Sabtu, 22 Agustus 2009

GOLKAR Dalam Perspektif "Kekinoan"


Oleh: Abdul Muin Angkat

Keputusan 7 kino untuk mendirikan sekber golkar yaitu kosgoro, soksi, mkgr, profesi, hankam, gakari dan gerakan pembangunan - - dan sekaligus hanya membawa satu bendera pada Pemilu 1971 ternyata fantastik bisa meraih 62,79 % suara pemilu yang jurdil, bebas dan rahasia. Inilah Pemilu ke-dua setelah era demokrasi terpimpin dan pemilu pertama pada era demokrasi pancasila. Hanya beberapa saat setelah kemenangan tersebut, sekber golkar menggelar musyawarah kerja pada 17 agustus 1971, dan memutuskan beberapa hal penting. Sebutan untuk sekber golkar dirubah menjadi Golkar, sedangkan istilah kino (kelompok induk organisasi) tidak dipergunakan lagi. Inilah permulaan tragedi dimana Golkar dirumah besarnya sendiri mendholimi "kino" yang melahirkannya sebagai causa prima.

Bedah Historis

Apa sebenarnya frasa kekaryaan fungsional? Di dalam Pedoman Perjoangan Kosgoro disebutkan 2(dua) arti Kosgoro yaitu pertama sebagai golongan karya (huruf kecil), yang merupakan anggota sekber golkar dan kedua, Kosgoro sebagai anggota koperasi bernaung di bawah Dewan Koperasi Indonesia. Pengertian golongan karya atau kekaryaan fungsional merupakan sifat kekaryaan yang non afiliatif terhadap partai politik. Dan ini adalah entitas dari kino sebagai representasi diakuinya "golongan" sebagai utusan di MPR berdasarkan PP 12/1959, yang menetapkan 200 wakil golongan fungsional duduk di MPRS. Selanjutnya berdasarkan Keppres no. 153/1964, golongan fungsional diakui kedudukannya dalam front nasional, yang pada gilirannya memperkuat strategi kekaryaan untuk menghadapi kekuatan komunis.

Era Stelsel Aktif Perorangan

Pada Musyawarah Sekber golkar 17 agustus 1971, nama sekber golkar dirubah menjadi Golkar. Istilah Kino (kelompok induk organisasi) tidak dipergunakan lagi. Di dalam AD/ART Golkar pada Bab VI, pasal 8 disebutkan keanggotaan adalah perorangan, tidak mengarah kepada keanggotaan yang massif. Pada gilirannya lahirnya undang-undang no. 3/1975 tentang parpol dan golongan karya, merupakan pembenaran sikap tersebut yang mengharuskan partai politik termasuk golkar mempunyai keanggotaan bersifat perorangan.

Istilah
stelsel perorangan aktif dikenal luas ketika Sarwono Kusumaatmadja menjadi Sekjen Golkar. Di dalam perjalanan selanjutnya dukungan "kino" sebagai eks sekber tetap tidak berubah, walaupun mereka bukan anggota terdaftar akan tetapi secara massif tetap mendukung golkar. Hasil Pemilu tahun 1977 Golkar meraih suara 62,08%. Mengapa dukungan tradisional ini terus mengalir? alasannya adalah karena mereka sebagai eks kino mempunyai perasaan self belongingness terhadap sekber golkar yang melahirkan Golkar.

Ormas eks kino merupakan
cikal bakal Golkar yang sulit untuk dihilangkan dari sejarah politik di indonesia. Basis dukungan kino terutama "Tri karya", ( kosgoro, soksi, mkgr) sebenarnya sangat menguntungkan kiprah golkar kedepan, karena fanatisme ke-kinoan sangat kuat diwarnai oleh doktrin perjoangan. Malah ketika terjadi "insiden" Pemilu di lapangan banteng jakarta dimana atribut golkar dibakar, justru "eks kino" berada didepan membela golkar. Sesuatu yang disadari dan sering terjadi di lapangan adalah, ketika seseorang akan masuk menjadi anggota golkar, mereka terlebih dahulu singgah dan menjadi anggota "eks kino" karena merasa lebih aman.

Hegemoni Kelompok Cipayung


Antri caleg di golkar sangat " melelahkan" bagi aktivis "eks kino" walaupun sudah menjadi pimpinan pusat, tidak ada jaminan untuk diakui sebagai kader pendukung, dan dikenai penilaian berdasarkan prestasi, dedikasi, loyalitas. Akan tetapi perlakuan diskriminatif tetap saja terjadi karena hubungan kelembagaan secara hirarkis dan sistemik tidak pernah diatur secara jelas dan terbuka. Tidak pernah ada "pemetaan kekuatan" antar "eks kino" sehingga tidak memicu persaingan yang kompetitif dikalangan internal keluarga besar. Kader "eks kino" yang berada di golkar membentuk mata rantai seolah-olah mendapat mandat penugasan untuk mengendalikan "eks kino", yang mengakibatkan posisi mereka sebagai representasi kader nasional yang diakui.

Rata-rata caleg eks kino yang diajukan menjadi caleg Golkar adalah nomor sepatu, ya kalau tidak nomor 36, nomor 42, kecuali bagi mereka yang mendapat penugasan. Dan yang secara kasat mata terlihat di depan mata adalah caleg dengan nomor urutan nomor kecil yang diprediksi menjadi calon jadi. Mereka adalah para kerabat "bangsawan" partai yang mendapat keistimewaan. Selama 30 tahun masa kekuasaan orde baru sangat menguntungkan golkar karena dukungan massa oleh tiga jalur yaitu PNS, ABRI dan Organisasi kemasyarakatan. Dengan sistem pemilihan gabungan antara distrik dan proporsional sekarang, keistimewaan tersebut tidak akan berulang kembali.

Kembali kekhittah


Hegemoni kader kader "kelompok cipayung" yang berada dalam jajaran pimpinan golkar sekarang ini tidak sepenuhnya berlatar belakang "eks kino" mereka inilah yang sekarang sedang menyusun kekuatan untuk duduk sebagai pimpinan teras golkar. Kenapa tokoh2 "eks kino" muda tidak ada yang berani tampil berkompetisi? Apakah karena kapasitas atau beban kerja yang terlalu padat atau kurang mendapat dukungan dari para senior? Pola kaderisasi yang berkesinambungan pada ormas "eks kino", sangat berkaitan dengan kesiapan sebagai sumber kader yang militan, yang punya karakter, dan ber visi kerakyatan. Militansi merupakan ciri ormas kekaryaan atau "eks kino". Menjaga konsistensi dan kesetiaan terhadap semangat kekaryaan fungsional merupakan hal yang sulit, tapi apabila ia diucapkan maka serta merta posisi "eks kino" merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah pembentukannya, dan ini berarti bahwa "kedigdayaan " golkar merupakan conditio sine quanon yang harus diperjuangkan secara bersama tanpa pamrih. Itulah sebabnya perlunya berpikir ulang untuk mendekonstruksi hubungan antara golkar dengan" eks kino" secara gradual ,terukur, dan terbuka. "Eks kino" bukan faksi yang harus dihilangkan bahkan harus diberdayakan sebagai keluarga yang masih punya kedaulatan dan hak hidup.

Masihkah Muncul Sang Fenomenal?


Far Eastren Economic Review edisi 21 oktober 1999 menulis; "The man to watch golkar"s Akbar Tanjung plays the King Maker". Pada saat genting dimana Golkar menjadi musuh bersama (common enemy) karena terjadinya resistensi masyarakat terhadap kehadiran Golkar pasca reformasi, Akbar Tanjung muncul sebagai leader merebut perolehan suara 24% untuk Golkar pada Pemilu 2004. Memang tidak bisa dibandingkan dengan perolehan Golkar sebesar 73,11% pada Pemilu tahun 1987, dibawah Wahono, dan sebesar 68, 10 % dibawah Harmoko karena kekuatan orde baru masih sangat solid.

Dengan lengsernya Presiden Soeharto, otomatis kiprah golkar, sebagai partai pemerintah mengalami bleeding. Dengan sikap akomodatif, santun, gigih, tidak opposan, Akbar Tanjung berhasil "menghela" golkar dengan baik. Polical enterpreneur serta keunggulan mengendalikan konflik, berhasil membangun citra partai golkar dengan sentuhan heart to heart sehingga golkar masih terselamatkan di pentas politik nasional. Disisi lain, yang patut disayangkan adalah ketika di semua lini internal "eks kino" terjadi prahara konflik, antara ambisi dan perebutan pengaruh, pada saat itu tidak tampak usaha apapun dari seorang Akbar Tanjung untuk meredam atau berusaha menjadi penengah. Bahkan ada kecenderungan membiarkan. Dampak "perpecahan" itu secara langsung tentu berdampak kepada pelemahan kekuatan arus bawah sebagai pendukung golkar.


Otoritas Dewan Pembina

Otoritas Dewan pembina sejak Munas I Golkar tahun 1971 sangat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Jenderal Purn. Soeharto yang diberi mandat penuh sebagai pembina utama Golkar pasca sekber golkar, sekaligus dipercayakan untuk menyusun kepengurusan DPP Golkar sejak ketua umum Amir murtono SH, Sudharmono, Wahono dan Harmoko.

Hampir-hampir kedaulatan anggota pada saat Munas semasa orde baru seratus persen dihibahkan kepada Dewan pembina yang berkuasa penuh. Sekarang apabila otoritas Dewan pembina/Penasehat tersebut dipergunakan sebagian saja untuk merekonstruksi pembaruan partai golkar, terutama di dalam penataan hubungan antara golkar dengan "eks kino " mungkin akan menghasilkan perubahan total di dalam rangka konsolidasi dan kristalisasi organisasi.


Penutup


Sekarang, demikian lemahnyakah otoritas Dewan pembina/Penasehat para penggagas "sekber golkar" masa lalu? Mengapa mereka tidak ikut cawe cawe membenahi sistem dan hubungan kelembagaan antara orsosmasinal dan golkar, secara komprehensif? Masih mungkinkah mengembalikan kedigdayaan golkar minimal seperti kekuatan sekber golkar pada Pemilu tahun 1971? Mungkinkah dibangun satu strategi yang saling menguntungkan antara orsosmasinal dan orsinalmas yang saling bersimbiose mutualistis? Dapatkah dikembalikan suasana "guyub", saling menghargai dan terbuka diantara lintas pimpinan dan keluarga besar? Hanya ada satu jalan "kenalilah dirimu" kembalilah kekhittah sesuai dengan semangat kekaryaan yang sudah terpatri sejak kelahirannya. Sekarang diposisi hanya 14,5 % dukungan dan kepercayaan rakyat, masihkah tersisa harapan pada Pemilu 2014? Semoga ancaman menjadi partai lililput tidak akan menjadi kenyataan dan nama "Golkar" terpaksa diganti karena tidak mencapai treshold parliamentry. Dibawah kepemimpinan para saudagar nasib partai tidak akan menjadi jaminan, apalagi justru mereka tidak memahami sejarah kekaryaan.


Sumber:

30 Tahun Golkar (1994). Jakarta: DPP Golkar.

Tanjung, Akbar. & Thohari, Hajriyanto (Edt). (2003). Moratorium politik menuju rekonsiliasi nasional. Jakarta: Golkar Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar