Sabtu, 13 Maret 2010

Sembilan Ketidak–Otentikan Yudhoyono

Kalam;
Merosotnya kepercayaan publik kepada SBY terutama pasca Pidato Presiden, yang secara langsung menanggapi Rekomendasi DPR RI yang memilih opsi C, secara gamblang dimentahkan, dengan mengatakan - -"bahwa keputusan politik hak angket tidak bisa dijadikan Bukti hukum - -sesuai UU no. 6 /1954." Secara awam bila kita menghubungkan dialog dan Tanya jawab, selama proses penyelidikan yang dilakukan Pansus DPR secara intensif selama kurang lebih enam puluh hari, maka isi pidato tersebut dapat kita kategorikan memihak opsi A, dimana bailout yang dilakukan oleh KSSK, adalah benar (dan tidak ada pelanggaran), akibat adanya krisis finansial yang berdampak sistemik.
Dengan perbedaan yang sangat mendasar antara pandangan Presiden dan DPR, maka sekarang yang terjadi adalah adanya jurang ketidak percayaan (political distrust) antara lembaga eksekutif dan legeslatif. Entahlah, apabila Surat dari DPR tentang hasil rekomendasi Pansus Hak Angket Bank Century bakal diterima Presiden dan sesuai dengan janjinya akan dipelajari kemudian, mungkin masih ada solusi baru agar gonjang-ganjing Politik di negeri tercinta ini berhenti. Mengapa seorang Presiden SBY berani berseberangan dengan DPR? Apakah karena adanya legitimasi kepemimpinan yang kuat didukung oleh lebih 60 % suara rakyat berdasarkan Pemilu Presiden?
Mungkin tulisan Eep Saefulloh Fatah dibawah ini, yang saya sadur dari harian Kompas, selasa 9 maret 2010 lebih memberi analisis yang terang benderang, seberapa kuatkah kepemimpinan SBY selama ini? (a.m.a).

Mengapa dalam beberapa bulan terakhir dinamika politik Indonesia berkembang dengan begitu mencemaskan? Beberapa kasus, seperti kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah serta Bank Century, tidak terkelola secara layak.
Ada banyak faktor yang terlibat dan ada banyak kemungkinan jawaban atas pertanyaan itu. Namun, salah satu factor yang berperan besar adalah absennya kepemimpinan yang kuat yang mampu menyelesaikan segenap urusan dengan tegas dan lekas.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belakangan ini tampil secara kurang meyakinkan . Sekalipun bukan penentu semua hal. Presiden berperan membuat sejumlah kasus berkembang menjadi meriam liar yang mengancam kita.
Sebagai warga Negara yang berhak memiliki harapan kepada pejabat public setingkat Presiden, saya menyaksikan Yudhoyono terancam oleh krisis kepemimpinan dan krisis otentisitas. Keduanya saling sokong membangun postur politik Presiden yang kurang meyakinkan.
Popularitas dan etika
Ada setidaknya Sembilan ketidak otentikan Yudhono. Pertama, pada awal masa kerjanya (2004), Yudhoyono menegaskan, "Saya tidak peduli pada soal popularitas." Nyatanya, ia amat sangat peduli pada popularitas sepanjang kepemimpinannya. Untuk kebijakan tak popular, sekalipun sangat diperlukan secara teknokratis, ia cenderung membiarkan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla maju pasang badan. Untuk kebijakan popular, ia lekas-lekas memasang badannya sendiri.
Kedua, ditengah ramainya rapat Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century, Yudhoyono mengatakan, "Demokrasi memerlukan kesantunan." Nyatanya, ia biarkan ketidak santunan dilakukan secara permanen, oleh politisi partainya sendiri, Partai Demokrat, seperti diperlihatkan Ruhut Sitompul. Padahal, kendali atas partainya itu hampir sepenuhnya ada di tangan Yudhoyono.
Ketiga, menghadapi berbagai tantangan terhadap pemerintahannya, ia kerap menegaskan bahwa ia tidak perlu reaktif terhadap pengkritiknya. Nyatanya, ia sangat rektif terhadap banyak kasus. Presiden Yudhoyono kerap merespons secara kurang matang berbagai persoalan.
Keempat, Yudhoyono kerap mengajak masyarakat untuk bersandar pada etika. Nyatanya, sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan ia kerap melakukan pelenggaran etika yang sangat elementer, terutama dengan membiarkan pejabat dibawah kewenangannya untuk bertanggung jawab atas kebijakan eksekutif yang pembuatannya jelas-jelas melibatkan kewenangan dan tanggung jawab presiden. Dalam kasus Bank Century, pidato Yudhoyono selepas Rapat Paripurna DPR yang menegaskan bahwa dirinya bertanggung jawab adalah sebuah sikap tegas dan kasip.

Mafia peradilan
Kelima, ditengah maraknya kasus Bibit-Chandra, Presiden menyerukan "Ganyang mafia peradilan." Nyatanya ia tidak melakukan langkah sigap dan tegas selepas terungkapnya mafia peradilan melalui penayangan rekaman percakapan pengusaha Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Bahkan, ketika namanya beberapa kali disebut dalam percakapan itu, ia bergeming seolah-olah memandang itu bukan persoalan.
Keenam, masih segar dalam ingatan kita, Yudhoyono menangis mendengar laporan wakil korban luapan lumpur Sidoarjo. Nyatanya, ia tidak membuat langkah yang tegas dan lekas untuk menyelesaikan kasus luapan lumpur ini.
Ketujuh, Yudhoyono kerap menandaskan bahwa langkah-langkah yang diambilnya adalah langkah yang matang, penuh pertimbangan, terukur, dan saksama. Nyatanya, ia sering berputar-putar seperti orang tersesat serta terkesan ragu-ragu dan lamban. Contoh paling krusial dan actual soal ketidak matangan langkahnya adalah ketika kantor kepresidenan mempermalukan Presiden, secara tandas dalam kasus batalnya pelantikan dua wakil menteri (Anggito Abimanyu dan Fahmi Idris). Sementara penanganan kasus Bibit- Chandra dan Bank Century menggaris bawahi keragu-raguan dan kelambanannya.
Kedelapan, Yudhoyono kerap menyebut perlunya pemerintahan yang bekerja secara professional berbasiskan kompetensi. Nyatanya, Kabinet Indonesia bersatu II - - sebagaimana dikritik banyak sekali kalangan - -gagal mencerminkan itu.
Kesembilan, Susilo Bambang Yudhoyono kerap menyebutkan bahwa reformasi birokrasi adalah salah satu agenda kerja yang hendak ia prioritaskan dan segerakan dalam termin kedua pemerintahannya. Nyatanya, ia menjadi Presiden Indonesia era reformasi yang paling 'sukses' menambunkan birokrasi pemerintahan. Bagaimana public bisa berharap lebih jauh jika agenda reformasi birokrasi yang elementer ini saja gagal diwujudkan
Itulah catatan saya. Boleh jadi anda bertanya mengapa saya seperti tukang keluh berhadapan dengan Presiden; mengapa saya senang benar mengkritik Yudhoyono. Saya mengkritik Yudhoyono bukan lantaran membencinya, melainkan karena ia Presiden saya.
Yudhoyono adalah seorang pejabat public. Sebagai bagian dari public, saya berhak untuk berharap kepadanya. Adalah tugas saya untuk membantunya dengan mengingatkan hal-hal yang belum tercapai. Sebab, disekeliling Yudhoyono sudah terlalu banyak orang yang terus menerus mencatat dan melaporkan (hanya) keberhasilannya.

Catatan tentang penulis:
(Eep Saefulloh FatahCEO Polmark Indonesia, Political Marketing Consulting).


Kamis, 04 Maret 2010

“Kualitas” seorang Marzuki Alie Ketua DPR-RI, dalam memimpin Sidang Paripurna.


Oleh : Abdul Muin Angkat
Hiruk pikuk Rapat Paripurna DPR RI tgl 2 Maret 2010 menyebabkan kekisruhan didalam Sidang ditambah denganidalam Sidang dan Demo anarkis di luar sidang Gedung dimana 'water canon' disemprotkan ke massa Demonstrasi dan tembakan-tembakan dari Polisi yang diarahkan keatas untuk menghalau para Demonstran. Bentrok itu tak terhindarkan karena semula Para Demonstran yang berjumlah sekitar 500 sd 1000 orang dari berbagai elemen itu, dihalangi masuk gedung oleh barisan pagar betis polisi. Pada akhirnya mahasiswa terprovakasi, melempari para petugas dengan batu dan menarik kawat penghalang gedung.
Ketika Ketua Pansus Century selesai membacakan hasil Penyelidikan yang menawarkan dua opsi ke Sidang Paripurna, secara langsung muncul interupsi bertubi-tubi yang disampaikan oleh Floor; pertama mengusulkan agar dibagikan hasil Pansus kepada anggota agar ada waktu utk mendalaminya. Kedua, jadwal yang dua hari di persingkat saja dengan menghilangkan acara pembacaan pendapat fraksi karena sudah dilaksanakan pada Rapat Pleno Pansus beberapa hari sebelumnya. Menurut Bambang Susetyo berdasarkan usulan Pansus yang telah disampaikan sebelumnya maka Sidang Paripurna yang tadinya di agendakan dua hari bisa diselesaikan satu hari saja. Hal itu disetujui oleh Akbar Faisal, Maksudnya Sidang bisa memilih opsi yg ditawarkan Pansus dan segera mengambil keputusan.
Interupsi berlanjut, dan salah seorang dari fraksi PKB ibu Lily Wahid yang sampai berteriak tidak diberi kesempatan untuk berbicara oleh pimpinan Sidang. Secara langsung Pimpinan memberi penjelasan bahwa telah ada kesepakatan di Forum Bamus bahwa agenda persidangan hari ini hanya dua acara saja yaitu pelantikan wakil ketua DPR yang baru, dan pembacaan hasil Pansus; dengan serta merta Pimpinan mengetuk palu mengahiri Persidangan Paripurna, dan langsung berdiri, ingin meninggalkan tempat, padahal hujan interupsi masih berlangsung tanpa di respons.
Hal inilah yang memicu ketidak puasan anggota dan salah seorang menghampiri meja pimpinan dan memprotes keras, sambil memukul meja pimpinan. Setelah itu, pimpinan sidang dikerumuni, dan pimpinan diam terpaku sebelum akhirnya pimpinan digiring meninggalkan ruangan. Penutupan sidang paripurna secara sepihak sangat mengejutkan, dan pimpinan sidang diteriaki, agar wkl ketua mengambil alih pimpinan dan melanjutkan persidangan. Akhirnya pk 12.45 pengumuman 3 wkl ketua bahwa mereka akan mengadakan rapat khusus. (Ternyata 3 wakil ketua, pada konferensi Pers pk 15.00 di Metro, menegaskan bahwa Rapat khusus batal, karena tidak disetujui oleh ketua DPR).

Etika Persidangan
Setiap aktivis organisasi mahasiswa pernah mengikuti latihan dasar kepemimpinan yang di dalamnya diberikan pengenalan memimpin persidangan dan etika persidangan. Hal esensial yang harus dilakukan dengan bijak adalah bagaimana menjaga 'palu' agar tidak pernah dilakukan sewenang-wenang karena ia akan menjadi otoriter. 'Palu' adalah symbol atau bingkai dan asesoris demokrasi, yang merupakan pilar penting dimana seorang pimpinan sidang yang berfungsi sebagai moderator ,penjaga lalulintas pembicaraan wajib bersikap 'tengah' dan adil memberikan dan mengatur arus pembicaraan. Di dalam organisasi modern dan bergengsi seperti DPR RI,tentu kapasitas dan kompetensi seorang pemimpin dituntut lebih tinggi, performance yang lebih elegan dan berwibawa, mempunyai sikap bijaksana, menguasai ilmu pengetahuan dan mempunyai visi kedepan. Kalau di dalam sebuah pelajaran awal seorang pemimpin tidak mampu untuk menjaga 'palu' demokrasi, maka asas musyawarah dan mufakat yang termaktub didalam Pancasila sejak tahun 1945 akan terdistorsi dan terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu dan ditengarai berbau 'vested interest' menyembunyikan sesuatu maksud lain, yang sukar dimengerti.
Bukankah dalam Tata tertib persidangan telah diatur, bahwa Rapat Paripurna lebih tinggi kewenangannya dari Rapat Badan Musyawarah?(pasal 221) Mengapa dengan alas an bahwa agenda rapat telah disepakati oleh Bamus, menjadi alasan untuk menutup persidangan, sementara di floor interupsi bertubi-tubi ingin diberi hak berbicara? Bukankah usul perubahan agenda acara masih bisa diatur dan disesuaikan apabila ada usul perubahan?(pasal 255). Dengan kasat mata pemirsa dapat melihat gaya 'otoriternya' seorang pimpinan Sidang dan atau sekaligus melihat 'kebingungan' yang tiada tara karena mungkin belum pernah menghadapi situasi yang begitu gemuruh didepan sekitar 500-an anggota DPR, dalam suatu persidangan yang membutuhkan kepiawaian, kewibawaan, kecermatan, rasa keadilan dan jiwa democrat. Alangkah sayangnya suatu perhelatan demokrasi yang begitu mulia dan strategis, yang membutuhkan keputusan yang tepat dan cepat( baca; efisien) dirusak oleh seorang pemimpin sidang yang tidak aspiratif dan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai Demokrasi.

Mekanisme persidangan
Pimpinan sidang seyogianya bersifat kolektif-kolegial dan mempunyai hak yang sama untuk memimpin sidang.Tentang hal ini sudah disampaikan oleh peserta sidang tapi dari dua sesi yang dibuka yaitu sesi pertama dengan 14 penanya dan sesi dua dengan 20 penanya tidak pernah di jawab apa yang menjadi pokok masalah dan juga tidak ada rumusan dari pimpinan sidang. Apakah dimungkinkan untuk melakukan pergantian pimpinan sidang secara bergilir? Alasan pergantian tersebut secara jelas dinyatakan agar supaya tidak adanya kesalahan seperti pada sidang hari pertama, karena kurang akomodatifnya pimpinan sidang menjalankan fungsi nya guna merespon interupsi peserta sidang.
Satu hal yang tidak lazim adalah disela-sela masih berjalannya interupsi, pimpinan sidang menyela dengan mengatakan bahwa perlu dibacakan agenda rapat sesuai dengan Tata Cara pengambilan keputusan sesuai keputusan no 1/2009, pasal 170 ayat 2, yaitu 1) pandangan akhir fraksi, 2) Pengambilan keputusan. Apakah seorang pimpinan sidang ketika membuka persidangan bisa lupa untuk membacakan materi agenda acara? Mengapa para wakil ketua tidak ada yang mengingatkan hal tersebut? Sama halnya ketika sesi kedua berjalan dimana para peng interupsi sedang bergiliran ingin menyampaikan, tanpa meminta persetujuan peserta sidang langsung memotong dan memberi waktu kepada masing-masing juru bicara untuk menyampaikan pandangan fraksi; padahal justeru penjelasan terhadap usul agar tidak diperlukannya pandangan akhir diabaikan, atau usul-usul dalam interupsi tidak dikerucutkan dan diberikan rasionalisasi dan bila diperlukan dilemparkan ke floor untuk meminta solusi dan akhirnya di putuskan oleh pimpinan sidang.
Satu hal lagi yang perlu di-klarifikasi adalah mengapa konotasi interupsi tidak diletakkan secara proposional? bukankah interupsi berarti penyelaan atau pemotongan pembicaraan ketika pimpinan sidang sedang berbicara, tetapi sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu alasan tertentu karena adanya perbedaan pandangan? Akan tetapi yang terjadi adalah seorang peserta meng-interupsi (baca; memutus atau menyela) hanya karena ingin diberi waktu untuk berbicara.Oleh sebab itu diperlukan kecepatan seorang pimpinan sidang membaca situasi untuk memberikan waktu agar peserta di akomodir menyampaikan pendapat,melalui beberapa sesi yang dibuka untuk itu. Hal ini untuk menghindari hujan interupsi yang mengganggu jalannya persidangan. Sebab, penggunaan interupsi yang proporsional terjadi ketika seorang pembicara mengemukakan idenya apabila terdapat benang merah persamaan atau perbedaan dengan pendapatnya terdahulu. Dalam posisi ini, seseorang lalu memohon izin meng-interupsi, agar diberi waktu untuk menjelaskan kembali benang merah tersebut.
Apa yang terjadi pada Sidang Paripurna kemarin? Interupsi dijadikan kesempatan untuk berbicara dengan gagasannya tanpa ada sangkut paut dengan pembicaraan awal. Mengapa pimpinan sidang tidak membuka saja sesi untuk mendengarkan pendapat para peserta? Untunglah perubahan cara memimpin sidang pada hari kedua telah terjadi perubahan sehingga hasil akhir Drama Century mebawa happy ending.

Ketegasan dan Integritas
Seorang ketua DPR RI seyogianya memiliki integritas pribadi yang kuat, objektif, rasional taat azas, rendah hati. Ketika peserta meminta agar ketua sidang meminta maaf atas kejadian persidangan pada hari pertama yaitu menutup persidangan secara sepihak, seolah-olah tidak didengar oleh sang pimpinan, dan tidak di respon secara elegan. Ketika ada peserta yang menyanyi, dan berteriak dengan suara-suara usil, tidak pernah diperingatkan dan di stop pembicaraanya. Ketika pembicara melewati batas waktu menyampaikan pandangan (3 menit) tidak diberi kode bahwa untuk segera mengakhiri pembicaraan.
Dapatlah disimpulkan bahwa seorang pimpinan sidang paripurna DPR terlalu banyak tidak menerapkan kaidah-kaidah persidangan, termasuk etiket dan etika persidangan yang ideal. Dampaknya kepada generasi muda menjadikan pembelajaran yang kurang elok, entah kalau ada indikasi yang secara politis ada maksud mengulur waktu agar terbuka lobby politik yang mengarah transaksi politik yang sekaligus mengubah prinsip- prinsip kebenaran. Kalau ini yang terjadi maka seperti yang dikatakan Bung Ichsanuddin Noorsy ketika diwawancarai oleh Metro, telah terjadi Political disorder dan political distrust.

Drama Politik Century
Pada hari kedua Sidang Paripurna dalam pembacaan hasil Akhir masing-masing fraksi terjadiskor-5:2:2 dimana 5 fraksi(Golkar,PDIP,PKS,Hanura, Gerindra) tidak setuju Bail out karena mengandung dugaan korupsi, 2 fraksi (PD,PKB) Setuju Bail Out, dan 2 fraksi lainnya (PAN,PPP) abstain.Dalam posisi yang demikian, seyogianya tawaran dua opsi dari Pansus untuk segera melaksanakan voting, namun pimpinan siding masih memberikan waktu mengadakan loby kepada masing-masing fraksi guna mencari titik temu atas perbedaan selama berlangsungnya waktu jeda atau skorsing sidang. Karena alotnya loby tersebut, sehingga menghabiskan waktu sampai 7 jam,dan tiba-tiba pada saat Skors dicabut pimpinan sidang melaporkan bahwa hasil loby telah menyepakati satu scenario yaitu; A)Voting A dan C, B)Voting AC. Mengapa Voting A dan C sebagai opsi dari Pansus tidak segera dilaksanakan dengan mekanisme one man one foot padahal masing-masing fraksi sudah mengemukakan pilihannya? Dan ini, Voting AC yang ingin menggabungkan antara yang setuju dan tidak setuju, antara air dan minyak disatukan?Logika apa yang menyertai sehingga pimpinan siding ikut memprakarsai, dan justeru tidak memberikan pemahaman berdasarkan kaidah logika? A dan C berbeda tidak mungkin disatukan. Salah seorang peserta siding malah memberikan ilustrasi cara pengambilan keputusan yang salah berdasarkan silogisme yaitu: Manusia berkaki dua/ burung berkaki dua/oleh sebab itu burung adalah manusia. Memang di dalam ilmu Logika terdapat ratusan silogisme yang salah yang menjadikan sesat pikir didalam pengambilan keputusan; itu kalau tidak menggunakan premis mayor, premis minor, dan konklusi yang benar.
Dan apa yang terjadi, tanpa merangkum 16 pembicara yang mendaftar dan menawarkan kepada floor apakah skenario tambahan yaitu opsi AC layak diterima, langsung saja pimpinan siding menanyakan persetujuan peserta, dan ketok palu. Sebagai penggagas opsi AC, peserta tidak pernah diberitahu apa reasioning dari hasil loby yang sebenarnya tidak punya legalitas untuk menjadi pertimbangan utama. Maka dilakukanlah 2 kali voting yaitu pertama untuk memilih 2 opsi yaitu 1)opsi A dan C, 2)opsi AC, serta kedua, setelah kemenangan opsi satu, dilakukan kembali pemilihan voting, opsi A atau B. Berakhirlah drama menegangkan karena usaha-usaha loby yang tidak kenal lelah dari sang pimpinan sidang yang - - - "selalu menyebut kehadiran Partai Demokrat 100%(148 anggota)" dibandingkan dengan fraksi lainnya. Saya kurang paham apakah ini sekedar "guyon" atau bahasa bersayap karena kecewa opsi A mengalami kekalahan. Sebagai pimpinan sidang yang berdiri di semua pihak, tentu kurang elok kalau terkesan terlalu memihak. Sepantasnyalah berlaku elegan berdiri dan tegak dengan sikap independen, menjunjung kelembagaan DPR RI.
Ke depan, alangkah indahnya bila ketika memilih seseorang Ketua DPR maupun MPR, dilakukan seleksi yang ketat termasuk mempelajari track record dan riwayat pengalaman organisasi dari setiap Partai, sehingga kita bisa mendapatkan sosok pimpinan sidang yang ber level nasional yang ideal, berwibawa, cermat, adil, antisipatif, rendah hati ; yang memenuhi persyaratan dan atau standar mutu seperti yang kita dambakan dan harapkan. Wallahu alam bissawab.








Senin, 01 Maret 2010

NEO-LIBERALISME DAN NASIONALISME KITA


Kalam ;
Rasanya ada yang salah dalam Sistem Perekonomian kita dewasa ini, setelah 65 tahun Indonesia Merdeka, ternyata
belum bisa membebaskan diri dari 'perangkap' Liberalisme dan kapitalisme; kalau selama 350 tahun kita di jajah oleh Belanda (baca; VOC), maka sekarang kita tetap dalam genggaman Badan-badan keuangan dunia. Terbukti kita sudah ber- hutang kurang lebih 1400 triliun Rupiah, yang akan diwariskan kepada anak cucu. Beberapa kelompok masyarakat telah mengusulkan agar kita kembali Ke-Undang-undang Dasar 1945, Ingin menjalankan pasal 33 secara murni dan konsekwen namun didalam Amandemen UUD 1945, tahun 2002, khususnya pasal 33 telah ditambahkan ayat baru ; dengan klausul "Merumuskan kembali sistem perekonomian nasional," (?)
Mengutip pernyataan Ferry Julianto, ketua umum Dewan Tani Indonesia , Rakyat Merdeka 20 Februari 2010 ; . . ."Presiden SBY pernah berjanji pada Kampanye 2009, bahwa kebijakan ekonomi yang akan diambil adalah kebijakan ekonomi jalan tengah, yaitu kebijakan yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dari kegiatan sector pasar saham dan sector riil - - -yaitu pertanian, nelayan, ukm dan kaki lima. Benarkah kebijakan ekonomi nasional terlalu Neolib dan tidak pro rakyat? Dan yang mengejutkan adalah pernyataan Prof.Dr. Suhardi Msc, Ketua umum Partai Gerindra, dalam Rakornas di Hambalang Bogor , "kalau Pemerintah mau meninggalkan konsep Ekonomi Liberal ke sistem kerakyatan, maka kemungkinan masuk dalam Pemerintahan akan dipertimbangkan".( Rakyat Merdeka 29 Februari 2010). Dengan demikian secara Ideologis – Politis Seorang Presiden sangat menentukan arah daripada Sistem Perekonomian yang dianut oleh satu Negara.
Oleh sebab itu, makalah Prof. Dr. Abdul Hadi WM yang pernah disampaikan pada Diskusi Panel yang diselenggarakan oleh Balitbang Partai Hanura, pada tahun 2009, di Jakarta, relevan untuk membedah sistem perekonomian nasional kita. (a.m.a)

Seperti halnya sebuah sistem pemerintahan dan politik, sebuah sistem ekonomi pastilah didasarkan atas pemikiran atau aliran filsafat tertentu. Demikian pula halnya dengan dua sistem ekonomi yang sedang diperdebatkan dengan hangatnya sekarang ini di negeri kita, yaitu neo-liberalisme dan ekonomi kerakyatan. Karena itu keduanya tidak saja diperdebatkan dari persfektif ilmu ekonomi, tetapi juga dari perspektif sejarah pemikiran atau filsafat sebagaimana akan saya coba lakukan sejauh kemampuan saya.
Aliran pertama, lazim disamakan dengan sistem ekonomi pasar bebas, dan berakar dari perpaduan pemikiran sosial, politik dan ekonomi, serta anthtropologi falsafah seperti liberalism, utilitarianisme, individualism, materialism, kapitalisme, hedonism, dan lain sebagainya. Yang kedua lahir paham seperti altruism, kolektivisme, dan sosialisme, baik sosialisme bercorak sekuler maupun keagamaan.
Ekonomi kerakyatan, dipandang sebagai sistem yang sesuai dengan semangat UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah di-amandemen. Karena itu sering dihubungkan apa yang disebut sebagai Ekonomi Konstitusi. Mohammad Hatta (1959) menyebutnya sebagai Ekonomi Terpimpin. Dalam perkataan 'kerakyatan' itu tersimpul dasar keadilan sosial yang bersifat Demokratis; yaitu satu untuk semua, semua untuk satu dan semua untuk semua (Hadori Junus, dalam Mubyarto 1980). Dalam sistem ini produksi dikehendaki dikerjakan untuk kepentingan bersama dan dijalankan melalui koperasi secara bersama-sama, dengan pengawasan masyarakat secara terpimpin.
Sayangnya, sistem yang berpihak kepada rakyat itu tidak dilaksanakan dengan baik sebagaimana terbukti dengan mandeknya perkembangan koperasi. Sarjana-sarjana ekonomi mencari sumber kegagalannya pada strategi pembangunan ekonomi yang cenderung bersifat liberal-materialistis, terutama yang dijalankan padea masa pemerintahan Orde Baru (Jan Mokoginta 1979). Menurut Mubyarto (1980), sistem yang tersimpul dalam kebijakan pembangunan Orde Baru tidak sesuai dengan GBHN, karena di dalamnya sangat jelas sekali cirri-ciri negative dalam sistem ekonomi liberal ditolak seperti misalnya free fight liberalism, etatisme dan kecenderungan monopoli serta oligopoly. Dibawah strategi pembangunan seperti itu, yang kelak memberi jalan lempang bagi neo-liberalisme, bangsa Indonesia menderita dan lumpuh, dan akhirnya jatuh ketangan eksploitasi asing. Dampak dahsyatnya pun tidak kalah, dan sangat dirasakan secara kultural, berupa suburnya pola serta gaya hidup konsumtif dan hedonis.

Sejarah Neo-liberalisme
Istilah neo-liberalisme sebenarnya telah lama diperkenalkan di Indonesia, oleh Mohammad Hatta dalam bukunya Ekonomi Terpimpin (1959). Sebutan ini merujuk kepada pemikiran tiga filosof ekonomi terkemuka pasca-perang dunia II-Walter Euchen, Fredrich von Hayek, dan Wilhelm Ropke. Mereka menuntut adanya peraturan yang menjamin lancarnya persaingan bebas dalam kehidupan ekonomi seperti ketetapan nilai mata uang, adanya pasar terbuka di banyak Negara, pemilikan swasta atas sarana produksi, kebebasan membuat perjanjian yang tepat mengenai tanggung jawab perusahaan yang sesuai dengan politik perekonomian.
Secara umum paham ini lahir dari rahim aliran filsafat liberalism atau paham serba bebas. Pencetusnya dua filosof Inggris abad ke-17, Thomas Hobbes dan Jhon Locke. Aliran ini berkembang pesat pada abad ke-18. Menurut dua filosof ini dalam kodratnya manusia bukanlah mahluk altruistic atau cinta kepada masyarakat. Karena itu cenderung pula tidak kooperatif, atau tidak mau bekerja sama dengan sesama anggota masyarakat. Bawaan manusia sebagai hewan berakal (animal rationale) adalah mengutamakan pribadi.
Dalam bukunya Leviathan, Thomas Hobbes menyatakan bahwa "manusia adalah serigala bagi manusia lainnya" (homo homoni lopus). Semboyan lainnya yang terkenal ialah "a war of all against all. " Untuk mengatasi situasi hukum rimba yang serba kejam itu harus ada Negara yang dikuasai oleh satu orang secara mutlak, yaitu monarki absolute. Bentuk kekuasaan absolute ini dijumpai dalam pribadi Raja Louis IX yang terkenal dengan semboyannya "Le' etat est moi" (Negara adalah saya).
Dengan jalan pikiran yang sama, John Locke membawa liberalism ketempat lain. Kebebasan, menurutnya tak punya nilai intrinsic. Nilai ditambahkan manusia dalam kehidupan sosialnya. Ia menunjuk property sebagai sumber nilai yang membawa manusia mau hidup masyarakat. Hanya hal-hal yang bersifat kebendaan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun suatu masyarakat. Lebih jauh baginya kehidupan sosial tak lebih dari gelanggang persaingan bebas antar individu. Sebaik-baiknya cara agar masyarakat maju dan berkembang ialah dengan membiarkan persaingan itu berlangsung tanpa campur tangan Negara.
Berdasarkan dua pemikiran filosof abad ke-17 itu Adam Smith (1723-1790) mengembangkannya menjadi aliran pemikiran ekonomi. menurutnya pusat kehidupan sosial yang ideal adalah pasar. Di sini, liberalism dalam pengertian ekonomi, ia artikan sebagai pemeliharaan kebebasan individu untuk berjual beli dan saling bersaing dengan bebas di pasar. Motivasi jual beli bukan kerjasama, melainkan kepentingan pribadi. Hasil akhir persaingan yang fair ialah keadilan, asal saja setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk bersaing (Mead 1972: 14-16).
Dalam bukunya An Enquiry in to the Nature and causes of the Wealth of Nation (1976) , Adam Smith mengatakan bahwa sebagai mahluk ekonomi manusia cenderung memburu kenikmatan dan keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya. Jika tabiat bawaan manusia yang individualistik, egosentrik dan condong kepada kebebasan ini dibiarkan berkembang tanpa campur tangan pemerintah/Negara, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang memadai dari factor-faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan , dan dengan demikian inovasi dan kreativitas dapat berkembang.
Bersumber dari pemikiran Adam Smith, pada akhir abad ke-18 bersamaan dengan berkobarnya Revolusi Perancis dan lahirnya Revolusi Industri di Inggris, lahir pula dua aliran pemikiran yang dominan. Yaitu individualism di bidang hukum dan antropologi filsafat, dan ide pasar terbuka yang berkaitan dengan perkembangan pasar industry. Menurut paham individualism, manusia yang lahir dengan bawaan bebas dan hidup bebas, tidak boleh dikekang kebebasannya. Paham ini sangat dominan pada abad ke-20 dalam kehidupan politik, ekonomi, dan seni.
Aliran kedua, berkenaan dengan berpindahnya pusat usaha dari kaum merkantilis (pedagang) ke tangan kaum industrialis. Kaum industrialis yang menguasai modal ini pantang berkoalisi seperti partai-partai politik, dan hanya bisa membuat persekutuan modal dalam bentuk perseroan terbatas. Semakin lama persekutuan ini kian kuat dan mengancam kehidupan kaum pekerja yang dilarang berserikat. Dari perkembangan inilah lahir badan-badan monopoli atau oligopoly yang begitu berkuasa. Tetapi sebagai hasil dari perjuangan kaum sosialis, Negara-negara industry di Eropah memperkenankan kaum buruh membentuk serikat pekerja untuk memperjuangkan nasibnya.
Pada awal abad ke-20 zaman keemasan individualism ekonomi mulai pudar. Perang dunia I (1914-1918) mendorong negara-negara kapitalis memberlakukan banyak aturan yang mengekang sistem pasar bebas. Krisis ekonomi pada dekade 1920-an juga mendorong Negara-negara Eropa untuk menyusun industrinya masing masing, dengan berbagai proteksi. Pada tahun 1929, krisis hebat melanda kapitalisme disusul dengan bayangan bangkitnya kembali fascism Jerman dan Italia. Berbagai regulasi diberlakukan agar ekonomi rakyat tidak ambrug. Pada masa inilah gagasan Ekonomi Terpimpin atau yang semacam itu mulai diterapkan di beberapa Negara Eropa.
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, seorang ahli ekonomi terkenal Karl Polanyi menerbitkan buku yang kemudian masyhur The Great Transformation (1944). Ia mengecam keras masyarakat industry kapitalis yang mendasarkan perkembangan ekonominya pada sistem pasar bebas. "Dengan mengakui mekanisme pasar sebagai satu-satunya penentu nasib manusia dan kondisi alam lingkungannya", kata Polanyi, "kerusakan besar akan menimpa masyarakat". (Hal 73). "Kerusakan itu tidak akan terjadi jika kepentingan masyarakat diabaikan diatas kepentingan individu."
Pandangan Polanyi dan lain-lain berpengaruh besar di dunia, ditopang lagi dengan Perang dingin antara Blok Barat yang kapitalis dengan Blok Timur yang sosialis-komunis. Neo Liberalisme untuk sementara waktu harus bertiarap. Memasuki decade 1970-an, sistem sosialisme mulai memperlihatkan kegagalan dan Negara-negara industry mulai mengalami krisis. Keyakinan akan keunggulan sistem pasar bebas mulai bertunas kembali. Pada tahun 1974 Robert Nozick, seorang filosof politik Amerika, menerbitkan buku Anarchi, state and utopia yang kemudian masyhur dan dianggap sebagai tanda nyata lahirnya kembali liberalism dalam bentuknya yang baru. Dalam bukunya itu Nozick mengatakan bahwa tugas Negara bukanlah memaksakan sistem dan pola tertentu bagi kehidupan warga Negara, termasuk kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Menurutnya, gagasan tentang keadilan dan pemerataan bertentangan dengan kodrat manusia yang menginginkan kebebasan penuh. Negara, karenanya tidak boleh melakukan intervensi atas apa yang berlaku di pasar. Biarkan pemodal dengan modalnya saling bersaing. Peranan Negara dengan demikian harus ditekan seminimal mungkin dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Urusan Negara yang terpenting adalah menentukan kebijakan luar negeri. Berdasarkan pemikiran Nozick, seorang ahli ekonomi terkenal dari Universitas Chicago, Friedrich von Hayek dan para pengikutnya, seperti Milton Friedman mengembangkan pemikiran yang dikenal dengan sebutan ekonomi pasar bebas atau Neo-liberalisme.
Pada akhir 1970-an gagasan Neo-liberalisme mulai tersebar luas dan diterima banyak sarjana dan pemimpin Negara maju. Antara lain Ronald Reagan dan Margareth Tatcher. Tatcher sendiri adalah seorang pengikut von Hayek , yang meyakini kebenaran Teori Darwin tentang survival of the fittest. Begitu terpilih menjadi Perdana Menteri Inggris pada tahun 1979, ia mencanangkan doktrin neo-liberalismenya yang dikenal dengan sebutan TINA (there is no alternative). Dalam doktrinnya itu dikemukakan ke-utamaan persaingan bebas dalam kehidupan manusia, termasuk persaingan antar bangsa, negeri, perusahaan besar, dan umat berbeda agama, serta persaingan antar individu dalam masyarakat (Susan Goerge 1999).
Persaingan bagi Tatcher adalah kebajikan tertinggi. Akibat-akibat daripadanya tidak boleh dipandang buruk. Pasar adalah pusat kebijakan dan kebajikan tertinggi, menggantikan peranan Tuhan. Sebagaimana Tuhan pula, ia dapat menelorkan kebaikan dari sesuatu yang tampaknya jahat dan buruk. Melalui kebijakannya itu sector public dihancurkan. Akibatnya antara tahun 1979 -1995 jumlah pekerja di Inggris dikurangi dari 7 juta menjadi 5 juta. Sementara itu income yang diperoleh Negara dari pajak bukannya digunakan untuk kepentingan public, melainkan untuk menutupi hutang perusahaan–perusahaan besar dan memberikan suntikan modal baru agar bangkit kembali dari kebangkrutan.

Ciri-ciri Neo-liberalisme
Seperti liberalism klasik, neo-liberalisme menolak nilai-nilai moral dan agama yang diungkapkan dalam Slogan Hak Asasi Manusia. Masyarakat tidaklah penting, sebab yang asasi adalah kebebasan individu. Pendek kata sebagai doktrin ekonomi, neo-liberalisme menghendaki perluasan perdagangan bebas tanpa control dan regulasi. Idea utamanya ialah persaingan bebas antara pemilik modal yang satu dengan yang lain. Tujuannya menciptakan keuntungan sebesar-besarnya bagi penguasa pasar yaitu pemilik modal besar. Seperti dikatakan Marcos, pemimpin gerakan Zapatista di Meksiko, "kaum neo-liberalisme ingin menciptakan seluruh dunia menjadi Mall raksasa sehingga dengan mudah dapat membeli penduduk pribumi, wanita dan anak-anak mereka dengan harga murah, sebagai tenaga kerja, berikut tanah milik dan sumber kekayaan alam mereka."
Sebagai paham ekonomi jelas neo-liberalisme bukan suatu yang baru. Kebaruannya disebabkan penyebarannya yang begitu luas ke seluruh dunia. Walau kata-kata tersebut jarang terdengar di AS, kata Elisabeth Martinez dan Arnoldo Garcia (2005), dampak buruknya pada akhirnya dirasakan di negerinya sendiri. Di sana yang kaya (20%) bertambah kaya, dan yang miskin (80%) bertambah-tambah miskinnya. Di seluruh dunia kebijakan neo-liberalis dipaksakan melalui tangan lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan dunia, seperti IMF, ADB, WTO, IGGI (untuk Indonesia), Bank Dunia, dan lain-lain. Yang memicu lahirnya kembali liberalism ekonomi ini ialah krisis kapitalis sepanjang 25 tahun terakhir, berupa anjlognya keuntungan yang mereka peroleh sejak awal dekade 1970-an yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran.
Istilah neo-liberalisme untuk pertama kali memang muncul di Amerika Latin, anak benua yang paling awal merasakan dampak buruknya. Sejak itu kaum intlektual negeri itu berkeyakinan bahwa kendati neo-liberalisme merupakan fenomena Negara Barat kapitalis, namun yang paling menderita disebabkan dampaknya ialah Negara-negara berkembang. Secara garis besar pendirian neo-liberalisme dapat di gambarkan sebagai berikut:
Pertama, ia merupakan paham yang menekankan pada kekuasaan pasar. Menurut paham ini, adanya pasar bebas tanpa pengawasan dan regulasi yang ketat akan memungkinkan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Reagan menyebutnya sebagai kebijakan ekonomi supply side, yaitu suatu kebijakan yang dapat mengucurkan kemakmuran secara cepat dan meluas dari atas sampai kebawah. Dalam perkembangannya terbukti bahwa kemakmuran menumpuk diatas, sedangkan milik yang dibawah semakin terkuras. Kesenjangan kaya dan miskin semakin menjadi-jadi. Jika terjadi krisis ekonomi, maka yang membangun beban ialah mayoritas penduduk yang miskin.
Kedua, untuk meminimalkan peranan Negara, dilakukan pemotongan besar-besaran, anggaran Negara untuk sector-sektor seperti pelayanan sosial, termasuk kesehatan , pendidikan, kesejahteraan, dan juga kebudayaan dan keagamaan. Suply dan subsidi bahan bakar dan air juga dikurangi, sehingga beban masyarakat bertambah berat. Biaya pendidikan dan kesehatan bertambah mahal.
Ketiga, deregulasi perusahaan-perusahaan besar, wajib mengesampingkan regulasi dari pemerintah apabila keuntungan yang mereka peroleh berkurang. Dalam kaitan ini, pasar mempunyai kekuasaan untuk mengatur opini dan pemikiran masyarakat, yaitu melalui media yang mereka miliki atau kuasai. Termasuk selera seni dan budaya. Pasar juga berusaha melakukan hegemoni penafsiran terhadap konstitusi, wacana keagamaan, politik, dan falsafah. Misalnya, melalui LSM dan lembaga pendidikan yang mereka danai.
Keempat, Privatisasi. Dengan privatisasi perusahaan Negara terbuka peluang bagi investor asing untuk menguasai dunia perbankan, sarana transportasi, media komunikasi dan informasi, bahkan media cetak, elektronik, dan penerbitan buku, sekolah, lembaga penelitian sosial dan keilmuan, lembaga keagamaan dan lain sebagainya. Tidak mengherankan dibanyak negeri berkembang seperti Indonesia, Filipina, Thailand, dan lain-lain ,neo-liberalisme sanggup menjadikan Negara sebagai benar-benar sebuah pasar bebas.
Kelima, tak kalah penting ialah apa yang disebut penciutan kominitas-komunitas besar dalam masyarakat, menjadi komunitas-komunitas kecil yang terpecah belah serta sukar ter-integrasikan. Neo-liberalisme lihai menciptakan komunitas-komunitas kecil di bidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi, keuangan, politik, bahkan dalam bidang keagamaan, seni, dan lain sebagainya. Dengan demikian masyarakat kian terpecah belah.
Pada peringkat internasional, neo-liberalisme dapat disebut sebagai paham yang member tekanan kepada: (1) keleluasaan perdagangan barang komoditi dan jasa, termasuk film, hiburan, senjata, dan lain-lain kendati komoditi-komoditi tersebut menimbulkan kerusakan moral. Biasanya ini ditamengi dengan hiruk pikuknya wacana seperti kebebasan ber-ekspresi, pluralism, multikulturalisme, relativisme nilai, dan lain sebagainya; (2) Perputaran modal yang lebih bebas, dengan akibat hancurnya modal kecil dan menengah dibawah sektor kehidupan asal saja mendatangkan keuntungan berlipat ganda. Termasuk di dalamnya sector pendidikan, kesehatan, penerbitan buku, mass media, telekomunikasi, transportasi, dan lain sebagainya.
Dalam bukunya La Mondialisation du capital (penduniaan modal) Dumeil dan Levy mengatakan bahwa neo-liberalisme telah merebut kekuasaan Negara di dunia melalui modal financial. Tujuan kudeta ini ialah untuk merintangi Negara-negara lain di dunia menjalankan kebijakan ekonomi yang memihak rakyat. Karena itu ia juga menghalangi bangkitnya kembali nasionalime, yang di dalamnya kebudayaan nasional dimungkinkan tumbuh dengan subur melalui kebijakan yang mandiri.

Ekonomi Kerakyatan dan Terpimpin
Semangat UUD 45 cenderung ke sosialisme religius. Ini dapat dilihat pada terpimpin aqdalah pengejawantahannya. Ia juga sejalan dengan cita-cita nasionalisme kita, lahir pada awal abad ke-20 sebagai bentuk perlawanan atau penentangan terhadap kolonialisme dan imperialism yang dilakukan Negara kapitalis.
Dalam kolonialisme, tergantung tiga hal : (1) Politik dominasi dan hegemoni; (2) Eksploitasi ekonomi; (3) Penetrasi budaya. Karena itu Nasionalisme Indonesia mengandung juga tiga aspek penting yang berlawanan yaitu a) aspek politik. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghilangkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat (lihat pidato-pidato Bung Karno, Hatta, dan pemimpin yang lain seperti Ruslan Abdul Gani); b) aspek sosial ekonomi. Nasionalisme Indonesia muncul untuk menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang mandiri dan kreatif; c) aspek budaya. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman.
Sistem ekonomi yang sesuai dengan jiwa nasionalisme Indonesia ialah ekonomi kerakyatan yang oleh Bung Hatta disebut ekonomi terpimpin. Ada pula yang menyebutnya sebagai Ekonomi Kesejahteraan yang merupakan percampuran kapitalisme dan sosialisme. Menurut Bung Hatta, ekonomi terpimpin merupakan konsekwensi dari nasionalisme Indonesia yang timbul sebagai perlawanan menentang kolonialisme dan imperialism. Dalam menancapkan kekuasaannya pemerintah kolonial menggunakan sistem kapitalisme perdagangan yang eksploitatif dan menjadikan negeri ini sebagai perkebunan raksasa. Dengan itu rakyat Indonesia di eksploitasi sebagai buruh perkebunan dengan gaji rendah, sedangkan pemerintah Belanda memperoleh keuntungan yang besar.
Ekonomi terpimpin adalah juga lawan dari ekonomi liberal yang melahirkan sistem kapitalisme. Ekonomi liberal menghendaki pemerintah tidak campur tangan dalam perekonomian rakyat dengan membuat peraturan-peraturan ketat (regulasi) yang membatasi gerak pasar bebas. Ekonomi terpimpin adalah sebaliknya. Pemerintah harus aktif bertindak dan memberlakukan peraturan terhadap perkembangan ekonomi dalam masyarakat agar rakyat tidak di eksploitasi, harga tidak dipermainkan dan dengan demikian tercapai keadilan sosial.
Alasan mengapa Ekonomi Terpimpin dipandang sesuai dengan cita-cita nasionalisme Indonesia ialah; karena membiarkan perekonomian berjalan menurut permainan bebas dari tenaga-tenaga masyarakat , berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan yang kuat. Ekonomi liberal bercita-cita memberikan kemakmuran dan kemerdekaan bagi semua orang, tetapi hasilnya menimbulkan pertentangan dan kesengsaraan. Yang kaya bertambah kaya yang miskin bertambah melarat. Sebab kebebasan atau liberalism yang disandang oleh sistem itu dalam kenyataan hanya dimiliki oleh segolongan kecil orang (yaitu pemilik modal atau kapital); dan kepada mereka yang segelintir itu sajalah keuntungan dan kemakmuran berpihak, bukan kepada rakyat banyak.
Tetapi di dalam sistem ekonomi terpimpin itu terdapat banyak aliran. Antara lain; (1) Ekonomi terpimpin menurut menurut ideologi komunisme; (2) Ekonomomi terpimpin menurut pandangan sosialisme demokrasi ; (3) Ekonomi terpimpin menurut solidaroisme; (4) Ekonomi terpimpin menurut paham Kristen sosialis; (5) Ekonomi terpimpin berdasarkan ajaran islam; (6) Ekonomi terpimpin berdasarkan pandangan demokrasi sosial.
Semua aliran ekonomi terpimpin ini, menentang dasar-dasar individualism yang meletakkan buruk baik, nasib masyarakat ditangan orang-orang yang mengemudikan kehidupan dan tindakan ekonomi. Ekonomi liberal berdasarkan pada individualism. Individu (baca; kepentingan individu) didahulukan dari kepentingan masyarakat. Tetapi Ekonomi terpimpin mendahulukan masyarakat ketimbang individu, sebuah paradox. Sekalipun demikian diantara paham-paham ekonomi terpimpin itu, ada yang menolak kolektivisme, karena bagi mereka kolektivisme sebenarnya hanya berlaku dalam ideology komunisme dan sosialisme.
Tetapi terdapat persamaan pula dari sistem ekonomi terpimpin, yang berbeda-beda itu, yaitu; (1) Dalam hal menentang individualism ; (2) Dalam hal pemberian tempat yang istimewa kepada pemerintah untuk mengatur dan memimpin perekonnomian Negara. Perbedaan antara sistem-sistem itu berkenaan dengan seberapa besar campur tangan kekuasaan publik dan bagaimana coraknya campur tangan itu dalam perekonomian individu dan masyarakat. Ideologi komunisme menghendaki campur tangan besar dan menyeluruh dari pemerintah atau Negara, sehingga individu ditindas. Sistem ekonomi komunis bersifat totaliter, dikuasai oleh Negara.
Tetapi ekonomi terpimpin yang lebih sesuai dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah ekonomi bercorak sosialis, yang berkehendak melaksanakan cita-cita demokrasi ekonomi. Dengan diimbangi demokrasi ekonomi, maka sifat individualistis dari demokrasi liberal dapat dikurangi. Di dalamnya campur tangan Negara terbatas dari peranan individu tidak sepenuhnya dimusnahkan, hanya saja gerak mereka dibatasi dan diatur demi melindungi kepentingan masyarakat. Bung Hatta, bertolak dari pemikiran Lerner, penulis buku The Economic of Control (1919), unsur-unsur ekonomi kapitalis dan kolektif digabungkan ke dalamnya, menjadi sistem yang disebut "Welfare economic" atau Ekonomi kemakmuran.
Dalam sistem tersebut tiga hal yang harus dilaksanakan; pertama, segala sumber perekonomian yang ada harus dikerjakan supaya semua orang memperoleh pekerjaan; kedua, melaksanakan pembagian pendapatan yang adil, agar perbedaan atau jurang besar dalam pendapatan dan kekayaan antara yang kaya dan yang miskin dikurangi; ketiga, mengpuskan monopoli dan oligopoly dalam perekonomian, sebab keduanya melahirkan eksploitasi yang melampaui batas dan pemborosan ekonomi yang besar pula.
Menurut Hatta, tujuan ekonomi terpimpin dalam bidang demokrasi, ialah mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya, dengan tiada menghilangkan kepribadian manusia. Masyarakat didahulukan, bukan individu. Tetapi manusia sebagai individu tidak lenyap sama sekali dalam kolektivitas. Secara umum cita-cita ekonomi terpimpin ialah: (1) Terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat secara keseluruhan sehingga pengangguran dikurangi; (2) Adanya standar hidup yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan; (3) Semakin berkurangnya ketidak samaan ekonomi dengan memeratakan kemakmuran; (4) Terciptanya keadilan sosial. (jkt 22-6-09)

Biodata :
Abdul Hadi WM (Wiji Muthari), Guru besar dalam ilmu filsafat dan sastra, Universitas Paramadina Jakarta. (S1) Fakultas Filsafat UGM, (S2) Pusat pengajian Ilmu Kemanusiaan, University Sains Malaysia dalam bidang studi Filsafat dan Sastra Islam, (S3) Universitas Sains Malaysia, Pulau Pinang.
Mengajar di FIB, UI, dan ICAS (Islamic College for Advand Studis) London, cabang Jakarta.