Selasa, 13 Oktober 2009

Mempertahankan Politik Uang: Memperburuk Citra Golkar


Oleh: Abdul Muin Angkat

Kenapa penampilan seorang Ketua umum Partai Golkar terpilih tidak ada greget ketika pimpinan sidang Fadel Muhammad pada dini hari kamis di ANTEVE memberi waktu untuk menyampaikan sambutan ? Sambutan Abu Rizal Bakri yang pakai teks rasanya hambar saja ketika beliau meng klaim bahwa kemenangan Golkar adalah kemenangan untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia ? Ya memang beliau bukan orator yang mampu menyihir seluruh peserta Munas Golkar di Pekan baru tersebut, akan tetapi mungkin suasana kebatinan pemilihannya sudah dinodai 'politik uang' yang disinyalir menjadi ajang untuk meraih suara dukungan. Mudah mudahan seperti apa yang dikatakan oleh Yuddy Chrisnandi salah seorang kandidat Ketua umum di harian kompas tanggal 7 oktober kemarin - - - semoga ada seorang pimpinan DPD yang mau mengeluarkan testimony pembelian suara tersebut.

Sebuah partai politik yang telah berkuasa selama pemerintahan Orde baru lebih 32 tahun, tentu sulit bagi dirinya untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap Pemerintah. Mereka selalu ada di dalam kekuasaan duduk sebagai Menteri di dalam Kabinet, termasuk didalam cabinet abu abu 2004 s.d 2009.

Maka ketika didalam Pidato pertanggung jawaban ketua umum Partai Golkar Yusuf Kalla mengatakan bahwa arah dari Partai Golkar akan dipersiapkan untuk menjadi partai oposisi yang kritis objektif dan konstruktif, agar terjadi 'check and balances', maka para petinggi Golkar banyak yang 'kebakaran jenggot' tidak terkecuali Presiden SBY ikut memberi komentar bahwa sikap Ketua umum Golkar menyalahi komitmen yang dibangun karena masih ada 10 hari tersisa umur cabinet sampai kepada pelantikan Presiden RI periode 2009 sd 2014. Padahal yang dimaksud YK adalah Partai Golkar dibawah Ketua umum yang baru.

Bukankah di dalam cabinet Presidentil tidak lazim digunakannya sikap oposisi? Seandainya manuver tersebut hanya sebuah 'move' agar terjadi deal politik masuknya beberapa kader Golkar di dalam cabinet sekarang kita pun mahfum, karena dengan Munas Golkar yang dipercepat tentunya agar posisi tawar 'sang ketua umum' dengan Presiden terpilih menjadi mungkin dan berpeluang. Dan seandainya pemerintahan SBY mau agar parlemen 'tidak gaduh' maka pengamannya adalah sebuah jabatan politik paling tidak satu atau dua jabatan menteri di cabinet mendatang.


POLITIK UANG

Ketiga calon ketua umum Partai Golkar tidak menampik adanya politik uang yang digelar di dalam Munas Golkar di Pekan baru baca, 'Ical, Tommy dan Yuddy bicara Politik & Duit' (Rakyat Merdeka , 8 oktober 2009). Aburizal Bakrie alias Ical mengatakan "meskipun itu terjadi, menurutnya, bukan menjadi jaminan kemenangan." Sementara Tommy secara jujur mengatakan; "Politik uang dalam pemilihan Ketua umum memang terjadi - - kurang etis mengatakan berapa berapanya".

Membaca kedua pendapat tersebut, sungguh kita sangat prihatin, bayangkan pada saat yang sama ratusan meter terjadi antri makanan di Padang untuk mendapatkan makanan akibat gempa yang meluluh lantakkan rumah rumah penduduk, sementara dengan kasat mata di sebuah hotel benbintang terjadi transaksi uang dengan hitungan puluhan hingga ratusan juta harga kolektif sebuah suara yang diperjual belikan agar mendapat dukungan menjadi Ketua umum Partai. Ini berarti apabila sebuah Propinsi mempunyai DPD sebanyak 30, maka kalikan saja nilai nominalnya 30 x ratusan juta , bahkan ada yang mematok 1 milyar untuk satu DPD? dan berapa Propinsi di Indonesia?

Mungkin frasa yang tepat untuk menggambarkan situasi ini adalah terselenggaranya 'bancaan' massal di sebuah 'mall raksasa' untuk bagi bagi duit, justeru dipertontonkan ditengah tengah kesengsaraan dan penderitaan anak bangsa yang sedang sibuk menggali tanah tanah longsor mencari mayat sanak keluarganya, nun di sekitar 700 s.d 800 km, hanya 8 jam perjalanan dari Pekanbaru ke Padang. Masih pantaskah seluruh Pengurus Golkar baik di pusat dan daerah menyandang nama "pemimpin Bangsa" dan selalu berbohong dan membodohi rakyat Indonesia? Bukankah mereka telah melanggar prinsip prinsip dasar dari Penjelasan UUD 1945, yang mengatakan bahwa para penyelenggara Negara harus menjaga moralitas dan tuntutan agar ber akhlak baik, mulia dan berbudi luhur sesuai tuntunan Pancasila sebagai Ideologi Negara? Tidakkah ini juga merupakan kewajiban partai partai politik juga?

Lengkaplah sudah penderitaan bathin rakyat Indonesia karena tidak satupun petinggi Partai yang secara tegas 'melawan' arus pragmatism, materialism yang melanda sendi sendi kehidupan organisasi terutama partai partai politik di Indonesia. Dengan 'pongahnya ' mereka mencari kekuasaan dengan menjual nama 'rakyat' , serta merta setelah kekuasaan mereka peroleh mereka malah meninggalkan rakyat. Ternyata sebutan antara 'penyelenggara negara' dan profiteurs politic hampir tidak ada perbedaan yang signifikan.


BUDAYA SINTERKLAS

Kehidupan Perpolitikan sejak Orde baru yang didominasi oleh Golkar dan seluruh Ormas pendukung tidak terlepas dari hubungan pusat dan daerah. Ketergantungan daerah terhadap pusat sudah sangat lama berlangsung dan sangat sedikit DPD yang mampu mandiri untuk 'survive' kalau tidak berkaloborasi dengan kekuasaan. Bagi daerah yang memenangkan 'Pilkada' jabatan ketua Golkar tentu dirangkap oleh Bupati atau walikota, dan masalah financial pengembangan dan pembiayaan Partai tentu tidak menjadi masalah yang berarti. Sama hal nya dengan di pusat, motif seperti ini tentu juga dilaksanakan dalam skala dan target yang lebih besar.

Kaloborasi antara 'pengusaha' ( baca; HIPMI) dan penguasa sudah lama di praktek kan di tubuh Ormas-ormas keluarga besar Golkar, lama sebelum menjadi Partai Politik, bermula dari idealism untuk membantu pengembangan organisasi sampai kepada bantuan infrastruktur. Pasca Orde baru di era Akbar Tanjung dimana pemilihan ketua umum tidak menjadi kewenangan Dewan Pembina , entah mengapa 'budaya' ini menjelma menjadi 'transaksi ' berdasarkan suara yang diraih. Demokrasi setengah tambah satu yang mengharuskan pemilihan berdasarkan suara terbanyak menjadikan forum Munas menjadi arena politik dagang sapi dimana 'suara' telah diperjual belikan secara nyata berdasarkan jumlah delegasi maupun 'perorangan'. Rasanya kurang 'afdol' kalau delegasi dari DPD tidak membawa 'sesuatu' dari pusat yang merupakan lembaga sinterklas untuk membangun Partai.

Masa transisi lepasnya 'partai golkar' dari genggaman politik dewan Pembina pasca Soeharto ditengarai menjadi awal berlangsungnya 'liberalisasi politik' di Indonesia dan Golkar adalah partai yang telah berhasil meng aktualisasikannya dan menjadi contoh buruk bagi partai lainnya. Tentu yang ikut 'bermain' disini adalah 'para pengusaha' yang jelas mempunyai hitungan matematik agar bisa menguasai sector politik demi kepentingan tertentu yang lebih besar. Cuma, Kalau dahulu 'para pengusaha' dijadikan 'back bond' untuk mendukung penampilan 'seorang pemimpin' baru yang merupakan kader partai, sekarang justeru 'pengusaha' itu sendiri yang tampil untuk dipilih menjadi pemimpin partai. Sayang nya untuk meraih ambisi kekuasaan tersebut selalu menggunakan 'politik machiavellis' tujuan menghalalkan segala cara.


PENUTUP

Dengan terpilihnya Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar salah seorang pengusaha sukses dan masih menjabat Menko Kesra sampai dengan 20 oktober 2009, tentu akan mempersiapkan diri lima tahun kedepan sebagai kandidat Capres pada Pemilu selanjutnya tahun 2014. Saya sungguh 'skeptik' apakah beliau masih mau dan 'sempat ' untuk membangun gedung Partai Golkar 25 tingkat atau mengisi dana abadi partai sampai triliunan rupiah seperti apa yang dijanjikannya? Dan atau apakah konsolidasi internal sungguh menjadi prioritas?

Mental dan moralitas para pimpinan partai, ketua ketua DPD sudah 'rusak berat' rasanya perlu direhabilitasi dengan adanya perubahan total agar dimunculkan pemimpin baru yang muda muda ,lahir dari kaderisasi yang diadakan sangat selektif dan mampu menghilangkan 'virus' money politic yang sangat merusak pembangunan demokrasi politik yang bermoral. Sebab apabila kecenderungan ini tidak segera diamputasi ini akan berakibat fatal bahwa Partai Golkar akan menjadi 'pabrik' lahirnya para pemimpin bangsa yang tidak bermoral, tidak mempunyai kepedulian sosial dan yang pada gilirannya akan menjual Bangsa ini kepada Neo Kolonialisme baru. Rakyat lah yang menentukan secara kritis apakah sebuah partai politik masih diberikan kesempatan hak hidup atau dicabut mandatnya dari bumi persada.