Tampilkan postingan dengan label daya saing. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label daya saing. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Juni 2010

Kaum Muda dalam Kehidupan Politik


Oleh; Sarwono kusumaatmadja & amp; Abdul Muin Angkat



Kalam;
Kaum muda harus senantiasa di depan utk melakukan perubahan, sebelum melakukan perubahan di luar dirinya, seyogianya melakukan perubahan di dalam dirinya yaitu perubahan sikap mental. Setelah 65 tahun merdeka, dan 102 tahun kebangkitan nasional ternyata capaian keadilan sosial bagi seluruh bangsa belum tercapai. Apakah kegagalan ini karena lemahnya kepemimpinan, terlambatnya regenerasi dan lemahnya daya saing bangsa? Mengapa jenjang kepemimpinan di Negara tetangga Malaysia yang dimotori oleh UMNO, dan di Cina tampuk kekuasaan se level wakil Perdana Menteri bisa diraih oleh kaum muda? Adakah ketertutupan system politik ini ditengarai oleh kebijakan salah arah atau hegemoni 'kaum tua' yang dan tidak memberi peluang kepada 'kaum muda?

Kesadaran untuk melakukan perubahan ini harus dilakukan secepatnya dengan keberanian menentukan target, berani melangkah dan berani memperjuangkan aspirasi kaum muda, Siapa calon pemimpin yg berada di garda depan?

Semula tulisan ini terangkum di dalam Buku" Sketsa Politik Orde Baru"(1987), ditulis oleh Sarwono Kusumaatmadja, dan saya sendiri sebagai editornya, Diterbitkan oleh Penerbit Grafiti Pers Bandung. Saya merasa tulisan ini masih relevan untuk dibaca oleh kaum muda karena sarat akan pengalaman empiric tokoh sekaliber Sarwono Kusumaatmadja yang berlatar belakang aktivis pergerakan mahasiswa Bandung, dan pernah dua kali ditunjuk sebagai Menteri pada era Soeharto dan Gus Dur sebagai Presiden.Disana sini saya up date, disesuaikan dengan perkembangan.(a.m.a).


Apa yang dimaksud dengan "kawula muda" di dalam konteks politik? Jika yang dimaksud adalah mereka yang berusia di atas 18 tahun (usia dimana seseorang mulai mempunyai hak pilih), lantas di mana ambang batasnya? Apakah kita sepakat apabila pada usia 35 tahun kita ambil sebagai ambang batas teratas usia 'pemuda',sesuai dengan prasyarat untuk duduk sebagai pengurus KNPI? Atau kita batasi saja dengan batasan yang agak remang-remang dengan mengatakan bahwa 'kawula muda' atau kaum muda, adalah mereka yang mempunyai kesadaran akan lingkungan politiknya serta dibentuk oleh pengalamannya selama kurun waktu 20 tahun belakangan ini.

Dengan latar belakang tersebut, yang dimaksudkan dengan kaum muda, ialah orang-orang yang persepsi politiknya benar-benar dibentuk oleh Zamannya (pada masa Orde Baru ataupun pasca reformasi), Ini berarti bahwa setiap orang yang tidak mengalami ataupun mengamati sendiri secara langsung perikehidupan berbangsa sebelum tahun 1998, dianggap sebagai kaum muda.

Kesadaran politik umumnya dibentuk terlebih dahulu oleh kesadaran lingkungan dalam pengertian yang luas, yaitu ketika seseorang mulai memberikan perhatian atas hal-hal yang tidak langsung menyangkut dirinya. Hal ini muncul bermula dari keinginan membaca surat kabar mengikuti kejadian sehari-hari, mengamati opini-opini yang berkembang, memperhatikan percakapan orang tuanya, membaca literature diluar buku pelajaran, komik dan cerita silat. Berarti seseorang mulai berminat membaca karya-karya sastra, esei-esei politik, buku sejarah dan seterusnya.

Dengan demikian timbul pertanyaan, sejak usia berapa seseorang mulai menunjukkan minat pada hal-hal yang bersifat abstrak tadi? Tidak ada yang pasti. Akan tetapi menurut pengamatan kami, kecenderungan tersebut dimulai sejak usia 12 tahun, ketika seseorang duduk dikelas 1 SMP.

Oleh karena itu setiap orang yang pada tahun 1998(pasca reformasi), berusia 12 tahun, masih boleh dan berhak dikatakan sebagai pemuda. Ini berarti, batas moderat usia 'kawula muda' adalah 12 + 12 = 24 tahun, sedangkan seperti yang ditetapkan oleh DPP KNPI, usia teratas generasi muda adalah 35 tahun. (untuk mengadopsi pemikiran bahwa 'pemuda' di daerah lebih mapan dalam usia ini).

Dalam konteks bermasyarakat dan berbangsa,sebagian mereka yang berusia antara 18 sampai 35 tahun adalah generasi muda. Siapakah mereka itu? Sudah pasti heterogen. Dari segi pendidikan, mulai mereka yang putus sekolah sampai sarjana. Dari segi pekerjaan, mulai yang menganggur, setengah menganggur, pegawai negeri sipil, TNI/Polri, swasta, petani, nelayan, serikat sekerja dan seterusnya. Dari segi asal usul, terdiri dari orang kota, maupun desa bertebaran diseluruh pelosok Tanah Air.

Secara umum untuk memberikan opini terhadap kelompok usia ini, kita harus berhati-hati. Umpamanya untuk menjawab apakah benar kaum muda acuh tak acuh terhadap dunia politik? Jawaban yang pasti adalah bahwa ada diantara mereka yang berminat dan ada pula yang tidak berminat terhadap politik.

Namun demikian kaum muda Indonesia berada dalam satu kondisi sosio politis tertentu yang dibentuk oleh zamannya. Apabila dibandingkan dengan periode Orde baru, dimana konflik-konflik politik tidak terlalu tajam, maka pasca reformasi keadaannya terbalik seratus delapan puluh derajad. Sistem multi partai yang menyebabkan dinamika politik begitu bergelora dan pelaksanaan Pemilu yang demokratis, bebas dan terbuka menyebabkan terjadinya euphoria politik karena terlepas dari kungkungan 32 tahun masa pemerintahan orde baru yang authoritarian.

 
Budaya Politik dan peranan politik.

Dewasa ini, kaum muda yang mengalami gejolak politik pasca tumbangnya pemerintahan otoritarian Soeharto, mengalami goncangan budaya justru karena telah mendapatkan kebebasan menyatakan pendapat tanpa sensor penguasa. Oleh karena itu kendati pun kaum muda Indonesia merupakan kelompok yang heterogen, mereka adalah sama-sama produk zamannya. Dari sini dapat diperkirakan bahwa persepsi politik kaum muda serta prioritas masalah yang dihadapinya akan berbeda dengan generasi pendahulunya. 

Jika generasi 45 lebih mendahulukan misi persatuan dan kesatuan bangsa, karena selalu melihat adanya ancaman dibalik setiap gejolak politik yang tidak disukainya. Hal ini dapat dimengerti karena mereka dibesarkan dalam suatu suasana politik dimana persatuan dan kesatuan Bangsa dikala itu benar-benar terancam. Bukan sekali dua kali tetapi berkali-kali.

Pemikiran politik eksponen 66 juga diwarnai oleh gejala politik yang dominan pada saat itu, sehingga mereka mempunyai orientasi yang structural terhadap masalah politik. Dengan telah selesainya fase pergolakan ideology serta rampungnya pembenahan struktur politik, maka diperkirakan kaum muda akan banyak mempertanyakan relevansi antara system politik yang telah terbangun memberikan peluang partisipasi. Hal ini dikedepankan karena kaum muda amat memerlukan citra politik dan memerlukan adanya satu model politik tertentu. 

Jika citra serta model yang diperlukan dapat diperoleh dari kehidupan politik dewasa ini maka sebagian dari masalah partisipasi sudah terpecahkan. Kalau melihat prospek kehidupan multi partai dimana setiap orang berpeluang menjadi calon legeslatif (caleg) maka terutama para perempuan sangat di minati oleh partai politik untuk mengisi 20 % kebutuhan untuk merekrut setiap calon legeslatif, apalagi yang telah memenuhi persyaratan minimal Strata S1. Tetapi mengapa kualitas Calon legeslatif yang konon merupakan ujung tombak kader suatu partai politik, tidak lahir secara otomatis dari kesungguhan menyelenggarakan kaderisasi yang intensif? Mengapa kemunculan seorang calon politisi atau pemimpin bangsa tidak dilahirkan oleh proses kaderisasi yang kuat oleh partai politik? 

Lemah nya system kaderisasi partai politik akan berakibat kepada lemahnya kepemimpinan nasional. Terlihat dari betapa banyaknya para artis yang di rekrut menjadi calon legeslatif dan ikut di dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), semata-mata karena popularitas nya saja. Bukankah ini akan mengorbankan kepentingan bangsa dan Negara?

Kaum muda dewasa ini mempunyai peran masa depan yang penting sekali, karena implementasi Pancasila sebagai Ideologi Bangsa harus dimulai sehingga nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya menjadi patokan dasar yang mau tidak mau menjadi flatform pendidikan politik di Indonesia. Dengan demikian kita tidak perlu risau akan peluang kaum muda dalam dunia politik karena secara alamiah peluang itu datang secara otomatis seiring dengan proses regenerasi. 

Bukti otentik yang baru saja kita alami adalah ketika Anas Urbaningrum (41 tahun), memenangkan pertarungan dramatis dua putaran atas pesaingnya Marzuki dengan Andi Malarangngeng untuk jabatan Ketua umum Partai Demokrat. Coba bandingkan usia Ketua Umum Partai Golkar dan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan serta ketua umum Partai Hanura. Apakah ini pertanda telah dimulainya era baru munculnya pemimpin muda yang berkarakter, ditengah oase keringnya nilai-nilai moral dikalangan politisi ditanah air produk politik Orde baru, serta masa transisi pasca reformasi yang kehilangan tokoh idola dan ketauladanan? Mengapa pembangunan nation and character building yang seharusnya menjadi tonggak terpenting mengawal penyelenggaraan Negara terlupakan?

Seorang pemimpin Pemimpin Trasformasional bukan hanya memberikan inspirasi dan memotivasi pengikut untuk mencapai hasil yang lebih besar, akan tetapi mampu merubah nilai-nilai dasar melalui pemberdayaan (Gibson dkk). Dilain pihak seorang Pemimpim Trasformasional harus mampu memberikan stimulasi intlektual, menghargai ide-ide kreatif dan inovatif dalam perkembangan regenerasi kepemimpinan organisasi (Mujiasih & Hadi Sutrisno). 

Oleh sebab itu pemimpin dituntut tanggung jawabnya untuk membentuk Budaya Organisasi yang menjadi 'trade mark' untuk memperlancar berjalannya rotasi dan pergantian kepemimpinan baik di dalam Partai politik maupun di dalam momentum keberlanjutan sebuah organisasi. Dan itu telah dilakukan oleh Partai Demokrat, sebagai partai pembaharu yang digandrungi oleh kaum muda.

Satu hal yang membedakan peluang kaum muda dewasa ini, dengan peluang generasi pendahulunya adalah bahwa dimasa kini dan mendatang, peluang partisipasi tidak akan datang sebagai akibat konflik politik yang tajam. Dimasa mendatang  peluang akan muncul secara gradual dan akan merupakan bagian yang integral dari sitem itu sendiri. Oleh karena itu lahirnya generasi-generasi politik seperti generasi 28, 45, dan 66, kemungkinan tidak akan terjadi lagi. 

Dalam pengertian ini, tidak mungkin terjadi adanya kelompok muda yang hadir sebagai kenyataan sosiologis yang utuh, yang kemudian menjadi kelompok penekan yang menyebabkan perubahan-perubahan besar baik dalam pola pikir maupun dalam struktur politik. Berarti pula, kalaupun ada perubahan dimasa yang akan datang, perubahan itu terjadi karena dinamika dan desakan dari dalam suatu system dan bukan dari luar. 

Perkiraan ini berdasarkan asumsi bahwa stabilitas politik yang telah lama kita nikmati ini adalah sesuatu yang akan kita korbankan begitu saja. Stabilitas politik yang dinamis tentunya memberikan peluang-peluang bagi perubahan yang diperlukan. Oleh sebab itu perubahan yang diakomodir dapat di integrasikan di dalam perubahan gradual yang kwalitatif di dalam system itu sendiri.

Sebagaimana wajah kaum muda sendiri yang beranekaragam , maka wadah partisipasi kaum muda juga beragam. Masih terdapat organisasi kaum muda yang merupakan organisasi peninggalan dari zaman dahulu. Ketika kaum muda diorganisir secara besar-besaran untuk menjadi ujung tombak dari partai-partai politik. Dewasa ini, mereka dalam proses penyesuaian identitas. Karena apa yang di cita-citakan oleh partai politik tidak terwujud, sedangkan untuk partisipasi yang baru dan efektif belum ditemukan. 

Gejala menarik yang terjadi sekarang adalah pengelompokan diluar itu semua, yaitu organisasi yang dibentuk atas prakarsa sendiri, baik yang bersifat profesi, kelompok minat, maupun klompok studi yang pada umumnya bersifat lokal dan terbatas. Yang terakhir ini sering disebut dengan predikat umum sebagai sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dimana potensi dan peranannya mulai di akui oleh masyarakat. 

Gejala ini positip karena menandakan bahwa kaum muda mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mendefinisikan peranan dan fungsinya sendiri dan tidak menggantungkan dirinya dari bentuk-bentuk yang tersedia dan yang peran serta fungsinya sudah diatur oleh pihak-pihak kaum muda itu sendiri. Gejala inilah yang tidak bisa membenarkan begitu saja pendapat bahwa kaum muda sekarang sudah apatis.

Pengelompokan kaum muda yang digambarkan diatas sepintas lalu tidak mempunyai fungsi politik yang langsung. Namun, mereka jika tidak diorganisir dengan efektif bisa saja mempunyai pengaruh politik dalam arti bahwa aspirasi yang dibawakannya diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada. Dan oleh sebab itu tokoh-tokohnya direkrut untuk tampil dalam gelanggang politik. 

Secara terbatas, memang gejala inilah yang terjadi. Namun, yang tampak dipermukaan adalah bahwa peran yang didapat kaum muda dalam dunia politik lebih disebabkan adanya 'pemberian' peran, dan bukan oleh karena peran kaum muda tersebut dianggap amat penting. Hal ini disebabkan karena secara sosio politis kehadiran kaum muda di dalam berbagai pengkotakan, baik yang fungsional, yang politis maupun yang tidak terorganisir dalam bentuk apapun, dengan kepentingan-kepentingan maupun aspirasi yang tidak mempunyai bentuk yang spesifik. Oleh karena itu 'politik generasi muda' tidak tampak sosoknya dewasa ini sebagai suatu gejala yang dominan.

Apakah ini merupakan tanda lonceng kematian kaum muda di dunia politik? Sama sekali tidak. Secara potensial, peranan kaum muda memang ada, namun tidak sebagai gejala sosio-politis tersendiri. Potensi kaum muda terserap dan membaur dalam keseluruhan interaksi politik yang ada, sedangkan peran yang dominan dalam seluruh interaksi ini tidak dapat ditakar sebagai peran 'generasi tua' versus 'generasi muda' sebab dinamika kelompok dalam dunia politik di Indonesia bukanlah dinamika antar generasi. 

Kendatipun demikian, kaum muda mempunyai potensi peranan yang strategis karena proses alam akan menempatkan kekuasaan politik masa depan ditangan kaum muda dewasa ini, bukan sebagai akibat dari 'politik generasi muda' namun sebagai bagian dari kenyataan bahwa peranan kaum muda terserap dan membaur dalam dinamika politik yang ada seperti tersebut diatas - - dalam interaksi yang terjadi sehari-hari. Oleh karena itu kesadaran yang berlebihan atas istilah-istilah yang kabur seperti 'generasi muda', 'kawula muda', dan seterusnya tidaklah banyak gunanya.

Dalam konteks politik dewasa ini, aktualisasi diri secara mandiri dan pribadi serta kesediaan untuk terjun mengambil bagian dalam proses politik adalah lebih berguna. Kesempatan untuk tampil dan berpartisipasi jelas ada. Namun perlu disadari bahwa kesempatan dan partisipasi tersebut tidak dapat diraih hanya dengan mengandalkan predikat kemudaan seseorang. 

Perlu diingat bahwa gembar-gembor mengenai peranan generasi muda terkadang hanya sekedar retorika politik yang substansinya kecil. Jika kita terjebak dalam retorika tersebut dan mengharapkan adanya pengakuan terhadap peranan kaum muda sebagai peranan yang spesifik, tentunya kita layak kecewa. Karena peranan dalam porsi 'generasi muda' hanya diberikan secara terbatas. Justru diluar itu, potensi peranan sebenarnya banyak sekali. Batasnya hanyalah kemampuan dan kreativitas seseorang. 

Tentunya dengan kesadaran bahwa ada batas-batas yang harus dihormati jika kita menginginkan peranan kita mendapat pengakuan yang semestinya. Ambillah sebagai misal peran politik. Jika kita melihat peran politik sebagai sesuatu yang hanya dapat dilakukan dalam pengertian yang formal, maka memang potensi peranan tersebut kecil. 

Namun jika kita keluar dari pengertian formal tersebut serta memasuki dunia politik dalam pengertian yang substantive, maka kelihatan potensi peranan yang besar. Disana-sini peranan yang substantive dalam pengertian ini sudah diambil dan di-aktualisasikan oleh kaum muda. Namun dalam banyak kasus, mereka tidak dibebani dengan kesadaran yang berlebih sebagai 'generasi muda'. Mereka lebih melihat diri mereka sebagai manusia yang mendapatkan atau menciptakan kesempatan serta menggunakan kesempatan tersebut.

Dapatlah disimpulkan bahwa secara umum tidak ada jenjang yang khusus bagi kaum muda. Kalaupun ada, jenjang itu hanya diberikan kepada sedikit orang saja, sekedar untuk membenarkan retorika mengenai peranan Generasi Muda. Jenjang karir politik adalah jenjang yang tidak bisa diukur dengan ukuran-ukuran serba pasti. Politik, sesuai dengan salah satu definisinya, adalah seni dalam mewujudkan kemungkinan-kemungkinan, atau seni untuk berbuat dalam kemungkinan-kemungkinan yang ada. 

Oleh karena itu tidak terdapat pola yang pasti dalam penjenjangan politik. Inti dari peranan yang didapatkan seseorang dalam politik adalah pengakuan. Dan pengakuan bisa datang dengan berbagai bentuk, yang masuk akal maupun yang tidak masuk akal. Suka atau tidak, itulah politik apapun sistemnya.


Persyaratan dalam dunia Politik.

Syarat terpenting adalah kemauan. Politik adalah panggilan hidup, yang dapat dijalani oleh semua orang. Kalau niat dan kemauan sudah ada, tentunya harus diikuti dengan persiapan. Kalau hanya sekedar menjadi aktifis, tentunya persiapannya tidak terlau rumit. Karena bagi seorang aktifis, yang perlu adalah adanya kegiatan. 

Arah dan isi kegiatan tidak terlalu penting. Untuk ini yang penting adalah kompetensi teknis yaitu harus mampu menjadi organisator yang baik. Tetapi harus diingat bahwa politik dalam tingkatan yang tinggi adalah kegiatan untuk melaksanakan suatu idealism. Oleh karena itu pembentukan gagasan adalah penting. Gagasan politik pada dasarnya adalah gagasan ideology, dan pemahaman Pancasila sebagai Ideologi maupun 'way of life' bangsa Indonesia harus disosialisasikan dan dilaksanakan 'in concreto' oleh para pemimpin Bangsa. 

Disamping itu politik adalah kegiatan yang menyangkut hubungan antar manusia. Dengan demikian 'mengenal manusia' sebagai insane politik (Zoon politicon), baik dalam domain sosio- antropologis maupun sosio- psikologis, adalah juga merupakan hal penting dari politik. Faktor bakat atau kecenderungan alami untuk berpolitik adalah juga factor yang membantu ditambah dengan adanya 'kehausan intlektual' yaitu harus merasa ingin belajar, ingin tahu, dan selanjutnya ingin mencari jawaban terhadap masalah-masalah kemanusiaan. 

Oleh karena itu dasar-dasar berpikir rasional, kritis dan selalu menggunakan logika berpikir efektif akan menjadi basis yang kuat bagi seorang pemimpin masa depan. Disamping itu untuk memperkaya visi , diperlukan pengetahuan filsafati, pendalaman sejarah serta pengetahuan umum lainnya.

Seorang politisi bukanlah seorang spesialis dan karena itu harus selalu berusaha memperluas cakrawala pandangannya. Demikian juga seorang politisi bukanlah seorang cendekiawan murni, sehingga dalam rangka merumuskan dan memperjuangkan gagasannya, maka Ia harus pandai berbuat atau mengolah hasil secara berhasil guna dan tepat guna, yaitu tepat waktu (sesuai dengan momentum psikologis), tepat ruang, dan tepat konteks. Inilah yang disebut feeling dalam politik.

Politik bukanlah kegiatan untuk mencari makan. Seorang politisi yang ingin melindungi integritas politiknya harus selalu membuka peluang untuk dapat menjamin kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu secara ideal, seorang politisi harus mempunyai minat lain yang non politik, sehingga ketergantungan hidupnya dari politik tidaklah mutlak. Hal ini adalah penting, karena di dalam politik kita tidak bisa mencari jaminan pribadi. 

Fenomena yang terjadi pasca reformasi bahwa bahwa korupsi berjamaah diperkenalkan pertama kali oleh para anggota DPRD Sumatera barat, yang rame-rame memakai uang rakyat untuk kepentingan pribadi yang dipergunakan secara konsumtif. Hal ini juga ditiru oleh daerah-daerah lain dengan membuat Peraturan Daerah tertentu dan dengan berkolaborasi dengan Pejabat daerah setempat mempergunakan Rencana Anggaran dan Pendapatan Daerah menjadi ajang kolusi dan korupsi yang bertentangan dengan Undang-Undang dan sangat merusak sendi-sendi moralitas para penyelenggara Negara. 

Ditingkat Pusat, anggota DPR-RI sebagai representasi politisi asal Partai Politik yang mengaku sebagai wakil rakyat yang terhormat, gelap mata bersekongkol dengan para investor guna membangun fasilitas umum di daerah dengan melakukan transaksi dibawah tangan untuk meng-goalkan suatu kebijakan anggaran yang diputuskan oleh DPR meloloskan Projek tertentu. Hal lainnya yang berupa penerimaan gratifikasi adalah memberikan suara terhadap pemilihan pejabat Bank Indonesia dengan imbalan tertentu kepada masing-masing fraksi di DPR.

Di dalam kehidupan politik, selalu ada factor X, mungkin nasib yang menyebabkan seseorang tidak dapat diduga akan kemana perkembangannya kelak. Oleh karena itu politik bukanlah pekerjaan bagi orang yang tergantung dari keteraturan dan kepastian semata-mata.
Semua hal yang dikemukakan diatas adalah sesuatu yang ideal. Dalam kenyataannya tidak semua pelaku politik memenuhi syarat seperti yang diharapkan karena dalam prakteknya sehari-hari dunia politik tidak terlalu sering menampilkan sosok yang ideal. 

Dua belas tahun Pasca reformasi, masih banyak anggota DPR yang mempunyai kebiasaan 3 D (duduk, dengar, diam), mereka tidak peduli dengan dinamika politik yang ada, yang terpenting mereka terpilih sebagai anggota DPR dengan melakukan segala cara, dan mereka memanfaatkan kedudukannya untuk melakukan praktek-praktek bisnis, ataupun kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan fungsi legeslasi, control dan penetapan anggaran. Maka tidak jarang kalau pada saat sidang-sidang penting di DPR, kursi palemen kosong. Dimana tanggung jawab dan kredibilitas para politisi? Apakah mereka hanya ingin memerankan personifikasi kaum feodal dengan label demokrasi ?

Karena pada akhirnya politik amat berhubungan dengan kekuasaan, dengan power. Berarti politik adalah seni untuk mewujudkan hal-hal yang mungkin. Akan tetapi sebagai orang muda, tentunya harus berangkat dari idealism. Realitas di atas harus dihindari sebagai wujud tanggung jawab bernegara, berbangsa dan untuk memberikan pengabdian terbaik bagi kemajuan negeri ini. Kejarlah cita-citamu setinggi langit, selagi kesempatan masih terbuka.


 

 

Sabtu, 01 Mei 2010

LEMAHNYA DAYA SAING BANGSA


  Oleh :  Abdul Muin Angkat                                                  

Mengapa daya saing bangsa dianggap sangat lemah bila dihubungkan dengan transformasi Ipteks, yang  seharusnya menghasilkan nilai tambah  bagi peningkatan mutu kehidupan anak bangsa? Mengapa juga inovasi, difusi, perekayasaan & alih teknologi masih tertinggal  bila dibandingkan dengan Negara tetangga Thailand, misalnya? Bukankah  diperlukan perubahan yang mendasar  di dalam pengembangan  kapasitas  dan system  manajemen perguruan tinggi?.  Daya saing perguruan tinggi akan meningkat, apabila  kesehatan organisasi  baik ditingkat nasional  maupun  perguruan  tinggi dapat diwujudkan.
Dalam HELTS (Higher Education Long Term Strategy) 2003-2010, Dikti telah merumuskan  strategi pengembangan yang  bertumpu pada 3 strategi utama, yaitu 1) peningkatan daya saing bangsa, (nation’s competitiveness), 2) Otonomi dan decentralisasi,  (autonomy), dan 3) Kesehatan organisasi, (organizational health).

Daya saing bangsa. Perguruan tinggi dituntut untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan. Untuk meningkatkan daya saing lulusan harus dimulai dengan peningkatan mutu  dan daya saing perguruan tinggi itu sendiri. Upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi secara nasional telah dimulai sejak awal tahun 1990, melalui kebijakan yang tertuang di dalam KPPTDJP 1995- 2005, dan seterusnya dilanjutkan dengan HELTS 2003 – 2010. Melalui kebijakan tersebut institusi pendidikan tinggi diharapkan mampu meningkatkan kualitasnya  melalui berbagai program pengembangan antara lain; program university research for graduate education, (URGE 1990), Development Of Undergraduate Education,(DUE, 1994), Quality for Undergraduate  Education, (QUE,1996), Semi-QUE, (1999), DUE-like (1999), Technological  and professional skills  Development Project (TPSD,2000), serta Program A1, A2, dan B (2004), khusus untuk program B, diharapkan munculnya perguruan tinggi yang mampu bersaing dengan perguruan tinggi luar negeri.Terakhir Program teranyar,adalah Percepatan Peningkatan Kualitas Mutu PTS sehat, Program kewirausahaan, dan program Soft skill mahasiswa. (2008-2009).
Otonomi dan desentralisasi.  Di dalam rangka pembenahan kapasitas  institusi pendidikan tinggi, telah dilakukan Pergeseran peran  Ditjen Dikti, dari peran regulator ke peran fasilitator. Dalam hal ini kewenangan perguruan tinggi semakin diperluas melalui otonomi perguruan tinggi. Perguruan tinggi secara otonom menetapkan visi misi nya sesuai dengan potensi, dan kekhasan institusi regional yang dipadukan dengan tujuan pendidikan nasional.
Kesehatan organisasi. Intitusi pendidikan yang  sehat, memenuhi persyaratan pelaksanaan  akademik dengan melakukan restrukturisasi organisasi sesuai dengan fungsi, serta pengembangan organisasi mitra. Di tingkat perguruan tinggi Swasta sesuai dengan  peningkatan akreditasi  telah dilakukan program nurturing untuk memberikan inisiasi kepada perguruan tinggi lemah dengan mengirimkan dosen-dosen senior dari berbagai ilmu murni.
Secara khusus pemerintah mendorong dirumuskannya mekanisme  dan tata cara meng-evaluasi kondisi kesehatan organisasi perguruan tinggi, dan menyiapkan dana khusus untuk meningkatkan  mutu perguruan tinggi tersebut. Mampukah perguruan tinggi memperbaiki kualitas institusi dan peningkatan sumber daya insane ditengah-tengah kompetisi antar bangsa, dengan memanfaatkan sepenuh-penuhnya rekayasa Ipteks bagi kemakmuran? Masihkah diperlukan kebijakan ‘merger’ bagi Perguruan tinggi yang tidak memenuhi Standar minimal kualitas mutu  dari sekitar 2800 Perguruan tinggi  di Indonesia?       

Penelitian berbasis R&D

Perguruan tinggi sebagai ‘knowledge factory’, sebagai Pusat peradaban, dan Pusat Intlektual, diharapkan menghasilkan lulusan  yang kreatif dan inovatif dengan keterampilan khusus yang dibutuhkan diberbagai sector kehidupan, termasuk bidang teknologi, ekonomi, hukum dan social budaya.  Di dalam persaingan global, dimana pengembangan teknologi harus berbasis R&D,  kiranya perlu didukung  oleh stake holders.
Perguruan tinggi juga memiliki peran strategis guna menumbuhkan budaya meneliti serta meningkatkan mutu penelitian di semua perguruan tinggi sehingga mampu untuk melakukan transvers  teknologi, memanfaatkan teknologi  bagi kepentingan pembangunan bangsa  guna mempercepat Pencapaian  kesejahteraan serta keadilan social bagi seluruh bangsa Indonesia.
Dengan visi dan misi baru perguruan tinggi yaitu mendekatkan kerjasama yang bersifat ‘ kebijakan untuk melaksanakan simbiose mutualistis  antara perguruan tinggi   dan  pihak industry, ini menandakan bahwa peran perguruan tinggi  semakin strategis untuk meletakkan dasar-dasar serta pengembangan jiwa kewirausahaan dikalangan civitas academica. Pertumbuhan ekonomi berbasis penguasaan teknologi maju  diharapkan akan memberikan kontribusi yang sangat signifikan  bagi  pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Optimalisasi  peran perguruan tinggi di dalam  aktualisasi kapasitas sumber daya insani  yang merata di seluruh Indonesia  akan menghilangkan kesan sentralisme  yang terpusat di dalam menajemen pengelolaan perguruan tinggi  yang kuat dan mandiri.


MASALAH POKOK
Lima masalah pokok yang memerlukan dukungan pengambilan kebijakan di dalam  Higher education long term strategy (HELTS) 2003 – 2010  yaitu 1)Governance, 2) Dana 3) SDM, 4)Peraturan Perundangan, 5)Penjaminan mutu akademik, sbb:
1.       Governance. Tata kelola merupakan aspek penting di dalam organisasi, karena secara spesifik pengelolaan perguruan tinggi sangat berbeda dengan pengeloaan bisnis perusahaan atau pemerintahan. Secara universal bahwa perguruan tinggi mempunyai keunikan sendiri  yaitu adanya system nilai berdasarkan norma kebaikan, kebenaran, kejujuran dan saling menghormati. Salah satu kebutuhan  mendasar dari perguruan tinggi adalah kebebasan akademik, dan pengelolaan otonomi agar perguruan tinggi  bisa berkembang didalam  konteks peningkatan daya saing bangsa  di dalam  era globalisasi  sekarang.
2.       Dana. Sumber penerimaan dana serta system pengelolaan yang transparan  yang memenuhi  kaidah-kaidah transparansi dan melalui pertanggung jawaban yang akuntable adalah salah  satu syarat agar kepercayaan  masyarakat dan Negara  memberikan citra yang baik terhadap pembinaan perguruan tinggi secara bertanggung jawab.Peningkatan sumber dana alternative selain dari dana RAPBN diperoleh dari masyarakat dan stake holder  melalui hibah maupun kerjasama  pendidikan.
3.       Sumber daya insani  sebagai  asset nasional  merupakan ‘moral force’ di dalam mencetak insane yang ber akhlakulkarimah guna pembangunan karakter bangsa. (Nation and Character building).
4.       Peraturan Perundang-undangan mencerminkan adanya  ‘political will’ Pemerintah  untuk menata perguruan tinggi secara menyeluruh dan sistemik. Pola baru di dalam pengelolaan  perguruan tinggi  dilaksanakan secara desentralisasi.
5.        Penjaminan mutu akademik. Dengan adanya peningkatan  mutu Perguruan tinggi,  maka masyarakat akan bisa menilai sendiri mutu sebuah perguruan tinggi guna tercapainya kesehatan organisasi.    

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN TINGGI.
Dari lima masalah pokok di atas, dikerucutkan menjadi tiga kebijakan  dasar  yang disebut sebagai  1) Daya saing Bangsa, 2) Otonomi, 3) Kesehatan organisasi
1.      Daya saing.  Fungsi pendidikan tinggi yang merupakan landasan bagi pertumbuhan dan pengembangan  peradaban Bangsa diharapkan menjadi suatu ‘kekuatan moral’ yang mendorong terciptanya a) insan  yang ber akhlakul karimah  mempunyai kecerdasan holistic  yang merupakan integrasi kecerdasan IQ,EQ, dan SQ. Dalam hal ini Perguruan tinggi  sebagai ‘knowledge factory’,serta Pusat Intlektual,  harus mampu a) menanamkan nilai-nilai luhur Bangsa (kebenaran, kejujuran, keadilan), b) menjaga persatuan dan keasatuan Bangsa, c) mengawal pelaksanaan Demokrasi yang berkeadilan, dan d) memanfaatkan momentum  reformasi untuk perubahan.     
(Dari sumber ; www. Imd.ch/wcy/order farm), posisi Indonesia dalam peringkat daya saing diantara Negara-negara berpenduduk di atas 20 juta, masih bertengger pada peringkat 28, dari 30 negara. Perilaku inovatif, tanggung jawab dan profitabilitas perusahaan menduduki peringkat ke -30 dengan nilai 6,1. Sementara kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing juga masih rendah yaitu dengan nilai 16,9, pada peringkat 27. Sementara kontribusi Sains,  teknologi, SDM terhadap dunia
Usaha masih pada posisi angka 9,6, terlemah diantara 30 Negara (yang berpenduduk diatas 20 juta).
2.      Desentralisasi  dan Otonomi. Sesuai dengan UU Sisdiknas dinyatakan bahwa pertama, Gerakan  Reformasi di Indonesia secara umum menuntut dilaksanakannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak azasi manusia. Kedua, dengan perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang  sedemikian cepat, maka diperlukan   pembaharuan sistim pendidikan nasional yang diselenggarakan secara gradual.  Ketiga, Yang dimaksud dengan Otonomi Perguruan tinggi  sesuai dengan penjelasan UU Sisdiknas, adalah kemandirian perguruan tinggi untuk  mengelola sendiri institusinya.
3.      Kesehatan Organisasi. Perguruan tinggi diharapkan mampu  berperan untuk mendorong  pertumbuhan daya saing melalui inovasi  Ipteks  serta meningkatkan  kreatifitas Ilmu pengetahuan. Organisasi yang sehat yang memungkinkan Perguruan Tinggi menjalankan Visi Misi nya  secara bertanggung jawab. Hal tersebut ditandai dengan ciri-ciri  sbb; a)Berkembangnya kebebasan akademik, b) Terciptanya suasana akedemik yang inovatif, dan kreatif sehingga menciptakan  ide-ide baru  dan peradaban baru, c) Berkembangnya sistem nilai etis dan  produktif, yang ditandai dengan tumbuhnya  team building dan team spirit untuk melahirkan kelompok-kelompok kreatif, d) Terciptanya budaya organisasi yang kompetitif untuk menyaring pribadi unggul dan meritokratis, e) Berlangsungnya kerjasama yang berkesinambungan dengan  memperluas jaringan, f)Transformasi jiwa kewirausahaan  kepada mahasiswa, sehingga produk intlektual dan  penelitian  dapat dipasarkan.       


PEMBAHASAN  DAN  EVALUASI.
   Rencana Strategis jangka panjang (Strategic Plan ) adalah dokumen yang  menerangkan tujuan organisasi dan menetapkan sasaran  yang realistis dan objektif (konsisten dengan misi)  dalam jangka waktu tertentu. Rencana strategis merupakan alat bantu yang kuat bagi institusi untuk meng-ekspresikan  Visi yang dimiliki. Rencana strategis berfokus pada masa depan, dan perhatian utamanya adalah daya adaptasi organisasi  terhadap perubahan dilingkungannya. Semakin sering terjadi perubahan di-sekitar organisasi, semakin sering pula proses peninjauan ulang  terhadap Rencana Strategis harus dilakukan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia telah menyusun  Strategi jangka panjang pendidikan tinggi yang dikenal dengan HELTS  2003 – 2010 (Higher Education Long Term Strategy). Dokumen ini menjadi acuan utama  dalam upaya meningkatkan peran pendidikan tinggi  di Indonesia dalam konteks persaingan global  sehingga mampu memperkuat daya saing bangsa.


HELTS 2003 – 2010, memfokuskan 3(tiga) hal penting yaitu ; 1. Daya saing bangsa, 2. Otonomi, 3) Kesehatan organisasi.
1.      Daya saing
Krisis multi dimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1998,menyebabkan negeri ini  terpuruk  daya saingnya di dunia internasional. Dari sector  ekonomi disadari bahwa upaya untuk bangkit dari krisis, masih belum mencapai hasil yang memuaskan. Secara keseluruhan Bank dunia di dalam salah satu laporannya mencatat, bahwa posisi daya saing Indonesia diantara 30 negara yang berpenduduk diatas 20 juta menempati urutan ke -28. Seperti terlihat pada table 1. Tabel tersebut secara keseluruhan  menyebutkan rendahnya  daya saing   Bangsa Indonesia dibandingkan dengan 30 negara lain. Parameter penilaian yang digunakan sangat erat kaitannya dengan kinerja perguruan tinggi, seperti misalnya masih lemahnya inovasi, difusi, perekayasaan & alih teknologi, lemahnya informasi teknologi hasil penelitian terhadap pelestarian SDA. Selain itu kontribusi Ipteks juga masih jauh terhadap kontribusi nasional, di dalam table tersebut, ‘Kualitas pendidikan tinggi’ terdapat angka 9,6 dan Indonesia masih berkutat di peringkat 30 di antara 30 negara. Dan ini,  yang sungguh masih merisaukan. Indonesia termasuk salah negara dimana kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing masih  rendah. Yaitu  angka  16,9, artinya usaha pemerintah untuk mendukung percepatan pembangunan dengan kebijakan IT, masih setengah hati. Posisi   Indonesia nomor 3 urutan dari bawah dari 30 negara.
Dipihak lain dari Sumber ADB, 2003, pada indicator dan outcomes (table 2) yang menunjukkan angka jumlah eksport yang berbasis teknologi tinggi, dari lima Negara di Asia, posisi Indonesia paling rendah dari Negara Filipina, Singapura,Thailand dan Malaysia. Didalam data tersebut, jumlah R&D Indonesia hanya 1, sedangkan  Malaysia 67, dan Thaliland 119.( jumlah R&D /juta penduduk antara 1985-1995). Jumlah paten yang dihasilkan Indonesia 20, lebih rendah dari Singapura 88.
Data Peringkat Pendidikan Tinggi tingkat Dunia dan Asia. Untuk tingkat dunia, Indonesia belum berhasil memasukkan perguruan tingginya pada level ini. Dibandingkan dengan Taiwan yang memasukkan 5 perguruan tingginya, atau Singapura dan Turki yang memasukkan masing-masing memasukkan 2 perguruan tingginya dalam posisi 500 perguruan tinggi di dunia. Dari 100 perguruan tinggi di Asia, Taiwan dan Singapura  memasukkan masing-masing 3 perguruan tingginya dan Indonesia  masih belum  berhasil memasukkan satu pun perguruan tingginya.(table 3)
Faktor lain yang menyebabkan ketertinggalan kualitas perguruan tinggi Indonesia, dibandingkan dengan  kualitas perguruan tinggi Negara tetangga, bisa dilihat dari berapa  jumlah dan perbandingan   biaya seorang mahasiswa dihitung dari fasilitas yang diterima  dari perguruan tinggi selama menyelesaikan perkuliahannya? (table 4 ).Coba bandingkan seorang mahasiswa  dari Singapura biaya yang diperlukan  berkisar antara Rp. 90 sd 400 juta, Jepang dan  Inggris Rp. 85 juta, sedangkan seorang mahasiswa di Indonesia hanya  sampai pada angka Rp 3.17 juta.
 Angka Ideal untuk biaya  seorang mahasiswa Indonesia menurut Dirjen Dikti Prof. Dr Satryo Brojonegoro adalah Rp. 18. Juta, dimana fasiltas yang diberikan pemerintah untuk mendukung proses pembelajaran termasuk fasilitas  laboratorium dan fasilitas lainnya. Kalaupun angka ini bisa tercapai, maka masih jauh dari angka Rp 29 – 111 juta biaya seorang mahasiswa di Malaysia. Dengan adanya kenaikan biaya pendidikan sebesar 20 % RAPBN di Indonesia sekurang-kurangnya,  merupakan  langkah optimistis untuk bisa mensejajarkan kualitas perguruan tinggi Indonesia dengan Negara-negara tetangga. Namun apabila dibandingkan dengan Negara-negara Asia, misalnya Vietnam prosentase pendanaan untuk pendidikan sangat tinggi, mencapai  86, 10%, hampir sejajar dengan India 92, 50% tertingi di Asia.(lihat Table 5.)
Memahami hal ini, sejak awal tahun  90-an berbagai usaha mengembangkan kapasitas perguruan tinggi  (capacity building), telah dilakukan oleh Dikti dengan pendekatan investmen based program menjadi pendekatan  outcome based program  yang dirancang dalam suatu competitive funding mechanism.
Terjadinya marginalisasi ketertinggalan pendidikan tinggi Indonesia di dunia internasional, mengakibatkan terlontarnya posisi Indonesia  dalam kompetisi dunia. Oleh sebab itu pilihan alternative untuk memperbaiki posisi tersebut adalah dengan menetapkan bidang-bidang strategis sebagai area pengembangan  yaitu pendidikan, kesehatan, pangan, IT, kelautan dan energy.
Dalam rangka meningkatkan  daya saing bangsa perlu dukungan sumber daya, dan focus kepada kualitas bukan hanya kwantitas semata. Dalam hal itu, Dana penelitian untuk meningkatkan mutu dan relevansi harus dicari sumber pendanaan yang bukan dari pemerintah. Pengembangan daya saing tersebut sekaligus untuk menyosialisasikan program soft skill  agar mahasiswa mempunyai ketrampilan hidup tidak semata-mata terfokus kepada pendidikan yang bersifat kognitif.

2.   Otonomi perguruan tinggi.
Di dalam terdapatnya disparitas kualitas perguruan tinggi tersebut,  untuk mencapai kondisi ideal yang diharapkan, maka  dilakukan perubahan di mana selama ini    kebijakan centralistic  terlalu dipusatkan ke Dikti, maka sudah saatnya dirubah menjadi desentralisasi, sehingga perguruan tinggi mampu mengelola manajemennya secara otonom dan mandiri. Perubahan peran dan fungsi Dikti  sebagai regulator dan fasilitator, akan membawa angin segar di dalam tingkat kompetisi perguruan tinggi, dimana tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta.
Pada perkembangan baru-baru ini dimana Majelis Konstitusi  telah mengeluarkan ketetapan meng anulir UU BHP  karena desakan yang kuat dari Asosiasi Perguruan tinggi swasta, atau kelompok-kelompok masyarakat yang menantang diberlakukannya UU BHP, maka diperlukan satu payung baru berupa PERPPU atau  kembali kepada penerbitan sebuah  PP baru tentang pengelolaan perguruan tinggi. Payung  hukum ini sangat mendesak agar upaya mencari solusi tentang penyesuaian kembali posisi BHMN (Badan Hukum milik Negara), sebagai perguruan tinggi yang otonom akan  mengalami perubahan peran yang signifikan. Dipihak lain, dengan perubahan itu maka pengaturan hubungan antara Yayasan Pendidikan dengan Perguruan tinggi swasta secara internal akan mencari momentum titik temu, sehingga fenomena perselisihan internal ini juga dapat di-reduksi dimana harmonisasi kemitraan  yayasan dan lembaga pendidikan tinggi,  dapat tercapai.
Berdasarkan UU no. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah kabupaten/kota memiliki kemandirian di dalam mengelola daerahnya  masing-masing, termasuk mengelola  pendidikan dasar/menengah. Akan tetapi khusus untuk pendidikan tinggi tidak  diserahkan kepada Pemerintah daerah, karena menurut UU Sisdiknas, pasal 50 ayat(6), menyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakannya sendiri di dalam pengelolaan pendidikan dan lembaganya. Sangat diharapkan kontribusi Pemerintah daerah di dalam pemberian fasilitas, akses kerjasama ke sector produktif  maupun pengelolaan sumber daya alam di dalam pengembangan modal capital sumber daya isani.
 
3.      Kesehatan organisasi
Perguruan tinggi diharapkan mampu mendorong pertumbuhan daya saing melalui pemanfaatan dan pengembangan Ipteks,melalui penyelenggaraan perguruan tinggi, membentuk insane yang bermoral / ber akhlakul kharimah, menjaga pelaksanaan demokrasi yang bermartabat serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Organisasi yang sehat memungkinkan perguruan tinggi menjalankan kegiatannya  sesuai dengan visi misi yang ditetapkan  serta memenuhi kebutuhan stake holders.


Faktor-faktor manejerial yang mendukung terwujudnya  organisasi perguruan tinggi yang sehat antara lain adalah:
a.       Lembaga yang bertanggung jawab  terhadap kualitas maupun integritas  civitas akademika.
b.      Kepemimpinan yang kuat yang dihasilkan dari sitem pemilihan Meritokrasi.
c.       Pengelolaan keuangan yang terbuka dan akuntable.
d.      Pengambilan keputusan yang berdasarkan  informasi data yang akurat.
e.       Evaluasi kinerja dan perencanaan sumber daya manusia.
f.       Sistem kendali internal dalam aspek akademik, pengelolaan asset maupun financial.
Sifat perguruan tinggi yang nirlaba akan akan menjamin pemberian   peluang yang sama kepada peserta pendidikan tanpa diskriminatif. Oleh sebab itu tujuan mencerdaskan anak bangsa sebagai cita2 yang menjadi tanggung jawab pemerintah telah termaktub di dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Dengan telah di anulirnya UU BHP maka orientasi pendidikan selama ini yang dianggap bergeser dari pengertian di atas seyogianya di kembalikan kepada orientasi pendidikan yang  adil dan pro rakyat.
Oleh sebab itu yang merupakan kebutuhan mendesak sekarang adalah untuk merumuskan pembuatan UU pendanaan ‘/lembaga korporat nirlaba milik pemerintah, karena sesuai dengan UU Sisdiknas, bahwa tanggung jawab pendidikan secara umum bukan hanya dibebankan kepada pemerintah akan tetapi merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan stake holders. Dan satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah perlunya amandemen tentang UU perpajakan  agar ada pembebasan pajak bagi dosen pelaksana penelitian di perguruan tinggi sehingga kegairahan untuk meneliti bagi peneliti muda lebih meningkat.
Untuk menjawab tantangan masa depan, perguruan tinggi seyogianya menggunakan pendekatan  shared and participatory approach  di dalam penyelenggaraan pengelolaan perguruan tinggi. Pendekatan tersebut mempunyai 2 hal penting yaitu;
a.       Rasa pemilikan dan tanggung jawab yang tinggi
b.      Penggalangan partisipatif dari seluruh civitas akademika.
Di masa datang, penjaminan mutu di suatu perguruan tinggi menjadi suatu  indicator kesehatan organisasi dan kinerja akademik suatu perguruan tinggi. Kualitas suatu perguruan tinggi tidak hanya karena diakui oleh pemerintah, akan tetapi lebih karena  hasil akreditasi penilaiannya diakui oleh masyarakat dan stake hoders, sebagai  hasil implementasi penjaminan mutu.


Dari ketiga aspek HELTS  diatas, maka pertama, diperlukan satu strategi untuk menggalang kerjasama dan kemitraan dengan pihak lain dengan melakukan  benchmarking, yang  diarahkan kepada penggalangan sumber daya yang berbeda. Secara khusus kemitraan tersebut juga dilakukan dengan Lembaga pemerintah, industry dan dunia usaha. Kedua, melakukan program nurturing untuk membantu perguruan tinggi yang lemah namun memiliki keinginan yang kuat untuk berkembang.
Untuk menentukan Program formulasi, yang perlu ditindak lanjuti  adalah penggabungan lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat menjadi Litbang yang berbasis  R&D, menumbuhkan budaya meneliti dikalangan civitas akademika serta melindungi hasil penelitian oleh HAKI dan memasarkannya pada masyarakat pengguna.

EVALUASI. Evaluasi kinerja untuk mengetahui tingkat  kemandirian perguruan tinggi  terlebih dahulu  merumuskan indicator kinerja  sbb;
Ø  Peringkat mutu penelitian (Tranver of Knowledge, adaption, innovation, invention, discovery).
Ø  Cakupan bidang  penelitian.
Ø  Dana
Ø  Hasil penelitian. Produk unggulan yang memperkuat R&D, telah  dihasilkan oleh Program Hibah bersaing yang dilaksanakan oleh ITB, 1). Berupa penelitian sisa debu
Terbang yang dihasilkan oleh produksi/industry tertentu, yang dimodifikasi menjadi bahan batuan yang dapat digunakan untuk bangunan di Bulan oleh  NASA (daya tahan s.d 100 tahun), 2). Bantalan kereta api yang terbuat dari campuran semen.
Ø  Produk unggulan lainnya seyogianya mendapatkan respons dari pihak Industri yang berdampak kepada pemberian royalty kepada perguruan tinggi yang mendapatkan paten  HAKI  guna  menunjang  pengembangkan mutu  penelitiannya untuk masa depan di perguruan tingginya masing=masing.

 Meningkatkan kapabilitas penelitian ;
Ø  Untuk memberikan kersempatan seluas-luasnya kepada dosen muda maka dikeluarkan kebijakan penelitian agar  dosen yang sudah mencapai starata S3 tidak diperkenankan mengikuti Penelitian yang diperuntukkan kepada pembinaan Dosen muda. Akan tetapi justeru dana penelitian untuk Doktor lebih ditingkatkan.
Ø  Perlu penggalangan kerjasama dengan stake holder termasuk perguruan  tinggi di luar negeri.
a)      Internal scanning. Masih lemahnya inovasi, difusi, perekayasaan &alih teknologi  dan masih kurangnya kontribusi ipteks terhadap produktivitas nasional. Perlu penguatan jaringan penelitian antar lembaga litbang dan sector swasta.
b)      Eksternal scanning. Perlunya transver teknologi dengan pembagian imbal jasa. Masih rendahnya investasi  pengembangan SDM dibanding Negara lain. Ketertinggalan perekonomian nasional (tingkat pertumbuhan ekonomi masih satu digit berdampak kepada  lemahnya daya saing bangsa).
c)       Sembilan langkah strategic planning ( 1.business vision, mission, 2.internal environmental analysis, 3.eksternal environmental analysis, 4. Goal formulation, 5.strategy formulation, 6. Program formulation, 7. Implementation, 8. Evaluation,9.feed back ), dilaksanakan secara  konsisten di dalam rangka pencapaian manajemen yang ber orientasi hasil.
d)      Di dalam rangka evaluasi program, pemantauan dan umpan balik dapat dilihat apakah disebabkan kesalahan implementasi ataukah kesalahan kebijakan. Di dalam rangka evaluasi  dan pemantauan dapat memberikan masukan terhadap penyusunan rencana masa datang.      



KESIMPULAN DAN SARAN.
1.      Pendidikan tinggi lebih bersifat sebagai barang privat (privat goods) daripada barang  public ( public goods ). Oleh sebab itu tanggung  jawab pembiayaan pendidikan seyogianya dipikul oleh tiga pihak yaitu a).pemerintah, b) masyarakat, c) sector produktif nasional. Untuk menghasilkan lulusan program sarjana yang dapat bersaing dengan lulusan perguruan tinggi luar negeri seyogianya dapat menaikkan dana rata-rata yang di-alokasikan pemerintah yang selama ini senilai Rp. 3,17 juta/mahasiswa/tahun ditingkatkan menjadi Rp. 18,1 juta/mahasiswa/tahun.
2.      Sesuai dengan misi pendidikan yang diamanatkan oleh UUD 1945, Bab XIII, pasal 32 ayat (4 ), tentang peran strategis perguruan tinggi untuk membangun fondasi meningkatkan daya saing bangsa, perlu adanya dukungan pemerintah dalam hal sbb;
a)      Perlu diterbitkannya UU/PP tentang Pendanaan bagi korporat nirlaba untuk mengatur bentuk hibah blok.
b)      Ketentuan perpajakan yang dikhususkan bagi penyelenggaraan pendidikan dan atau penelitian.
c)       Perlu dorongan Pemerintah agar R&D Industri berkaloborasi dengan Litbang Perguruan tinggi.
d)      Pendidikan  dan pengajaran yang bersifat kognitif  di Perguruan  tinggi, lebih di fokuskan kepada pengembangan soft skill  mahasiswa untuk meningkatkan kreatifitas, inovasi, tim building serta kepemimpinan mahasiswa. 
 
3.      Dengan telah di anulirnya UU BHP oleh Mahkamah konstitusi RI, maka diperlukan  adanya payung baru secara konstitusional yaitu PP tentang Pendidikan tinggi  untuk menggantikan PP no. 60, th 2000 dan PP no. 61 th 2000.
4.      Untuk mencapai hasil yang optimal didalam penyelenggaraan kinerja organisasimenuju  good governance,  diperlukan paradigm baru dari orientasi proses menuju orientasi hasil. Di dalam era keterbukaan sekarang ini  diperlukan akuntabilitas public yang mampu melakukan penilaian dan kritik terhadap berjalannya manajemen birokrasi secara efektif dan efisien.

5.      Masih diperlukannya HELTS ( Higher  education Long Term Strategy ) terbarukan, tahun 2010 – 2015. Yang difokuskan kepada dua hal  utama yaitu a) Masuknya Perguruan Tinggi Indonesia pada 500 PT dunia maupun 100 PT  Asia, b) Terlaksananya Transfer teknologi kepada bidang-bidang Teknologi  terapan, Teknologi madya, yang hasilnya dapat meningkatkan  nilai tambah  bagi  pendapatan masyarakat, utamanya kesejahteraan rakyat.

 DAFTAR PUSTAKA
1.      Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003 – 2010  (HELTS)
(Meningkatkan peran serta masyarakat)
Oleh; Dirjen Dikti, Prof DR. Satryo Soemantri  Brojonegoro
Jakarta April 2004.
2.      Idem, (mewujudkan perguruan tinggi yang berkualitas).
3.      Idem, (Menuju sinergi Kebijakan Nasional.)
4.      Manajemen Strategik “Menganalisis Strategi untuk Southwest Airlines”
DR. Gatut L. Budiono MBA, ( Bahan kuliah).
5.      Strategic Planning Process, DR. Gatut Buiono MBA, (Bahan kuliah).

 Kualitas  pdd Tinggi (lampiran 1.)
Parameter
Nilai Max 100
Peringkat  dari
30 negara

Daya saing Bangsa
     
      13,3
       
        28
Ø Indicator ekonomi mak
Ro.
     
       28
       
        24
Ø  Kebijakan pemerintah menigkatkan daya saing.
      
      16,9
       
        27
Ø  Perilaku inovatif, tanggung jawab dan profitabilitas lembaga.
       
       6,1
       
         30
Ø  Kontribusi sains, teknologi dan SDM ter
Hadap dunia usaha.
       
        9,6
        
          30
    


(POSISI INDONESIA DALAM PERINGKAT DAYA SAING
DIANTARA NEGARA-NEGARA BERPENDUDUK DIATAS
                        20 JUTA)
-------------------------------------------------------------------------

 INDIKATOR DAN OUTCOMES LITBANG
(SUMBER : ADB, 2003) Lampiran 2.
Negara
Jumlah R & D/juta pdd (’85-’95)
Jumlah paten yang dihasilkan
(’96).
Jumlah jenis eksport(tekn. Tinggi/manufaktur)
’97.
Indonesia
20
-
Malaysia
87
12
67
Filipina
1299
4
12
Singapura
2728
88
71
Thailand
119
11
43



PERINGKAT PENDIDIKAN TINGGI TINGKAT DUNIA & ASIA. ( Lampiran  3. )
Negara
   500 PT
Terbaik dunia
Negara
    100 PT
Terbaik asia
1.     AS
2.     Inggris
3.     Jerman
4.     Jepang
5.     Kanada
6.     Perancis
7.     Australia
8.     Belanda
9.     Cina
10. Korsel
11. Hongkong
12. Taiwan
13   India
14. Selandia Baru.
15. Singapura
16.  Turki
17.  Indonesia
159
42
41
36
24
22
13
12
9
8
5
5
3
3
2
2
0
1.     Jepang
2.     Australia
3.     Cina
4.     Korsel
5.     Israel
6.     Hongkong
7.     Taiwan
8.     India
9.     New zaeland
10.  Singapura
11.    Turki
12.    Indonesia
 36
13
9
8
6
7
3
3
3
2
2
0


BIAYA MHS/TAHUN, PERBANDINGAN ANTAR NEGARA. (INDONESIA = 3,17 JUTA).Lampiran  4.
NEGARA
Biaya/mhs/tahun
Eq. rupiah
Amerika dan Kanada
US $   20. 000
Rp. 170 juta
Jepang dan Inggris
Us $ 10. 000
Rp. 85 Juta
Perancis dan Italia
Us $ 6000 - 7000
Rp. 51- 60 juta
Malaysia
Rp. 29 – 111 juta
Singapura
Rp. 90 -400 juta


PERBANDINGAN  PENDANAAN PT DI DUNIA
(Lampiran 5.)
NEGARA
Prosentase alokasi
1.     Cina
69, 30
2.     India
92,50
3.     Malaysia
53,60
4.     Filipina
14,80
5.     Srilangka
64,00
6.     Vietnam
86,10
7.     Indonesia
12,30 - 20