Minggu, 02 September 2012

Sambutan Penganugrahan “Indonesia’s Qualified Profesional” di Hotel Harris Tebet, Jakarta. (Oleh Wkl Ketua umum PPK Kosgoro Abdul Muin Angkat).


 

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh,

Selamat malam Selamat Datang di Ibukota Republik Indonesia Jakarta yang sangat terkenal dengan sebutan kota macet dan banjir yang tak terperikan.

    Bapak ibu kami sampaikan ucapan selamat atas terpilihnya bapak / ibu untuk menerima penganugrahan Indonesia's Qualified Profesional, yang nanti akan disampaikan oleh Ketua Harian Yayasan Citra Insani Jakarta. Sebagaimana bapak/ibu ketahui bahwa Yayasan ini sudah lama bergerak dalam Pengembangan sumber daya insani yang memberikan supporting bagi kemajuan kemanusiaan dan peradaban khususnya dalam bidang karya nyata dan ide-ide kreatif.

    Selama ini mereka mengamati kapasitas kerja, integritas kerja
kolektif secara periodic melalui mass media local dan informasi lainnya yang berhubungan dengan apa,siapa dan bagaimana performans bapak/ibu dikantor masing-masing. Dengan metoda pengolahan data tertentu Tim ahli Yayasan telah memilih deretan nama-nama yang sebentar lagi akan diumumkan.

    Qualified Profesional adalah seseorang yang mempunyai kompetensi dalam suatu pekerjaan tertentu. Kalau seorang employ menggunakan kapasitasnya dalam menunjang quality atau memberlakukan kapasitasnya untuk quality maka maka pintu sukses akan berada diambang pintu.

    Ada dua pandangan menyangkut profesionalitas. Pandangan pertama menyatakan ; seorang professional hanya terkait dengan pendapatan. Bukan keahlian .Menurut pendapat saya justru seorang profesional terkait dengan keduanya ya pendapatan, ya keahlian. Seorang professional harus ahli, Dia harus punya skill yang spesifik Oleh karenanya justru dia akan mendapatkan pendapatan yang lebih besar. Bukan sebaliknya ! . Semua keberhasilan itu akan lebih lengkap kalau disertai dengan "rasa syukur" kepada Allah swt, Tuhan yang maha kuasa yang telah memberikan karunia dan barokah.

    Pandangan kedua menyatakan, bahwa seorang professional di dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan Juklak dan Juknis. Pekerjaan diluar skema itu tentu akan mendapatkan tambahan pendapatan.

    Merujuk pendapat Tanri Abeng, seorang professional harus mampu menguasai IPTEKS. Secara mendalam mampu melakukan kreativitas dan inovasi atas bidang yang digelutinya, berpikir positip dan menjunjung tinggi etika dan integritas profesi.

    Dalam semangat itulah Penganugrahan "Indonesia's Qualified Profesional" menjadi relevan untuk meningkatkan daya saing bangsa sekali lagi kami ucapkan Selamat !! Wabillahi taufik wal hidayah wassalamu alaikum warrahmatullahi wabarakatuh (ama 1 septrember 2012).

    


 

.

    
 

    

Indonesia Negara Gagal?


Kalam;
    Gambaran buruk dalam Index negara gagal 2012 yang dipublikasikan Lembaga riset nurlaba the fund for peace (FFP) di Washington (AS), Indonesia menempati peringkat ke-63 dari 178 negara. Status 2012 lebih buruk ketimbang ketimbang tahun lalu yang menempati urutan ke-64 dari 177 negara.
    Dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia berada dalam urutan ke-6 negara terburuk dan jauh tertinggal dibandingkan denga anggota ASEAN lainnya, seperti Thailand (84) Vietnam (96), Malaysia (110),Brunei (123), dan Singapura (157). Menurut index yang disusun FFP bekerjasama dengan majalah Foreign Policy , semakin besar angka peringkat, semakin tinggi tingkat stabilitas dan semakin rendah tekanan yang dihadapi Negara tersebut.
    Kajian FFP menyebutkan kondisi Indonesia memburuk terutama di tiga dari 12 indikator yang menyusun index kegagalan Negara. Ketiga indicator tersebut menyangkut tekanan penduduk, kegalauan kelompok minoritas, dan lemahnya perlindungan hak azasi manusia.
    Tulisan Daoed Joesoef dalam Kompas 12 juli 2012, mungkin bisa memberi solusi terhadap persoalan ini setidaknya kita bisa berharap seperti Negara Finlandia urutan ke-178 negara paling stabil di dunia, karena kehidupan politik, ekonomi, supremasi hukum,perlindungan hak azasi manusia dan pelayanan public benar-benar terjamin baik, di Indonesia mungkinkah?.
.
    Pada 16 agustus 2007, Boni Hargens sudah menulis bahwa Indonesia, ketika memasuki usia ke-62 masih gagal "menjadi Indonesia". Sejak 1970, abad lalu , saya sudah memprediksikan hal ini dan saya katakan langsung kepada Presiden Soeharto 6 januari 1982. Melalui tulisan di media massa, saya ingatkan setiap pemerintahan baru di era reformasi supaya berusaha mencegah kegagalan pembentukan Negara bagsa kita. Ketidak suksesan pembangunan ekonomi mengindonesiakan Indonesia. Mereka semua tidak menggubris. Mereka lupa, mereka dipilih tak melulu untuk memimpin, tapi sambil mendengan dan membaca juga pendapat orang-orang yang berada di luar lingkungan terdekatnya. Presiden SBY menyanggah pernyataan Indonesia Negara gagal. Dia bahkan sampai menyatakan penilaian tersebut berlebihan dan karenanya mempermainkan kebenaran itu, menurut dia, mempermainkan Tuhan.
    Adalah logis Indonesia menjadi Negara gagal karena sejak penyerahan kedaulatan nasional dari Belanda ke Indonesia tidak pernah ada usaha kolektif berupa pembangunan nasional yang sistemik, koheren, konsisten, terarah, dan kontinu. Yang selama ini dilakukan oleh penguasa Negara silih berganti adalah pembangunan bidang ekonomi berdasarkan resep penalaran ekonomika,Bank Dunia, IMF dan Lembaga financial internasional lainnya. Kedua usaha ini memang saling terkait, tetapi jekas berbeda secara fundamental dalam tujuan dan ukuran suksesnya. SBY dan para penasehat ekonomi serta mereka yang memagarinya perlu menyadari bahwa Negara bangsa Indonesia bukan lahir dari penalaran buku teks ekonomika, melainkan dari suatu revolusi yany ditakdirkan Tuhan bernatur unik. Realitas historis ini adalah suatu kebenaran dan mukjizat ilahiah . Akuilah memang ada yang salah dengan visi pembangunan dari semua pemimpin pasca revolusi kita selama ini.
Horizontal dan vertikal
    Bagaimana bisa disebut Indonesia Negara berhasil kalau sampai sekarang, saat memasuki usia ke-67, masih ada saja daerah bagiannya yang ingin memisahkan diri, tidak betah lagi bergabung dalam NKRI, bosan menjadi bangsa Indonesia. KeIndonesiaan kita terbukti gagal, baik secara horizontal maupun vertical. Secara horizontal tetap rapuh karena hubungan antar kelompok (etnis dan kedaerahan) belum terpadu secara integralistik.
    Secara vertical tetap rawan berhubung sepak terjang para pemimpin politik dan kepartaian mereka tidak menggairahkan perkembangan spirit nasionalisme dikalangan warga Negara. Kompas 2 juli lalu memberitakan betapa konflik antar warga atau dengan aparatur pemerintah ternyata masih menyala di Aceh, Lampung dan Sulawesi tenggara, yaitu daerah-daerah yang selama ini menjadi area konflik.
    Dinamika masyarakat digerakkan oleh dua set keadaan, yang oleh sosiolog Robert Merton disebut "laten" dan "manives". Yang "laten" adalah kekuatan-kekuatan yang tidak kita sadari atau samar-samar disadari atau di mana kesadaran mengenai hal itu memainkan peran yang tidak penting. Yang "manives" merupakan proses di mana kesadaran tentang prose situ sendiri—yaitu citra tentang natur dari masyarakat dan proses social dalam pikiran manusia – memainkan peran yang signifikan dalam menentukan perilaku manuasia dan jalannya kejadian-kejadian social.
    Artian "laten" tadi meliputi nyaris keseluruhan proses kehidupan makhluk hewan, tetapi tidak lagi bagi makhluk manusia. Sedangkan kesadaran sudah masuk ke dalam system social human sejak dini, tidak hanya kesadaran diri (self awareness), tetapi lama kelamaan juga tentang keseluruhan system di mana manusia itu berakar. Kita tidak bisa mengatakan apa yang akan dilakukan oleh system kecuali bila kita ketahui apa yang dipikirkan oleh para anggotanya mengenai system yang bersangkutan sebab apa-apa yang mereka pikirkan memengaruhi perilaku mereka dan perilaku itu memengaruhi system.
    Jadi citra tentang dunia dalam pikiran manusia menjadi unsure esensial dalam proses kejadian dunia itu sendiri. Ideologi merupakan bagian dari citra yang dianggap manusia sangat bernilai bagi identitas dan citra dirinya sendiri dan, dank karena itu, dia siap sedia untuk mengembangkan dan mempertahankan. Suatu citra dunia akan menjadi ideology bila ia menciptakan dalam pikiran manusia yang menghayatinya suatu peran bagi dirinya sendiri yang dinilainya sangat tinggi. Persiapan yang cukup lama, konsisten dan kontinu dari kelahiran Negara bangsa Indonesia, mentransformasi ideology etnis-kedaerahan menjadi ideology kebangsaan.
    Maka, karakteristik esensial pertama dari ideology adalah suatu interpretasi historis yang cukup dramatis dan meyakinkan sehingga individu merasa mengidentikkan dirinya dengan sejarah itu dan pada gilirannya dapat memberikan kepada individu sebuah peran dalam drama yang digambarkan dan dicetuskan oleh sejarah tadi. Ideologi kemerdekaan nasional menggambarkan sejarah sebagai suatu drama besar pembebasan manusia melalui perang revolusiner mengusir penjajah. Dengan menjadi "rakyat Indonesia" dan tidak sekedar "orang daerah" (Aceh, Papua dll), individu mengidentikkan dirinya dengan drama ini dan menerima sebuah peran disitu. Kemenangan perang revolusioner akan mengakhiri penindasan, menegakkan keadilan dan kemerdekaan nasional, serta merehabilitasi harkat manusia bagi seluruh warganegara Indonesia.
    Namun, para pemimpin dan politikus kita, termasuk SBY, kiranya tak menyadari, pengertian "bangsa" bukanlah deskriptif. Suatu bangsa bukanlah satu fakta. Ia abadi karena berupa status nascendi yang permanen, dari natur nya ia selalu in potential, tidak parnah in actu. Jadi istilah "bangsa" bukan mengatakan keadaan melainkan suatu gerakan, suatu kemauan, suatu usaha bersama karena mau hidup bersama.
    Maka, ketika Negara selaku manivestasi dari "bangsa yang terorganisir" lalai mengadakan gerakan pembangunan nasional berupa usaha kolektif sistematik, koheren, konsisten, terarah dan kontinu, satu persatu individu, suku, atau daerah yang merasa peran yang dibayangkannya dalam dunia Indonesia yang merdeka jadi semakin tidak pasti, jauh dari memuaskan atau dilecehkan oleh pihak lain atau diingkari oleh penguasa, mulai memikirkan ideology lain yang menjanjikan.
    Kita memang harus memberantas separatism demi keutuhan NKRI. Tetapi kita berkewajiban memahgami sebab musabab timbulnya gerakan separatism tersebut. Coba renungkan ! Sambil mengibarkan bendera yang lain daripada sang saka merah putih, menembakkan peluru dan melayangkan anak panah, para separatis berteriak, bukan minta kenaikan produk nasional bruto, melainkan menuntut agar "diwongke" sebagai manusia bermartabat diajak berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Mereka sadar benar mereka sudah eksis dan relative mumpuni jauh sebelum kelahiran Indonesia.
Paradigma Baru
    Berarti kita dituntut bukan untuk mencari arah baru untuk mengatasi ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Selama "pembangunan" direduksi dari "pembangunan nasional" menjadi "pembangunan ekonomi" tok dan pelaksanaannya didadarkan pada penalaran ekonomika pure and simple selama itu pula pembangunan kita akan berjalan ke "arah yang salah" karena penalaran ekonomika itu justru mengarahkannya kesana. Kita dituntut menetapkan sutu paradigm baru pembangunan secara nasional. Yang perlu kita perkaya adalah manusia bukan ekonomi ditengah mana manusia itu hidup. Yang harus kita selamatkan ditengah paradigm baru tadi, adalah eksistensi Negara bangsa karena Ia adalah gabus tempat kita semua mengapung.
    Dengan kata lain, Bappenas bukan perlu menyiapkan satu "Master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI), melainkan "Master plan Percepatan Pembangunan Negara Bangsa", sesuai panggilan lembaganya yaitu "badan Perencanaan Pembangunan Nasional", sesuai sebutan dengan isi. Konsep paradigm baru pembangunan mendatang itu harus memperhitungkan hal-hal yang selama ini diabaikan begitu saja.
    Pertama, pembangunan adalah pembangunan nasional yang holistic, bukan pembangunan ekonomi yang sektoral. Kita jangan lagi berpikir dalam term ekonomi karena yang dipertaruhkan bukan lagi bidang ekonomi, melainkan eksistensi Negara bangsa. Ekonomika tetap dipakai tetapi sebagai bagian dari pembangunan nasional, bukan sebaliknya. Penalaran ekonomika harus melayani kebutuhan pembangunan nasional, bukan sebaliknya. Berarti konsep pembangunan tidak perlu lagi didikte ajaran dan pesan dari "the economics of development" tetapi harus didasarkan pada ide "the cultural realisties" dari dinamika social bawaan revolusi -45 yang telah melahirkan Indonesia, berupa sekaligus Negara dan bangsa.
    Kedua, hargai suku sebagai kelompok etnis dari orang- orang yang punya self esteem, bermartabat, turut disertakan dalam usaha kolektif yang terorganisir yang menentukan nasib bersama. Usaha mengIndonesiakan Indonesia mengisyaratkan memanusiakan semua dan setiap warga Negara Indonesia di manapun berada.
    Ketiga, dalam memanfaatkan sumber daya alam (natural endowment ) hendaknya kita punya "etika masa depan". Ini bukan etika yang dirumuskan sekarang guna ditetapkan di masa mendatang, melainkan yang digariskan sekarang untuk diterapkan sekarang juga demi eksistensi masa depan. Artinya, kita tidak boleh serakah lupa daratan sehingga melupakan peluang serupa yang diperlukan bagi kehidupan anak cucu. Dengan kata lain natural endowment yang kita "kuasai" saat ini bukanlah "warisan" nenek moyang melainkan "pinjaman" dari anak cucu yang harus bisa dikembalikan pada waktunya kepada mereka dalam kondisi bernilai sama, kalaupun tak bisa berpotensi lebih besar sebagai bunga pinjaman.
    Keempat, pendidikan formal perlu diberi prioritas pertama dan utama. Indonesia adalah satu2 nya bangsa di dunia yang puluhan tahun sebelum merdeka selagi masih dijajah asing, sudah mengadakan system pendidikan nasionalnya sendiri guna menyiapkan orang-orang yang berjiwa merdeka dan siap berjuang merebut kemerdekaan. Sesudah merdeka sekarang adalah wajar sekali apabila kita membangun pendidikan yang sistemnya menyiapkan warga yang nerjiwa Indonesia dan mampu membangun Negara bangsa.
    Kelima, Setiap langkah dan proyek pembangunan di manapun merupakan penerapan Pancasila. Artinya ia jelas mencerminkan Pancasila tanpa ribut mengungkapkannya sebagai lip-service politik semata. Politik bukan demi berpolitik tetapi demi pembangunan nasional agar tidak menjadi Negara gagal.(ama)