Kamis, 22 Agustus 2013

Mengubah Strategi Pembangunan


 


 

Semakin membesarnya deficit neraca pembayaran luar negeri - - sebagai akibat penurunan nilai eksport kiriman (remittances) dari tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri serta pelarian modal asing - - menegaskan semakin mendesaknya Indonesia segera mengubah strategi pembangunan ekonominya dan memperkuat kelembagaannya.

Nilai tukar rupiah yang merosot secara drastic selama tiga bulan terakhir tidak akan dapat di rem hanya dengan kebijakan Bank Indonesia menggunakan cadangan devisanya yang sudah semakin menipis dan menaikkan tingkat suku bunga yang semakin meningkatkan biaya produksi dunia usaha. Kemampuan BI dan pemerintah membeli kembali SBI dan SUN juga terbatas. Demikian pula dengan kemampuan menambah utang.

Bunga SUN rupiah jangka waktu 30 tahun sudah naik menjadi 8,75 persen dan SUN dalam dollar AS menjadi 6,91 persen. Krisis ekonimi global yang tengah berlangsung sejal tahun 2008 menunjukkan bahwa strategi yang digunakan selama 30 tahun terakhir tidak dapat dipertahankan lagi. Strategi tersebut mengandalkan eksport bahan mentah ( hasil tambang pertanian, dan perikanan). Mengirim TKI yang tidak punya keahlian serta pendidikan ke mancanegara serta industrialisasi yang terutama berorientasi pada pemenuhan pasar dalam negeri (inward looking strategy).

Di masa lalu, penyebab kenaikan nilai komoditas eksport primer Indonesia terutama adalah pesatnya pertumbuhan ekonomi China yang rata rata 9-10, persen setiap tahun sejak Deng Xioping melakukan liberalisasi perekonomiannya pada tahun 1978 dan mengundang pemasukan modal swasta asing ke negerinya. Pertumnuhan ekonomi India menysul China sejak Negara itu melakukan deregulasi pada awal 1990-an.

Kedua Negara itu menjalankan stratgi pembangunan yang berorientasi pada eksport (eksport –Ied strategy atau out ward looking strategy). Selain digerakkan eksport ekonomi kedua Negara itu juga digerakkan investasi yang rata rata mencapai 40 persen dari produk domestic bruto (PDB)nya. Industrialisasi, mekanisasi, motorisasi ataupun pembangunan gedung serta infrastruktur di kedua Negara tersebut memerlukan segala jenis tambang dan pertanian sehingga menungkatkan jumlah permintaan beserta tingkat harganya.

China mengeksport hasil pertanian dan industri manufaktur sedangkan India mengutamakan eksport jasa jasa seperti program computer maupun pemrosesan data. Penduduk kedua Negara itu yang semakin makmur menuntut kwalitas makanan yang lebih baik termasuk hasil laut ataupun minyak goreng dari Imdonesia.

Sewaktu krisis keuangan global berlangsung 2008 – 2009, China dan India luput dari resesi karena mengintroduksi stimulus fiscal besar besaran untuk membangun infrastruktut, perumahan dan perkantoran. Pemerintah pemerintah daerah di China meminjam kredit bank untuk membangun sejumlah proyek jangka panjang dengan agunan tanah miliknya. Dewasa ini strategi seperti itu tidak dapat lagi di ulang karena ternyata banyak dari investasi tersebut tidak menyumbang pada peningkatan nilai tambah dan hanya menimbulkan pemborosan. Kelambatan pelunasan kreditnya telah menimbulkan krisis likwiditas dan meningkat rasio kredit bermasalah di bank bank China.

Orientasi Eksport

    Untuk meningkatkan kembali orientasi eksport, tingkat laju pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja, Indonesia perlu menerapkan strategi pembangunan yang berorientasi pada eksport. (eksport Ied strategy) atapun berorientasi keluar (out ward-looking strategy) dab mengolah sumber daya alam (resource based strategy). Melalui perubahan strategi pembangunan itu, Indobesia pub akan ikut bergabung dalam jaringan produksi global (global supply chains atau International production net works/IPN) yang telah berlangsung sejak 1980-an.

    IPN memanfaatkan spesialisasi vertical yang terjadi di pasar global. IPN membagi tahap produksi antar Negara dan setiap tahap produksi merupakan produksi suku cadang maupun komponen atau perakitan komponen untuk tahap produksi selanjutnya hingga menghasilkan barang jadi. Lihatlah barang elekteronik atau mobil merk apa saja, suku cadang dan komponennya adalah buatan sejumlah pabrik di sejumlah Negara dan kemudian di rakit menjadi barang jadi. Berbeda dengan pertambangan yang bersifat padat modal, Produksu suku cadang dan komponen barang barang industry manufaktur, beserta perakitannya, adalah bersifat padat karya dan tidak memerlukan keahlian tingkat tinggi. Dengan terciptanya lapangan kerja dikampung halaman sendiri, akan mengurangi eksport TKI ke mancanegara.

    Ada dua model IPN, yakni model laba laba dan ular. Model pertama menggabungkan suku cadang yang diproduksi di sejumlah Negara untuk menghasilkan produk jadi atau komponen yang diperlukan pada tahap produksi berikutnya.

    Dalam model kedua, urutan tahap produksi bergerak menurut garis lurus dari awal hingga akhir dan setiap tahap produksi tersebut menghasilkan nilai tambah.Kedua model IPS tersebut mengandung offsharing cost, yakni biaya transportasi suku cadang dan komponen satu ke lain lokasi produksi yang mungkin berada di Negara yang berbeda. Dengan demikian cukup tinggi impor Negara Negara yang masuk dalam IPN akan bahan baku, suku cadang dan komponen produksi.

Mengubah Kebijakan

    Untuk dapat ikut dalam IPN Indonesia perlu mengubah berbagai kebijakannya. Kebijakan yang pertama adalah menraik lebih banyak pemasukan modal swasta asing. Dalam IPN perusahaan multinasional memproduksi barang dab jasa bukan saja untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, melainkan juga untuk di eksport ke pasar dunia. Kedua, untuk menekan offshoring cost diperlikan infrastruktur yan andal, termasuk listrtik, pelabuhan laut dan udara, telpon serta Wi-Fi, terutama di daerah Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) serta pulau Jawa yang berpenduduk padat.

    Untuk membangun infrastruktur penerimaan pahak harus ditingkatkan dan rasio penerimaan yang amat rendah, sebesar 13 persen dari PDB dewasa ini. Jika perlu meningkatkan pinjaman daru luar negeri untuk membangun infrastruktur tersebut.

    Ketiga, mengoreksi UU tenaga kerja yang menyulitkan untuk memberhentikan tenaga kerja dan mewajibkan pembayaran pesangon yang sangat mahal. Keempat, memudahkan eksport dan import suku cadang dan komponen yang diperlukan dalam perakitan IPN untuk menekan offshoring cost.

    Kelima, memperbaiki iklim usaha mulai dari kemudahan perizinan hingga persaingan usaha yang dapat menjamin agar pemenang tender adalah perusahaan yang paling efisien dan bukan yang punya koneksi ataupun menyogok seperti kontraktor proyek Hambalang, obat atau persoalan kesehatan Kementerian Kesehatan, maupun pengadaan blanko STNK dan BPKB Korlantas.

    Keenam, menjaga agar kurs devisa jangan menguat sehingga dapat memberikan insentif pada eksportir. Di dalam negeri kurs rupiah yang menguat akan memberikan insentif bagi pembangunan sector ekonomi yang kurang efisien karena tidak diperdagangkan ke luar negeri, seperti pusat perbelanjaan, lapangan golf, maupun perumahan.

    Ketujuh, memperbaiki system hukum agar dapat melindungi hak milik individu dan mengurangi biaya transaksi pasar. Perlu dihentikan korupsi yang semakin marak disemua tingkatan dan cabang pemerintahan: eksekutif, legeslatif dan yudikatif. Karena system hukum kurang dapat dipercaya, orang beralih pada preman dan penagih utang untuk menagih utang. Kedelapan, aturan perlu diterapkan secara tegas untuk mencegah kegagalan pasar (market failures) seperti kasus bantuan Likwiditas Bank Indonesia (1997) Bank Bali (1999), maupun Bank Century (2008).

    Kesembilan, efisienci, produktivitas, dan daya saing BUMN perlu ditingkatkan agar mampu bersaing dengan BUMN Singapira dan Malaysia di pasar internasional. Hanya dengan demikian dapat dicegah kegagalan sector Negara (public sector failures) dab korporatisasi BUMN dan BUMD dapat dijadikan sebagai motor penggerak baru pertumbuhan ekonomi dan bukan hanya sehadar beban Negara. Peningkatan efisiensi Bank Bank Negara dan bank pembangunan daerah (BPD) akan menurunkan Net interest margin (NIM) yakni perbedaab antara suku bunga kredit dan deposito bank. Dewasa ini NIM bank bank BUMN dan BPD adalah tertinggi di ASEAN maupun di dalam negeri kecuali bank non devisa.

    Kesepuluh, melatuh dan membantu petani pengrajin dan UKM agar mampu masuk pasar global setidaknya pasar Negara Negara yang telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan kita. Kenapa sayir dan buah Indonesia tidak bisa masuk pasar Singapura dan Malaysia?

    Kesebelas, membangun kembali Bank Tabungan Pos untuk memobilisasi kembali tabungan masyarakat agar menyerap SUN rupiah yang diperdagangkan di pasar dalam negeri dan mengurangi kepemilikan asing yang dewasa ini mencapai 34 persen. Terlalu besarnya porsi kepemilikan asing pada surat surat berharga Indonesia menyebabkan kerawanan tingkat harganya maupun nilai tukar rupiah terhadap lalulintas modal jangka pendek.

    Kedua belas, mengolah lebih banyak hasil perkebunan Indonesia di dalam negeri seperti minyak kelapa sawit.

    Pemerintah sekarang ini terlena pada tingkat laju pertumbuhan ekonomi yang relative tinggi (5-6 persen setahun) akibat tingginya harga komoditas primer, besarnya kiriman TKI yang bekerja di luar negeri serta pemasukan modal asing jangka pendek. Akibatnya pemerintah sekarang ini bukan saja tidak melakukan refoemasi penting untuk memperkuat fondasi social ekonomi nasional selama dua kali jabatannya, melainlkan semakin membuatnya semakin kropos. Dilain puhak tidak satupun diantara calom presiden mendatang yang punya program tentang bagaimana caranya membawa Indonesia keluar dari perangkap tingkat pendapatan menengah rendah (low middle income trap) dewasa ini. ( Kompas, 25 juli 2013, Anwar Nasution, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI).


Sabtu, 03 Agustus 2013

Utang yang Memiskinkan


 


 

    Utang Pemerintah Indonesia pertengahan tahun 2013 menumpuk hingga Rp 2023 Triliun, itu berarti rata-rata satu warga Negara Indonesia menanggung utang Rp 8,5 juta. Dampaknya rakyat semakin miskin.

    Pada 2013, misalnya, pemerintah berencana membayar cicilan pokok dan bunga Rp 299,078 Triliun, 17,5 persen dari total belanja Negara pada APBN perubahan 2013 (Rp 1.726,2 triliun). Pada 2013 total anggaran kemiskinan Rp 115,5 triliun, hanya 6,7 persen dari total belanja Negara. Politik angaran pemerintah kontras memilih menyubsidi orang kaya pemilik surat berharga Negara daripada menyubsidi BBM untuk rakyat miskin.

    Utang luar negeri secara bilateral banyak berasal dari Jepang, rata-rata Rp259,64 triliun pertahun, 38,3 persen dari total utang pertahun. Utang dari hubungan multilateral yang berasal dari Bank dunia, menurut data dari Dirjen Pengelola Utang, per Mei 2013 sekitar Rp.122 triliun, 21 persen dari total utang Bank Pembangunan Asia per Mei 2013 menyumbang Rp 95,77 triliun,16 persen dari total utang luar negeri. Data itu belum termasuk Surat Berharga Negara (SBN) dan valas.

    Jika demikian halnya, mimpi rezim pemerintahan yang anti utang Luar negeri pipis sudah. Setelah Soeharto, sepertinya warisan utang menggunung menjadi tradisi peninggalan dosa rezim untuk anak cucunya.

    Dengan beban utang yang kian besar setiap tahun, dan tak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, APBN dikhawatirkan jebol dan Negara bangkrut. Total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam negeri dan luar negeri saja (2005 – 2012); Rp 1.584, 88 triliun.

    Selain menyedot uang Negara dalam jumlah besar, dana asing berbentuk utang dan hibah luar negeri juga membuat intervensi mendalam terhadap kebijakan ekonomi. Sejumlah kebijakan dan puluhan UU yang merugikan kepentingan nasional adalah produk tak langsung dana asing itu, antara lain UU no 22/2001 Migas yang belum di revisi, UU no 7/ 2004 Sumber daya air, UU no 30/2007 Energi, UU no 25/2007 Penanaman modal, UU no 9/2009 Badan Hukum pendidikan, 19/2003 BUMN, dan UU 27/2007 Pengelolaan Pesisir dan Pulau kecil.

    Beberapa UU itu secara jelas menjadikan kepentingan nasional sub ordinat dari kepentingan modal asing di Indonesia. Bahkan melalui UU Penanaman Modal, pihak asing dapat menguasai sector strategis di Indonesia hingga 95 persen. Perusahaan asing juga mendapat fasilitas dan hak yang sama dengan perusahaan dalam negeri.

    Mengapa pemerintah mengingkari fakta itu dan terus menambah utang luar negeri dan dalam negeri? Setidaknya empat argumentasi yang selalu digembar gemborkan setiap tahun.

    Pertama, utang pemerintah diperlukan untuk membiayai deficit APBN. Kedua, meskipun nominal meningkat, rasio terhadap PDB dalam posisi aman. Ketiga, utang pemerintah diarahkan untuk mendapatkan pembiayaan public dengan biaya dan resiko rendah dan jangka panjang. Keempat, pengelolaan fiscal dan utang semakin baik.

Menyesatkan

    Argumentasi pemerintah itu jika tidak diperbaiki, menyesatkan. Ada indikasi, deficit APBN semakin menggelembung tiap tahun. Neraca yang deficit hanya ditindak lanjuti dengan solusi intant. Utang bukan menaikkan pendapatan Negara dari usaha asing dan sumber daya alam kita.

    Terkait rasio dengan PDB, melihat dari kacamata itu tampak manis; rasio pinjaman, SBN, dan PDB setiap tahun menurun. Hingga 2013 hanya berkisar 16,6 persen hingga 23,1 persen. Bahkan pada 2012, Indonesia dalam rasio utang dengan PDB lebih baik dari Negara yang mengalami krisis, seperti Italia (127 persen), Jerman (82 persen) Jepang (237 persen), atau AS (106,5 persen).

    Rasio PDB adalah total produksi dalam negeri beserta asing. Nah, bagaimana dengan rasio produk nasional bruto? Tentu hasilnya akan beda terkait produksi dalam negeri tanpa asing.

    Alih alih dengan argumen resiko rendah dan jangka panjang, hantu jatuh tempo utang, justru makin mengancam. Obligasi rekap BLBI jatuh tempo pada 2033 dengan nilai Rp 127 triliun. Ini mengerikan. Perampokan oleh pengusaha hitam tetapi beban utangnya dibiayai Negara.

    Jika terus dibiarkan, utang pemerintah akan menjadi bom waktu ekonomi Indonesia dan mempernganga jurang antara pemodal dan rakyat miskin. Langkah lebih radikal barangkali perlu dipikirkan oleh pemerintahan SBY: moratorium utang pemerintah. Meski bukan ide baru, moratorium utang khususnya dalam negeri, ini cukup realistis. Karena mayoritas utang dalam negeri sekitar 64 persen dari total utang. Utang dalam negeri itu dinikmati Bank pemerintah atau swasta. Pemerintah mudah mengambil sikap tegas.

    DPR sebagai pengawas pemerintah yang tak pernah dilibatkan dalam membahas utang, harus mengambil langkah politik yang tegas untuk menghentikan utang dan mendesak pemerintah untuk tidak meneruskan obligasi rekap yang hanya menguntungkan pengusaha nakal Orde baru yang saat ini terus menyusu kepada Negara. (diambil dari Kompas 13 juli 2013, penulis Apung Widadi, peneliti politik anggaran di Indonesia Budget Centre)

Kamis, 04 Juli 2013

Integritas


 

Kita menginginkan pemimpin yang berintegritas, kata buya Safii Maarif (kompas 16/5). Seperti apa pemimpin yang berintegritas itu? Michael Rogers, penulis Blog tentang kepemimpinan, memberikan contoh Abraham Lincoln sebagai seorang pemimpin yang berintegritas.

    Dikisahkan dalam suatu perjalanan malam di musim dingin seorang colonel pengawal Presiden menawari Abraham Lincoln sebatang cerutu, tetapi ditolak. Juga ketika Abraham Lincoln ditawari wiski untuk mengahangatkan badan. Ketika colonel itu bertanya, mengapa Abraham Lincoln menolak kedua tawaran itu, Lincoln menjawab, ketika ibunya sakit dan menjelang ajal, ibunya berpesan agar Abraham Lincoln menghindari rokok Dn alcohol. Lincoln berjanji akan mematuhi ibunya.

    Dalam sejarah islam, Umar bin khattab sering dijadikan contoh pemimpin yang berintegritas karena dia konsisten menegakkan hukum, termasuk kepada anaknya. Ia sendiri juga konsisten mematuhi hukum yang dia buat. Di Indonesia pemimpin yang berintegritas, umumnya terdapat pada era segera setelah kemerdekaan. Bung Hatta misalnya memilih mundur sebagai wakil Presiden daripada mendampingi Bung Karno yang ia anggap sudah tak sejalan lagi.

    Integritas pribadi sebenarnya lebih bermakna keutuhan diri. Keutuhan antara apa yang ia katakana dan apa yang ia lakukan. Keutuhan antara yang ia janjikan, termasuk kepada diri sendiri, dan apa yang ia perbuat. Konsisten pada pendirian tanpa ragu sedikitpun. Seperti kata peribahasa, biarpun dia diberi matahari ditangan kanan dan bulan di tangan kiri, tak akan semua itu membuat dia goyah dalam menegakkan kebenaran dan amanat yang dia terima.

Masih adakah?

    Masih adakah di Indonesia pemimpin yang seperti itu pada masa ini? Itulah yang dipertanyakan Buya Syafii Maarif yang juga mewakili pikiran banyak orang di negeri ini. Banyak yang ingin menjadi "pemimpin", tetapi yang mereka pikirkan bukan nasib yang dipimpin, melainkan nasib dirinya sendiri. Yang mereka pikirkan hanyalah apa yang akan dia peroleh dari kedudukan menjadi "pemimpin".

    Pola pikir feodal masih mengeram dalam benak mereka. Kedudukan yang berada "dia atas rakyat" membuat mereka merasa lebih wajib dilayani dan di dengar rakyat daripada merasa wajib melayani dan mendengar rakyat. Tidak peduli di badan legeslatif ataupun di eksekutif. Bahkan, kemudian mereka merasa di atas hukum yang mereka buat sendiri. Hukum hanyalah berlaku bagi bawahan dan rakyat sehingga muncul pameo kalau wakil menteri akan senang diangkat menjadi menteri, wakil rakyat justru menolak untuk diangkat menjadi rakyat.

    Integritas pribadi masuk dalam salah satu virtue atau sifat-sifat baik yang diharapkan ada dalam setiap manusia beradab. Virtue yang lain antara lain kejujuran, pruden, adil, dan berani (courage). Oleh karena itu barangkali sifat pemimpin yang diharapkan Indonesia bukan hanya punya integritas, tetapi juga mempunyai cirri-ciri virtue yang lain untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia masih tergolong bangsa beradab. Dalam masyarakat yang sudah sangat dipengaruhi hedonism ini, akan semakin sulit mencari pemimpin yang demikian itu.

Manajer dan panglima

    Dalam latihan kepemimpinan sering ditanyakan apa perbedaan pemimpin dan manajer. Setiap orang mempunyai jawaban masing-masing. Menurut saya, seorang pemimpin mempunyai kemampuan memotivasi pengikutnya untuk bergerak dengan cara menanamkan keyakinan untuk mencapai cita-cita bersama atau memotivasi pengikutnya tanpa iming iming imbalan materi.

    Pemimpin sering tidak terlalu memikirkan tata tertib dan urutan sesuai dengan hierarki. Namun, dia berani mengambil keputusan yang tegas, dan tanpa ragu pada saat diperlukan. Dia juga dapat memberi contoh berperilaku bagi yang dipimpin. Begitu ia tidak dapat menjadi contoh, hilanglah kekuatan kepemimpinannya.

    Manajer juga menggerakkan pengikutnya (bawahannya) untuk mencapai tujuan, tetapi harus menanamkan keyakinan pada mereka. Motivasi yang ia gunakan sering berupa insentif uang atau jabatan, Ia bergerak hanya dalam koridor strategi yang sudah ditetapkan sebelumnya. Tidak ada hubungan bathin yang kuat antara manager dan bawahannya.

    Berbeda lagi dengan seorang panglima perang. Ia harus menjadi seorang pemimpin dan manager. Ia harus mengkuti strategi yang sudah digariskan, tetapi ia harus dapat mengambil keputusan yang cepat dan tegas pada saat kritis karena dihadapkan pada pilihan kalah atau menang, dan risiko korban pada anak buah yang ia pimpin.

    Ia berani mengambil tanggung jawab jika pilihannya ternyata salah. Bahkan mungkin pada pilihan, biar saya mati agar Negara selamat. Keputusan perang puputan yang diambil Ngurah Rai, adalah keputusan seorang panglima yang memilih mati daripada menyerah.

    Mencari pemimpin yang berintegritas dan siap berkorban (setidaknya berkorban citra) di Indonesia saat ini, dan mungkin sesudah 2014, akan semakin sulit ketika godaan pemilik modal semakin menggiurkan. (Kompas 3 juni 2013, Kartono Mohamad, mantan ketua PB IDI)

Rabu, 03 Juli 2013

Hak atas Hutan dan Masyarakat Adat


 

Bagi sebagian terbesar penduduk Indonesia yang hidupnya dibatasi oleh wilayah wilayah perkotaan, hutan terasa sangat jauh. Seorang dikagumi dan dihargai, tetapi sebenarnya tidak betul betul dimengerti dari segi peran dalam hidup sehari hari.

    Sesungguhnya hutan merupakan inti dari masa depan bangsa dan kesejahteraan generasi mendatang. Dalam hutan tersimpan kekayaan alam. Hutan mengurangi emisi karbon dan efek rumah kaca sehingga mampu meredam perubahan iklim.

    Karena itu marilah kita mensyukuri kejutan positip pada tanggal 16 mei 2013, ketika suatu putusan bersejarah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hak Negara atas hutan milik adat seluas jutaan hektar yang selama ini menjadi habitat masyarakat adat dan komunitas local. Putusan ini mengembalikan hak untuk mengelola hutan mereka.

    Klaim pemerintah yang sekarang di nyatakan tidak sah tertanam dalam Undang Undang Kehutanan no 11 tahun 1999 yang menggolongkan hutan adat ke dalam hutan Negara. Ini memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat atas hutan-hutan Negara kita. Kementerian kehutanan sampai saat ini berkuasa memberikan izin untuk menebang kayu, menumnuhkan perkebunan, dan untuk pertambangan meski tanah-tanah hutan itu sebelumnya dikelola turun temurun oleh penghuninya.

Alih fungsi

    Perusahaan besar sering mendapat izin mengonversi hutan hutan milik masyarakat adat untuk penebangan, kelapa sawit dan pertambangan. Pengalihan fungsi hutan menjadi penyebab terbesar konflik antara pemerintah dan masyarakat local. Karena itu Keputusan MK atas permohonan uji materi oleh aliansi masyarakat adat nusantara (AMAN) sungguh melegakan. Pihak AMAN memperkirakan 40 juta masyarakat adat kembali mejadi pemilik sah dari hutan hutan adat kita.

    Putusan ini menjadi pukulan bagi Kementerian Kehutanan yang selama puluhan tahun mendapat revenue besar dari hutan. Memang sampai saat ini belum jelas bagaimana implikasi nyata keputusan historis dari MK ini, tetapi seorang pejabat di Kementerian Kehutanan sudah menyatakan bahwa wilayah hutan adat itu jauh lebih kecil dari perkiraan 40 juta hektar dan pelaksanaan keputusan itu butuh waktu ber tahun-tahun.

    Yang pasti keputusan itu memperkuat masyarakat adat dalam proses hukum di pengadilan mengenai kasus tanah. Hal ini akan mengurangi kriminalisasi yang sembarang terhadap masyarakat adat. Pada jangka panjang putusan MK akan mengurangi konflik atas pengelolaan hutan yang sekarang melibatkan hampir 20 000 desa di seluruh Indonesia.

    Banyak yang tak merasa bahwa masalah tanah adalah salah satu penyebab terbesar konflik, di susul agama dan etnis. Karena itu, masuk akal ketika Abdon Nababan dari AMAN mengatakan bahwa keputusan ini mengembalikan rasa kebangsaan dan kepemilikan masyarakat adat. Negara tak bisa mengusir masyarakat dari hutan adat yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Deklarasi

    Pada 27 mei 2013, AMAN meluncurkan Deklarasi dan Petisi untuk ditandatangani masyarakat Indonesia. Tiga titik berat Petisi adalah 1) Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan keputusan MK termasuk penyelesauan konflik adat dan sumber daya alam di wilayah wilayah milik masyarakat adat. 2) Mendesak Presiden memberikan ammesti kepada masyarakat adat yang terlibat proses hukum atau diputuskan bersalah menurut Undang Undang no 41/1999 mengenai hutan 3) Mendesak diterbitkannya Undang Undang perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat.

    Hutan adalah sumber kehidupan Indonesia. Menurut suatu studi tahun 2007 oleh Bank Dunia, Indonesia menjadi Negara penghasil gas rumah kaca ketiga terbesar setelah AS dan China, terutama karena kerusakan hutan dan tanah gambut. Dalam Masterplan percepatan dan perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, dampak lingkungan tak selalu diperhitungkan.

    Kini Presiden SBY sedang berusaha mengurangi pengaruh buruk Masterplan tersebut. Konsep Green Economy akan di masukkan sebagai bagian dari rencana pembangunan arus utama. Tahun 2009, Presiden menargetkan pengurangan emisi karbon minimal 26 persen pada 2020. Pada 2011, Presiden memberlakukan ,moratorium dua tahun terhadap pengolahan fungsi hutan yang di perkuat oleh perjanjian bernilai 1 milayar dollar dengan pemerintah Norwegia.

    Pada 16 Mei 2013, SBY menandatangani Keputusan Presiden untuk memperpanjang moratorium selama dua tahun lagi. Mengembalikan hutan adat kepada pemiliknya yang sah merupakan langkah yang benar dalam arah yang benar.

    Deklarasi untuk hutan adat 27 mei 2013 merupakan wujud pekikan rakyat menyusul kepatuhan MK. (Kompas 7 Juni 2013, Wimar Witoelar, konsultan komunikasi Ekonomi Hijau)

Selasa, 02 Juli 2013

Pancasila, Kunci Bangsa Indonesia (portofolio ekonomi paling destrutif)


 

Pancasila masih kerap dianggap objek kehormatan . Bangsa Indonesia perlu menyadari , Pancasila merupakan kunci dari Sabang sampai Merauke. Pancasila harus dipahami sebagai Etika, cita-cita dan nilai bangsa. Semua tindakan dan keputusan ditunjang dan di arahkan ke Pancasila.

    Guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara Fransz Magnis Suseno SJ menegaskan hal itu dalam diskusi public "Membumikan Pancasila sebagai Ideologi Bangsa" yang digelar Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), di Jakarta Senin.

    Menurut Magnis, sejak dulu Indonesia dihadapkan pada mau menjadi Negara nasionalis sekuler atau agama. Pancasila dicetuskan Bung Karno untuk memecahkan masalah itu. Magnis pun menyebutkan sila pertama Pancasila secara tegas, dipilih kata Ketuhanan yang Maha Esa, ini mau menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah Negara agama.

    Politisi PDIP, Restu Hapsari, mengatakan tidak dibumikannya Pancasila bisa dilihat dari pertarungan calon anggota legeslatif di internal maupun eksternal. "Dari sinilah kita melihat, betapa ajaran gotong royong yang disiratkan di Pancasila terabaikan. Semua bersaing untuk meraih kekuasaan. Ini terjadi karena system liberal dibiarkan berkembang" ujar Restu.

    Sekretaris Jenderal Matara (sayap organisasi Partai Amanat Nasional) Suryo Ari Bowo mengatakan, indicator implementasi Pancasila sesungguhnya sederhana. "sejauh manakah Negara memberikan jaminan rasa aman, kebebasan, dan bagaimana penegakan hukum sungguh dilaksanakan" kata Suryo.

Rakyat mengamalkan

    Secara terpisah pengajar sosiologi politik UGM Yogyakarta, Arie Sudjito mengatakan, rakyat telah mempraktikkan Pancasila dari symbol sampai aksi nyata. Itu tercermin dari toleransi antar kelompok tradisi bermusyawarah, dan gotong royong. Rakyat telah teruji sebagai pengamal Pancasila. "Kesadaran mereka justru sering kali diganggu oleh elite local dan nasional yang punya hasrat kuasa sehingga terjadi konflik dan kekerasan" katanya.

    Arie menilai sudah saatnya pendalaman Pancasila dilakukan dengan perdebatan substansi melalui pendekatan pengetahuan. Semakin diperdebatkan Pancasila semakin populer dan teruji. Pancasila jangan hanya dijadikan benda kramat yang jauh dari pengalaman nyata. "Pancasila harus mewarnai praktik budaya. Bagi pemerintah dan parlemen, Pancasila harus tercermin dalam kebijakan praxis" ujarnya.

    Secara terpisah, Direktur Reform Institute Yudi Latif mengatakan, dimensi paling nyata dan teraba dari perwujudan nilai Pancasila adalah keadilan social. Oleh karena itu, rezim perekonomian paling menentukan hitam putihnya aktualisasi dasar Negara itu. Namun, sejauh ini justru kebijakan perekonomianlah yang paling melenceng dari tuntunan Pancasila. Ini berdampak besar terhadap merosotnya kepercayaan rakyat kepada keampuhan nilai nilai Pancasila.

    Sejauh ini, portofolio ekonomi merupakan pihak yang paling destruktif bagi kelangsungan hidup Pancasila. Terlalu banyak pengemudi perekonomian yang menyalakan lampu sein kearah kiri atau gagasan berorientasi keadilan social, tetapi kenyataannya justru berbelok kekanan atau pasar bebas. "Kita harus mendorong agar nilai nilai Pancasila menjadi parameter kebijakan perekonomian" katanya.

Makin memprihatinkan

    Pekan lalu, saat memberikan orasi budaya dalam perayaan Ulang tahun Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), Guruh Soekarno Putra merasakan pudarnya nilai bilai Pancasila. Dia merasakan keadaan bangsa yang makin memprihatinkan Ini akibat hilangnya rasa kebangsaan dan nilai nilai Pancasila yang makin melenceng. "Sekarang segala sesuatunya makin bobrok di segala bidang. Politik, ekonomi, budaya, moral, dan mental bobrok" ujarnya.

    Pancasila sebagai falsafah Indonesia pertama kali muncul pada 1 juni 1945. Saat itu Soekarno dengan ber api api menyampaikan pidatonya dihadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada 20 maret 1950, Garuda Pancasila lahir sebagai lambang.

    Menurut putra Soekarno itu, Pancasila yang pernah di orasikan ayahnya kini perlahan mulai melenceng dan tampak dari konstitusi baru yang berlaku di Indonesia. Otonomi yang menjadi agenda reformasi justru membuat Indonesia seperti Negara federasi. Guruh merasa bangsa ini sudah menjadi ke amerika amerikaan (Kompas,4 juni 2013, OSA/k10/IAM)

Senin, 01 Juli 2013

Re evaluasi Kontrak Karya


 

Sejak tahun 1967, pemerintah Orde Baru melihat investasi asing sebagai jalan keluar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini tampak dalam Undang Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 tahun 1967 yang memberikan jalan bagi masuknya investasi asing di pertambangan. (pasal 8 UU no 11 /1967). Tak lama berselang muncul UU no 11/1967 tentang pertambangan , yang makin memuluskan investasi asing.

    Implikasinya adalah dimulainya system kontrak dalam eksploitasi dalam mineral. Sistem kontrak mengakibatkan Indonesia dan perusahaan berkedudukan sejajar. Negara pun kehilangan kekuasaan administrative mengatur perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia.

Tidak cermat

    Pada generasi awal, ketidak cermatan membuat kontrak menyebabkan pemerintah memberikan begitu saja wilayah yang mencakup tiga propinsi di Sulawesi kepada PT Inco. Begitu pula untuk PT Freeport Indonesia (FI) di Papua Barat. Selain mendapatkan wilayah yang luas, salah satu klausul kontrak juga menyebutkan bahwa FI berhak memindahkan penduduk di areal kontrak karya (KK) mereka. Suatu kontrak yang jelas melanggar hak azasi penduduk Papua Barat.

    Kalaupun kemudian ada perbaikan KK, itu itu hanya pembatasan wilayah KK seluas 62.500 hektar dalam KK generasi 6 dan perbaikan pendapatan Indonesia dari royalty sebesar 4 persen sejak KK generasi ke empat.

    Sampai kini, model KK tak pernah diuji keandalannya dari sudut pandang ekonomi, apalagi dari aspek social budaya, hak adat dan lainnya. Padahal tanah penduduk di sekitar pertambangan banyak diambil perusahaan dan sumber-sumber kehidupan mereka dihancurkan. Hal ini akibat tidak adanya perlindungan dari pemerintah. Sistem KK yang berlaku saat ini, sangat merugikan Negara dan memberikan hak mutlak kepada kepada perusahaan tambang asing untuk mengeruk kekayaan alam kita.

    Di tengah kondisi kritis hutan Indonesia, - - dengan deforestasi lebih dari 3,5 juta hektar per tahun - - pemerintah pada zaman Presiden Megawati bahkan mengeluarkan Perpu yang bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Perpu tersebut seolah olah memberikan justifikasi terhadap beroperasinya 150 perusahaan pertambangan di kawasan hutan lindung.

    Hasil analisis dari sejumlah dokumen investasi pertambangan dan perjanjian internasional, terdapat tiga instrument legal yang memberikan hak terbatas kepada operator pertambangan asing untuk mengajukan arbitrase kepada pemerintah Indonesia. Yakni, klausa dalam KK mereka, UU Penanaman modal, dan pasal pasal arbitrase yang terkandung dalam Bilateral Indonesia Treaties (BITs) dan/atau Multilateral Invesment Treaties (MITs) yang dibuat pemerintah Indonesia dengan Negara "asal" masing masing operator pertambangan asing.

    Meski demikian, operator pertambangan asing tidak dapat menuntut berdasarkan ketiga argument di atas karena operator asing tidak dapat menuntut arbitrase berdasarkan klausa arbitrase di KK atas adanya aturan hukum diluar kontrak karya yang bersangkutan. Arbitrase hanya dapat dilakukan jika terdapat pelanggaran terhadap pasal pasal dalam KK yang bersangkutan.

    Selain itu, setiap KK yang ditandatangani sejak 1974 memuat pernyataan yang persis atau serupa dengan pernyataan dibawah ini yang ditujukan kepada operator pertambangan: "operasi operasi (yang dilakukan oleh operator pertambangan) harus sesuai dengan hukum dan peraturan per undangan mengenai perlindungan lingkungan hidup" Pasal ini diterima oleh operator pertambangan asing di mana mereka diwajibkan secara terus menerus agar operasinya memenuhi semua hukum dan peraturan perundangan mengenai lingkungan hidup.


 

Jaminan Kompensasi

    Semua BIT dan MIT di mana Indonesia menjadi pihaknya menjamin agar pemerintah Indinesia memberikan kompensasi kepada investor asing jika pemerintah Indonesia mengambil tindakan "setara dengan" , "berbobot sama dengan" atau "memberikan dampak yang sama dengan" penghilangan hak.

    Operator tambang asing tidak akan berhasil mengklaim berdasarkan MIT atau BIT yang menjamin adanya kompensasi bagi penghilangan hak secara tidak langsung karena pelarangan penambangan terbuka di hutan lindung tidak dapat dianggap sebagai penghilangan secara tidak langsung hak investasi mereka.

    Dalam banyak kasus, hak hak operator tambang asing untuk beroperasi akan selalu kena aturan lingkungan dan social yang diberlakukan pemerintah Indonesia demi kepentingan public termasuk larangan penambangan terbuka di hutan lindung. Operator tambang asing tak dapat mengklaim mereka terkena efek negative ketika pemerintah memberlakukan pelarangan pertambangan terbuka di hutan lindung.

    Sebagaimana di bahas di atas, setiap KK yang ditandatangani sejak pertengahan 1970-an memuat pasal pasal yang mengharuskan operator tambang asing mengoperasikan tambangnya sesuai hukum dan peraturan lingkungan yang berlaku. Ini berarti KK mewajibkan operator tambang asing menambang dengan cara cara yang sesuai dengan hukum dan peraturan di Indonesia.

    Karena itu ketika DPR memberlakukan pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan, DPR tidak menghilangkan hak hak yang telah diberikan kepada operator tambang asing berdasarkan KK.


 

Wewenang Pemerintah

Dalam pasal 38 ayat(4) UU Kehutanan, operator tambang asing juga tak dapat mengajukan arbitrase dengan klaim bahwa pemerintah Indonesia melanggar BIT dan/atau MIT yang menjamin adanya perlakuan sama dan setara karena pelarangan tersebut dalam lingkup dan wewenang pemerintah Indonesia. Dikeluarkannya Perpu no I/2004 yang akan ditindak lanjuti dengan Keppres yang akan memberikan izin kepada 13 perusahaan untuk menambang (secara terbuka) di hutan lindung justru akan membuka peluang bagi tuntutan arbitrase terhadap pemerintah karena pemerintah tidak memberikan perlakuan yang sama kepada perusahaan tambang lain (total 158 perusahaan menuntut penambangan terbuka di hutan lindung). Akan timbul pertanyaan mengapa hanya 13 saja yang diizinkan.

    Dikeluarkannya Perpu no I/2004 adalah akibat ancaman operator pertambangan asing yang didukung penuh pemerintah mereka. Sungguh sangat tidak patut; Suatu bangsa berdaulat mau begiru saja tunduk pada ancaman entitas asing yang mau ikut campur urusan domestic suatu Negara, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak.

    Pemerintah Indonesia seharusnya tak membiarkan ketidak patutan operator tambang asing mempengaruhi kebijakan domestik pemerintah Indonesia melalui ancaman arbitrase, apakagi mereka tak berhak mengajukan. Mereka tidak memiliki hak khusus yang membolehkan mereka begitu saja mengancam untuk membangkrutkan pemerintah Indonesia jika kepentingan mereka tidak diutamakan.

    Fakta bahwa operator tambang asing tidak juga mengajukan gugatan walaupun sudah hampir lima tahun larangan penambangan terbuka dihutan lindung diberlakukan menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sangat paham bahwa mereka tidak berpeluang berhasil di arbitrase.


 

Indonesia rugi

Kontrak karya Indonesia dengan Freeport hanya memberikan keuntungan 2 persen. Dampak terhadap berlangsungnya kegiatan eksplorasi Freeport di Papua, antara lain telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan marjinalisasi hak hak rakyat Papua, termasuk kesewenang- wenangan angkatan bersenjata yang disewa perusahaan raksasa itu terhadap rakyat.

    Menurut pengamat pertambangan Kurtubi, kontrak karya menjadi batu sandungan utama mengingat model tersebut menjadikan Negara dalam posisi lebih lemah dibandingkan dengan korporat. Model ini di dunia perminyakan juga sudah tidak dipakai lagi sejak 1960-an. Model kontrak karya berkonsekwensi kekayaan alam hilang dan royalty yang diperoleh Negara hanya 2 persen, Karena itu Kurtubi mengusulkan kontrak karya dicabut.

    Beberapa kalangan berpendapat, ketidak beranian pemerintah menyetop model kontrak karya akan membuat Indonesia semakin miskin. Belum lagi dampak social ekonomi termasuk muncul nya berbagai penyakit dimasyarakat dilingkungan pertambangan. Kekayaan alam yang di eksplorasi pun seringkali tidak di ketahui persisnya karena control yang lemah. Pemerintah sering percaya dengan apa yang dilaporkan oleh perusahaan.

    Dalam kaitan tersebut, sementara kalangan berpendapat bahwa diperlukan keberanian para pemimpin Negara untuk menghentikan model kontrak karya. Kontrak karya bukanlah sesuatu yang suci tak dapat diubah lagi sehingga dalam kaitan ini Presiden sebagai kepala Negara dan pemerintahan bisa meng evaluasi kembali semua kontrak karya di Indonesia. Semoga. (Marulak Pardede, ahli peneliti utama bidang Hukum pada BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI, kompas 30 mei 2013).


 


 


 

Jumat, 07 Juni 2013

Kabinet Tape


 

Dalam filsafat jawa Suryo Mentraman, prinsip hidup mulur mungkret (luwes,lentur seperti karet) memiliki nilai positif dan keistimewaan bahkan dianggap menjadi salah satu ciri jati diri orang jawa. Namun, dalam pergaulan masa kini, prinsip hidup itu mendapat tambahan makna negative sebagai sikap hidup yang tidak tegas, plin plan dan lembek.

    Mungkin makna terakhir itu pula yang dapat kita sematkan pada Presiden SBY dan kabinetnya, setidaknya dalam soal subsidi kenaikan harga BBM. Mulur mungkret ! Masyarakat pun menderita karena ketidak jelasan itu. Presiden yang sebenarnya oleh UU memiliki kewenangan itu, bahkan di dorong oleh Parlemen, malah justru menampik wewenangnya dan justru balik melempar bola ke DPR.

    Sebagai striker, bola yang sudah di depan gawang - - berlagak tiki taka - - malah di kembalikan ke pemain tengah. Lalu gol nya kapan? Tak terciptanya gol-gol dalam proyeksi, tujuan serta misi Negara dan bangsa saat ini - - terutama untuk kesejahteraan dan masa depan rakyat - - oleh banyak kalangan dianggap akibat (kelemahan) SBY ; peragu, tidak tough, dengan karakter yang lembek seperti tape.

    Karakter kabinet seperti yang tergambar di atas akhirnya melahirkan pemimpin pemimpin yang berprofil seperti tape; bermula dari singkong yang keras lalu lunak dalam keragian, dari UU yang tegas menjadi lunak dalam kebijakan,praksis, bahkan dirinya sendiri. Mudah mengasihani diri sendiri dan menebar iba kepada publikuntuk profit simpati. Itulah yang diperlihatkan SBY saat dahulu ia memamerkan ancaman teroris yang "konon" mengarah padanya. Entah jika ia hidup seperti Presiden Soekarno yang lebih dari 50 kali - - atau Yasser Arafat yanglebih dari 100 kali - - mendapat ancaman pembunuhan.

    Situasi serupa terjadi pada heboh ujian nasional. Mendikbud M.Nuh, dalam sebuah laporan media massa terkemuka seperti mengadu dan memelas kepada bosnya SBY ; "sudah seminggu ini saya tidur Cuma tiga jam sehari"

    Sang Presiden merespons keluhan anak buahnya itu dengan gaya khas nya "adik baru sekali ini saya sudah delapan tahun" Lho, mengapa Ia dulu ngotot ikut rebutan jadi Presiden?

    Saya kira profil atau karakter pemimpin seperti ini jadi acuan mereka yang dipimpin. Di mana-mana! Yang penting, menjadi pejabat public itu sukses berkelit dari kesalahan , tidak jeblok banget rapornya. Prestasi sedikit di promo habis habisan. Pengorbanan diri di besar besarkan, pragmatisme murahan jadi pedoman.

    Itulah yangh menggejala belakangan ini, ketika masa jabatan tak banyak bulan lagi. Sementara harapan kedepan masih kuat Ia gantungkan. Retorika yang dahulu adalah seni keindahan bahasa dan adekuasi argumen kini tinggal busa dari sebuah opera politik murahan.


 

Gagal manfaatkan momentum

    Saya kira potret mediokratik cabinet "tape" kita di atas berkolerasi dengan penurunan peringkat yang di buat standartd & poor"s (S&P). Juga kritik dari lembaga pemeringkat lainnya , Moody"s Investors Services (MIS), yang diributkan kalangan pejabat dan elite ekonomi akhir-akhir ini. Betapapun, sebenarnya kita bisa tak peduli dengan peringkat peringkat tendensius S&P dan MIS itu. Kritik yang mereka namun tetap bisa direnungkan secara positif. Terutama, mengapa pemerintahan SBY dianggap gagal memanfaatkan momentum, antara lain sikap mulur mungkretnya dalam persoalan subsidi BBM.

    Kecepatan pembangunan, katakanlah dalam laju pertumbuhan rata-rata 6 persen dalam lima tahun belakangan gagal dimanfaatkan untuk terciptanya semacam lompatan atau percepatan yang mampu mengakselerasi pembangunan ketingkat tinggi seperti Korea Selatan pada 1970-an, Malaysia dan China pada 1980-an, lalu India pada 1990-an. Mereka dianggap sukses memanfaatkan momentum itu untuk mencapai posisi keekonomian yang dihargai dunia belakangan ini.

    Posisi itu dalam standard material global saat ini jadi dasar eksistensi sebuah bangsa atau Negara. Ia memberi pengaruh hampir di semua sector dan dimensi kehidupan local dan global. Menguatnya pengaruh India, China, Brazil, Korea selatan hingga Afrika Selatan juga karena di hela oleh sukses itu. Dampaknya pun positif pada diplomasi internasional, peran regional, hingga soal olahraga dan kebudayaan.

    Bahkan India, seperti mendapat surplus tambahan saat AS tak mengganjal komunitas internasional untuk mengecam proyek pengembangan dan percobaan senjata nuklirnya. Setidaknya jika dibandingkan dengan Iran, yang berkali-kali tertimpa embargo. Termasuk peluang India, walau tipis untuk menjadi salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB, sebagaimana Jepang, Brazil, dan Afrika Selatan.

    Indonesia tentu, jangan dulu ber angan-angan memiliki senjata nuklir, apalagi menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, sebagaimana bursa para diplomatnya. Bukan hanya penolakan eksternal pasti datang membanjir, hambatan internal pun masih terlalu sesak untuk bisa di atasi.

    Indonesia dalam realitas komparatif di atas tercipta, antara lain, akibat dari "cabinet tape" yang lembek dan asam manis tadi. Kabinet yang males-malesan menjalankan misi dan program program kebijakannya. Sebab, memang tak ada sanksi yang keras dikenakan pada kegagalan, bahkan penyimpangan.

    Dari puncak kuasa hingga dataran bangsa, kita kian tidak menyadari betapa kita sesungguhnya telah sedikit demi sedikit meninggalkan, bahkan menghianati cita-cita dan dasar di mana republic ini didirikan. Apa yang dahulu lebih sekarang kurang. Yang dahulu unggul sekarang terbelakang, yang dahulu dipelajari orang kini kita yang belajar dari orang, dulu dikagumi, kini kita berduyun duyun mengagumi, dan apa yang dahulu kita banggakan, kini kita sesalkan. Dari pantai garam, singkong, bulu tangkis hingga sepakbola.


 


 

Krisis Mendasar

    Kini bukan hanya ketertinggalan, sebenarnya kita sudah mencapai tahap yang kritis dari perkembangan. Bukan hanya karena hukum yang terkebiri, politik yang terkotori, atau bisnis yang padat korupsi, tapi juga pada soal pendidikan, lingkungan dan energy yang sudah lampu merah tanpa kita sadari. Laporan khusus Kompas
tentang energy 3 mei 2013, antara lain menggambarkan situasi itu.

    Ada semacam pembiaran menurut laporan itu, bahkan justru penciptaan regulasi yang secara licin melegalkan permainan licik dari para pemain atau oligarki politik-bisnis lama (mereka yang sudah
bermain sejak awal orde baru)
untuk mengisap energy
dan mineral dalam darah bangsa ini. Permainan yang membuat kondisi bisnis energy kita - - dengan porsinya yang signifikan
dalam ekspor, hampir 50 persen - - kini semakin tertekan, dan memberi kita contoh terbaik bagaimana tidak ada kedaulatan pada diri kita sendiri

    Semua persoalan di atas tentu saja tidak bisa diselesaikan oleh cabinet lembek dan medioker di atas. Pelajaran dari berbagai Negara memperlihatkan, bahwa Eropa yang begitu tangguh model dan system politik maupun pemerintahannya mengalami banyak guncangan. Bonus geografis, demografis, hingga kebudayaan yang kita miliki tidak mungkin dapat di maksimalkan oleh para pejuang yang Cuma cari senang bukan cari menang.

    Karena itu cukuplah sudah pemerintahan yang "Cuma manis dibibir ini" yang sibuk menggali puji-puji luar negeri tapi lupa membawa diri. Kita membutuhkan pemimpin yang kuat, bervisi dan berani ambil resiko. Mumpung masih ada waktu menjelang Pemilu 2014, seluruh bangsa harus siap dengan munculnya calon pemimpin baru, yang bersih, jujur, terbuka, dan tidak mengasihani diri. (Radhar Panca Dahana, Kompas 27 mei 2013).

    

Sabtu, 01 Juni 2013

KERUSUHAN DI SURIAH, BUKAN KERUSUHAN SURIAH


Kiriman Husain Heryanto

Bismillah wa billah wa-l-hamdulillah,

Salam

Bagi mereka yang masih bingung memahami "kerusuhan di Suriah" (bukan "kerusuhan Suriah"), sebagaimana juga saya terkadang alami, artikel Dr. Kevin Barrett berikut mungkin bisa sedikit membantu kita untuk memahami kondisi dan konteks global. Seperti yang saya katakan berkali-kali, isu Suriah ini unik dan sulit dicerna oleh kebanyakan orang. Saya pernah diskusi di kampus hebat dengan 'mahasiswa hebat' tentang isu Suriah ini, hampir semuanya memuji "perjuangan mujahidin melawan pemerintah sekuler" dan semacamnya. Media massa mainstream telah berhasil merekayasa dan menciptakan 'realitas buatan'.  Dalam dunia 'hiperreality' sekarang ini, banyak orang yang tak bisa membedakan lagi mana realitas sejati dan mana realitas buatan.

Akan tetapi, sikap dan keputusan resmi yang diambil oleh Sayyid Hasan Nasrallah berjuang bersama rakyat/tentara/pemerintah Suriah merupakan sebuah isyarat yang sangat jelas bagaimana mestinya umat Islam bersikap. Pidato pemimpin Hizbullah pada 25 Mei lalu dalam peringatan Pembebasan Lebanon dari Israel selama lebih dari satu jam dengan sangat jelas memberikan alasan dan tujuan mengapa harus berdiri di samping rakyat/pemerintah Suriah saat ini.

Poin-poin penting yang disampaikan Sayyid Nasrallah itu adalah:
1. Kerusuhan di Suriah bukan konflik sektarian (dan harus disingkirkan kesan ini)
2. Sunni dan Syiah harus bersatu menghadapi kaum Takfiri yang didukung oleh AS-Zionis-Inggris-Perancis dan sekutu-sekutu Timtengnya ASaudi-Qatar-Turki.
3. Kejatuhan pemerintah Suriah saat ini oleh Takfiri akan menjadi bencana bagi rakyat Suriah, Lebanon, Palestina (dan saya kira juga bencana bagi seluruh umat Islam di dunia termasuk Indonesia....itu bisa menjadi pemicu lahirnya Sampang-sampang lain di seluruh wilayah negeri ini).
4. Perlawanan terhadap Takfiri merupakan bagian dari perlawanan terhadap Zionis-Israel dan Barat.
5. Persatuan dan persatuan Islam harus selalu digalakkan
(di Irak, yang mayoritas Syiah dengan pemerintahan Syiah, diadakan Shalat Jumat persatuan di mana Sunni dan Syiah shalat bersama...Imamnya justru ulama Sunni...ini menunjukkan kebesaran jiwa ulama Syiah...dan memang harus demikian.. sudah nasib dan tugas Syiah utk terdepan dalam persatuan Islam sebagaimana dicontohkan oleh para Imam ma'shum)

Nah, artikel berikut ikut memperjelas konteks global yang mestinya para aktivis pahami. "Memahami zaman" adalah salah satu syarat niscaya pemimpin Islam, termasuk kaum intelektual dan aktivis tentunya.

Dalam bahasa filsafat, "waktu" bukanlah dimensi luar, tetapi bagian inheren dari realitas itu sendiri.

Wassalam
Husain


http://www.presstv.ir/detail/2013/05/30/306177/banksters-attack-syria-to-enslave-america/




BANKSTERS ATTACK SYRIA TO ENSLAVE AMERICA

By Dr. Kevin Barrett


Israel bombs Syria and threatens Iran. Russia moves its warships into the Mediterranean, and furnishes Syria with advanced anti-aircraft weapons. Hezbollah defends Syria against al-Qaeda. Pro-Israel US Senators like John McCain join forces with al-Qaeda.

What is really going on here? Who is fighting whom, and why? Will Syria become the flash point for World War III?

Is the West attacking the Islamic world in a “clash of civilizations”? Then why are the Israeli and American governments backing al-Qaeda in Syria?

The old narratives no longer make sense.

The real war isn't between nations, civilizations, or religions.

The real war is the bankers' war to conquer the entire world.

In his book Confessions of an Economic Hit Man, John Perkins explained how it works. The bankers use their control of currency to impose debt slavery on individuals as well as nations. They force nations to accept loans that are impossible to pay back - by design. The bankers use the resulting bankruptcy and/or “restructuring agreements” to seize control of those nations and their resources.

If a nation's leader refuses to obey the bankers - as in the cases of Venezuela and Iran - that leader, or nation, is put on the bankers' “hit list.” That nation becomes a target for regime change, whether by assassination, coup d'état, a bought or stolen election, or outright invasion.

The bankers use the military and intelligence services of the nations they control to attack and subvert the nations they do not control. They also use their own private armies and intelligence services to subvert all nations.

Thus the war on Syria is not an American war on Syria, an Israeli war on Syria, an al-Qaeda war on Syria, a Qatari war on Syria, a Turkish war on Syria, or a Saudi war on Syria. It is a bankers' war on Syria.

The biggest international banking families exert a relatively high degree of control over the US, Israel, Qatar, Turkey, and Saudi Arabia. They have only moderate influence in Syria, Russia, and China. And they have even less influence in Iran. So they are mobilizing their assets in hopes of achieving regime change in Syria. Iran, Russia, and China are next on their hit list.

The bankers are trying to create the first truly global empire. As John Perkins says, their biggest weapon is usury; military force is secondary. They first try to buy a country; if the leadership is not for sale, they try to assassinate or overthrow the leader(s); and if all else fails, they send the US military to invade the target country.

To create their global slave empire, the bankers must also control communications. If their plans were widely-known, people of all nations would revolt.
David Rockefeller spoke the truth at the 1991 Bilderberg meeting in Baden, Germany: "We are grateful to the Washington Post, The New York Times, Time Magazine and other great publications whose directors have attended our meetings and respected their promises of discretion for almost forty years. It would have been impossible for us to develop our plan for the world if we had been subjected to the lights of publicity during those years. But, the world is now more sophisticated and prepared to march towards a world government. The supranational sovereignty of an intellectual elite and world bankers is surely preferable to the national auto-determination practiced in past centuries."

Today, the only major media operations in English that are not owned, controlled, or duped by the bankers are Press TV and Russia Today. Apparently, Iran and Russia do not appreciate being on the bankers' hit list. And they are learning how to fight back - by telling the truth to the whole world. No wonder the banker-owned US and Europe have done their best to shut down Press TV.

The people of the English-speaking world in general, and the American people in particular, need to wake up to the fact that the bankers' war on Syria (and later Iran, Russia, and China) is also a war against them. The bankers are not prejudiced. They want to enslave everyone, regardless of race, nationality, or creed.

Here in the USA, the bankers enslave young people through student loans. If you want access to higher education in the US, and you are not rich, you have no choice but to take out student loans. By the time you graduate, you will be $20,000, $50,000, or even $100,000 in debt. And that debt will keep right on accumulating interest. You will spend half your working life struggling to pay off your loans - and providing the bankers with handsome profits.

The student loan system is a form of indentured servitude. Like indentured servants, who were forced to work as slaves for seven years to pay the cost of their ticket to America, college graduates in America find themselves the slaves of the bankers. Like indentured servants, American college students seek a ticket to freedom and opportunity; and like indentured students, the price of that ticket is years of slavery.

The bankers are achieving ever-higher degrees of control over the USA. They now own both major political parties and all major US media outlets.

But they are afraid of the American people more than any other people. The USA has the world's most powerful educated middle class. If it awakens, it could overthrow the bankers and stymie their plans to eliminate the Constitution, national sovereignty, and the middle class itself.

The Syrian people and the American people are struggling against the same enemy, though few of them realize it.

It is time for people of good will in all nations to unite against the tyranny of the global oligarchs. If the world fails to rise up in revolt, we will all find ourselves working on the bankers' global slave plantation.


__._,_.___

__,_._,___


2Unlike · · ·