Tampilkan postingan dengan label character building. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label character building. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Januari 2011

SINGA PODIUM (yang teduh), DARI MEDAN

(Memperingati usia 80 tahun Drs. Osman Simanjuntak)
Oleh : Drs. Abdul Muin Angkat, M.M.

Kalam.

Pada tanggal 27 desember 2010, saya mendapat surat dari Medan, yang dikirim oleh Bung Bonggas Simanjuntak yang mewakili putra putri Pak Osman Simanjuntak, merencanakan menerbitkan buku yang berjudul: "Perjuangan dan Pengabdianku" yang akan diterbitkan pada bulan maret 2011 yad., dalam menyambut usia yang ke 80 tahun. Di dalam bagian kedua buku tersebut, akan berisikan tulisan tentang pandangan dan pendapat teman, sahabat dan orang dekat beliau, yang mengenal sosok Pak Os seperti sering saya panggil selama ini.

Saya merasa mendapat kehormatan yang tinggi, sehingga saya segerakan menulisnya persis diawal tahun 2011, sebagai penghargaan atas komitmen, keberanian dan kejujuran beliau sebagai politisi dan tokoh kosgoro yang loyal, menjadi panutan, ditengah krisis kepemimpinan Bangsa dan degradasi moral para politisi muda yang haus kekuasaan dan materialistik. Tokoh Osman Simanjuntak adalah senior saya, teman seperjuangan Mas Isman alm., eks Komandan TNI Brigade 17/detasemen I Trip (Tentara Republik Indonesia Pelajar) Jenderal yang menjadi komunikator rakyat pendiri Kosgoro. Sedangkan Pak Os, adalah eks Tentara Pelajar (TP), Sumatera Utara, yang mempunyai akses ke Tentara Pelajar Jawa tengah yang dikomandani oleh Mas Martono. Sebagaimana diketahui gabungan Tentara Pelajar Jawa tengah dan Trip Jawa Timur membentuk Brigade 17 dengan kesatuan lainnya.

Tulisan ini saya masukkan di Blog saya untuk memperkaya visi dan pemahaman 'orang-orang muda' sekaligus sebagai sumber ketauladanan bagi pemimpin masa depan bangsa.(a.m.a)

Apa yang teringat dari sosok pejuang yang sederhana, Pak Osman Simanjuntak profil pendidik yang mengayomi, keras, tapi sebenarnya teguh dalam prinsip, luwes dalam penampilan? Ada dua sisi yang terpadukan dalam kehidupan Pak Os (saya memanggilnya demikian), antara dunia pendidikan dan dunia politik, seperti air yang mengalir. Dari dunia pendidikan Institut Keguruan Ilmu Pendidikan Medan, tempat beliau mengabdi, menjadikan proses transfer ilmu pengetahuan berjalan simultan sebagai sumber inspirasi dan pemikiran yang tak pernah habis.

Seorang ilmuan yang memperkokoh jati dirinya di dalam kapasitas dan kompetensi seorang pendidik namun secara tak terasa diseberang sana beliau berdiri, memasuki celah dan kisi-kisi 'pertarungan' politik yang sangat keras, tapi dengan kesejukan pandangan yang mengayomi. Pak Os sangat rasional dan kritis, sehingga kalaupun Pak Os bicara agak keras (nadanya), tapi dapat dipastikan bahwa lawan debatnya dapat memahaminya karena alasan yang dikemukakan sangat logis dan rasional. Pak Os dijuluki 'singa podium' kalau sedang bicara di mimbar politik.

Sering Golkar pada masa Amir Moertono dan Benny Moerdani, menganggap Kosgoro terlalu kritis mengkritik, padahal yang melahirkan Sekber Golkar adalah Kosgoro sendiri, Tentu yang berada di depan adalah Pak Os yang selalu menjadi jubir Kosgoro, baik sewaktu Mas Isman masih ada, maupun masa kepemimpinan Pak martono. Walaupun beliau akademisi, tapi bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa rakyat yang terang, lugas, tanpa bertele-tele. Sama dengan Mas Isman, beliau mempraktekkannya bahasa rakyat secara in-concreto itulah bahasa Kosgoro.

Dari langkah-langkah politik yang dijalani Pak Os sejak dari anggota DPRD Sumut, sebagai ketua Pimpinan Daerah kolektif Kosgoro Sumatera utara, sampai menjadi anggota DPR RI fraksi Golkar, kepemimpinan Pak Os sudah teruji di lapangan. Sebagai eks Tentara pelajar Sumatera utara, militansi dan daya juangnya tentu mempunyai 'krenteg' yang sama dengan eks pelajar pejoang Trip Jawa timur, eks Tentara pelajar Jawa tengah serta eks Tentara pelajar Jawa barat.

Satu-satunya Tentara pelajar bersenjata di dunia hanya ada di Indonesia, diantara dua Negara lainnya seperti Vietnam dan Aljazair yang merdeka karena perang. Menurut Mas Isman sekitar 5000 pelajar/mahasiswa telah ikut mengangkat senjata dalam perjuangan perang kemerdekaan sejak 1945 sd 1950. Tak salah rombongan mahasiswa Filipina yang dipimpin oleh putra Magapagal, pada tahun 1949, napak tilas dari Gabru, Wlingi sampai ke Malang untuk melihat secara dekat basis perjuangan pada masa gerilya Tentara pelajar bersenjata Trip Jawa Timur. Mereka sangat bangga terhadap perjuangan pelajar bersenjata satu-satu nya di dunia.

Pengenalan pertama saya dengan Pak Os ketika saya sebagai moderator, mendampingi beliau, pada tahun 1980–an, dimana DPP Generasi Muda (GM) Kosgoro melaksanakan Forum orientasi dan Tatap Muka (Forta) untuk Indonesia bagian Barat, di hotel Transera, Gambir Jakarta. Forta adalah semacam kaderisasi untuk memahami Pedoman Perjoangan kosgoro serta memperluas visi kebangsaan dari perspektif Ipoleksosbud-hankam. Pak Os ditunjuk Mas Isman selaku Ketua Umum dan pendiri Kosgoro, untuk memberikan ceramah tentang Relevansi pengabdian, Kerakyatan dan Solidaritas terhadap pembangunan bangsa.

Pak Os yang bangga dengan kader-kader mudanya, begitu sejuk memberi dorongan dan nasehat kepada kader-kader muda yang kala itu sangat progresif dan militant. Dengan saling asah, asih, dan asuh Pak Os akhirnya mengakui bahwa peranan GM Kosgoro berhasil membesarkan Kosgoro dengan semangat joang yang tinggi. Bung Jhony Baginda sebagai eksponen dan Deklarator GM Kosgoro, saat itu secara kritis meng evaluasi bahwa pada masa itu PPK Kosgoro mengalami stagnan, dan di isi oleh GM.

Dengan penuh kerendahan hati yang sangat familiar, Pak Os memberikan semangat, bahwa di dalam alam demokrasi, . . . " berbeda pendapat adalah fitrah, karena lawan berdebat adalah teman berpikir" - - keindahan alam demokrasi hanya bisa dirasakan apabila di dalamnya mengendap kejujuran, keterbukaan dan keikhlasan. Barangkali itulah kalimat yang sangat berkesan selama ini yang di tularkan oleh Pak Os, kepada anak-anak muda Kosgoro, kita hanya berlawanan di ruang rapat, di luar rapat kita bersaudara, sehingga budaya kritis dan keterbukaan itu merebak sampai sekarang. Bahkan beliau dengan guyonannya sering memberikan 'joke', bila ketemuan dengan teman-teman DPR di senayan, mereka dari partai lainnya sudah paham, akan perbedaan dan karakteristik politisi yang berasal dari Kino mana.

kalau mau tahu, ciri-ciri orang kosgoro adalah.. bila orangnya kritis, kumel dan sederhana, dan sering lupa sisiran, contohnya Sarwono (mantan Menteri Lingkungan hidup), (hahaha semuanya ketawa). Kalau orangnya perlente, pakai dasi, rapi, pasti orang Soksi, dan kalau orangnya santun, agamis, dan suka kompromi, pasti MKGR. Memang hegemoni Golkar dengan dukungan Tri Karya pada masa itu sangat luar biasa, karena dari 244 anggota parlemen 34 orang berasal dari Kosgoro. Dan saya masih ingat ketua paguyuban DPR RI – asal Kosgoro adalah Bung Ben Silitonga (anak buahnya Pak Os), sangat rajin memberi kostribusi bulanan, ketika itu saya sebagai sekretaris Grup Diskusi Nasional Kosgoro, dan diketuai oleh Sarwono Kusumaatmadja.

Menurut pendapat saya sejujurnya, Pak Os berhasil menempa kader-kader muda di Generasi Muda Kosgoro Sumatera Utara sebagai kader yang militant, nasionalis, berani, kritis dan konsisten terhadap nilai-nilai perjuangan Kosgoro yang dikomandoi oleh mas Isman. Mas Sutarjo, bung Muhyir Hasibuan, Bung Mahmuddin Lubis, Bung Sahdan, bung Wisnu, ditambah 7 s.d 8 orang kader Kosgoro yang duduk di DPRD Sumatera Utara, pada masanya. Tak salah bila setiap Rapat PPK yang diperluas, maka poros Sumatera utara (Pak Os), poros Sulawesi Selatan (Pak Yasin Limpo), dan poros Jawa tengah (Herman Nawawi) di tambah dengan DKI (pak Bendol alm.), menjadi peserta rapat dan barometer pengambilan keputusan pada hal-hal yang bersifat penting, yang diputuskan oleh Kosgoro di Pusat. Ketika Pak Jasin Limpo menceritakan kepada saya, bahwa posisi strategis Kosgoro sebagai poros tengah diantara NU dan Muhammadyah, maka 3 serangkai Pak Yasin, Pak Os, dan Pak Bendol adalah yang sering dipanggil Pak Harto, bersama Mas Isman ke Istana. Kekuatan Poros tengah Kosgoro, sebagai Ormas kebangsaan, sangat diperhitungkan, diantara dua Ormas Keagamaan besar adalah suatu kebanggaan, sejarah masa lalu dimana peran strategis Kosgoro sangat dibutuhkan menjadi kekuatan penyeimbang. Sayang posisi itu sekarang hilang tanpa bekas.

Masa kepemimpinan Amir Moertono, S.H. sebagai ketua umum DPP Golkar, periode 1978 sd 1983 posisi Kosgoro sebagai salah satu kino pendiri sangat kritis konstruktif menanggapi manuver politik Golkar pada saat itu. Dan, yang selalu ditunjuk oleh Mas Isman dalam Munas Golkar, untuk mewakili Kosgoro sebagai juru bicara, adalah pak Os, sehingga beberapa julukan khas untuk Kosgoro dianggap sebagai 'anak nakal' dalam keluarga besar. "Sepanjang Golkar tidak lari dari komitmen kerakyatannya, maka Kosgoro akan tetap memberikan aspirasi politiknya kepada Golkar" rupanya konstatasi ini cukup memerahkan telinga para petinggi di Golkar. Pada Mubes IV Kosgoro di Semarang, tahun 1978, tiga tokoh Tri Karya, Isman (Kosgoro), Soegandi (MKGR) dan Suhardiman (SOKSI) sebagai cikal bakal Sekber Golkar bergandengan tangan.

Dalam Mubes V Kosgoro tahun 1985 ketika diadakan reorganisasi badan-badan di dalam lingkungan Kosgoro, untuk menghindari tumpang tindih dan pemborosan, di adakan penggabungan Bamuhas (Badan Musyawarah Pengusaha) Kosgoro, dengan Kosgoro Business Group (KBG) dengan nama baru, HITA (Himpunan Wiraswasta) Kosgoro. Tidak salah kalau nama tersebut berhasil diloloskan oleh sidang komisi karena Pak Os, mengawalnya dengan rapi. HITA, adalah frasa kekitaan atau kebersamaan dalam bahasa Batak. Walaupun pada Mubes ke VI, HITA berubah lagi menjadi Bamuhas, tapi Pak Os cukup puas pernah menorehkan ide kewira usahaan (entrepreneurship) sebagai basis penting dalam kiprah pengembangan Kosgoro ke depan. Kedekatan hubungan pribadi antara Pj. Ketua umum, Martono yang juga merangkap sebagai Menteri Transkop, menggantikan Mas Isman, pasca wafatnya Mas Isman tahun 1982 memberikan warna kepemimpinan Pak Os selaku salah satu ketua, yang tegas kritis dan mumpuni di dalam mewarnai perjalanan Kosgoro.

Pada saat terjadinya perpecahan di tubuh Kosgoro antara kubu Hayono Isman yang menamakan dirinya Independen, dan kubu Agung laksono yang menamakan dirinya Kosgoro 1957, Pak Os kelihatan sangat terpukul. Diwajah beliau tidak tampak keceriaan seperti dulu. Beliau hanya memesankan agar ada orang yang dekat kepada Mas Agung dan dipertemukan dengan Mas Hayono Isman. Sesulit apapun tapi penyatuan kembali Kosgoro yang didirikan oleh Tentara Pelajar Pejuang TRIP, seyogianya mengadakan islah. Suatu hari, Pak Os disela-sela rapat Majelis pertimbangan organisasi di jakarta mengatakan, . . ."kami sebagai pejuang tidak pernah merasa ada dua Kosgoro, karena almarhum Mas Isman sebagai democrat tulen, tidak akan menyukai adanya perpecahan."

    Semoga apa yang diharapkan Pak Os, di usia yang ke-80 tahun, agar terjadi rekonsiliasi antara dua kubu yang terpecah, akan menjadi kenyataan. Waktu jualah yang akan membuktikan bahwa watak Mas Isman yang gandrung akan persatuan akan di gugu dan ditiru oleh kader-kadernya yang cinta damai dan demokratis. Semoga Pak Os diberikan kesehatan dan panjang umur oleh Tuhan YME, dan cita-cita, keteguhan prinsip, watak serta pengabdiannya kepada nusa bangsa menjadi api dan obor perjuangan bagi generasi penerus. Dirgahayu.
  












 

Senin, 15 November 2010

Mengenang Mas Isman di HUT ke- 53 Kosgoro (10 nop 1957 - 10 Nop 2010)

Oleh ; Abdul Muin Angkat


Saudara Isman,

Jiwamu tidak mati, tidak mungkin mati.

Engkau, seperti kita sekalian, berasal dari Tuhan.
Dan engkau telah kembali kepada Tuhan, seperti kita sekalian
Pada waktunya juga.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun !
(Sambutan DR. H.Roeslan Abdul gani pada 40 hari wafatnya Mas Isman di
Gedung Nasional Jakarta).

Pasca Mubes IV Kosgoro th 1978 di Semarang, adalah era baru atau angin baru bagi Kosgoro yang berhembus kencang. Mas Isman (alm), Pendiri Kosgoro tgl 10 Nopember 1957, di Semarang gencar mengkritisi Pemerintahan Soeharto c/q Golkar untuk menyuarakan 'semangat kerakyatan' dan pembaharuan system politik yang authoritarian dan represif Orde baru. 

Tak salah kalau Sarwono Kusumaatmadja politisi yang 'bersinar' kala itu dikancah perpolitikan nasional, kepincut, dan ikut masuk Kosgoro sebagai salah satu Ormas yang berbasis kebangsaan. Ketika pada satu ketika ditanyakan apa alasan persisnya mau 'ke kosgoro'? beliau enteng menjawab': …"Karena Kosgoro yang dipimpin oleh Oleh para eks Pelajar pejoang - - bersikap terbuka - - dan kritis terhadap Pemerintah. . ."

Ibarat gayung bersambut, Sarwono berkiprah di Kosgoro, dan oleh mas Isman diberi tanggung jawab untuk memimpin Grup Diskusi Nasional dan Badan Fortanas. Kedua badan inilah yang menjadi ujung tombak kaderisasi kosgoro yang secara teratur melakukan dialog dan debat terbuka antar kader dan yang pada gilirannya menjadi 'clearing house' guna meluruskan visi misi kejuangan organisasi.

Sesuatu yang tidak bisa disangkal eksistensi Kosgoro (salah satu eks Kino yang berpengaruh) sebagai penopang kekuatan Sekber Golkar yang memenangkan Pemilu 1971 dengan suara 62,8 % merupakan tonggak hegemoni Golkar pada Pemilu-Pemilu selanjutnya, di zaman Orde baru. Maka tidak salah apabila Sejak saat itu kader-kader Golkar yang berbasis di Kosgoro muncul dipermukaan duduk dalam cabinet Ordebaru, dan jabatan penting lainnya. Sebut saja misalnya, Martono, Soeprapto, Siswono Yudohusodo, Hayono Isman, Agung Laksono, Theo Sambuaga, Marzuki Achmad, Sunaryo Hadade, Bambang W. Soeharto, ………dst.

Dalam buku Peran Historis Kosgoro oleh Ramadhan KH, Suhardiman selaku ketua Umum SOKSI berpendapat bahwa dibawah kepemimpinan Mas Isman berhasil meng-integrasikan kekuatan Tri Karya (Kosgoro, Soksi, MKGR) sebagai pilar utama Golkar. Walaupun dalam format tersebut ada pilar A(bri) B(irokrat) namun pilar O(organisasi dalam Golkar) terutama Tri karya masih dominan mewarnai perjalanan Golongan Karya. Disorganisasi terjadi secara faktual setelah terjadinya pengendalikan Golkar diluar paham 'kekaryaan' sebagaimana dimaksudkan para pendiri. Tiga kekuatan paham tersebut adalah HMI (personifikasi Abdul Gafur), Sosialis (Midian Sirait), Katolik (Cosmas Batubara).

Keinginan Mas isman untuk tetap mempertahankan 'trade mark' dalam suatu kekuatan Tri karya yang mewarnai Partai Golongan Karya terhenti setelah almarhum tiada, dan ternyata sudah lama terkontaminasi oleh paham lainnya. Sejak tahun 1978 ternyata Golkar dan partai politik sudah menghapuskan 'politik' sebagai pemikiran untuk mempersoalkan 'keadilan' bagi rakyatnya, justru mencari dan membagi kekuasaan untuk kepentingan kelompok. 

Adalah bukti sejarah yang tidak dapat dihapus bahwa pemuda pelajar pejoang yang tergabung dalam TRIP Jawa timur adalah 'kumpulan pelajar yg gila perang' (di dunia; hanya Vietnam dan Indonesia yg punya tentara pelajar yg heroic), yang telah mengorbankan 44 suhada terbujur damai, menjadi martir pada Perang Kemerdekaan sepanjang 1945 sd 1950, yang mengusir tentara pendudukan Inggris dan Jepang di Surabaya - - dan setelah mana mereka mendirikan Kosgoro pada tahun 1957 - - sebagai Organisasi perjoangan baru, untuk membuktikan komitmen dan krenteg untuk tetap mengabdi kepada Bangsa dan Negara. Mas Isman sebagai eks Komandan Trip berujar; …"Mari beralih dari Brigade Pertempuran ke Brigade Pembangunan".

Tokoh Pejuang Nasional

Selasa, 14desember 1982, jenazah Mas Isman yang seharusnya di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, atas permintaan keluarga, dikebumikan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, agar lebih dekat dengan rakyatnya. Rencana ibadah Umroh nyaris terlaksana seandainya Alkhalik tidak memanggilnya segera tgl 12 desember 1982, jam 02.12, kembali ke rahmatullah dengan tenang di RS Dr. Soetomo Surabaya. Suasana haru yang menggayut para pelayat semakin diliputi rasa haru yang dalam ketika jenazah di semayamkan di Jl. Cikditiro 34, di rumah kediaman almarhum. Lagu 'Temanku Pahlawan' lirih dinyanyikan remaja Trip lamat-lamat, - - Teringat ku kan padamu Pahlawan Indonesia/ waktu kau akan kembali ke alam yang baka/ Terbayang roman muka mu yang suci dan bersih/ Saat tiba kan menghadap kehadirat Ilahi/ Dengan tulus ikhlas kau korbankan jiwamu/ Kau basahi bumi dengan darah kesatriamu/ Tak akan lenyap jasamu daripada ingatan/ Perjuangan ku teruskan sampai ke akhir zaman.


Jenderal Surono, selaku Menko Kesra mewakili Pangab/Menhamkam M. Yusuf, bertindak sebagai Inspektur Upacara. Mengikuti upacara yang berlangsung khidmat, berbagai lapisan masyarakat tumplek di area Makam, bukan hanya kader-kader Kosgoro, teman seperjuangannya semasa di Trip, sejumlah Menteri dan para anggota DPR/MPR, dan masyarkat luas,ikut mengantarkan Almarhum ke peristirahatan terakhirnya.

Dalam pidatonya Surono mengemukakan bahwa almarhum Mas Isman adalah seorang Tokoh Pejuang Nasional, baik pada masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan selaku komandan Trip di Jawa Timur, maupun dalam masa pembangunan dewasa ini, selaku Ketua Umum Kosgoro. Figur Mas Isman termasuk salah seorang pejuang yang berani, ulet dan tekun dalam mencapai cita-cita perjuangan. Almarhum berani mengatakan yang salah terhadap apa yang disadarinya sebagai suatu kesalahan, dan berani pula mengatakan benar, apa yang dianggap benar. 

Dilingkungan pemuda pada umumnya, para eks tentara pelajar dan pemuda pejuang pada khususnya, beliau dikenal sebagai tokoh berwibawa, diterima secara luas, selalu bersifat terbuka, dan menunjukkan ciri sebagai seorang democrat yang baik. Dikalangan para generasi muda, beliau dikenal sebagai seorang Pembina yang sabar, bersikap edukatif, persuasive, dan berpandangan jauh kedepan. Tak salah kalau Mas Bambang Soeharto di dalam sambutan selaku Ketua Dewan Penasehat Kosgoro, dalam resepsi Ultah ke 53 tgl 10 Nopember di Jl. Teuku Cikditiro 34, mengatakan bahwa lahirnya Kosgoro yang yang ingin menguji 'krenteg'para pejuang '45 untuk berkiprah dalam pembangunan karena 'tidak kerasan' dalam situasi pergolakan politik dan intrik diantara kesatuan bersenjata dewan banteng, dewan gadjah dan seterusnya, - --"Kosgoro bukan pengekor, tapi harus menjadi pelopor- -".

Tradisi Perjuangan yang Mandek

Melihat aktualisasi pelaksanaan Demokrasi pasca reformasi sekarang dimana terlihat adanya gap antara das solen dan das sein maka apa yang terjadi pada sekitar tahun '51 sd '57 saat pergolakan politik menjelang kelahiran Kosgoro, hampir sama, karena kurangnya komunikasi politik antara Parpol dan Ormas sehingga terjadinya 'diskrepansi' antara lembaga politik dengan realitas politik. 


Lembaga politik sebagai kekuatan supra struktur terlalu dominan, sehingga sangat mengganggu berjalannya aspirasi masyarakat dan tidak tertampungnya secara genuine ide-ide pembangunan masyarakat. Terjadilah pemborosan sumber daya manusia, sumber daya alam, potensi maupun dana yang tergerus untuk kepentingan politik, tetapi tidak membawa kemaslahatan kepada rakyat kecil. Contoh sederhana adalah pelaksanaan "pilkada" yang justru melenceng kearah penggunaan demokrasi secara tidak terkontrol karena terjadinya manipulasi dan money politic. Fenomena  gonjang ganjing politik semasa Orde baru di kritisi oleh Mas Isman  agar warna 'kekaryaan' tetap taat azas seperti kelahiran Sekber Golkar terdahulu sebagaimana  analisis di bawah ini.

Pertama, pandangan Mas Isman terhadap perlunya kekuatan baru untuk menampung 'kekaryaan' dari kekuatan non Abri (baca; TNI), dan golongan afilisasi lainnya, sebenarnya bukanlah dimaksud sebagai reprentasi dari Partai Golkar sekarang, tetapi lebih dimaksudkan kepada usaha mengamalkan dan mengembangkan karya-karya kemasyarakatan secara demokratis. Pembinaan demokrasi sesungguhnya tidak mutlak hanya diberikan kepada Parpol, akan tetapi juga secara adil dipangku oleh Ormas kebangsaan, Ormas lainnya, sebagai pertanggung jawaban golongan-golongan terhadap perjalanan demokrasi. (yang dimaksudkan golongan karya (kecil) bukanlah Golongan Karya (besar) yang berkonotasi politik tertentu sebagaimana dijelaskan di dalam Pedoman Perjuangan Kosgoro).


Kedua, Pandangan Mas Isman terhadap pentingnya pemeliharaan dan penciptaan iklim politik yang stabil dan konstruktif, dalam rangka kontinuitas pembangunan, dalam kehidupan nasional. Tradisi perjoangan yang merupakan rantai perjalanan kebangsaan dari angkatan '28, angkatan '45, angkatan '66 serta angkatan reformasi, sekarang ini kehilangan 'greget' karena seolah-olah terpisah satu sama lain. 

Apa yang dimaksudkan sebagai orde reformasi menggantikan peran Orde baru, tidak diikuti dengan paradigm baru sebagai satu model pembangunan kedepan kearah mana bangsa ini mau dibawa oleh para pemimpinnya. Apa yang pernah dikumandangkan oleh mahasiswa ketika 'menjatuhkan' Rezim Soeharto 12 tahun yang lalu, hampir tidak bermakna dan dilupakan dan sampai sekarang karena tidak pernah dirumuskan kembali untuk di evaluasi.
Apakah Pemerintah konsisten terhadap pembangunan yang berbasis pada pasal 33 UUD'45? Mengapa iklim Kapitalisme, liberalism dan neo liberalism pada kenyataannya tetap dilaksanakan secara kasat mata? Mengapa gaya/ sistem perpolitikan nasional lebih liberal dan menghilangkan aspek musyawarah dan mufakat? Pertanyaan tersebut hanyalah ingin menjelaskan bahwa perjalanan demokrasi seperti yang dipikirkan oleh Mas Isman di dalam buku "Mengenang Mas Isman" (Kasno widjojo; 1995) ternyata masih relevan saat ini.

Ketiga, pandangan Mas Isman terhadap kepemimpinan adalah lahirnya seorang pemimpin yang mampu berkomunikasi dan bisa menangkap getaran jiwa rakyat, khususnya pada masyarakat terbesar bangsa ini yaitu para petani.. Dengan tidak adanya komunikasi yang intens terhadap rakyat dan pemimpinnya, maka akan terjadi disharmoni dan jurang yang dalam diantara keduanya. Pemimpin tidak tahu aspirasi rakyat, selanjutnya rakyat tidak tahu apa yang dikehendaki pemimpin. Kekuasaan yang sejatinya diikhlaskan oleh rakyat di dalam proses demokrasi, dalam prakteknya berobah menjadi kelaliman. Yang memimpin minta dijunjung, yang dipimpin malah terbebani.

Secara komprehensif–integratif Mas Isman jauh hari sudah memprediksi bahwa perjuangan bangsa di fokuskan memerangi keterbelakangan, kebodohan, kemelaratan dan kemiskinan yang masih mencengkram kehidupan rakyat. Dengan kalimat yang lebih indah adalah untuk melancarkan pembangunan yang bisa mengangkat tingkat kehidupan rakyat. Yang menjadi tantangan adalah, mampukah transformasi pembangunan dari masyarakat terkebelakang (baca; Negara berkembang) diarahkan, menjadi Negara modern yang makmur dan sejahtera? 

Terhadap pertanyaan ini, penulis membandingkan bahwa Brazil sebuah Negara yang juga pada tahun 1998 mengalami nasib yang sama dengan Indonesia, terkena krisis ekonomi global, akhirnya hanya dalam hitungan 12 tahun dibawah Presiden Luna, bisa memakmurkan 20 juta rakyat miskin, terangkat derajad kehidupannya menjadi kelas menengah yang makmur dan sejahtera. 

Padahal sebenarnya sumber daya manusia dan alam Indonesia jauh lebih baik daripada Negara Brazil. Indonesia yang dijuluki masyarakat yang toto tentrem loh jianawi masih terpuruk dalam angka 15 % (35 juta) rakyat Indonesia masih dibawah garis kemiskinan oleh PBB, (2008), dengan perhitungan pendapatan percapita/perhari Rp. 205.000 /per bulan (di kota) dan rp 165 000/per bulan ( di desa). Sejatinya kalau mau jujur, kebutuhan hidup perhari rakyat Indonesia adalah 2(dua) dollar maka diperkirakan sebanyak 100 juta rakyat masih dikategorikan Miskin, di Indonesia. 

Keempat, pandangan Mas Isman terhadap terhadap 'kegotong royongan'.Jiwa dan pengertian gotong royong, membawa Bangsa ini kepada pengertian yang bersatu, kekeluargaan dan saling tolong menolong; yang kuat membantu yang lemah dan atau sebaliknya, yang lemah meminta bantuan kepada yang kuat, yang pintar membantu yang kurang pintar atau sebaliknya, yang kaya membantu yang miskin atau sebaliknya, Yang kuasa melindungi yang tidak kuasa atau sebaliknya. Pergaulan dalam pengertian hal diatas, dikenal dengan sebutan "Ojo dumeh", yang artinya, janganlah kita mentang-mentang berkuasa, mentang-mentang kaya, mentang-mentang pintar, lantas kita berbuat sekehendak hati pada orang lain. 

Apa yang dicita-citakan mas Isman dalam konteks kegotong royongan di atas untuk membawa Negara bangsa ini kepada kehidupan lebih baik, bersatu, bersifat kekeluargaan dan mantaati Pancasila secara konsekwen, ternyata jauh panggang dari api. Dengan kekuasaan yang semena-mena, BUMN Krakatau Stell, yang diperjuangkan dengan susah payah oleh Bung karno ternyata di jual ke pasar modal, 35 % saham di jual ke- pihak asing. Bukankah ini bertentangan dengan pasal 33 UUD '45 yang menyatakan bahwa seluruh hasil bumi, air dan udara di gunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat? Namun, apa yang terjadi pada BUMN strategis Krakatau Stell dewasa ini?  ternyata Hendri Saparini menguak tabir di Kompas 15 nopember 2010, bahwa sekarang kepemilikan PT 'KS' hanya 30 % dan Posco 70% sebuah perusahaan dari Korea Selatan. Akankah rakyat 'menangis' tanpa bisa berbuat apa-apa?

Kelima, pandangan Mas Isman terhadap Pahlawan Bangsa, perintis kemerdekaan dan seluruh rakyat yang telah memberikan segala-galanya demi kemerdekaan. Jadikanlah pengorbanan mereka sebagai pengingat dan penghati-hati di dalam menjalankan misi perjoangan yang belum selesai - - karena pengorbanan rakyat demikian besarnya terhadap perjoangan bangsa, hendaknya selalu dipupuk sikap rendah hati - - -luwes dalam penampilan namun tetap tegas dalam berpegang pada prinsip-prinsip perjoangan. Jangan sekali-kali menyakiti hati rakyat, jangan angkuh dan suka menakut-nakuti rakyat.

Perpecahan dan Rekonsiliasi

Di dalam kenyataan perpecahan Kosgoro antara dua kubu yaitu kubu Agung laksono yang menamakan dirinya Kosgoro 1957, dan kubu Mas Hayono isman, yang disebut sebagai kubu Kosgoro independen. Masihkah ada kemungkinan dua kubu berseteru untuk kembali ke khittah? Tentu, rambu-rambu kepentingan politik jangka pendek merintangi jalannya rekonsiliasi tersebut. Karena Kosgoro '57 telah menjadikan dirinya di dalam AD/ART menjadi onderbouw Partai Golkar? dan menafsirkan "kekaryaan" Kosgoro identik dengan GOLKAR (huruf besar), atau karena salah menafsirkan Kosgoro adalah salah satu kino dalam pembentukan Sekber Golkar, sehingga otomatis Kosgoro merupakan bagian dari Golkar.

Padahal di dalam Pedoman Perjoangan jelas dinyatakan Kosgoro adalah 1) golongan karya (huruf kecil) dan 2) Kosgoro adalah koperasi yang bernaung di bawah Gerakan koperasi Indonesia. Secara eksplisit juga dinyatakan bahwa Kosgoro tidak ber-afiliasi dengan partai manapun. Bukankah pengingkaran daripada prinsip dasar ini telah dilanggar oleh Kosgoro '57?


Selama masih ada kepentingan politis sesaat yang menjadi akar terjadinya dua Kosgoro, maka rekonsiliasi yang diharapkan sukar akan terwujud. Persaingan dan ambisi diantara dua figure utama, antara Mas Hayono Isman dan Mas Agung Laksono yang berkepanjangan, mengakibatkan cita-cita Kosgoro menjadi mimpi dialam realitas. Kekuatan itu telah musnah sesaat keikhlasan berkorban tercerai berai di dalam hati generasi pelanjut, yang tidak menangkap sinyal dan getaran jiwa perjuangan Mas Isman. 

Di dalam kesatuan Trip (Tentara Republik Indonesia Pelajar) yang merupakan cikal bakal Kosgoro, selama bergerilya lebih lima tahun, sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai perang kemerdekaan yang diakhiri tahun 1951, rasa solidaritas dan kohesifitas sesama lasykar begitu erat sehingga mampu menjadi kekuatan dahsat untuk mengusir kaum penjajah yang berusaha masuk kembali menancapkan kuku kolonialnya di bumi pertiwi.

Transformasi nilai-nilai kejuangan yang dilakoni eks pejuang Trip, diwaktu malam berjaga dengan senapan ditangannya, masih terlintas dalam pikiran mereka: …"rakyat yang melarat-menderita ditengah-tengah alam yang subur makmur, - - - tergugah pikiran dan tekad untuk mengangkat derajad kehidupan rakyatnya". Masihkah nilai-nilai kejuangan tersebut menjadi prinsip dasar kejuangan Kosgoro di alam pembangunan? Atau apakah doktrin Pengabdian, kerakyatan dan solidaritas hanya menjadi pemanis dan lipstik di bibir? Pertanyaan ini semoga menggugah para generasi penerus Kosgoro terutama para kader biologis maupun kader geneologis langsung dari Mas Isman.

Model Kepemimpinan Mas Isman

Sebenarnya model kepemimpinan yang bagaimana yang diperankan oleh Mas Isman di dalam kiprah perjoangannya sejak dari Pendiri TKR Pelajar Surabaya tahun 1945, Komandan Trip, Duta besar, Asisten VI Pangab berpangkat Mayjen, serta Ketua Umum Kosgoro? 


Model Kepemimpinan situasional. Teori ini memiliki kecenderungan terhadap dua hal yaitu konsiderasi dan inisiasi. Konsiderasi merupakan kecenderungan pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan, seperti membela dan memberi masukan kepada bawahan. Sedangkan inisiasi, merupakan kecenderungan pemimpin memberikan instruksi kepada bawahan, dipengaruhi oleh adanya mekanisme kerja yang terstruktur di dalam pelaksanaan tugas. 

Semasa hidupnya di- rumah kediaman jalan Cikditiro 34, semua tamu dan teman-teman seperjuangan diterima dengan baik, bahkan pengurus Kosgoro dari daerah bisa langsung bertemu dikamar beliau tanpa aturan protokoler. Almarhum sangat memperhatikan keadaan keluarga, sangat akrab kepada anak buah terutama kepada mereka yang masih lemah kehidupan ekonominya. Dalam pengelolaan manajemen organisasi, fungsi serta tanggung jawab tugas, dilakukan secara terbuka dan akuntabel. Penempatan pengurus dibahas secara objektif sesuai dengan kemampuan dan latar belakang pendidikannya.

Model kepemimpinan transformative. Teori Transformasional oleh Burns (1978), menekankan bahwa seorang pemimpin perlu memotivasi bawahannya untuk melakukan tanggung jawab mereka lebih dari yang mereka harapkan, Mereka harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan kredibilitas pemimpinnya. Menurut Bass (1988), seorang pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang kharismatik, dan merupakan peran sentral membawa organisasi mencapai tujuan. 

Dari uraian diatas, bagaimana seorang pemimpin bisa mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi didapatkan dari Forum Orientasi dan Tatap Muka (Forta) yang diselenggarakan sebagai wadah kaderisasi untuk mensosialisasikan Pedoman Perjuangan Kosgoro keseluruh wilayah, dan menangkap potensi dan program unggulan apa yang akan dikembangkan di satu daerah sesuai aspirasi yang berkembang. 

Dengan bukti terselenggaranya Satuan pendidikan, semula sebanyak 400 institusi, dan terbentuknya koperasi dan puluhan Bank perkreditan rakyat, menandakan program sosial ekonomi Kosgoro di dukung oleh masyarakat luas. Kerjasama Pertanian dengan pihak Jepang di Lampung, PT. Mitsugoro. Disamping itu, pemberian Beasiswa kepada mahasiswa berprestasi, tapi tidak didukung dana yang memadai di perguruan tinggi negeri, dibantu oleh Yayasan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Mitsui-kosgoro. Kosgoro yang bekerjasama dengan perusahaan MITSUI&CO.,LTD. - Jepang, berhasil memberi bantuan beasiswa dan menjadikan jumlah Alumni penerima sampai saat ini, mencapai 1000 orang yang tersebar diseluruh negeri. 

Semua yang dikerjakan Mas Isman sangat monumental, tetapi apakah kepemimpinan Kosgoro setelah 28 tahun pasca Mas Isman, masih melahirkan kepemimpinan situasional dan transformasional, yang juga memiliki serangkaian kompetensi yang bersifat antisipatif, cepat dan komunikatif? Di dalam era perubahan dan era globalisasi sekarang, nampaknya sebuah organisasi kemasyarakatan harus mampu menerjemahkan visi, misi baru untuk berkompetisi secara sehat dan inovatif. Seperti pesan Mas Isman sebelum wafat, kalian janganlah seperti bebek-bebek kalau suatu saat saya sudah tiada. Atau benarkah sinyalemen James F. Bolt (2009), bahwa telah terjadi krisis pengembangan kepemimpinan, karena para pemimpin kita memang missing in action? Wallahu alam bis sawab.(a.m.a)
  
  

    
  
    
    
  
    
  



















 

Selasa, 05 Oktober 2010

Sebuah Surat Imajiner buat sahabat Eddy Hartawan Siswono Ketum Lasykar Merah Putih


Oleh ; Abdul muin angkat
 
    Seminggu yang lalu masih terbaca di Wall Fb mu bung pamit untuk dirawat di Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, mohon doa teman-teman untuk cepat sembuh. Tidak ada yang mengira tiga hari kemudian, engkau terbaring di rumah duka RSPAD dengan selimut Sang Saka merah putih di kawal oleh dua prajurit ber baret hijau dari Kostrad, sebelum di semayamkan di peristirahatan terakhir mu, di Sandiego Hill, Karawang. 
   Tiba-tiba kami merasa kehilangan yang dalam, seorang sahabat yang sangat peduli kepada teman, hormat kepada senior, dan santun menyapa semua orang, terpatri dalam, di sanubari kami. Sosok yang selalu berpenampilan parlente, yang ramah, dan selalu dikawal oleh anggota Lasykar kini telah tiada. Rasanya baru kemarin Bung hadir pada Resepsi Pernikahan ananda Farah di Balai Sudirman bulan juli lalu, - - dan menyapa pengantin;…" Tu bapakmu itu sahabatku". Kami terharu… dan Besok sudah dapat dipastikan, ribuan orang kader Lasykar dengan loreng merah putih, dengan segumpal rasa duka, akan beriringan mengantarmu ke tempat pembaringanmu terakhir. 
    Lama kami tercenung bersama Sahabatmu yang satu lagi, Herman Lakollo, anak Ambon yang katamu juga adalah gurumu, duduk disamping peti jasadmu di Rumah Duka RSPAD. Satu demi satu para pentakziah mendekati Jasadmu untuk memberikan penghormatan dan doa Selamat jalan. Dari siang sampai magrip para-senior, Mas Hayono Isman, Ketum Kosgoro Effendi Yusuf, para pejabat militer, Polri dan anggota Ormas, Parpol datang ke Rumah Duka dan menyampaikan rasa belangsungkawa. Rasa duka itu tergurat di wajah mereka karena mereka sungguh menyayangimu.
    Sebuah pertanyaan muncul di benak kami, Sebesar itu Ormas Lasykar merah putih bagaimana kelanjutannya? Apakah Bung Eddy sudah mempersiapkan penggantinya? Akan kah Visi Misi perjoangannya bisa dilanjutkan?Semoga saja para pimpinannya bisa menangkap gerak dinamika Organisasi ini sebagai Ormas yang mandiri dan tegak di dalam mempertahankan NKRI, Pancasila dan UUD 1945. Sebuah Ormas Nasionalis yang taat kepada Pemerintahan yang Syah, masih sangat dibutuhkan oleh Negara Bangsa ini sebagai penjaga, pemelihara Moral obligation Bangsa.
    Ketika suatu hari Bung mengatakan bahwa pola perjuangan dan pengorganisasian Mas Isman di Kosgoro menjadi Blue Print Lasykar Merah Putih,saya merasa kagum, sejauh itu bisa menghayati Pedoman Perjoangan yang yang merupakan bagian yang ingin mepertahankan Filosofi Pancasila dan UUD 1945, guna terwujudnya NKRI. Inspirasi Pengabdian, Kerakyatan dan Solidaritas, ternyata harus di imlementasikan secara in concreto oleh Isman-Isman kecil - -yang ber –Reinkarnasi dan ber kolaborasi di dalam denyut kehidupan bermasyarakat di seluruh negeri. . ." Loyalitas dan Integritas didalam Pengabdian ternyata lebih baik di luar Kosgoro itu sendiri". 
    Hal kedua yang dapat dipelajari dari gerakan-gerakan 'Mas Darto perang' Sang Ajudan Bung Karno, sebagai orang keduanya Mas Isman sangat komunikatif dengan tentara, namun anak-anak TRIP Jawa timur yang dikenal sebagai Tentara pelajar, anak rakyat malah lebih kreatif dan berani mati. Bukankah relasi historis ini yang menjadikan kepemimpinan Bung Edy disegani karena selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan TNI? Mana mungkin dua tentara baret hijau mengawal peti jenazah yang terbaring itu selama berada di rumah duka RSPAD?Terkawalnya Lasykar merah putih di dalam gerakan-gerakan sosialnya bisa dibaca dari adanya benang merah komitmen kesejarahan TNI, tumbuhnya sikap kebangsaan yang merupakan resultante rasa kebangsaan plus paham kebangsaan.
    Dengan berbagai 'pengguruan-internal' di kawah candradimuka, disertai kerendahan hati yang selalu bung kemukakan kepada setiap orang, ternyata semua hal-hal positip di dalam diri setiap pemimpin bisa dipadukan secara komrehensif-integratif, menjadi suatu kekuatan membesarkan Lasykar merah putih. Banyak pemimpin kepemudaan yang muncul tapi kehilangan sumber ketauladanan, akhirnya minus idealism. Sampai kini, saya masih teringat apa yang ditulis oleh mas Isman; . . ."dikala Ia bertunas, lindungi, dikala berakar, sirami dan dikala berbuah, amalkan".Kalau kita mau jujur makna terdalam dari himbauan ini 
   Adalah konsistensi, dan ini sangat banyak dilupakan, bukan hanya oleh kader biologisnya Mas Isman, akan tetapi sudah merambah sampai kepada kader geneologisnya, sungguh ironis. Tranformasi nilai-nilai perjoangan Trip(sebagai cikal bakal Kosgoro) yang mengorbankan 44 jasad suhada bangsa melawan Penjajah,terbujur dan diam membisu tanpa ada yang hirau. Jiwa martir inilah seyogianya di jalankan sebagai amanah, akan tetapi hanya bung yang bisa menangkap sinyal ini, dengan satu kekuatan moral force Lasykar merah putih! Harga diri, martabat, hati yang mulia, dan kebesaran jiwa adalah sebuah dignity. Ini merupakan harga mati, bukankah internalisasi nilai-nilai dari empat unsure diatas merupakan karakter seorang pemimpin? Sejujurnya Bung Edy termasuk dalam kategori ini, karena bung adalah seorang Pemimpin yang berkarakter. Tidak menghamba kepada institusi lain dan dilecehkan.
    Bung Edy yang sedang tenang dialam baka, di dalam Teori kepemimpinan Transformasional, dijelaskan bahwa proses hubungan antara pemimpin dengan pengikut selalu didasari oleh nilai-nilai serta keyakinan asumsi tentang visi misi organisasi. Bagaimana mengkomunikasikan serta mengartikulasikan visi tersebut adalah suatu seni kesuksesan tersendiri sehingga gerakan tersebut dikenal masyarakat. Bukankah juga Doktrin pengabdian, kerakyatan dan solidaritas menjadi basis pergerakan Lasykar merah putih ini?
    Dalam buku From Transactional to Transformational leadership; Learning to share the Vision , Organizational Dinamic , Bass mengatakan bahwa Kepemimpinan Transformational harus mewujudkan empat ciri utama, yaitu pertama kharismatis, kedua inspirasional yang menghasilkan trust, ketiga, stimulasi intlektual, dan keempat, perhatian secara individual (individualized
consideration). Untuk keempat unsure tersebut rasanya Bung Edy memiliki semuanya secara paripurna, dan factor inilah yang membawa kesuksesan Lasykar Merah putih secara organisatoris.
    Akhirul kalam ternyata kebutuhan akan hadirnya pemimpin penerobos (Breakthrough leadership) di era global ini seperti kehadiran sosok Bung Edy adalah sesuatu yang merupakan condition sine quanon untuk memperkuat memelihara serta mengaktualisasikan nasionalisme baru Indonesia. Diperlukan sosok pemimpin yang berperan sebagai dinamisator, komunikator,innovator dan sekaligus integrator, dan ternyata ini bukan sebuah mimpi.
    Di dalam peristirahatanmu yang abadi, kami akan selalu mendoakanmu dan kami akan tetap mengenangmu sebagai tokoh Transformatif yang mampu meng implementasikan Tri Dharma PKS dan Pedoman Perjoangan secara nyata, dan itu telah Bung Eddy buktikan, sekurang-kurangnya dalam kapasitas dibawah bayang-bayang Mas Isman. Jakarta 5 okt 2010 (a.m.a).
 
 
 
 
    

Minggu, 15 Agustus 2010

Gagalnya Transformasi Nilai-Nilai


Kalam ;

     Selama 32 tahun berkuasa nya Orde Baru ditengarai mengakibatkan terjadinya degradasi  moral  sampai ketitik nadir. Pendidikan karakter bangsa  terabaikan, karena kekuasaan yang authoritarian dan represif.
     Momentum  pelaksanaan P4 yang seyogianya merupakan tonggak sejarah untuk lebih meningkatkan moralitas  bangsa  dan secara khusus  diperuntukkan  kepada para penyelenggara Negara,  tidak lebih daripada penataran yang  bersifat indoktrinatif. 38 butir Nilai-nilai Pancasila yang di dalamnya terurai patokan moral, etika dan sifat-sifat kemanusiaan  yang berbudi luhur ternyata  sulit di laksanakan, karena kondisi yang kurang valuable, atau karena tidak adanya  ‘political will’ pemerintah.
     Mengapa Nilai-nilai tersebut tidak di ‘break down’ ke pada’ kode etik’ para penegak hukum dan atau  petugas pajak  misalnya, sehingga’ makelar kasus’ yang marak  di ketiga instansi penegak hukum (Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan) plus Kantor Pajak, kalis  menjadi virus yang merusak sendi-sendi hukum itu sendiri?. Mengapa rekayasa hukum masih terjadi dan justru diperjual belikan dengan kasat mata?  Kondisi tersebut diperparah karena minimnya sumber  tokoh tauladan  sebagai  panutan masyarakat sekitar, dan ‘punahnya’ para pemimpin negeri yang  amanah,kuat dan berani  mengambil risiko sebesar apapun; untuk kejayaan Bangsa!
     Barangkali  fenomena ‘korupsi berjamaah’ telah lahir sebelum menjadi bom waktu,  pasca reformasi. Cuma, kalau dahulu pemberantasan korupsi selalu gagal menjerat  para koruptor Karena terjadi pembelaan korps secara massif, maka pada era reformasi pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) begitu efektif  bekerja sehingga menjadi momok bagi calon-calon koruptor baru.
     Sebuah tulisan menarik oleh Subhan SD, di harian Kompas 10/8 2010,menjadi sisi lain  yang menyoroti gagalnya peran agama di dalam menanamkan kesadaran Ilahiah kepada manusia Indonesia  yang seyogianya menjadi ujung tombak, ber-amar ma’ruf nahi mungkar.salam (a.m.a)
     Apa yang bisa dikatakan ketika makin banyak  pejabat Negara atau figure public negeri ini terbelit kasus korupsi atau asusila? Di mana moralitas bangsa ini? Padahal, Indonesia dibangun dengan fondasi agama yang kuat yang terukir dalam Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa.
     Ada fakta yang kontradiktif  dalam beberapa tahun belakangan ini. Ketika kegairahan beragama masyarakat menampakkan peningkatan drastic, antara lain  dengan makin maraknya penguatan  pemahaman beragama dan symbol-simbol keagamaan, pada saat yang sama justru semakin marak pula praktik korupsi  dan perilaku bobrok di negeri ini.
     Banyak  pejabat termasuk aparat  di tingkat bawah  terjerat kasus korupsi  dan suap.  Korupsi seperti  menjalar  di dalam aliran darah bangsa Indonesia. Mereka yang diberi amanah mengelola negeri ini  malah makin membenamkan  diri dalam kubangan korupsi. Uang rakyat menjadi lumbung emas   yang dikuras beramai-ramai. Tak mengherankan anggaran pembangunan  dan belanja daerah (APBD) banyak yang tidak sampai kerakyat.
     Maka, bukan rahasia lagi  bahwa “orang-orang besar” kini terjerat korupsi , antara lain pejabat pemerintah, anggota DPR, aparat hukum (kejaksaan, kepolisian, pengacara); pengurus partai politik, hingga yang fenomenal adalah  kasus pegawai pajak , Gayus HP Tambunan. Semua itu makin marak ketika genderang perang  melawan korupsi dikumandangkan  sejak reformasi sekitar 12 tahun silam.
     Anehnya lagi, praktik-praktik  yang tidak hanya merusak moral bangsa, tetapi juga memukul sendi-sendi ekonomi bangsa itu seakan menantang tanpa takut meskipun lembaga super body  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang kali menyeret para koruptor itu.
     Informasi yang di sampaikan  Indonesia Corruption Watch  (ICW) seharusnya menjadi perhatian yang sangat serius. Contohnya, dalam dua tahun ini saja, gejala korupsi malah meningkat  pada  saat kita ramai-ramai menggebuki para koruptor.
     Menurut ICW, pada semester I dari 1 januari hingga 30 juni 2009, perkara korupsi yang terbongkar ada 86 kasus dengan 217 tersangka dan kerugian Negara senilai Rp 1,17 triliun. Pada periode sama tahun 2010 perkara korupsi yang terungkap malah meningkat drastic menjadi 176 kasus. Nilai kerugian Negara mencapai 2,1 triliun dengan tersangka 441 orang.
     Fakta-fakta di atas menunjukkan penegakan  hukum belum mampu membuat efek jera. Akan tetapi – yang lebih  penting – juga tak lepas dari hal  yang sangat mendasar,  yaitu moral bangsa.  Praktik korupsi  sesungguhnya menjatuhkan martabat sebagai manusia. Kalau saja masyarakat sekarang juga permisif terhadap praktik-praktik busuk itu, menunjukkan bahwa masyarakat  juga sedang ‘sakit’. Lantas di mana pesan-pesan  agama atau pesan ‘ketuhanan’ yang terpatri erat di sila pertama Pancasila?

Peran Agama
     Padahal, Emile Durkheim saja mengatakan, agama bukan hanya system gagasan, melainkan juga  system kekuatan, moral.  Setiap agama memiliki ruang lingkup yang suci dan kotor. Batas antara suci dan kotor ini  menimbulkan etika sosial dimasyarakat yang menghasilkan  sanksi-sanksi. Apabila ada orang yang melintasi batas suci atau merusak  tradisi suci,  sanksinya adalah berupa hukuman. Dalam konteks ini,  Durkheim menilai agama  sebagai  kaidah  tertinggi  di dalam masyarakat.
     Betapa pentingnya agama dalam konteks tersebut juga diungkapkan  Kuntowijoyo (1991). Pemahaman terhadap agama, dalam hal ini Islam, tidak sama dengan pemahaman barat.  Islam bukanlah sisitem teokrasi, bukan pula cara berpikir  yang didikte oleh teologi. Nilai-nilai Islam pada dasarnya  bersifat merangkul  semua ( all –embracing) bagi penataan system kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu, sebut Kuntowijoyo, tugas terbesar Islam sesungguhnya melakukan transformasi  sosial dan budaya  dengan nilai-nilai itu.
     Kalau saja sekarang ini bangsa ini  makin terpuruk, itu karena factor ‘agama’  yang tak lagi menjadi pegangan. Pesan-pesan agama yang menyebarkan kebenaran, kebaikan, kejujuran dan kemuliaan, sesungguhnya telah jelas.  Namun, banyak  diantara kita yang tidak mampu atau bisa jadi keliru memahami pesan-pesan tersebut. Bila demikian, transformasi nilai-nilai pun  telah gagal.























   

Minggu, 06 Juni 2010

Kaum Muda dalam Kehidupan Politik


Oleh; Sarwono kusumaatmadja & amp; Abdul Muin Angkat



Kalam;
Kaum muda harus senantiasa di depan utk melakukan perubahan, sebelum melakukan perubahan di luar dirinya, seyogianya melakukan perubahan di dalam dirinya yaitu perubahan sikap mental. Setelah 65 tahun merdeka, dan 102 tahun kebangkitan nasional ternyata capaian keadilan sosial bagi seluruh bangsa belum tercapai. Apakah kegagalan ini karena lemahnya kepemimpinan, terlambatnya regenerasi dan lemahnya daya saing bangsa? Mengapa jenjang kepemimpinan di Negara tetangga Malaysia yang dimotori oleh UMNO, dan di Cina tampuk kekuasaan se level wakil Perdana Menteri bisa diraih oleh kaum muda? Adakah ketertutupan system politik ini ditengarai oleh kebijakan salah arah atau hegemoni 'kaum tua' yang dan tidak memberi peluang kepada 'kaum muda?

Kesadaran untuk melakukan perubahan ini harus dilakukan secepatnya dengan keberanian menentukan target, berani melangkah dan berani memperjuangkan aspirasi kaum muda, Siapa calon pemimpin yg berada di garda depan?

Semula tulisan ini terangkum di dalam Buku" Sketsa Politik Orde Baru"(1987), ditulis oleh Sarwono Kusumaatmadja, dan saya sendiri sebagai editornya, Diterbitkan oleh Penerbit Grafiti Pers Bandung. Saya merasa tulisan ini masih relevan untuk dibaca oleh kaum muda karena sarat akan pengalaman empiric tokoh sekaliber Sarwono Kusumaatmadja yang berlatar belakang aktivis pergerakan mahasiswa Bandung, dan pernah dua kali ditunjuk sebagai Menteri pada era Soeharto dan Gus Dur sebagai Presiden.Disana sini saya up date, disesuaikan dengan perkembangan.(a.m.a).


Apa yang dimaksud dengan "kawula muda" di dalam konteks politik? Jika yang dimaksud adalah mereka yang berusia di atas 18 tahun (usia dimana seseorang mulai mempunyai hak pilih), lantas di mana ambang batasnya? Apakah kita sepakat apabila pada usia 35 tahun kita ambil sebagai ambang batas teratas usia 'pemuda',sesuai dengan prasyarat untuk duduk sebagai pengurus KNPI? Atau kita batasi saja dengan batasan yang agak remang-remang dengan mengatakan bahwa 'kawula muda' atau kaum muda, adalah mereka yang mempunyai kesadaran akan lingkungan politiknya serta dibentuk oleh pengalamannya selama kurun waktu 20 tahun belakangan ini.

Dengan latar belakang tersebut, yang dimaksudkan dengan kaum muda, ialah orang-orang yang persepsi politiknya benar-benar dibentuk oleh Zamannya (pada masa Orde Baru ataupun pasca reformasi), Ini berarti bahwa setiap orang yang tidak mengalami ataupun mengamati sendiri secara langsung perikehidupan berbangsa sebelum tahun 1998, dianggap sebagai kaum muda.

Kesadaran politik umumnya dibentuk terlebih dahulu oleh kesadaran lingkungan dalam pengertian yang luas, yaitu ketika seseorang mulai memberikan perhatian atas hal-hal yang tidak langsung menyangkut dirinya. Hal ini muncul bermula dari keinginan membaca surat kabar mengikuti kejadian sehari-hari, mengamati opini-opini yang berkembang, memperhatikan percakapan orang tuanya, membaca literature diluar buku pelajaran, komik dan cerita silat. Berarti seseorang mulai berminat membaca karya-karya sastra, esei-esei politik, buku sejarah dan seterusnya.

Dengan demikian timbul pertanyaan, sejak usia berapa seseorang mulai menunjukkan minat pada hal-hal yang bersifat abstrak tadi? Tidak ada yang pasti. Akan tetapi menurut pengamatan kami, kecenderungan tersebut dimulai sejak usia 12 tahun, ketika seseorang duduk dikelas 1 SMP.

Oleh karena itu setiap orang yang pada tahun 1998(pasca reformasi), berusia 12 tahun, masih boleh dan berhak dikatakan sebagai pemuda. Ini berarti, batas moderat usia 'kawula muda' adalah 12 + 12 = 24 tahun, sedangkan seperti yang ditetapkan oleh DPP KNPI, usia teratas generasi muda adalah 35 tahun. (untuk mengadopsi pemikiran bahwa 'pemuda' di daerah lebih mapan dalam usia ini).

Dalam konteks bermasyarakat dan berbangsa,sebagian mereka yang berusia antara 18 sampai 35 tahun adalah generasi muda. Siapakah mereka itu? Sudah pasti heterogen. Dari segi pendidikan, mulai mereka yang putus sekolah sampai sarjana. Dari segi pekerjaan, mulai yang menganggur, setengah menganggur, pegawai negeri sipil, TNI/Polri, swasta, petani, nelayan, serikat sekerja dan seterusnya. Dari segi asal usul, terdiri dari orang kota, maupun desa bertebaran diseluruh pelosok Tanah Air.

Secara umum untuk memberikan opini terhadap kelompok usia ini, kita harus berhati-hati. Umpamanya untuk menjawab apakah benar kaum muda acuh tak acuh terhadap dunia politik? Jawaban yang pasti adalah bahwa ada diantara mereka yang berminat dan ada pula yang tidak berminat terhadap politik.

Namun demikian kaum muda Indonesia berada dalam satu kondisi sosio politis tertentu yang dibentuk oleh zamannya. Apabila dibandingkan dengan periode Orde baru, dimana konflik-konflik politik tidak terlalu tajam, maka pasca reformasi keadaannya terbalik seratus delapan puluh derajad. Sistem multi partai yang menyebabkan dinamika politik begitu bergelora dan pelaksanaan Pemilu yang demokratis, bebas dan terbuka menyebabkan terjadinya euphoria politik karena terlepas dari kungkungan 32 tahun masa pemerintahan orde baru yang authoritarian.

 
Budaya Politik dan peranan politik.

Dewasa ini, kaum muda yang mengalami gejolak politik pasca tumbangnya pemerintahan otoritarian Soeharto, mengalami goncangan budaya justru karena telah mendapatkan kebebasan menyatakan pendapat tanpa sensor penguasa. Oleh karena itu kendati pun kaum muda Indonesia merupakan kelompok yang heterogen, mereka adalah sama-sama produk zamannya. Dari sini dapat diperkirakan bahwa persepsi politik kaum muda serta prioritas masalah yang dihadapinya akan berbeda dengan generasi pendahulunya. 

Jika generasi 45 lebih mendahulukan misi persatuan dan kesatuan bangsa, karena selalu melihat adanya ancaman dibalik setiap gejolak politik yang tidak disukainya. Hal ini dapat dimengerti karena mereka dibesarkan dalam suatu suasana politik dimana persatuan dan kesatuan Bangsa dikala itu benar-benar terancam. Bukan sekali dua kali tetapi berkali-kali.

Pemikiran politik eksponen 66 juga diwarnai oleh gejala politik yang dominan pada saat itu, sehingga mereka mempunyai orientasi yang structural terhadap masalah politik. Dengan telah selesainya fase pergolakan ideology serta rampungnya pembenahan struktur politik, maka diperkirakan kaum muda akan banyak mempertanyakan relevansi antara system politik yang telah terbangun memberikan peluang partisipasi. Hal ini dikedepankan karena kaum muda amat memerlukan citra politik dan memerlukan adanya satu model politik tertentu. 

Jika citra serta model yang diperlukan dapat diperoleh dari kehidupan politik dewasa ini maka sebagian dari masalah partisipasi sudah terpecahkan. Kalau melihat prospek kehidupan multi partai dimana setiap orang berpeluang menjadi calon legeslatif (caleg) maka terutama para perempuan sangat di minati oleh partai politik untuk mengisi 20 % kebutuhan untuk merekrut setiap calon legeslatif, apalagi yang telah memenuhi persyaratan minimal Strata S1. Tetapi mengapa kualitas Calon legeslatif yang konon merupakan ujung tombak kader suatu partai politik, tidak lahir secara otomatis dari kesungguhan menyelenggarakan kaderisasi yang intensif? Mengapa kemunculan seorang calon politisi atau pemimpin bangsa tidak dilahirkan oleh proses kaderisasi yang kuat oleh partai politik? 

Lemah nya system kaderisasi partai politik akan berakibat kepada lemahnya kepemimpinan nasional. Terlihat dari betapa banyaknya para artis yang di rekrut menjadi calon legeslatif dan ikut di dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), semata-mata karena popularitas nya saja. Bukankah ini akan mengorbankan kepentingan bangsa dan Negara?

Kaum muda dewasa ini mempunyai peran masa depan yang penting sekali, karena implementasi Pancasila sebagai Ideologi Bangsa harus dimulai sehingga nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya menjadi patokan dasar yang mau tidak mau menjadi flatform pendidikan politik di Indonesia. Dengan demikian kita tidak perlu risau akan peluang kaum muda dalam dunia politik karena secara alamiah peluang itu datang secara otomatis seiring dengan proses regenerasi. 

Bukti otentik yang baru saja kita alami adalah ketika Anas Urbaningrum (41 tahun), memenangkan pertarungan dramatis dua putaran atas pesaingnya Marzuki dengan Andi Malarangngeng untuk jabatan Ketua umum Partai Demokrat. Coba bandingkan usia Ketua Umum Partai Golkar dan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan serta ketua umum Partai Hanura. Apakah ini pertanda telah dimulainya era baru munculnya pemimpin muda yang berkarakter, ditengah oase keringnya nilai-nilai moral dikalangan politisi ditanah air produk politik Orde baru, serta masa transisi pasca reformasi yang kehilangan tokoh idola dan ketauladanan? Mengapa pembangunan nation and character building yang seharusnya menjadi tonggak terpenting mengawal penyelenggaraan Negara terlupakan?

Seorang pemimpin Pemimpin Trasformasional bukan hanya memberikan inspirasi dan memotivasi pengikut untuk mencapai hasil yang lebih besar, akan tetapi mampu merubah nilai-nilai dasar melalui pemberdayaan (Gibson dkk). Dilain pihak seorang Pemimpim Trasformasional harus mampu memberikan stimulasi intlektual, menghargai ide-ide kreatif dan inovatif dalam perkembangan regenerasi kepemimpinan organisasi (Mujiasih & Hadi Sutrisno). 

Oleh sebab itu pemimpin dituntut tanggung jawabnya untuk membentuk Budaya Organisasi yang menjadi 'trade mark' untuk memperlancar berjalannya rotasi dan pergantian kepemimpinan baik di dalam Partai politik maupun di dalam momentum keberlanjutan sebuah organisasi. Dan itu telah dilakukan oleh Partai Demokrat, sebagai partai pembaharu yang digandrungi oleh kaum muda.

Satu hal yang membedakan peluang kaum muda dewasa ini, dengan peluang generasi pendahulunya adalah bahwa dimasa kini dan mendatang, peluang partisipasi tidak akan datang sebagai akibat konflik politik yang tajam. Dimasa mendatang  peluang akan muncul secara gradual dan akan merupakan bagian yang integral dari sitem itu sendiri. Oleh karena itu lahirnya generasi-generasi politik seperti generasi 28, 45, dan 66, kemungkinan tidak akan terjadi lagi. 

Dalam pengertian ini, tidak mungkin terjadi adanya kelompok muda yang hadir sebagai kenyataan sosiologis yang utuh, yang kemudian menjadi kelompok penekan yang menyebabkan perubahan-perubahan besar baik dalam pola pikir maupun dalam struktur politik. Berarti pula, kalaupun ada perubahan dimasa yang akan datang, perubahan itu terjadi karena dinamika dan desakan dari dalam suatu system dan bukan dari luar. 

Perkiraan ini berdasarkan asumsi bahwa stabilitas politik yang telah lama kita nikmati ini adalah sesuatu yang akan kita korbankan begitu saja. Stabilitas politik yang dinamis tentunya memberikan peluang-peluang bagi perubahan yang diperlukan. Oleh sebab itu perubahan yang diakomodir dapat di integrasikan di dalam perubahan gradual yang kwalitatif di dalam system itu sendiri.

Sebagaimana wajah kaum muda sendiri yang beranekaragam , maka wadah partisipasi kaum muda juga beragam. Masih terdapat organisasi kaum muda yang merupakan organisasi peninggalan dari zaman dahulu. Ketika kaum muda diorganisir secara besar-besaran untuk menjadi ujung tombak dari partai-partai politik. Dewasa ini, mereka dalam proses penyesuaian identitas. Karena apa yang di cita-citakan oleh partai politik tidak terwujud, sedangkan untuk partisipasi yang baru dan efektif belum ditemukan. 

Gejala menarik yang terjadi sekarang adalah pengelompokan diluar itu semua, yaitu organisasi yang dibentuk atas prakarsa sendiri, baik yang bersifat profesi, kelompok minat, maupun klompok studi yang pada umumnya bersifat lokal dan terbatas. Yang terakhir ini sering disebut dengan predikat umum sebagai sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dimana potensi dan peranannya mulai di akui oleh masyarakat. 

Gejala ini positip karena menandakan bahwa kaum muda mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mendefinisikan peranan dan fungsinya sendiri dan tidak menggantungkan dirinya dari bentuk-bentuk yang tersedia dan yang peran serta fungsinya sudah diatur oleh pihak-pihak kaum muda itu sendiri. Gejala inilah yang tidak bisa membenarkan begitu saja pendapat bahwa kaum muda sekarang sudah apatis.

Pengelompokan kaum muda yang digambarkan diatas sepintas lalu tidak mempunyai fungsi politik yang langsung. Namun, mereka jika tidak diorganisir dengan efektif bisa saja mempunyai pengaruh politik dalam arti bahwa aspirasi yang dibawakannya diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada. Dan oleh sebab itu tokoh-tokohnya direkrut untuk tampil dalam gelanggang politik. 

Secara terbatas, memang gejala inilah yang terjadi. Namun, yang tampak dipermukaan adalah bahwa peran yang didapat kaum muda dalam dunia politik lebih disebabkan adanya 'pemberian' peran, dan bukan oleh karena peran kaum muda tersebut dianggap amat penting. Hal ini disebabkan karena secara sosio politis kehadiran kaum muda di dalam berbagai pengkotakan, baik yang fungsional, yang politis maupun yang tidak terorganisir dalam bentuk apapun, dengan kepentingan-kepentingan maupun aspirasi yang tidak mempunyai bentuk yang spesifik. Oleh karena itu 'politik generasi muda' tidak tampak sosoknya dewasa ini sebagai suatu gejala yang dominan.

Apakah ini merupakan tanda lonceng kematian kaum muda di dunia politik? Sama sekali tidak. Secara potensial, peranan kaum muda memang ada, namun tidak sebagai gejala sosio-politis tersendiri. Potensi kaum muda terserap dan membaur dalam keseluruhan interaksi politik yang ada, sedangkan peran yang dominan dalam seluruh interaksi ini tidak dapat ditakar sebagai peran 'generasi tua' versus 'generasi muda' sebab dinamika kelompok dalam dunia politik di Indonesia bukanlah dinamika antar generasi. 

Kendatipun demikian, kaum muda mempunyai potensi peranan yang strategis karena proses alam akan menempatkan kekuasaan politik masa depan ditangan kaum muda dewasa ini, bukan sebagai akibat dari 'politik generasi muda' namun sebagai bagian dari kenyataan bahwa peranan kaum muda terserap dan membaur dalam dinamika politik yang ada seperti tersebut diatas - - dalam interaksi yang terjadi sehari-hari. Oleh karena itu kesadaran yang berlebihan atas istilah-istilah yang kabur seperti 'generasi muda', 'kawula muda', dan seterusnya tidaklah banyak gunanya.

Dalam konteks politik dewasa ini, aktualisasi diri secara mandiri dan pribadi serta kesediaan untuk terjun mengambil bagian dalam proses politik adalah lebih berguna. Kesempatan untuk tampil dan berpartisipasi jelas ada. Namun perlu disadari bahwa kesempatan dan partisipasi tersebut tidak dapat diraih hanya dengan mengandalkan predikat kemudaan seseorang. 

Perlu diingat bahwa gembar-gembor mengenai peranan generasi muda terkadang hanya sekedar retorika politik yang substansinya kecil. Jika kita terjebak dalam retorika tersebut dan mengharapkan adanya pengakuan terhadap peranan kaum muda sebagai peranan yang spesifik, tentunya kita layak kecewa. Karena peranan dalam porsi 'generasi muda' hanya diberikan secara terbatas. Justru diluar itu, potensi peranan sebenarnya banyak sekali. Batasnya hanyalah kemampuan dan kreativitas seseorang. 

Tentunya dengan kesadaran bahwa ada batas-batas yang harus dihormati jika kita menginginkan peranan kita mendapat pengakuan yang semestinya. Ambillah sebagai misal peran politik. Jika kita melihat peran politik sebagai sesuatu yang hanya dapat dilakukan dalam pengertian yang formal, maka memang potensi peranan tersebut kecil. 

Namun jika kita keluar dari pengertian formal tersebut serta memasuki dunia politik dalam pengertian yang substantive, maka kelihatan potensi peranan yang besar. Disana-sini peranan yang substantive dalam pengertian ini sudah diambil dan di-aktualisasikan oleh kaum muda. Namun dalam banyak kasus, mereka tidak dibebani dengan kesadaran yang berlebih sebagai 'generasi muda'. Mereka lebih melihat diri mereka sebagai manusia yang mendapatkan atau menciptakan kesempatan serta menggunakan kesempatan tersebut.

Dapatlah disimpulkan bahwa secara umum tidak ada jenjang yang khusus bagi kaum muda. Kalaupun ada, jenjang itu hanya diberikan kepada sedikit orang saja, sekedar untuk membenarkan retorika mengenai peranan Generasi Muda. Jenjang karir politik adalah jenjang yang tidak bisa diukur dengan ukuran-ukuran serba pasti. Politik, sesuai dengan salah satu definisinya, adalah seni dalam mewujudkan kemungkinan-kemungkinan, atau seni untuk berbuat dalam kemungkinan-kemungkinan yang ada. 

Oleh karena itu tidak terdapat pola yang pasti dalam penjenjangan politik. Inti dari peranan yang didapatkan seseorang dalam politik adalah pengakuan. Dan pengakuan bisa datang dengan berbagai bentuk, yang masuk akal maupun yang tidak masuk akal. Suka atau tidak, itulah politik apapun sistemnya.


Persyaratan dalam dunia Politik.

Syarat terpenting adalah kemauan. Politik adalah panggilan hidup, yang dapat dijalani oleh semua orang. Kalau niat dan kemauan sudah ada, tentunya harus diikuti dengan persiapan. Kalau hanya sekedar menjadi aktifis, tentunya persiapannya tidak terlau rumit. Karena bagi seorang aktifis, yang perlu adalah adanya kegiatan. 

Arah dan isi kegiatan tidak terlalu penting. Untuk ini yang penting adalah kompetensi teknis yaitu harus mampu menjadi organisator yang baik. Tetapi harus diingat bahwa politik dalam tingkatan yang tinggi adalah kegiatan untuk melaksanakan suatu idealism. Oleh karena itu pembentukan gagasan adalah penting. Gagasan politik pada dasarnya adalah gagasan ideology, dan pemahaman Pancasila sebagai Ideologi maupun 'way of life' bangsa Indonesia harus disosialisasikan dan dilaksanakan 'in concreto' oleh para pemimpin Bangsa. 

Disamping itu politik adalah kegiatan yang menyangkut hubungan antar manusia. Dengan demikian 'mengenal manusia' sebagai insane politik (Zoon politicon), baik dalam domain sosio- antropologis maupun sosio- psikologis, adalah juga merupakan hal penting dari politik. Faktor bakat atau kecenderungan alami untuk berpolitik adalah juga factor yang membantu ditambah dengan adanya 'kehausan intlektual' yaitu harus merasa ingin belajar, ingin tahu, dan selanjutnya ingin mencari jawaban terhadap masalah-masalah kemanusiaan. 

Oleh karena itu dasar-dasar berpikir rasional, kritis dan selalu menggunakan logika berpikir efektif akan menjadi basis yang kuat bagi seorang pemimpin masa depan. Disamping itu untuk memperkaya visi , diperlukan pengetahuan filsafati, pendalaman sejarah serta pengetahuan umum lainnya.

Seorang politisi bukanlah seorang spesialis dan karena itu harus selalu berusaha memperluas cakrawala pandangannya. Demikian juga seorang politisi bukanlah seorang cendekiawan murni, sehingga dalam rangka merumuskan dan memperjuangkan gagasannya, maka Ia harus pandai berbuat atau mengolah hasil secara berhasil guna dan tepat guna, yaitu tepat waktu (sesuai dengan momentum psikologis), tepat ruang, dan tepat konteks. Inilah yang disebut feeling dalam politik.

Politik bukanlah kegiatan untuk mencari makan. Seorang politisi yang ingin melindungi integritas politiknya harus selalu membuka peluang untuk dapat menjamin kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu secara ideal, seorang politisi harus mempunyai minat lain yang non politik, sehingga ketergantungan hidupnya dari politik tidaklah mutlak. Hal ini adalah penting, karena di dalam politik kita tidak bisa mencari jaminan pribadi. 

Fenomena yang terjadi pasca reformasi bahwa bahwa korupsi berjamaah diperkenalkan pertama kali oleh para anggota DPRD Sumatera barat, yang rame-rame memakai uang rakyat untuk kepentingan pribadi yang dipergunakan secara konsumtif. Hal ini juga ditiru oleh daerah-daerah lain dengan membuat Peraturan Daerah tertentu dan dengan berkolaborasi dengan Pejabat daerah setempat mempergunakan Rencana Anggaran dan Pendapatan Daerah menjadi ajang kolusi dan korupsi yang bertentangan dengan Undang-Undang dan sangat merusak sendi-sendi moralitas para penyelenggara Negara. 

Ditingkat Pusat, anggota DPR-RI sebagai representasi politisi asal Partai Politik yang mengaku sebagai wakil rakyat yang terhormat, gelap mata bersekongkol dengan para investor guna membangun fasilitas umum di daerah dengan melakukan transaksi dibawah tangan untuk meng-goalkan suatu kebijakan anggaran yang diputuskan oleh DPR meloloskan Projek tertentu. Hal lainnya yang berupa penerimaan gratifikasi adalah memberikan suara terhadap pemilihan pejabat Bank Indonesia dengan imbalan tertentu kepada masing-masing fraksi di DPR.

Di dalam kehidupan politik, selalu ada factor X, mungkin nasib yang menyebabkan seseorang tidak dapat diduga akan kemana perkembangannya kelak. Oleh karena itu politik bukanlah pekerjaan bagi orang yang tergantung dari keteraturan dan kepastian semata-mata.
Semua hal yang dikemukakan diatas adalah sesuatu yang ideal. Dalam kenyataannya tidak semua pelaku politik memenuhi syarat seperti yang diharapkan karena dalam prakteknya sehari-hari dunia politik tidak terlalu sering menampilkan sosok yang ideal. 

Dua belas tahun Pasca reformasi, masih banyak anggota DPR yang mempunyai kebiasaan 3 D (duduk, dengar, diam), mereka tidak peduli dengan dinamika politik yang ada, yang terpenting mereka terpilih sebagai anggota DPR dengan melakukan segala cara, dan mereka memanfaatkan kedudukannya untuk melakukan praktek-praktek bisnis, ataupun kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan fungsi legeslasi, control dan penetapan anggaran. Maka tidak jarang kalau pada saat sidang-sidang penting di DPR, kursi palemen kosong. Dimana tanggung jawab dan kredibilitas para politisi? Apakah mereka hanya ingin memerankan personifikasi kaum feodal dengan label demokrasi ?

Karena pada akhirnya politik amat berhubungan dengan kekuasaan, dengan power. Berarti politik adalah seni untuk mewujudkan hal-hal yang mungkin. Akan tetapi sebagai orang muda, tentunya harus berangkat dari idealism. Realitas di atas harus dihindari sebagai wujud tanggung jawab bernegara, berbangsa dan untuk memberikan pengabdian terbaik bagi kemajuan negeri ini. Kejarlah cita-citamu setinggi langit, selagi kesempatan masih terbuka.