Kamis, 04 Juli 2013

Integritas


 

Kita menginginkan pemimpin yang berintegritas, kata buya Safii Maarif (kompas 16/5). Seperti apa pemimpin yang berintegritas itu? Michael Rogers, penulis Blog tentang kepemimpinan, memberikan contoh Abraham Lincoln sebagai seorang pemimpin yang berintegritas.

    Dikisahkan dalam suatu perjalanan malam di musim dingin seorang colonel pengawal Presiden menawari Abraham Lincoln sebatang cerutu, tetapi ditolak. Juga ketika Abraham Lincoln ditawari wiski untuk mengahangatkan badan. Ketika colonel itu bertanya, mengapa Abraham Lincoln menolak kedua tawaran itu, Lincoln menjawab, ketika ibunya sakit dan menjelang ajal, ibunya berpesan agar Abraham Lincoln menghindari rokok Dn alcohol. Lincoln berjanji akan mematuhi ibunya.

    Dalam sejarah islam, Umar bin khattab sering dijadikan contoh pemimpin yang berintegritas karena dia konsisten menegakkan hukum, termasuk kepada anaknya. Ia sendiri juga konsisten mematuhi hukum yang dia buat. Di Indonesia pemimpin yang berintegritas, umumnya terdapat pada era segera setelah kemerdekaan. Bung Hatta misalnya memilih mundur sebagai wakil Presiden daripada mendampingi Bung Karno yang ia anggap sudah tak sejalan lagi.

    Integritas pribadi sebenarnya lebih bermakna keutuhan diri. Keutuhan antara apa yang ia katakana dan apa yang ia lakukan. Keutuhan antara yang ia janjikan, termasuk kepada diri sendiri, dan apa yang ia perbuat. Konsisten pada pendirian tanpa ragu sedikitpun. Seperti kata peribahasa, biarpun dia diberi matahari ditangan kanan dan bulan di tangan kiri, tak akan semua itu membuat dia goyah dalam menegakkan kebenaran dan amanat yang dia terima.

Masih adakah?

    Masih adakah di Indonesia pemimpin yang seperti itu pada masa ini? Itulah yang dipertanyakan Buya Syafii Maarif yang juga mewakili pikiran banyak orang di negeri ini. Banyak yang ingin menjadi "pemimpin", tetapi yang mereka pikirkan bukan nasib yang dipimpin, melainkan nasib dirinya sendiri. Yang mereka pikirkan hanyalah apa yang akan dia peroleh dari kedudukan menjadi "pemimpin".

    Pola pikir feodal masih mengeram dalam benak mereka. Kedudukan yang berada "dia atas rakyat" membuat mereka merasa lebih wajib dilayani dan di dengar rakyat daripada merasa wajib melayani dan mendengar rakyat. Tidak peduli di badan legeslatif ataupun di eksekutif. Bahkan, kemudian mereka merasa di atas hukum yang mereka buat sendiri. Hukum hanyalah berlaku bagi bawahan dan rakyat sehingga muncul pameo kalau wakil menteri akan senang diangkat menjadi menteri, wakil rakyat justru menolak untuk diangkat menjadi rakyat.

    Integritas pribadi masuk dalam salah satu virtue atau sifat-sifat baik yang diharapkan ada dalam setiap manusia beradab. Virtue yang lain antara lain kejujuran, pruden, adil, dan berani (courage). Oleh karena itu barangkali sifat pemimpin yang diharapkan Indonesia bukan hanya punya integritas, tetapi juga mempunyai cirri-ciri virtue yang lain untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia masih tergolong bangsa beradab. Dalam masyarakat yang sudah sangat dipengaruhi hedonism ini, akan semakin sulit mencari pemimpin yang demikian itu.

Manajer dan panglima

    Dalam latihan kepemimpinan sering ditanyakan apa perbedaan pemimpin dan manajer. Setiap orang mempunyai jawaban masing-masing. Menurut saya, seorang pemimpin mempunyai kemampuan memotivasi pengikutnya untuk bergerak dengan cara menanamkan keyakinan untuk mencapai cita-cita bersama atau memotivasi pengikutnya tanpa iming iming imbalan materi.

    Pemimpin sering tidak terlalu memikirkan tata tertib dan urutan sesuai dengan hierarki. Namun, dia berani mengambil keputusan yang tegas, dan tanpa ragu pada saat diperlukan. Dia juga dapat memberi contoh berperilaku bagi yang dipimpin. Begitu ia tidak dapat menjadi contoh, hilanglah kekuatan kepemimpinannya.

    Manajer juga menggerakkan pengikutnya (bawahannya) untuk mencapai tujuan, tetapi harus menanamkan keyakinan pada mereka. Motivasi yang ia gunakan sering berupa insentif uang atau jabatan, Ia bergerak hanya dalam koridor strategi yang sudah ditetapkan sebelumnya. Tidak ada hubungan bathin yang kuat antara manager dan bawahannya.

    Berbeda lagi dengan seorang panglima perang. Ia harus menjadi seorang pemimpin dan manager. Ia harus mengkuti strategi yang sudah digariskan, tetapi ia harus dapat mengambil keputusan yang cepat dan tegas pada saat kritis karena dihadapkan pada pilihan kalah atau menang, dan risiko korban pada anak buah yang ia pimpin.

    Ia berani mengambil tanggung jawab jika pilihannya ternyata salah. Bahkan mungkin pada pilihan, biar saya mati agar Negara selamat. Keputusan perang puputan yang diambil Ngurah Rai, adalah keputusan seorang panglima yang memilih mati daripada menyerah.

    Mencari pemimpin yang berintegritas dan siap berkorban (setidaknya berkorban citra) di Indonesia saat ini, dan mungkin sesudah 2014, akan semakin sulit ketika godaan pemilik modal semakin menggiurkan. (Kompas 3 juni 2013, Kartono Mohamad, mantan ketua PB IDI)

Rabu, 03 Juli 2013

Hak atas Hutan dan Masyarakat Adat


 

Bagi sebagian terbesar penduduk Indonesia yang hidupnya dibatasi oleh wilayah wilayah perkotaan, hutan terasa sangat jauh. Seorang dikagumi dan dihargai, tetapi sebenarnya tidak betul betul dimengerti dari segi peran dalam hidup sehari hari.

    Sesungguhnya hutan merupakan inti dari masa depan bangsa dan kesejahteraan generasi mendatang. Dalam hutan tersimpan kekayaan alam. Hutan mengurangi emisi karbon dan efek rumah kaca sehingga mampu meredam perubahan iklim.

    Karena itu marilah kita mensyukuri kejutan positip pada tanggal 16 mei 2013, ketika suatu putusan bersejarah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hak Negara atas hutan milik adat seluas jutaan hektar yang selama ini menjadi habitat masyarakat adat dan komunitas local. Putusan ini mengembalikan hak untuk mengelola hutan mereka.

    Klaim pemerintah yang sekarang di nyatakan tidak sah tertanam dalam Undang Undang Kehutanan no 11 tahun 1999 yang menggolongkan hutan adat ke dalam hutan Negara. Ini memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat atas hutan-hutan Negara kita. Kementerian kehutanan sampai saat ini berkuasa memberikan izin untuk menebang kayu, menumnuhkan perkebunan, dan untuk pertambangan meski tanah-tanah hutan itu sebelumnya dikelola turun temurun oleh penghuninya.

Alih fungsi

    Perusahaan besar sering mendapat izin mengonversi hutan hutan milik masyarakat adat untuk penebangan, kelapa sawit dan pertambangan. Pengalihan fungsi hutan menjadi penyebab terbesar konflik antara pemerintah dan masyarakat local. Karena itu Keputusan MK atas permohonan uji materi oleh aliansi masyarakat adat nusantara (AMAN) sungguh melegakan. Pihak AMAN memperkirakan 40 juta masyarakat adat kembali mejadi pemilik sah dari hutan hutan adat kita.

    Putusan ini menjadi pukulan bagi Kementerian Kehutanan yang selama puluhan tahun mendapat revenue besar dari hutan. Memang sampai saat ini belum jelas bagaimana implikasi nyata keputusan historis dari MK ini, tetapi seorang pejabat di Kementerian Kehutanan sudah menyatakan bahwa wilayah hutan adat itu jauh lebih kecil dari perkiraan 40 juta hektar dan pelaksanaan keputusan itu butuh waktu ber tahun-tahun.

    Yang pasti keputusan itu memperkuat masyarakat adat dalam proses hukum di pengadilan mengenai kasus tanah. Hal ini akan mengurangi kriminalisasi yang sembarang terhadap masyarakat adat. Pada jangka panjang putusan MK akan mengurangi konflik atas pengelolaan hutan yang sekarang melibatkan hampir 20 000 desa di seluruh Indonesia.

    Banyak yang tak merasa bahwa masalah tanah adalah salah satu penyebab terbesar konflik, di susul agama dan etnis. Karena itu, masuk akal ketika Abdon Nababan dari AMAN mengatakan bahwa keputusan ini mengembalikan rasa kebangsaan dan kepemilikan masyarakat adat. Negara tak bisa mengusir masyarakat dari hutan adat yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Deklarasi

    Pada 27 mei 2013, AMAN meluncurkan Deklarasi dan Petisi untuk ditandatangani masyarakat Indonesia. Tiga titik berat Petisi adalah 1) Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan keputusan MK termasuk penyelesauan konflik adat dan sumber daya alam di wilayah wilayah milik masyarakat adat. 2) Mendesak Presiden memberikan ammesti kepada masyarakat adat yang terlibat proses hukum atau diputuskan bersalah menurut Undang Undang no 41/1999 mengenai hutan 3) Mendesak diterbitkannya Undang Undang perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat.

    Hutan adalah sumber kehidupan Indonesia. Menurut suatu studi tahun 2007 oleh Bank Dunia, Indonesia menjadi Negara penghasil gas rumah kaca ketiga terbesar setelah AS dan China, terutama karena kerusakan hutan dan tanah gambut. Dalam Masterplan percepatan dan perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, dampak lingkungan tak selalu diperhitungkan.

    Kini Presiden SBY sedang berusaha mengurangi pengaruh buruk Masterplan tersebut. Konsep Green Economy akan di masukkan sebagai bagian dari rencana pembangunan arus utama. Tahun 2009, Presiden menargetkan pengurangan emisi karbon minimal 26 persen pada 2020. Pada 2011, Presiden memberlakukan ,moratorium dua tahun terhadap pengolahan fungsi hutan yang di perkuat oleh perjanjian bernilai 1 milayar dollar dengan pemerintah Norwegia.

    Pada 16 Mei 2013, SBY menandatangani Keputusan Presiden untuk memperpanjang moratorium selama dua tahun lagi. Mengembalikan hutan adat kepada pemiliknya yang sah merupakan langkah yang benar dalam arah yang benar.

    Deklarasi untuk hutan adat 27 mei 2013 merupakan wujud pekikan rakyat menyusul kepatuhan MK. (Kompas 7 Juni 2013, Wimar Witoelar, konsultan komunikasi Ekonomi Hijau)

Selasa, 02 Juli 2013

Pancasila, Kunci Bangsa Indonesia (portofolio ekonomi paling destrutif)


 

Pancasila masih kerap dianggap objek kehormatan . Bangsa Indonesia perlu menyadari , Pancasila merupakan kunci dari Sabang sampai Merauke. Pancasila harus dipahami sebagai Etika, cita-cita dan nilai bangsa. Semua tindakan dan keputusan ditunjang dan di arahkan ke Pancasila.

    Guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara Fransz Magnis Suseno SJ menegaskan hal itu dalam diskusi public "Membumikan Pancasila sebagai Ideologi Bangsa" yang digelar Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), di Jakarta Senin.

    Menurut Magnis, sejak dulu Indonesia dihadapkan pada mau menjadi Negara nasionalis sekuler atau agama. Pancasila dicetuskan Bung Karno untuk memecahkan masalah itu. Magnis pun menyebutkan sila pertama Pancasila secara tegas, dipilih kata Ketuhanan yang Maha Esa, ini mau menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah Negara agama.

    Politisi PDIP, Restu Hapsari, mengatakan tidak dibumikannya Pancasila bisa dilihat dari pertarungan calon anggota legeslatif di internal maupun eksternal. "Dari sinilah kita melihat, betapa ajaran gotong royong yang disiratkan di Pancasila terabaikan. Semua bersaing untuk meraih kekuasaan. Ini terjadi karena system liberal dibiarkan berkembang" ujar Restu.

    Sekretaris Jenderal Matara (sayap organisasi Partai Amanat Nasional) Suryo Ari Bowo mengatakan, indicator implementasi Pancasila sesungguhnya sederhana. "sejauh manakah Negara memberikan jaminan rasa aman, kebebasan, dan bagaimana penegakan hukum sungguh dilaksanakan" kata Suryo.

Rakyat mengamalkan

    Secara terpisah pengajar sosiologi politik UGM Yogyakarta, Arie Sudjito mengatakan, rakyat telah mempraktikkan Pancasila dari symbol sampai aksi nyata. Itu tercermin dari toleransi antar kelompok tradisi bermusyawarah, dan gotong royong. Rakyat telah teruji sebagai pengamal Pancasila. "Kesadaran mereka justru sering kali diganggu oleh elite local dan nasional yang punya hasrat kuasa sehingga terjadi konflik dan kekerasan" katanya.

    Arie menilai sudah saatnya pendalaman Pancasila dilakukan dengan perdebatan substansi melalui pendekatan pengetahuan. Semakin diperdebatkan Pancasila semakin populer dan teruji. Pancasila jangan hanya dijadikan benda kramat yang jauh dari pengalaman nyata. "Pancasila harus mewarnai praktik budaya. Bagi pemerintah dan parlemen, Pancasila harus tercermin dalam kebijakan praxis" ujarnya.

    Secara terpisah, Direktur Reform Institute Yudi Latif mengatakan, dimensi paling nyata dan teraba dari perwujudan nilai Pancasila adalah keadilan social. Oleh karena itu, rezim perekonomian paling menentukan hitam putihnya aktualisasi dasar Negara itu. Namun, sejauh ini justru kebijakan perekonomianlah yang paling melenceng dari tuntunan Pancasila. Ini berdampak besar terhadap merosotnya kepercayaan rakyat kepada keampuhan nilai nilai Pancasila.

    Sejauh ini, portofolio ekonomi merupakan pihak yang paling destruktif bagi kelangsungan hidup Pancasila. Terlalu banyak pengemudi perekonomian yang menyalakan lampu sein kearah kiri atau gagasan berorientasi keadilan social, tetapi kenyataannya justru berbelok kekanan atau pasar bebas. "Kita harus mendorong agar nilai nilai Pancasila menjadi parameter kebijakan perekonomian" katanya.

Makin memprihatinkan

    Pekan lalu, saat memberikan orasi budaya dalam perayaan Ulang tahun Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), Guruh Soekarno Putra merasakan pudarnya nilai bilai Pancasila. Dia merasakan keadaan bangsa yang makin memprihatinkan Ini akibat hilangnya rasa kebangsaan dan nilai nilai Pancasila yang makin melenceng. "Sekarang segala sesuatunya makin bobrok di segala bidang. Politik, ekonomi, budaya, moral, dan mental bobrok" ujarnya.

    Pancasila sebagai falsafah Indonesia pertama kali muncul pada 1 juni 1945. Saat itu Soekarno dengan ber api api menyampaikan pidatonya dihadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada 20 maret 1950, Garuda Pancasila lahir sebagai lambang.

    Menurut putra Soekarno itu, Pancasila yang pernah di orasikan ayahnya kini perlahan mulai melenceng dan tampak dari konstitusi baru yang berlaku di Indonesia. Otonomi yang menjadi agenda reformasi justru membuat Indonesia seperti Negara federasi. Guruh merasa bangsa ini sudah menjadi ke amerika amerikaan (Kompas,4 juni 2013, OSA/k10/IAM)

Senin, 01 Juli 2013

Re evaluasi Kontrak Karya


 

Sejak tahun 1967, pemerintah Orde Baru melihat investasi asing sebagai jalan keluar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini tampak dalam Undang Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 tahun 1967 yang memberikan jalan bagi masuknya investasi asing di pertambangan. (pasal 8 UU no 11 /1967). Tak lama berselang muncul UU no 11/1967 tentang pertambangan , yang makin memuluskan investasi asing.

    Implikasinya adalah dimulainya system kontrak dalam eksploitasi dalam mineral. Sistem kontrak mengakibatkan Indonesia dan perusahaan berkedudukan sejajar. Negara pun kehilangan kekuasaan administrative mengatur perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia.

Tidak cermat

    Pada generasi awal, ketidak cermatan membuat kontrak menyebabkan pemerintah memberikan begitu saja wilayah yang mencakup tiga propinsi di Sulawesi kepada PT Inco. Begitu pula untuk PT Freeport Indonesia (FI) di Papua Barat. Selain mendapatkan wilayah yang luas, salah satu klausul kontrak juga menyebutkan bahwa FI berhak memindahkan penduduk di areal kontrak karya (KK) mereka. Suatu kontrak yang jelas melanggar hak azasi penduduk Papua Barat.

    Kalaupun kemudian ada perbaikan KK, itu itu hanya pembatasan wilayah KK seluas 62.500 hektar dalam KK generasi 6 dan perbaikan pendapatan Indonesia dari royalty sebesar 4 persen sejak KK generasi ke empat.

    Sampai kini, model KK tak pernah diuji keandalannya dari sudut pandang ekonomi, apalagi dari aspek social budaya, hak adat dan lainnya. Padahal tanah penduduk di sekitar pertambangan banyak diambil perusahaan dan sumber-sumber kehidupan mereka dihancurkan. Hal ini akibat tidak adanya perlindungan dari pemerintah. Sistem KK yang berlaku saat ini, sangat merugikan Negara dan memberikan hak mutlak kepada kepada perusahaan tambang asing untuk mengeruk kekayaan alam kita.

    Di tengah kondisi kritis hutan Indonesia, - - dengan deforestasi lebih dari 3,5 juta hektar per tahun - - pemerintah pada zaman Presiden Megawati bahkan mengeluarkan Perpu yang bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Perpu tersebut seolah olah memberikan justifikasi terhadap beroperasinya 150 perusahaan pertambangan di kawasan hutan lindung.

    Hasil analisis dari sejumlah dokumen investasi pertambangan dan perjanjian internasional, terdapat tiga instrument legal yang memberikan hak terbatas kepada operator pertambangan asing untuk mengajukan arbitrase kepada pemerintah Indonesia. Yakni, klausa dalam KK mereka, UU Penanaman modal, dan pasal pasal arbitrase yang terkandung dalam Bilateral Indonesia Treaties (BITs) dan/atau Multilateral Invesment Treaties (MITs) yang dibuat pemerintah Indonesia dengan Negara "asal" masing masing operator pertambangan asing.

    Meski demikian, operator pertambangan asing tidak dapat menuntut berdasarkan ketiga argument di atas karena operator asing tidak dapat menuntut arbitrase berdasarkan klausa arbitrase di KK atas adanya aturan hukum diluar kontrak karya yang bersangkutan. Arbitrase hanya dapat dilakukan jika terdapat pelanggaran terhadap pasal pasal dalam KK yang bersangkutan.

    Selain itu, setiap KK yang ditandatangani sejak 1974 memuat pernyataan yang persis atau serupa dengan pernyataan dibawah ini yang ditujukan kepada operator pertambangan: "operasi operasi (yang dilakukan oleh operator pertambangan) harus sesuai dengan hukum dan peraturan per undangan mengenai perlindungan lingkungan hidup" Pasal ini diterima oleh operator pertambangan asing di mana mereka diwajibkan secara terus menerus agar operasinya memenuhi semua hukum dan peraturan perundangan mengenai lingkungan hidup.


 

Jaminan Kompensasi

    Semua BIT dan MIT di mana Indonesia menjadi pihaknya menjamin agar pemerintah Indinesia memberikan kompensasi kepada investor asing jika pemerintah Indonesia mengambil tindakan "setara dengan" , "berbobot sama dengan" atau "memberikan dampak yang sama dengan" penghilangan hak.

    Operator tambang asing tidak akan berhasil mengklaim berdasarkan MIT atau BIT yang menjamin adanya kompensasi bagi penghilangan hak secara tidak langsung karena pelarangan penambangan terbuka di hutan lindung tidak dapat dianggap sebagai penghilangan secara tidak langsung hak investasi mereka.

    Dalam banyak kasus, hak hak operator tambang asing untuk beroperasi akan selalu kena aturan lingkungan dan social yang diberlakukan pemerintah Indonesia demi kepentingan public termasuk larangan penambangan terbuka di hutan lindung. Operator tambang asing tak dapat mengklaim mereka terkena efek negative ketika pemerintah memberlakukan pelarangan pertambangan terbuka di hutan lindung.

    Sebagaimana di bahas di atas, setiap KK yang ditandatangani sejak pertengahan 1970-an memuat pasal pasal yang mengharuskan operator tambang asing mengoperasikan tambangnya sesuai hukum dan peraturan lingkungan yang berlaku. Ini berarti KK mewajibkan operator tambang asing menambang dengan cara cara yang sesuai dengan hukum dan peraturan di Indonesia.

    Karena itu ketika DPR memberlakukan pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan, DPR tidak menghilangkan hak hak yang telah diberikan kepada operator tambang asing berdasarkan KK.


 

Wewenang Pemerintah

Dalam pasal 38 ayat(4) UU Kehutanan, operator tambang asing juga tak dapat mengajukan arbitrase dengan klaim bahwa pemerintah Indonesia melanggar BIT dan/atau MIT yang menjamin adanya perlakuan sama dan setara karena pelarangan tersebut dalam lingkup dan wewenang pemerintah Indonesia. Dikeluarkannya Perpu no I/2004 yang akan ditindak lanjuti dengan Keppres yang akan memberikan izin kepada 13 perusahaan untuk menambang (secara terbuka) di hutan lindung justru akan membuka peluang bagi tuntutan arbitrase terhadap pemerintah karena pemerintah tidak memberikan perlakuan yang sama kepada perusahaan tambang lain (total 158 perusahaan menuntut penambangan terbuka di hutan lindung). Akan timbul pertanyaan mengapa hanya 13 saja yang diizinkan.

    Dikeluarkannya Perpu no I/2004 adalah akibat ancaman operator pertambangan asing yang didukung penuh pemerintah mereka. Sungguh sangat tidak patut; Suatu bangsa berdaulat mau begiru saja tunduk pada ancaman entitas asing yang mau ikut campur urusan domestic suatu Negara, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak.

    Pemerintah Indonesia seharusnya tak membiarkan ketidak patutan operator tambang asing mempengaruhi kebijakan domestik pemerintah Indonesia melalui ancaman arbitrase, apakagi mereka tak berhak mengajukan. Mereka tidak memiliki hak khusus yang membolehkan mereka begitu saja mengancam untuk membangkrutkan pemerintah Indonesia jika kepentingan mereka tidak diutamakan.

    Fakta bahwa operator tambang asing tidak juga mengajukan gugatan walaupun sudah hampir lima tahun larangan penambangan terbuka dihutan lindung diberlakukan menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sangat paham bahwa mereka tidak berpeluang berhasil di arbitrase.


 

Indonesia rugi

Kontrak karya Indonesia dengan Freeport hanya memberikan keuntungan 2 persen. Dampak terhadap berlangsungnya kegiatan eksplorasi Freeport di Papua, antara lain telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan marjinalisasi hak hak rakyat Papua, termasuk kesewenang- wenangan angkatan bersenjata yang disewa perusahaan raksasa itu terhadap rakyat.

    Menurut pengamat pertambangan Kurtubi, kontrak karya menjadi batu sandungan utama mengingat model tersebut menjadikan Negara dalam posisi lebih lemah dibandingkan dengan korporat. Model ini di dunia perminyakan juga sudah tidak dipakai lagi sejak 1960-an. Model kontrak karya berkonsekwensi kekayaan alam hilang dan royalty yang diperoleh Negara hanya 2 persen, Karena itu Kurtubi mengusulkan kontrak karya dicabut.

    Beberapa kalangan berpendapat, ketidak beranian pemerintah menyetop model kontrak karya akan membuat Indonesia semakin miskin. Belum lagi dampak social ekonomi termasuk muncul nya berbagai penyakit dimasyarakat dilingkungan pertambangan. Kekayaan alam yang di eksplorasi pun seringkali tidak di ketahui persisnya karena control yang lemah. Pemerintah sering percaya dengan apa yang dilaporkan oleh perusahaan.

    Dalam kaitan tersebut, sementara kalangan berpendapat bahwa diperlukan keberanian para pemimpin Negara untuk menghentikan model kontrak karya. Kontrak karya bukanlah sesuatu yang suci tak dapat diubah lagi sehingga dalam kaitan ini Presiden sebagai kepala Negara dan pemerintahan bisa meng evaluasi kembali semua kontrak karya di Indonesia. Semoga. (Marulak Pardede, ahli peneliti utama bidang Hukum pada BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI, kompas 30 mei 2013).