Kamis, 19 Agustus 2010

Kembali ke Persoalan Dasar


Kalam ;
Mengapa para pemimpin kita tidak taat konstitusi?Apakah mereka sebagai penerus generasi tidak pernah membaca Sejarah Perjoangan Bangsa di mulai dari Kebangkitan Nasional 1908, 1928, 1945, Perang Kemerdekaan, 1955, 1959, 1965, Orde baru sampai dengan 1998 pasca reformasi?

Betapa sulit, dalam, dan luasnya pembahasan yang berbasis ilmu pengetahuan di dalam Seminar Pancasila yang di Pidatokan oleh Prof. Mr.Drs. Notonagoro (17 Februai 1959)yang menjelaskan secara ilmiah tempat dan kedudukan Pancasila di dalam ketatanegaraan Indonesia sungguh meng-inspirasi sidang-sidang Konstituante - -dengan jalan "musyawarah"dapat menyelesaikan - - tugas konstitusionalnya kembali ke-UUD 1945. 

Coba simak, betapa rumitnya persoalan mengenai posisi 2(dua) Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum di dalam Pemboekaan Oendang-oendang Dasar 1945 dan Pancasila yang tercantum di dalam Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara (yang di umumkan oleh Republik Indonesia Serikat), dari perdebatan proses pergantian UUDS kearah UUD yang tetap. Betapa komprehensifnya setiap pembahasan Prinsip-prinsip ketatanegaraan, tetapi sampai pada implementasi justru rezim penyelenggara Negara pasca Orde Baru tidak konsisten dan tidak kreatif melaksanakannya secara konsekwen.

Bandingkan sidang-sidang DPR yang telah menghasilan sekitar 72 UU tapi di bantu oleh Konsultan asing dari negara adi daya, yang tentunya secara politis berkepentingan untuk memperjuangkan misi politik, ekonomi secara terselubung di dalam pasal-pasalnya?Itu pulalah yang terjadi di dalam setiap amandemen yang telah dilakukan sehingga arah dari pembangunan bangsa yang bersumber dari Pancasila yang menjadi sumber dari segala sumber hukum, menjadi lemah di dalam pelaksanaannya.

Secara khusus tulisan Sri- Edi Swasono di dalam Kompas 12/8 saya tampilkan di Blog ini karena sangat relevan dan berhubungan dengan pandangan, bahwa terseok-seoknya perjalanan bangsa ini, karena pengertian Demokrasi Ekonomi telah dihilangkan dan sama sekali tidak tercantum di dalam Penjelasan UUD yang telah di amandir. Ruh daripada perekonomian yang berdasarkan kekeluargaan dan berbasis kerakyatan telah diselewengkan secara sistematis kepada pemujaan individualism, liberalisme dan kapitalisme. Dengan kata lain, Justru isme dan Pasar bebas yang gagal di Amerika, di era Reformasi ini, di negeri tercinta, di dewakan secara menakjubkan. Mengapa ini dapat terjadi? (a.m.a)

 
Para pendiri bangsa kita sejak pra kemerdekaan telah menegaskan penolakan nya terhadap liberalism dan individualism yang menjadi roh kapitalisme. Kapitalisme selanjutnya berkembang menjadi imperialism.

Mari kita perhatikan secarik catatan perjuangan Soekarno dan Hatta menentang penjajahan. Soekarno menggugat di Pengadilan Bandung pada tahun 1930. Pledoinya berjudul "Indonesia Klaagt-Aan" menegaskan bahwa "…Imperialisme berbuahkan 'negeri-negeri mandat', 'daerah pengaruh'… yang di dalam sifatnya 'menaklukkan negeri orang lain', membuahkan negeri jajahan… syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu ialah Kemerdekaan Nasional…"

Dua tahun sebelumnya Hatta menudung Pengadilan Denhaag pada tahun 1928 dalam Pledoinya "Indonesia Vrij". Disitu Hatta menegaskan , "…lebih baik Indonesia tenggelam kedasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…"

Pada sidang BPUPKI 15 juli 1945, Soekarno-Hatta sama-sama menyatakan bahwa Negara Indonesia didirikan berdasar rasa bersama. Dari situlah paham bernegara berdasarkan "kebersamaan dan asas kekeluargaan" digariskan dalam konstitusi.

Dasar Sistem Ekonomi

Paham kebersamaan dan asas kekeluargaan dimunculkan Hatta sebagai dasar system ekonomi Indonesia ke dalam UUD 1945 dengan istilah demokrasi ekonomi. Memang Hatta pada edisi pertama majalah perjuangan Daulat Ra'jat(20/9/1931) menyatakan, "… Bagi kita, rak'jat itoe yang oetama, ra'jat oemoem yang mempoenjai kedaoelatan, kekoeasaan (souvereiniteit). Karena ra'jat itu di djantoeng- hati Bangsa. Dan ra'jat itoelah yang mendjadi oekoeran tinggi rendah deradjat kita. Dengan ra'jat itoe kita akan naik dan dengan ra'jat kita akan toeroen. Hidoep ataoe matinya Indonesia Merdeka, semoeanya itoe bergantoeng kepada semangat ra'jat. Pengandjoer-pengandjoer dan golongan kaoem ter-pe- ladjar baroe ada berarti, kaloe dibelakngnya ada ra'jat jang sadar dan insjaf akan kedaoelatan dirinja…"

Artinya, Hatta memosisikan rakyat sebagai sentral-substansial, "takhta adalah milik rakyat". Dari sini lahirlah konsepsi tentang demokrasi ekonomi dengan makna utama "kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang-seorang", tersurat dalam Penjelasan UUD 1945 (asli). Penjelasan UUD 1945 ini kemudian dihilangkan melalui amandemen UUD 1945. Namun penjelasan untuk pasal 33 UUD 1945 (Demokrasi Ekonomi) sebagai referensi dan interpretasi otentik tetap berlaku.

Maria Soeprapto yang sekarang Hakim Mahkamah Konstitusi juga telah menyatakan (2005) bahwa "… bagi pasal-pasal yang belum diubah tentunya penjelasan pasal-pasal tersebut masih berlaku dan sesuai dengan makna dan rumusan dalam pasal-pasalnya, misalnya penjelasan pasal 4, pasal 22, dan pasal 33 ayat (1),(2),(3) …"

Para pendiri bangsa menempatkan paham colonial liberalistic yang berasas per orangan pada posisi temporer dan menggantinya dengan paham kebersamaan dan asas kekeluargaan yang diberi posisi permanen melalui pasa II Aturan Peralihan UUD 1945. Artinya, pembangunan haruslah demi kemakmuran rakyat untuk mencapai societal welfare and happiness, tidak boleh menjadi proses dehumanisasi kapitalistik.

Diskursus mengenai liberalism-individualisme versus kebersamaan dan asas kekeluargaan mungkin tak lagi menarik bagi kalangan ekonom kita saat ini. Namun, kiranya perlu kita ungkap untuk merespons sarasehan ekonomi yang baru-baru ini diadakan. Dipandu oleh Prof. Soebroto dan dibuka oleh Jacob oetama (Kompas 6/7), sarasehan itu menyimpulkan "arah ekonomi merisaukan" dan "ruh pembangunan untuk rakyat hilang".

Jangan direduksi

UUD 1945 yang mendudukkan posisi rakyat sebagai sentral-substansial ini, hendaknya tidak direduksi menjadi marginal-residual sehingga daulat rakyat tersisih oleh daulat pasar (baca; daulat capital), tetapi tetap berorientasi pada kepentingan rakyat dan tidak memosisikan capital sebagai yang primus.

Kita menyaksikan bahwa ekonomi pasar telah gagal mengurangi kemiskinan rakyat dan gagal mengakhiri pengangguran berkelanjutan. Berkat daulat pasar, pembangunan makin terlihat menggusur orang miskin dan tidak menggusur kemiskinan.Pembangunan makin tampak merupakan sekedar pembangunan di Indonesia, bukan pembangunan Indonesia. Ini jauh dari cita-cita menjadi Tuan di Negeri Sendiri . Bisa-bisa rakyat menjadi penonton dan kembali menjadi kuli di negeri sendiri. Retorika ini diteriakkan makin santer!

Benarlah Hendri Saparini (Kompas, 7/7); Kita secepatnya kembali ke Pancasila dan UUD 1945, kembali ke roh ekonomi konstitusi. Presiden SBY dalam Pidato Kenegaraan 14 agustus 2009 di DPR menegaskan bahwa "kita tidak boleh terjerat, menyerah, dan tersandera oleh kapitalisme global yang fundamental". Di depan DPD 19 agustus 2009 Presiden SBY menyatakan pula; "trickle down
effect (yang kapitalistik) telah gagal menciptakan kemakmuran untuk semua". Ini berarti Presiden
memberi harapan datangnya masa besar atau de grosse moment.
 
Peraih Nobel Ekonomi 1970 Paul Samuelson selaku pembaku istilah dan pengertian ekonomi membuat ekonom seluruh dunia bisa saling bicara dalam bahasa ekonomi yang sama. Bukunya, Economics, merupakan buku induk pengajaran ilmu ekonomi. Pengajaran Ekonomi di Indonesia terpaku pada buku induk dan buku teks lain ala Samuelson.

Dalam buku Samuelson edisi pertama (1948) sampai edisi ke-18 (2005) tak ditemukan satu pun perkataan cooperation (kerjasama). Artinya, sejak awal pengajaran Ilmu ekonomi, mahasiswa kita hanya ter-ekspos oleh ekonomi persaingan yang menjadi dasar liberalism ekonomi dan kapitalisme. Ekonomi kerjasama tak dikenal dalam buku induk Ilmu Ekonomi yang diajarkan di kampus kita. Akibatnya kerangka pikir mereka terkapsul oleh ekonomi persaingan, diasingkan dari ekonomi kerjasama dan kebersamaan.

Hal ini memudahkan para lulusan menerima liberalism dan kapitalisme, mewajarkan persaingan bebas dan saling rebut yang menjauhkan kerukunan. Pembangunan tak boleh dilihat dari sekadar meningkatnya GNP atau nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial –kultural, yang memuliakan rakyat, mewujudkan keadilan sosial , dan meningkatkan rasa kebersamaan kohesif dalam kehidupan bermasyarakat.

Saya ikut membenarkan kesimpulan sarasehan ekonomi Kompas; "ruh pembangunan untuk rakyat telah hilang". Bahkan Michael Hudson (2003) menegaskan bahwa imperialism berkembang jadi superimperialisme seperti sekarang dengan segala model hegemoni ekonomi serba canggih. Kita tak boleh lengah. Diperlukan kepemimpinan nasional yang tangguh dan taat konstitusi.

 

Minggu, 15 Agustus 2010

Gagalnya Transformasi Nilai-Nilai


Kalam ;

     Selama 32 tahun berkuasa nya Orde Baru ditengarai mengakibatkan terjadinya degradasi  moral  sampai ketitik nadir. Pendidikan karakter bangsa  terabaikan, karena kekuasaan yang authoritarian dan represif.
     Momentum  pelaksanaan P4 yang seyogianya merupakan tonggak sejarah untuk lebih meningkatkan moralitas  bangsa  dan secara khusus  diperuntukkan  kepada para penyelenggara Negara,  tidak lebih daripada penataran yang  bersifat indoktrinatif. 38 butir Nilai-nilai Pancasila yang di dalamnya terurai patokan moral, etika dan sifat-sifat kemanusiaan  yang berbudi luhur ternyata  sulit di laksanakan, karena kondisi yang kurang valuable, atau karena tidak adanya  ‘political will’ pemerintah.
     Mengapa Nilai-nilai tersebut tidak di ‘break down’ ke pada’ kode etik’ para penegak hukum dan atau  petugas pajak  misalnya, sehingga’ makelar kasus’ yang marak  di ketiga instansi penegak hukum (Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan) plus Kantor Pajak, kalis  menjadi virus yang merusak sendi-sendi hukum itu sendiri?. Mengapa rekayasa hukum masih terjadi dan justru diperjual belikan dengan kasat mata?  Kondisi tersebut diperparah karena minimnya sumber  tokoh tauladan  sebagai  panutan masyarakat sekitar, dan ‘punahnya’ para pemimpin negeri yang  amanah,kuat dan berani  mengambil risiko sebesar apapun; untuk kejayaan Bangsa!
     Barangkali  fenomena ‘korupsi berjamaah’ telah lahir sebelum menjadi bom waktu,  pasca reformasi. Cuma, kalau dahulu pemberantasan korupsi selalu gagal menjerat  para koruptor Karena terjadi pembelaan korps secara massif, maka pada era reformasi pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) begitu efektif  bekerja sehingga menjadi momok bagi calon-calon koruptor baru.
     Sebuah tulisan menarik oleh Subhan SD, di harian Kompas 10/8 2010,menjadi sisi lain  yang menyoroti gagalnya peran agama di dalam menanamkan kesadaran Ilahiah kepada manusia Indonesia  yang seyogianya menjadi ujung tombak, ber-amar ma’ruf nahi mungkar.salam (a.m.a)
     Apa yang bisa dikatakan ketika makin banyak  pejabat Negara atau figure public negeri ini terbelit kasus korupsi atau asusila? Di mana moralitas bangsa ini? Padahal, Indonesia dibangun dengan fondasi agama yang kuat yang terukir dalam Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa.
     Ada fakta yang kontradiktif  dalam beberapa tahun belakangan ini. Ketika kegairahan beragama masyarakat menampakkan peningkatan drastic, antara lain  dengan makin maraknya penguatan  pemahaman beragama dan symbol-simbol keagamaan, pada saat yang sama justru semakin marak pula praktik korupsi  dan perilaku bobrok di negeri ini.
     Banyak  pejabat termasuk aparat  di tingkat bawah  terjerat kasus korupsi  dan suap.  Korupsi seperti  menjalar  di dalam aliran darah bangsa Indonesia. Mereka yang diberi amanah mengelola negeri ini  malah makin membenamkan  diri dalam kubangan korupsi. Uang rakyat menjadi lumbung emas   yang dikuras beramai-ramai. Tak mengherankan anggaran pembangunan  dan belanja daerah (APBD) banyak yang tidak sampai kerakyat.
     Maka, bukan rahasia lagi  bahwa “orang-orang besar” kini terjerat korupsi , antara lain pejabat pemerintah, anggota DPR, aparat hukum (kejaksaan, kepolisian, pengacara); pengurus partai politik, hingga yang fenomenal adalah  kasus pegawai pajak , Gayus HP Tambunan. Semua itu makin marak ketika genderang perang  melawan korupsi dikumandangkan  sejak reformasi sekitar 12 tahun silam.
     Anehnya lagi, praktik-praktik  yang tidak hanya merusak moral bangsa, tetapi juga memukul sendi-sendi ekonomi bangsa itu seakan menantang tanpa takut meskipun lembaga super body  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang kali menyeret para koruptor itu.
     Informasi yang di sampaikan  Indonesia Corruption Watch  (ICW) seharusnya menjadi perhatian yang sangat serius. Contohnya, dalam dua tahun ini saja, gejala korupsi malah meningkat  pada  saat kita ramai-ramai menggebuki para koruptor.
     Menurut ICW, pada semester I dari 1 januari hingga 30 juni 2009, perkara korupsi yang terbongkar ada 86 kasus dengan 217 tersangka dan kerugian Negara senilai Rp 1,17 triliun. Pada periode sama tahun 2010 perkara korupsi yang terungkap malah meningkat drastic menjadi 176 kasus. Nilai kerugian Negara mencapai 2,1 triliun dengan tersangka 441 orang.
     Fakta-fakta di atas menunjukkan penegakan  hukum belum mampu membuat efek jera. Akan tetapi – yang lebih  penting – juga tak lepas dari hal  yang sangat mendasar,  yaitu moral bangsa.  Praktik korupsi  sesungguhnya menjatuhkan martabat sebagai manusia. Kalau saja masyarakat sekarang juga permisif terhadap praktik-praktik busuk itu, menunjukkan bahwa masyarakat  juga sedang ‘sakit’. Lantas di mana pesan-pesan  agama atau pesan ‘ketuhanan’ yang terpatri erat di sila pertama Pancasila?

Peran Agama
     Padahal, Emile Durkheim saja mengatakan, agama bukan hanya system gagasan, melainkan juga  system kekuatan, moral.  Setiap agama memiliki ruang lingkup yang suci dan kotor. Batas antara suci dan kotor ini  menimbulkan etika sosial dimasyarakat yang menghasilkan  sanksi-sanksi. Apabila ada orang yang melintasi batas suci atau merusak  tradisi suci,  sanksinya adalah berupa hukuman. Dalam konteks ini,  Durkheim menilai agama  sebagai  kaidah  tertinggi  di dalam masyarakat.
     Betapa pentingnya agama dalam konteks tersebut juga diungkapkan  Kuntowijoyo (1991). Pemahaman terhadap agama, dalam hal ini Islam, tidak sama dengan pemahaman barat.  Islam bukanlah sisitem teokrasi, bukan pula cara berpikir  yang didikte oleh teologi. Nilai-nilai Islam pada dasarnya  bersifat merangkul  semua ( all –embracing) bagi penataan system kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu, sebut Kuntowijoyo, tugas terbesar Islam sesungguhnya melakukan transformasi  sosial dan budaya  dengan nilai-nilai itu.
     Kalau saja sekarang ini bangsa ini  makin terpuruk, itu karena factor ‘agama’  yang tak lagi menjadi pegangan. Pesan-pesan agama yang menyebarkan kebenaran, kebaikan, kejujuran dan kemuliaan, sesungguhnya telah jelas.  Namun, banyak  diantara kita yang tidak mampu atau bisa jadi keliru memahami pesan-pesan tersebut. Bila demikian, transformasi nilai-nilai pun  telah gagal.























   

Kamis, 12 Agustus 2010

Revisitasi Pancasila



 

Kalam ;

Jelang 65 tahun Kemerdekaan Indonesia Pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekwen ternyata tidak terlaksana secara baik. Konsistensi Negara agar taat asas melaksanakan rumusan sila-sila Pancasila terasa jauh panggang dari api, konon pula melaksanakan Pancasila sebagai Ideologi negara, falsafah hidup, Weltanschauung, maupun Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Bukankah di dalam buku Lahirnya Pancasila tgl 1 Juni 1945 telah sangat jelas diuraikan mengenai usulan-usulan Pancasila sebagai cerminan dari dinamika berpikir yang bersifat umum kompromi, umum kolektif(empiris) dan umum abstrak(spekulatif)?
Khusus yang terakhir ini, bukan pulakah Guru besar Ilmu Filsafat UGM, Prof. Dr. Mr.Drs Notonagoro di dalam bukunya, Pancasila dasar Falsafah Negara menjelaskan bahwa susunan Pancasila adalah hierarchis dan mempunyai bentuk pyramidal? Bahwa urut-urutan kelima sila merupakan sila pertama merupakan inti isi yang menunjukkan tingkat dalam luas isinya sedangkan sila lainnya merupakan pengkhususan sila-sila dimukanya.
Oleh sebab itulah Prof Notonagoro berkesimpulan bahwa sila-sila Pancasila merupakan kesatuan yang bulat sebagai dasar kerohanian Negara sekaligus dasar tujuan Negara. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan basis dari Kemanusiaan, Persatuan Indonesia(Kebangsaan),Kerakyatan dan Keadilan sosial. Sebaliknya, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang Berkemanusiaan, Berpersatuan (Berkebangsaan), Berkerakyatan dan Berkeadilan sosial, demikian seterusnya, hingga tiap sila di dalamnya mengandung sila lainnya.
Rasanya Negara tidak terlalu sulit untuk meng-implementasikan Pancasila sebagai dasar Negara maupun Pancasila sebagai dasar tujuan Negara sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.Akan tetapi adakah Political Will dari Pemerintah?
Tulisan Prof Dr Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah UIN Jakarta di Harian Kompas Selasa, 10 Agustus 2010, sangat menarik untuk disimak tentang perlunya Rejuvenasi Dan Revitalisasi Pancasila. Salam (a.m.a).
Revisitasi atau mengunjungi kembali Pancasila, bagi saya, selalu menyenangkan sekaligus menantang sebab saya pernah menggagas urgensi rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila dalam transisi dan konsolidasi demokrasi Indonesia yang mendapat pengayaan penting dari berbagai kalangan public, khususnya tajuk rencana "Kompas" edisi 9, 11, dan 12 juni 2004.
Saya pun menulis tanggapan dalam Kompas 17 juni 2004. Sejak itu, berbagai kalangan baik di dalam maupun di luarnegeri sering mengundang saya mengelaborasi ihwal gagasan rejuvenasi Pancasila.
Namun dalam revitalisasi Pancasila kali ini, setelah tahun-tahun terus berlalu, revitalisasi dan reyuvenasi Pancasila tetap belum memenuhi harapan. Pancasila sebagai basis ideologis dan garis haluan bersama Negara- bangsa Indonesia yang plural dan multicultural masih tetap marjinal dalam diskursus kehidupan Nasional. Padahal, sepanjang waktu itu, dalam berbagai forum, saya mencoba mengajak para pemangku kepentingan menggalang momentum bagi revitalisasi dan reyuvenasi Pancasila.
Tiga faktor
Kenyataan yang tak menggembirakan ini terkait erat dengan masih bertahannya tiga factor yang membuat Pancasila tetap masih marjinal dalam hiru biru perkembangan politik Indonesia.
Pertama, dalam ingatan bersama banyak kalangan, Pancasila masih dipandang tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang pernah menjadikan Pancasila sebagai alat politik mempertahankan status quo kekuasaan. Rezim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang diindoktrinasikan melalui Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4).
Kedua, Liberalisasi Politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ. Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi yang memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideology lain, khususnya yang berbasiskan agama.
Ketiga, desentralisasi dan otonomi daerah yang sedikit banyak memperkuat semangat kedaerahan , berbau nasionalisme lokal yang tumpang tindih dengan etnonasionalisme dan bahkan sentiment agama.
Tetap kurangnya perhatian public terhadap Pancasila cukup mencemaskan; lampu kuning jika kitya ingin Indonesia yang tetap terintegrasi. Padahal, Pancasila sebagai dasar Negara dan garis haluan bersama dalam kehidupan Negara – bangsa Indonesia merupakan aktualisasi tekad bersama segenap warga untuk tetap bersatu ditengah berbagai keragaman. Pancasila sebagai kerangka dan dasar ideologis Negara-bangsa Indonesia merupakan sebuah deconfessional
ideology, ideology yang tidak berbasis agama manapun. Khususnya dengan sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, Pancasila adalah sebuah ideology yang sesuai dan bersahabat dengan agama.
Sebagai deconfessional ideology, Mark juergensmeyer, guru besar radikalisme agama UC Santa Barbara, dalam percakapan dengan saya, pernah menyatakan bahwa Pancasila adalah rahmat terselubung bagi bangsa Indonesia sebab Pancasila adalah religiously friendly ideology yang membuat tidak ada alasan yang valid untuk mengganti Pancasila dengan ideology lainnya. Berbagai upaya mengganti Pancasila dengan ideology lain – khususnya berbasis agama - tidak bakal mendapat dukungan mayoritas terbesar umat beragama Indonesia dan, karena itu, bakal gagal.
Pada hemat saya, Pancasila telah terbukti sebagai garis haluan bersama ideologis Negara- bangsa Indonesia yang paling feasible dan sebab itu lebih viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan dimasa datang. Saya tetap tidak melihat adanya alternative garis haluan bersama ideologis lain, yang tidak hanya akseptabel bagi warga bangsa, tetapi juga dapat terus hidup dalam perjalanan Negara-bangsa Indonesia kedepan.
Pendorong usaha
Meski masih terdapat disparitas dan diskrepansi antara cita ideal Pancasila dan realitas kehidupan Negara-bangsa, ini semestinya tidak mengurangi pentingnya Pancasila. Adanya disparitas dan diskrepansi itu semestinya sebagai pendorong usaha lebih keras lagi untuk terus mengaktualkan semangat, prinsip, dan nilai-nilai Pancasila.
Karena posisi Pancasila yang krusial itu, saya tetap melihat urgensi rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila. Jika tidak, ideology-ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama, dapat terus memunculkan diri sebagai alternative. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya memasarkan ideology berbasis agama masih tetap merupakan salah satu tendensi yang terlihat jelas dalam dinamika politik Indonesia pasca-Soeharto sampai sekarang.
Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan kembali menjadikan Pancasila sebagai diskursus. Dengan menjadi wacana public, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru. Langkah ini merupakan tahap awal krusial untuk revitalisasi Pancasila sebagai ideology terbuka yang dapat dimaknai secara terus menerus sehingga tetap relevan dan fungsional bagi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia.
Revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral para pemimpin bangsa dalam berbagai tingkatan, baik pemimpin formal maupun informal. Kegagalan membawa Pancasila kedalam wacana dan kesadaran public dapat berujung pada tragedy Negara-bangsa Indonesia.

 

 

 

 

 

 

Selasa, 03 Agustus 2010

Redefinisi Peran Negara dalam Ekonomi


Kalam ;
Ekonomi kerakyatan yang berbasis pasal 33 UUD 1945, gagal diwujudkan oleh Negara malah salah satu plesetan  yang sangat memprihatinkan untuk dikaji adalah penambahan satu ayat yaitu untuk kembali merumuskan system perekonomian nasional.
Penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 secara konsisten dan konsekwen  ternyata semakin melebar dan semua itu di biarkan oleh DPR dan DPD seolah2 tidak ada control yang objektif, semuanya berjalan ‘sangat  liar’ karena mekanisme penggalian informasi atau aspirasi rakyat melalui Ormas maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan  lainnya tidak  berjalan sebagaimana layaknya. Partai politik melakukan amandemen sesuai dengan kesepakatan sumir, apalagi mereka bekerja didampingi oleh Tim ahli dari Negara super power.
Semoga tulisan A. Prasetyantoko di harian Kompas rabu 14 juli 2010 yang di copy paste ke Blog ini,  dapat memberi pencerahan tentang minimnya peran Negara di dalam mengendalikan dan merencanakan system perekonomian Nasional  yang sangat pragmatis bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang asli.salam (a.m.a)
     Hari-hari ini  terjadi  kegalauan  tentang makin absennya  peran Negara dalam perekonomian. Dalam sebuah sarasehan yang diprakarsai  harian Kompas, para ekonom senior sekaligus mantan pejabat bidang ekonomi  di negeri ini menunjukkan keprihatinan yang seragam tentang ketidak hadiran Negara dalam ekonomi.
     Perekonomian bergerak seturut dinamika yang berkembang saat itu. Semuanya serba pragmatis dan kebijakan pun kebanyakan disusun hanya  untuk kepentingan jangka pendek. Sementara perekonomian jangka panjang  tampak begitu sumir. Tentu fakta ini bukanlah maksud dari amandemen  UUD 1945, pasal 33 yang memasukkan ‘ideologi’ efesiensi dan efektifitas  berbasis hukum pasar. Ekonomi pasar tidak serta merta  meninggalkan peran Negara.
     Tak sulit menunjukkan absennya peran Negara dalam perekonomian . Mulai dari berlarut-larutnya persoalan daya saing hingga ke soal tabung gas. Bahkan, komentar ekstrem yang sinis mengatakan, kini Negara justru menjadi bagian dari masalah.
Daya Saing
     Potret daya saing kita cukup menyedihkan. Laporan daya saing  Global, Global Competitiveness Index (GCI) 2009-2010, menempatkan kita pada peringkat ke-54.Sementara Malaysia 24, Thailand 36, dan China 29. Buruknya infrastruktur merupakan  merupakan penyebab penting, terutama kondisi jalan dan pelabuhan. Dua hal inilah yang membuat index kemudahan  melakukan perdagangan 2009 berada di posisi ke-62, jauh dibawah Malaysia (28) dan Thailand (50). Sementara Logistic Performance Index (LPI) 2010 menempatkan Indonesia di peringkat  ke-75,bahkan dibawah Vietnam (53) dan Kamboja (72).
     Jika ditelisik lebih dalam, criteria penilaian masing-masing survey terlihat dengan pasti selain buruknya infrastruktur fisik juga  tercermin  kegagalan birokrasi menopang kegiatan ekonomi.  Dalam dua hal tersebut semestinya  Negara  benar-benar “hadir”.
     Gambaran ini menunjukkan perekonomian kita  masih belum beranjak  dari karakteristik perekonomian  yang menggantungkan pada  sumber daya alam  sekaligus kegagalan masuk dalam fase ekonomi produktif yang mengedepankan  efisiensi. Dengan kata lain, terjadinya kegagalan kebijakan  industrial secara  keseluruhan.
     Padahal, Indonesia pasca krisis financial global 2007-2008 dianggap sebagai salah satu calon kekuatan ekonomi dunia. Potensi perekonomian Indonesia diakui oleh para analis asing.  Morgan  Stanley menyejajarkan Indonesia dengan  Brazil-Rusia-India-China BRIC).
     Sementara itu, CLSA sebuah Bank Investasi , menyandingkan Indonesia dengan China dan India (Chindonesia).  Karena itu, arus modal jangka pendek dalam investasi portofolio  mengalir deras ke Indonesia justru  pada saat  di Eropa sedang terjadi ancaman krisis, setelah dipicu oleh kasus Junani.
Realistis
     Ditengah-tengah optimism itu, kita harus realistis bahwa saat ini  perekonomian kita memiliki beberapa kelemaham pokok. Pertama, sector-sektor yang memiliki tenaga kerja banyak, seperti manufaktur, pertanian  dan pertambangan, justru mengalami stagnasi yang akut. Akibatnya  jikan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi, tidak serta merta  penyerapan tenaga kerja  akan terjadi secara signifikan .  Kedua, postur ekspor kita masih terlalu  didominasi oleh dua  komoditas  primer yang sebenarnya  sangat kita butuhkan di dalam negeri, yaitu batubara dab minyak sawit mentah.
     Perekonomian yang terlalu bertumpu pada ekspor komoditas  primer sekaligus menunjukkan bahwa  sector industrinya tidak berkembang.  Itulah mengapa kekayaan sumber daya sering menjadi kutukan. Tentu bukan kelimpahan sumber daya itu sendiri  biang keladinya, melainkan cara kita mengelola.
Peran Negara
     Cara kita mengelola sumber daya adalah  sebuah bentuk kehadiran  Negara dalam perekonomian. Kegagalan menciptakan nilai tambah yang tinggi dari sumber daya yang dimiliki adalah sesat kebijakan. Pada titik ini, harus diakui, perekonomian kita berada pada face yang krusial dan mengkhawatirkan dalam jangka panjang.
     Redefinisi peran Negara  setidaknya perlu dilakukan  dalam tiga tingkatan sekaligus. Level pertama terkait dengan konstruksi perundang-undangan  yang menunjukkan koherensi UUD dengan berbagai  undang-undangan turunannya, termasuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Apakah undang-undang migas, UU Mineral dan Batubara, UU Penanaman Modal Asing. PP tentang Ritel dan sebagainya  merupakan terjemahan  dari UUD 1945?
    Harus jujur diakui, makin hari penyimpangan  terhadap UUD 1945 semakin lebar. Ada persoalan dengan visi ekonomi yang mungkin sekali akibat efek dari pudarnya visi kita dalam berbangsa. Mau dibawa kemana ekonomi (bangsa) ini dalam jangka panjang?
     Level kedua merujuk  pada konstruksi kebijakan  yang mengatur secara teknis sektor-sektor perekonomian serta keterkaitannya  dalam sebuah totalitas kebijakan pemerintah. Tampak sekali pada hari ini, kebijakan industry kita makin tak terarah. Daya saing yang terus menurun, dukungan infrastruktur dan birokrasi yang tidak memadai, tidak adanya kewajiban pasokan domestic bagi sumber daya energy, dan sebagainya. Hanya simtom-simtom yang menunjukkan betapa sakitnya perekonomian kita. Ekonomi kita telah bergerak dengan liar mengikuti kesempatan pragmatis jangka pendek.
     Level ketiga adalah implementasi. Meski sudah ada Unit  Kerja Presiden untuk percepatan Program Reformasi (UPK3R) dibawah Kuntoro Mangku Subroto  tetap saja tumpang tindih dan  koordinasi  diantara  Departemen  menjadi persoalan serius. Pada dasarnya kita belum secara serius melakukan  penataan  dalam sebuah program reformasi  birokrasi yang terencana dengan baik.
Disabotase
     Menghadapi dinamika perubahan zaman yang rutin terjadi, roh dan tulang punggung perekonomian  tidak boleh lepas dari visi besar tentang kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Apalagi, jangan sampai visi besar tersebut tersandera oleh kepentingan para  pemilik modal yang rakus dan tamak mengeruk kekayaan  negeri ini demi  pundi – pundi pribadinya.
     Pernyataan Sri Mulyani Indrawati  saat meninggalkan Kementerian  Keuangan beberapa waktu lalu perlu mendapat perhatian, “demokrasi  di Indonesia  telah disabotase oleh kepentingan pemilik modal”.