Jumat, 22 Maret 2013

RUU Liberalisasi Perdagangan

Oleh : Revrisond Baswir


 

Saya sangat geram membaca naskah akdemik RUU Perdagangan yang saat ini sedang dibahas di DPR. Dalam naskah akademik (NA) yang disusun KementerianPerdagangan itu, kita tidak hanya menyaksikan buruknya apresiasi Kementerian Perdagangan terhadap pasal 33 UUD 1945. Dari berbagai paragraf yang terdapat dalam NA itu, kita dapat menelusuri kecenderyngan Kementerian Perdagangan melecehkan pasal 33 UUD 1945.

Hebatnya, pelecehan terhadap pasal 33 UUD 1945 itu vulgar sejak halaman pertama. Simak, misalnya Bab I.A.I butir g mengenai landasan filosofis yang mendasari penyusunan NA itu. Menurut NA tersebut, "market mechanism is the best mechanism for the economy"

Dengan landasan filosofis yang diadopsi secara mentah-mentah dari paham ekonomi liberal itu, kandungan dari berbagai paragraf yang terdapat dalam NA itu menjadi mudah ditebak. NA RUU Perdagangan tampaknya memang disusun sebagai bagian dari upaya sistematis untuk menyingkirkan pasal 33 UUD 1945.

Demokrasi Ekonomi

    Gambaran yang lebih jelas mengenai pelecehan pasal 33 UUD 1945 yang dilakukan NA RUU Perdagangan itu dapat disimak dalam Bab II dan III. Sebagaimana dikemukakan oleh NA tersebut azas-azas yang digunakan dalam menyusun NK itu antara lain mengacu kepada pasal 33 UUD 1945 (hasil amandemen keempat). Sehubungan dengan itu salah satu azas yang digunakan dalam menyusun NA Perdagangan itu adalah asas demokrasi ekonomi.

    Sepintas lalu pencantuman asas demokrasi ekonomi itu memang tampak heroik. Namun bila dikaji lebih jauh, akan segera diketahui bahwa tindakan itu sesungguhnya hanyalah basa basi.

Sikap basa basi itu antara lain dapat disimak pada tiadanya dedinisi yang jelas. Bahkan menyimak uraian yang ada dalam NA itu, tidak berlebihan bila ditarik kesimpulan bahwa menurut Kementerian Perdagangan, demokrasi ekonomi sesungguhnya hanyalah slogan kosong yang tidak jelas ujung pangkalnya. Sebagaimana dikemukakannya dalam Bab II butir a "Demokrasi ekonomi menganut asas keberpihakan pada rakyat, dilakukan oleh rakyat dan ditujukan untuk rakyat".

Bandingkanlah uraian itu dengan dua definisi demokrasi ekonomi berikut. "economic democracy is a socioeconomic philosophy that purposes to shift decision-making power from corporate shareholders to a larger group of public stakeholders that includes workers,customers,suppliers and the broader public" (http://en.wikipedia.org/ wiki economic democracy. Di akses pada 31 januari 2013).

"Economic democrasi,conceptualized in the wake of ranciere as a permanent struggle against the oligarchy of owners, lies in the coordination of economic action (through cooperation), workers demand (through trade unions) and political action, sice, more than ever, the social power of wealth relies on state power (Rousseliere, 2004).

Sejalan dengan kedua definisi demokrasi ekonomi itu, amanat pasal 33 UUD 1945 untuk melembagakan tiga hal berikut dalam menyelenggarakan demokrasi di Indonesia menjadi mudah dipahami; (1)perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan ; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat orang banyak dikuasai oleh Negara; dan (3) Bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

NA RUU Perdagangan itu tampaknya tidak tertarik dengan amanat pasal 33 pasal 1,2, dan 3 sebab itu ketika kita berbicara mengenai peran pemerintah dalam Bab III.B3, ia justru memulai uraiannya tantang peran the invisible hand. Menurut NA itu, "dalam ekonomi pasar, harga merupakan instrument pada saat bekerjanya invisible hand. Invible hand umumnya juga menjamin alokasi yang efisien atas sumber-sumber daya."

Liberalisasi perdagangan

    Bertolak belakang dengan sikapnya yang cenderung melecehkan pasal 33 UUD 1945, sikap NA RUU Perdagangan itu terhadap berbagai kesepakatan liberalisasi perdagangan internasional benderung sangat ramah. Pembahasan tidak hanya dilakukan secara mendalam, tetapi dilakukan secara simpati dan penghormatan.

    Simak misalnya mengenai pembahasan mengenai hierarki berbagai kerjasama perdagangan internasional sebagaimana dilakukannya dalam Bab III.B.3. Menurut NA itu, berbagai kerjasama internasional yang selama ini diikuti Indonesia dapat disusun dalam hierarki berikut.

    Posisi tertinggi diduduki organisasi Perdagangan Dunia, disusul oleh Kerjasama Ekonomu Asia Fasifik (APEC). Dibawah APEC terdapat Forum Regional ASEAN (ARF) yang bersifat mendukung APEC. Selanjutnya dibawah ARF, terdapat ASEAN +3 dan ASEAN +1. Akhirnya dibawah ASEAN +1, terdapat berbagai kerjasama perdagangan yang bersifat bilateral.

    Menurut NA itu, kerjasama bilateral sesungguhnya memiliki kelemahan. "Kelemahan kerjasama bilateral adalah kemungkinan terjadinya hub-spokes problem di mana jumlah komoditas nasional yang akan diliberalisasikan menjadi jauh kebih banyak ketimbang bila ia maju atas nama ASEAN.

    Namun apabila kerjasama bilateral tidak dilakukan Negara anggota, yang tidak melakukan akan mengalami kerugian (opportunity cost) Karena Negara anggota lainnya sudah terlebih dahulu (first mover advantage) melakukan kerjasama bilateral".

    Sikap hormat berlebihan NA RUU Perdagangan itu terhadap berbagai kesepakatan liberalisasi Perdagangan internasional dapat disimak ketika ia berbicara mengenai harmonisasi kebijakan perdagangan. Menurut NA itu, "pemerintah mengatur perdagangan dengan tidak melanggar hal-hal yang sudah disepakati dalam perjanjian internasional : WHO,GATS,ASEAN Economic Community dan lain-lain"

    Betapa sangat ramah sikap NA RUU perdagangan itu terhadap kesepakatan liberalisasi perdagangan internasional . Untuk tujuan apakah sesungguhnya RUU Perdagangan disusun untuk melaksanakan pasal 33 UUD 1945 atau untuk menyingkirkannya? (Revrisond Baswir, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM; Kompas, Kamis 14 februari 2013)