Minggu, 10 Januari 2010

SURAT TERBUKA KEPADA SI “POLTAK”YANG (BUKAN ANAK MEDAN)


SALAM SOLIDARITAS,
Rasanya Sudah lama sekali kita tidak pernah bertemu sejak kita aktif di DPP KNPI di Kuningan. Sembilan belas tahun lalu. Saya masih ingat ketika Rapat rapat di DPP, sosok Ruhut Sitompul kalau berbicara di forum Pleno tampil dengan performa yang santun, penuh dengan bunga bunga kata terpilih, dan spontan. Sebagai sosok yang penuh canda sangat disenangi oleh teman2 lainnya apalagi sangat kompak dengan ketua umum kita saat itu Bung Didiet Haryadi dan Tjahyo Kumolo. Forum KNPI adalah tempat persemaian tokoh2 Pemuda dari 48 Organisasi Kemasyarakatan Pemuda tingkat Pusat. Latar belakang Budaya yang berbeda-beda, agama dan Ras telah mempertemukan dan mempersatukan cara berpikir kita sebagai sosok Indonesia yang penuh kebhinekaan. Stigma negative atas stereotype suku hilang karena kebersamaan dan pemahaman Inclusive Budaya yang berbeda. Itu akibat dialog yang intensif di kampus “kebangsaan kita”, dan kehadiran sosok Bung Ruhut memperkaya khasanah perbedaan itu.

Tiada hari yang tidak ceria bagi Bung Ruhut, ramah dan hormat kepada senior dan selalu menyenangkan teman-teman. Yang mengagetkan saya adalah ketika ketika kita menghadiri Musyawarah Daerah DPD KNPI Sumatera Utara di Padang Sidempuan bersama Bung Rambe Kamarul Zaman, Chatarinus Simanjuntak, terjadi kesalah pahaman antara kita karena bung menengarai adanya konspirasi antara Bung Rambe dengan Kadit Sospol Tapsel, padahal Tim telah diberi mandate khusus oleh Ketum untuk mengamankan calon Ketua DPD KNPI Sumut.

Sebenarnya yang dibicarakanoleh Bung Rambe kala itu tidak ada hubungannya dengan apa yang Bung khawatirkan yaitu skenario mengganggu calon dari DPP yaitu Bung Manahan. Disinilah saya tahu bahwa bung Ruhut adalah seorang yang berwatak tempramental cepat sekali emosional. Akan Tetapi kesalah pahaman itu kita selesaikan dengan semangat kekeluargaan di Mess kita menginap. Yang menjadi pertanyaan saya kala itu mengapa bung Ruhut sangat temperamental dan emosional justru bukan kepada bung Rambe tapi nyasar kepada saya? Apakah ini tidak salah sasaran? Dan adapun mandate dari Ketum seyogianya di komunikasikan kepada saya dan Rambe, sehingga kebersamaan Tim terjaga tanpa rasa curiga?

Sifat temperamental, itulah yang saya lihat ketika menonton TV one, yang menayangkan “percekcokan” Bung Ruhut dengan Prof. Gayus; Ketika Prof. Gayus menyentak dengan kalimat “kurang Ajar”, Bung Ruhut serta merta membalas dengan sebutan “Bangsat” !

Seingat saya kalimat kalimat itu dulu tidak pernah muncul di Kampus Kebangsaan di Kuningan, dan (maaf) menanggapi komentar Bung Andi Malarangeng, seolah kebiasaan anak Medan terbiasa dengan kalimat kasar tersebut, itu salah, Mainlah ke Medan, temui Anak Medan pasti mereka bicara santun malah “gaya umbang” gaya Medan telah memperkaya khasanah perpolitikan di kalangan pemuda; memuji dan memberikan apresiasi didepan dan pada ujung kata menimpali dengan kritik, yang tidak menyinggung perasaan karena dibalut dengan perumpamaan ala gurindam dua belas, Melayu. Konotasi si Poltak Raja Minyak berlogat Batak,di dalam Film, sangat kontras dengan system bertutur anak Medan,yang keMelayuan, dan slogan Ini Medan Bung!, adalah kekhususan dan kebanggaan anak Medan (yang dilahirkan dan atau pernah berdomisili di kota Medan); biarpun dikenal sebagai kota preman (baca; free Man yang mumpuni); tetapi santun dan familiar tidak pernah mengeluarkan kata kata kasar yang tidak etis.

Dengan berbalas kata kasar di TV dan ditonton jutaan pemirsa serta merta kita jadi bertanya mengapa si “Poltak” cepat sekali berubah setelah menjadi bintang sinetron dengan memaki tanpa kontrol? Bukankah selama di KNPI, telah banyak pembekalan yang kita terima, dari sejak Penataran P4 sampai kepada Tarpadnas Pemuda oleh Lemhannas? Mengapa terlalu longgar pengendalian diri Bung Ruhut justeru setelah duduk di panggung politik sebagai anggota Legeslatif yang terhormat? Bukankah semakin matang usia seseorang ibarat Ilmu padi, semakin bernas semakin merunduk? Inilah beberapa catatan sebagai sesama teman aktivis, dengan harapan semoga dalam kurun waktu tertentu bisa merubah tata cara bertutur yang sopan tidak mudah terpancing walau oleh seorang Profesor atau Pimpinan sidang yang memulai dengan kalimat “kurang ajar”! sekalipun. Dimana semangat Intelektualisme dan Etika berkomunikasi yang seharusnya sudah melekat disumsum tulang seorang alumni Universitas, apalagi bagi seorang Kader Bangsa?

Kalau Bung Ruhut tidak bisa merestorasi diri kearah perubahan yang lebih baik, kami sarankan Kembalilah Bung Ruhut menjadi si “Poltak” yang ( bukan anak Medan); yang hanya ada di Sinetron yang bisa memerankan peran ganda atau seribu Wajah ,daripada menjadi “Aktor” politik yang tidak santun, penuh intrik dan “kasar”. Negeri ini sangat membutuhkan Kepemimpinan yang Transformasional ; yang mempunyai Kharisma, yang mampu memberikan stimulasi Intelektual, mampu menciptakan jargon, dan memperjuangkan kepentingan umum.

Maafkan saya apabila dianggap terlalu berlebihan, Surat ini saya tulis secara spontan ditengah semakin maraknya protes terhadap si “Poltak”, yang ( bukan anak Medan), karena gerakan hati yang merasa pernah satu wadah bersama bung Ruhut, dikancah kawah Candra dimuka KNPI sebagai miniature Indonesia, tempat penggodokan Kader Bangsa berbasis Nasionalisme, terbuka dan berjiwa Pancasila.
Dari Seorang sahabat , Abdul Muin Angkat, di Jakarta.