Rabu, 23 Maret 2011

Paradoks Perekonomian Kita


KALAM ;

    Dengan menghilangnya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN),yang merupakan Kebijaksanaan Pembangunan Nasional, pasca reformasi, terakhir 1993-1998, dan yang secara lima tahunan di evaluasi secara terukur, sesungguhnya banyak memberikan manfaat terhadap Trilogi Pembangunan yang pada masa Orde baru dan dikenal luas oleh masyarakat. Trilogi tersebut mencakup pengertian a)pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, b) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,c) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Empat belas tahun pasca reformasi perjalanan reformasi sungguh lamban. Dalam melakukan perubahan dari system otoriter ke demokratis, pembangunan yang semula berbasis GBHN dan yang ditetapkan melalui sidang umum DPR/MPR berubah menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang ( RPJP) 2005 sd 2025. Arah kebijakan tersebut secara bertahap dibagi di dalam Rencana Pembangunan Jangka menengah lima tahunan, (RPJM.); namun sayang pemerintah tidak serta merta menyosialisasikannya terbuka kepada seluruh lapisan masyarakat, berbeda denga masa pemerintahan Soeharto, di mana semua lapisan masyarakat termasuk perguruan tinggi, ikut urun rembug.

Bagaimana mungkin masyarakat tahu lebih jauh dan dapat memberikan pendapat, apabila misalnya jumlah investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang kelihatan jomplang antara Jawa /Bali sebesar 60,2% dengan Kalimantan sebesar 8,94%, dengan Penanaman Modal Asing (PMA), sebesar 91,77% untuk Jawa/Bali, dengan hanya 6,79 % untuk Sumatera (2008). Bukankah dalam konteks NKRI, satu untuk semua, semua untuk satu dalam perfektif keadilan bagi rakyat?

Penyusunan Sistem Perekonomian Nasional masih dalam tanda Tanya. Apakah gejala umum yang kita saksikan sejak Orde Baru, dimana system "mixed economy" belum dapat di identifikasi sebagai system yang mempunyai cirri-ciri yang khas Indonesia dan yang sepenuhnya dijiwai oleh amanat konstitusi?Apakah gejala liberalism, pasar bebas dan Neo-liberalisme yang ditandai dengan justifikasi 'pembisnisan' semua hal termasuk politik, hukum dan social budaya dilakukan dengan transaksi 'bisnis?

Masih terbukakah peluang untuk meletakkan dasar pemikiran pokok dibidang ekonomi, sebagai reformasi tersusunnya system ekonomi Pancasila atau system ekonomi konstitusional? Mengapa kebijakan Pasar Bebas dalam system liberalism kapitalistik yang gagal di Amerika masih juga dipaksakan diterapkan di Indonesia, justru pada saat sekarang contohnya, melepas harga Pertamax sesuai dengan keinginan pemodal asing di Indonesia?, bukankah Mahkamah Konstitusi (MK), telah membatalkan pasal 28 ayat 2 tentang pelepasan harga BBM ke pasar karena bertentangan dengan UUD 1945? Dimana rasionalitas dan konsistensi para pemimpin bangsa?Di mana hak subsidi rakyat yang di jamin oleh pasal 33 UUD 1945?

Tulisan Saudara A. Prasetyantoko dibawah ini saya copy paste dari harian Kompas tanggal 3 maret 2011, intinya bahwa sampai sekarang pemerintah yang mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi semakin meningkat, ternyata seiring dengan itu angka kemiskinan terus merangkak. Apalagi pasca pergolakan politik di Timur Tengah, yang menyebabkan harga minyak melonjak tidak terkendali. Mungkinkah prediksi ekonom Indef, Ahmad Erani Yustika, benar, bahwa angka kemiskinan tahun 2011 mencapai level 14 %.(a.m.a). 

  
      Berbagai berita bagus terus menyelimuti perekonomian kita. Baru saja Fitch Ratings menaikkan peringkat outlook sovereign Indonesia dari BB (stabil) menjadi BB+ (positif). Sebulan sebelumnya , Moodys Investor Service juga menaikkan utang domestic dan luar negeri Indonesia menjadi Ba1 dari sebelumnya Ba2. Dua lembaga pemeringkat ini menempatkan Indonesia pada satu level dibawah level investasi (investment grade). 

      Banyak pengamat menilai, tak lama lagi Indonesia akan memperolehnya, seperti India dan Brazil yang sudah terlebih dahulu mencapainya. Dengan begitu, lengkaplah mitos tentang lima kekuatan ekonomi dunia BRIIC (Brasil, Rusia, India, Indonesia, Cina). Seberapa solidkah scenario yang pernah dilontarkan Morgan Stanley ini?
    Pertengahan tahun lalu, Japan kredit Rating Agensy Ltd, bahkan sudah menempatkan Indonesia pada level investasi (BBB-). Bagi para investor pasar financial, tentu ini berita bagus. Modal asing jangka pendek (fortofolio) akan terus mengalir ke pasar keuangan kita, baik di pasar uang modal, maupun utang. Nilai tukar rupiah juga terus menguat pada kisaran Rp.8.850 per dolar AS.

      Paradoksnya, daya saing produk ekspor- - terutama komoditas primer - - turun karena rupiah terlalu kuat. Cadangan devisa terus bertambah sementara premi risiko investasi akan menurun. Akhir tahun ini diperkirakan cadangan devisa 120 miliar dollar AS. Perbaikan peringkat juga berpotensi menurunkan suku bunga penerbitan surat utang Negara yang sekarang masih 10 – 12 persen untuk jangka menengah . Dengan demikian, peningkatan peringkat akan menambah amunisi moneter sekaligus menekan biaya fiscal . Apa yang merisaukan?

      Perkembangan perekonomian kita tentu perlu disyukuri. Kenaikan peringkat utang akan membuat biaya untuk mendapatkan dana (cost of capital) lebih murah. Maka, logikanya, likuiditas untuk menggerakkan perekonomian, terutama sector riil, juga akan semakin mudah. Benarkah?

Empat Paradoks
      Tampaknya hubungan antara sector riil dan sector keuangan tidak selalu positif. Ada transmisi dan pola hubungan rumit di antara hubungan keduanya, yang berkhir dengan berbagai cerita paradoks. Pertama, paradoks pertumbuhan. Pada 2010 pertumbuhan mencapai 6,1 persen, kuartak II mencapai 6,6 persen. Ekonomi yang tumbuh memberi ruang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, benarkah kesejahteraan meningkat?

      Dilihat dari pendapatan per-capita, itu mungkin terjadi , tetapi kesenjangan juga semakin lebar. Indeks Gini yang mengukur tingkat distribusi pendapatan cenderung meningkat, sementara indeks pembangunan manusia tidak menunjukkan perbaikan berarti (peringkat ke 108 pada 2010). Maka pertumbuhan ekonomi disatu sisi menimbulkan kesenjangan, di sisi lain secara sektoral, telekomunikasi, jasa, perdagangan, keuangan tumbuh pesat, tapi manufaktur, pertambangan dan pertanian, justru semakin menyusut.

      Kedua, paradoks daya saing. Meskipun kaya sumber daya alam dan manusia, daya saing Indonesia tidak meningkat secara signifikan. Menurut survey indeks daya saing dunia peringkat kita memang meningkat ke-posisi ke-44 tahun 2010, tetapi sejatinya tak ada perubahan mendasar untuk menjalankan usaha di Indonesia. 

      Indeks ilklim usaha (doing business indeks) 2011 justru merosot keposisi ke-121 dari posisi ke-115 tahun sebelumnya. Banyak lembaga investasi menyatakan Indonesia memiliki keuntungan demografi (demographic dividen) sehingga tahun 2025 bisa menjadi salah satu Negara dengan tingkat produktivitas tertinggi di dunia. Ini karena rasio orang usia produktif terhadap orang yang tidak bekerja cukup tinggi. Pertanyaannnya, sudahkah kita menyiapkan sumber daya menusia agar keuntungan demografi itu menjadi kenyataan?

      Belum lagi soal sumber daya alam yang hancur karena pilihan strategi ekspor komoditas primer yang tidak tepat. Bagaimana mungkin pabrik yang berdiri di Kalimantan kekurangan listrik? Bagaimana mungkin anggaran Indonesia yang kaya minyak ini babak belur karena minyak di pasar dunia naik mendekati 120 dollar AS per barrel?

      Ketiga, paradoks sector usaha. Merujuk pada undang-undang Nomor 20 tahun 2008 tentang definisi usaha mikro, kecil, dan menengah, hanya ada 0,01 unit usaha besar di Indonesia. Namun, mereka menyumbang 41,83 persen produk domestic bruto (PDB) dan 82,98 persen ekspor. Meski kecil, perannya sangat besar dalam perekonomian kita, Sementara 98,88 persen unit usaha yang bersifat mikro kesulitan mencari sumber dana. Sektor usaha menengah di Indonesia sangat kecil, hanya sekitar 0,88 persen. Padahal perekonomian yang kuat dan kompetitif umumnya ditopang oleh usaha menengah yang kokoh.

      Keempat, paradoks likuiditas. Meskipun likuiditas melimpah, perekonomian Indonesia mengalami disintermediasi. Dunia usaha kesulitan mendapatkan pinjaman bank dengan bunga 12 – 14 persen, sementara instrumen pendanaan lain belum popular. Jadi, ada persoalan pendalaman sector keuangan ( financial deepening) dan inklusi finacial ( financial inclusion).

      Ratio deposito perbankan terhadap PDB pada 2009 hanya sekitar 0,33 persen, padahal di Vietnam sudah 0,98 persen dan Thailand 0,79 persen. Di ukur dari tingkat pinjaman sector swasta dari bank umum terhadap PDB, rasionya juga masih relative kecil, yaitu sekitar 0,28 persen. Bandingkan dengan Vietnam yang sudah 1,10 persen dan Thailand 0,73 persen.

Jawaban politik
      Berbagai paradoks yang mengemuka tentu bias menimbulkan persoalan moral, termasuk apakah pemerintah bias dikatakan bohong. Secara teknis paradoks tersebut akan menyulitkan kalkulasi untuk menaikkan peringkai Indonesia pada investment grade.

      Perekonomian Indonesia memang penuh potensi, tetapi juga penuh paradoks. Maka bagi lembaga pemeringkat, salah satu pertanyaan kuncinya adalah apakah berbagai indicator makro - - pertumbuhan , inflasi, suku bunga, cadangan devisa, nilai tukar, dan rasio utang - - membuat iklim dunia usaha di Indonesia membaik? Jika begitu, rasio pajak pada PDB akan meningkat. Kenyataannya rasio pajak kita tidak pernah naik.

      Untuk mengatasi berbagai paradoks perekonomian tersebut, diperlukan konsensus politik berupa perencanaan ekonomi yang konsisten dijalankan. Tanpa keberanian politik, perekonomian kita akan tetap dipersimpangan jalan. Mulai dari pembangunan infrastruktur, ketersediaan sumber daya energy, perbaikan transmisi kebijakan keuangan, hingga soal pemerataan ekonomi, semua membutuhkan kekuatan politik untuk menjawabnya.

      Jangan-jangan berbagai paradoks perekonomian berakar pada paradoks politik. Meski mendapat dukungan mayoritas pemilih, pemerintah justru membiarkan diri terkatung-katung dalam koalisi yang tidak jelas!