliun tersedot untuk semua kelembagaan yang ada di luar 34 kementerian. Sungguh fantastis, dan ironisnya kinerja  kementerian ternya ta jeblok karena hanya 50% dari Menteri-menteri dibawah Presiden yang melaksanakan instruksi Presiden secara benar. Ini adalah pengakuan beliau sendiri yang disampaikan secara terbuka di depan mass media. (kompas 19/4/2011). 
Tumpang Tindih   
Mengapa tidak pernah di evaluasi  kinerja maupun tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) masing-masing kelembagaan nonstruktural , komisi, dewan, tim maupun  badan di luar struktur pemerintahan yang ada? Selama evaluasi tersebut tidak pernah dilakukan maka sudah dapat dipastikan terjadinya tumpang tindih antar lembaga struktural yang ada maupun  dengan  tugas pokok kementerian akan saling pabaliut .Dengan situasi sulit ini ,maka percepatan pencapaian kesejahteraan rakyat akan semakin jauh  karena  pasti mengalami keterlambatan.
    Masalah efisiensi nasional tidak hanya masalah perumusan dan implementasi suatu kebijakan pemerintah. Yang harus disadari adalah bahwa peningkatan efisiensi nasional secara implicit merupakan ajakan untuk meninjau beberapa sifat dan watak bangsa.
    Secara strategis, tranformasi sikap dan watak merupakan pilihan cerdas untuk merevitalisasi arah pembangunan kearah pembaharuan
agar Bangsa ini secepatnya keluar dari jebakan system authoritarian yang pernah di terapkan oleh rezim orde baru.
    Mengapa bangsa ini kurang memberikan penghargaan terhadap rasionalitas?Atau mengapa kemampuan menggunakan akal yang bersandar kepada logika kurang ditingkatkan?Prioritas melenyapkan kerancuan berpikir, ketidak mampuan untuk menghubungkan sebab dan akibat, kecenderungan melupakan realita, ketidak mampuan memilih alternative, kurang menghargai ilmu pengetahuan adalah masalah-masalah elementer yang harus dibenahi.
    Beberapa fakta yang terjadi dan yang dikutip dari mass media adalah pernyataan petinggi Negara se level menteri atau eselon satu dalam dua pernyataan dibawah ini. Pertama, ketika Muhaimin Iskandar, Menaker "minta ulama mengeluarkan fatwa haram bagi TKI keluar negeri (kecuali yang siap)" bukankah ini contradictio interminis?. Kedua, Jaksa Marwan "demi penegakan hukum yang bermartabat", para koruptor barang jasa tidak usah di hukum, "cukup mengembalikan uang yang dikorupsi", bukankah logika yang dipergunakan saling bertentangan apalagi kalau dihubungkan dengan tindakan etis atau tidak etis.(Rakyat Merdeka 26 juni 2011).
Modernisasi dan Cita-cita Nasional.
    Terlepas dari strategi modernisasi yang terlalu pragmatis di dalam koridor kapitalisme dan liberalism, yang perlu direnungkan adalah bahwa dari sudut pandang efisiensi nasional system ekonomi Pancasila yang berlandaskan konstitusi pasal 33 UUD 1945 harus menjamin terselenggaranya demokrasi ekonomi.
    Di dalam perumusan system Ekonomi Pancasila yang demokratis, esensi penghayatan Pancasila sebagai falsafah Negara dan dan pandangan hidup bangsa sangatlah penting. Proses pembaharuan bangsa bukanlah pengingkaran terhadap kepribadian nasional dengan melupakan nilai-nilai intrinsik serta nilai-nilai instrument atau nilai operasionalnya. Justru di dalam pembaharuan dan pembangunan bangsa secara konsisten harus ada pengakuan dan pemanfaatan potensi potensi pembaharuan yang ada di dalam diri kita untuk mendukung proses modernisasi dan pembangunan nasional.
    Tantangan pembangunan nasional bagi sumber daya manusia yang bermartabat, untuk senantiasa memanfaatkan Trigatra dan Pancagatra di dalam konteks efisiensi nasional merupakan komitmen baru dan political will pemerintah agar secepatnya keluar dari jebakan anti good governance, apalagi anti Pancasila. (a.m.a)
    
    
  

  


 

Minggu, 26 Juni 2011

Pemerintah memanipulatif Data Tingkat kemiskinan


 Kalam;
Kritik  terhadap pemerintah tentang tingkat kemiskinan di Indonesia rasanya sudah sering dibeberkan di setiap mass media,yang menurut data BPS hanya 35 juta rakyat miskin. Padahal beberapa pemuka agama seperti tokoh Muhammadyah Din syamsudin merasa pasti bahwa penduduk miskin di Indonesia sudah sampai pada   hitungan 100 juta jiwa. Itu pun  kalau hitungan yang mendasari BPS bukan Rp 7000 /hari (0,75 $), akan tetapi seharusnya 2$/hari sesuai dengan standard hidup PBB.
Tulisan berita dari Yan, mengutip pendapat Faisal Basri  dalam Hot Economics Rakyat Merdeka, minggu 28 juni 2011,saya copy paste ke dalam Blog saya karena  menarik untuk disimak dan dijadikan referensi.(a.m.a).

Pemerintah di tuding gagal menurunkan kemiskinan . Pasalnya, data kemiskinan yang dirilis selama ini di nilai manipulative. Untuk diketahui Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan penduduk miskin  Indonesia pada 2010 sekitar 13,33 persen dari total penduduk  atau sekitar 31 juta jiwa.
Lembaga pemerintah itu menggunakan patokan garis kemiskinan  penduduk berpenghasilan  rata-rata sebesar Rp 211.726 per bulan atau Rp 7000/hari atau sekitar 0,75 dollar AS per hari. Padahal 10 tahun silam  ukuran garis kemiskinan rata-rata sekitar 1 dollar AS per hari.
Pengamat ekonomi Faisal basri  menyayangkan data yang diungkapka BPS selama ini.. .. “ Data (BPS) itu tidak merefleksikan tingkat kemiskinan  yang sebenarnya. Bukan BPS yang manipulative, tetapi pemerintah yang memanipulasinya” ujar Faisal di Jakarta kemarin.
Ia mengungkapkan, survey kemiskinan yang dilakukan BPS maret lalu, yang rencananya diumumkan  juli mendatang juga  sarat dengan campur tangan pemerintah.
“Padahal rata-rata  jumlah penduduk miskin  di tiap Propinsi mencapai 200 ribu. Paling tinggi di Jakarta” beber Faisal. Terkait ramalan BPS yang memperkirakan angka kemiskinan pada 2012 akan lebih tinggi daripada tahun ini dengan melambungnya tingkat inflasi, Faisal hanya mengingatkan  BPS untuk tidak banyak bicara  dan mengumbar data yang belum jelas.
“BPS itu kan Pusat Statistik, yang kerjanya mengukur, bukan interpretasi dan menganalisis. Jangan menciptakan ekspektasi inflasi sendiri, karena itu tugas BI. BPS ikut-ikutan menganalisis, belum tentu analisisnya benar. Makin enggak karu-karuan Negara ini” kritik Faisal.
Hal senada dikatakan pengamat ekonomi Ahmad Erani. Menurutnya pemerintah gagal mengurangi kemiskinan  karena rakyat miskin tak pernah menjadi bagian dari rencana perekonomian. Rakyat miskin hanya menjadi bagian dari  skema bantuan social.
“Program ekonomi kita memang orientasinya bukan rakyat miskin, tetapi pengusaha besar. Rakyat miskin hanya diurusi lewat bantuan-bantuan makanan yang instan” kata Erani kepada Rakyat merdeka.
Menurut dia pemerintah cenderung menyederhanakan masalah hanya pada penyelesaian  kelaparan  dalam waktu satu atau dua bulan. Padahal, persoalan kemiskinan merupakan hal yang kompleks, bukan semata menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga non ekonomi.
Menurutnya, dengan pemahaman sederhana, pemerintah jadi terfokus dengan kebijakan jangka pendek  yang tak menyelesaikan masalah fundamental.
“Strategi pembangunan dan struktur ekonomi yang dimau pemerintah itu, sudah salah kaprah. Tidak ada keberpihakan  terhadap sebagian besar masyarakat”sentil Erani.
Anggota komisi VIII DPR Jazuli Juwaini mengatakan, perlu langkah professional dan strategis untuk mengatasi kemiskinan. Menurutnya, ada beberapa hal yang selama ini menjadi kendala  dalam penanganan kemiskinan.
Pertama, regulasi yang masih tumpang tindih. Regulasi terkait fakir miskin ada di-beberapa Undang-Undang  (UU) dan Peraturan sehingga dibutuhkan satu UU sebagai payung hukum.
Kedua, masalah kelembagaan pengelola dan yang menanganinya. Selama ini permasalahan fakir miskin dikelola 19 kementerian dan lembaga. Hal ini sangat tidak efektif.
“banyaknya kementerian dan lembaga yang menangani masalah kemiskinan menyebabkan pemerintah terkesan lamban menyikapi itu. Terkadang ada ego sektoral  yang menghambat koordinasi  antar lembaga,” ucap Jazuli.(yan)