Tampilkan postingan dengan label Pembangunan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pembangunan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Desember 2010

Transparansi keuangan di kabupaten Boalemo

Kalam
            Betapa pentingnya  kejujuran dan kebenaran dalam seluruh kegiatan kehidupan manusia? Tak terkecuali pada sebuah organisasi pemerintahan yang selama ini dikenal dengan jargon Good government, Good governans, prinsip transparansi  dan akuntabilitas. Sejak diberlakukannya Pilkada diseluruh penjuru negeri, pelaksanaan demokrasi langsung, untuk memilih seorang pemimpin di daerah, baik bupati dan walikota, termasuk  gubernur,  sungguh merupakan kontes dan hingar bingar politik  yang sangat meriah dan jor-joran.
            Proses demokratisasi secara prosedural, berjalan sangat bebas, walaupun  seolah-olah tanpa wasit sama sekali. Tapi apakah pelaksanaan demokrasi secara substansial sudah tercapai sesuai harapan? Belum tentu, karena demokrasi adalah untuk kemakmuran, bukan demokrasi untuk demokrasi itu sendiri. Tetapi sayang, yang terjadi adalah sebaliknya, Indonesia dibanggakan oleh para pemimpinnya,  sebagai contoh Negara demokrasi terbesar yang berpenduduk Islam. Tapi dalam realitas sesungguhnya, penuh kecurangan dan manipulasi.  
          Di dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap penyelenggaraan Pilkada telah menghamburkan dana ber milyar rupiah. Untuk tahun 2010 saja sebanyak 244 kabupaten/kota, dengan hitungan setiap kandidat mengeluarkan dana masing-masing 15 M, maka tiga kandidat sebanyak 45 M dikalikan 244 daerah, maka   pengeluaran berkisar 10,9 Triliun. Apabila ditambahkan sebesar 3,5 Triliun sebagai  dana yang disediakan pemerintah, maka total keseluruhannya mencapai 14,4 Triliun. Betapa mahalnya demokrasi, di negeri ini, ditengah dera kemiskinan rakyat kecil, dan banyaknya pengangguran, gaya hidup  borjuis, liberal dan kapitalistik,  telah melanda kehidupan elite politik.  Mereka berpolitik untuk meraih kekuasaan, dan kekuasaan diperoleh  guna menindas rakyat.  
          Kalau seorang Gubernur di-asumsikan  bisa mengeluarkan hitungan 50 milyar rupiah sampai dengan 100 milyar rupiah, maka sudah dapat dipastikan biaya ataupun pengeluaran seorang calon bupati/walikota tentu berkisar antara 10 milyar sampai 20 milyar. Katakan biaya minimal hanya 10 milyar, lalu bagaimana sistem pengembaliannya kelak? bukankah dampak psikologis bagi kandidat yang kalah dan telah menghabiskan uang milyaran menjadi  stress terhadap kemungkinan pengembalian uang utangan  kepada investor. Alhasil,  dari beberapa kasus, menyebabkan gangguan kejiwaan bagi sang calon, dan yang korban tentu keluarga.
            Mahalnya biaya operasional  bagi seorang kandidat, sangat dipengaruhi oleh semakin pragmatisnya  partai politik yang mempunyai  kewenangan  untuk mengusung setiap calon. Dari biaya pendaftaran  dan biaya dukungan per partai, rata-rata bertarif 350 juta sd 500 juta rupiah. Seandainya kita memerlukan tiga partai politik sebagai pendukung kandidat maka diperlukan 1 milyar rupiah yang diserahkan di daerah pemilihan. Untuk administrasi Partai, di Dewan Pimpinan Pusat  pun, bervariasi antara 50 juta sampai 100 juta. Itu masih belum termasuk biaya monitoring Tim pusat yang akan turun untuk meng investigasi sejauh mana dukungan dan pengaruh yang bersangkutan  di tengah  masyarakat.Semakin  kuat kesiapan dana untuk men-service Tim pusat ke daerah maka probabilitas dukungan partai akan semakin meyakinkan terhadap  kandidat tertentu.
            Langkah selanjutnya adalah mempersiapkan baliho, bendera, spanduk dan brosur. Kemudian sumbangan terhadap kebutuhan masyarakat, bantuan kesehatan, pendirian masjid, koordinasi Tim sukses, sampai kepada uang tempel kepada setiap individu pemilih, keluarga dan kelompok.Kalau harga satu suara Rp 50 ribu, maka kandidat lain berani mengeluarkan sampai dengan RP 250 ribu sampai Rp 300 ribu untuk satu suara.Selama kampanye yang dilaksanakan di lapangan terbuka, berapa dana yang disiapkan untuk mendatangkan para pendukung?Dukungan logistic dan transportasi tentu memakan biaya yang tidak sedikit.Biasanya paket kampanye, termasuk anggarannya  sudah di orderkan  kepada  partai politik  pendukung.
          Seyogianya Badan Pengawas Pemilihan Umum  di dalam mencapai tujuan organisasi meletakkan prinsip-prinsip moral, integritas dan kejujuran serta keadilan sebagai factor utama di dalam proses berjalannya demokrasi. Akan tetapi di dalam kenyatannya kejujuran dan kebenaran tersebut sangat gampang dibelokkan. Sudah menjadi rahasia umum setiap Pilkada yang digelar di negeri ini  secara garis besar berakhir di  Mahkamah Konstitusi karena pelanggaran dari rival yang melakukan kecurangan dan money politic. Sudah menjadi pameo setiap kandidat, mereka  hanya siap menang dan tidak siap untuk kalah. Modus operandi yang dilakukan adalah penggelembungan suara di KPU, penambahan daftar  pemilih , dan pemilih siluman, yang didatangkan dari daerah lainnya. Mereka dibayar dengan mahal, di jemput dan dipulangkan kembali melalui penyiapan transportasi  yang telah disiapkan oleh pemilik modal.
            Sampai kapan Pilkada bebas dari cengkeraman para profiteurs politik dengan merebaknya  ‘money politic’ dan manipulasi  anggaran pembangunan RAPBD, maupun DAU, yang di- sunat oleh para Bupatinya karena kebutuhan mendesak untuk membayar pinjaman kepada para investor lokal? Modus  penyelewengan RAPBD di daerah antara lain, penggelembungan dana pengadaan barang, dan jasa, pembuatan proyek fiktif, alih status prasarana sosial dan  areal hutan, hingga penerimaan gravitasi.  
            Sampai kapan rakyat tersandera oleh ulah oknum dan elite partai yang tidak memikirkan kepentingan rakyat banyak,  guna  mempercepat kesejahteraan rakyat? Sampai kapan negeri ini di porak- porandakan oleh ‘preman-preman’ politik yang hanya mementingkan kepentingan sesaat?Dan sampai kapan kolaborasi antara eksekutif dan legeslatif dibiarkan untuk menjadikan anggaran daerah sebagai ‘banca’an’yang berkepanjangan?.
            Mengapa para pemimpin di negeri ini seolah memperTuhankan uang? mereka gelisah tidak percaya diri, menghadapi masa tua, justru  semakin serakah dengan segala cara yang tidak halal,  mencuri uang rakyat? Ada sesuatu yang salah dalam pendidikan, ‘something wrong!' ; semakin banyak quota haji setiap tahunnya sampai ratusan ribu jama’ah, hampir tidak berpengaruh secara positip  terhadap  keimanan dan ketaqwaan para pemimpin yang seharusnya berbudi luhur dan bermoral. Bukti nyata, lebih 5 Menteri, 20 gubernur, dua ratusan bupati dan walikota, semua terkena pidana korupsi. Cap dunia internasional, Indonesia sebagai Negara terkorup no.1 se -Asia fasifik adalah memalukan, tapi siapa yang peduli?
            Berdasarkan data dari Transparency International Indonesia (TII), sepanjang 2004 sd` 2010 terdapat 1800 kasus  korupsi  yang terungkap di pengadilan. . . .”Sebanyak 1243 anggota DPRD terlibat korupsi” ungkap Vidya Dyasanti (Rakyat Merdeka 28/11/2010). Korupsi berjamaah, yang diperkenalkan pertama kali oleh 34 anggota DPRD Sumatera barat, ternyata juga ditiru  oleh daerah lain, yang tercatat adalah DPRD  kota Jambi (2004/2005), 35 anggota DPRD, terjerat kasus video bagi-bagi uang.
            Teten Masduki seorang pemerhati korupsi mengatakan, munculnya korupsi di daerah baru, karena adanya pemaksaan lahirnya satu  daerah otonomi, tanpa diimbangi SDM mumpuni, ditambah sifat keserakahan manusia.(205 Daerah otonom baru, terdiri; 7 Propinsi, 164 Kabupaten, dan 34 Kota).
            Judul tulisan di atas adalah sebuah paradox yang diperkenalkan oleh Bupati Boalemo, ditengah hancurnya nilai-nilai kejujuran dan ketertutupan   kepemimpinan yang sangat pragmatis  dan korup, untuk memiskinkan rakyat. Setitik lentera, ternyata nun jauh disana, masih ada pemimpin di daerah yang masih punya nurani dan bicara keterbukaan dan kejujuran. Padahal, tentang kejujuran, apa yang kerap terjadi disekeliling kita? Bukankah sering terjadi di sebuah keluarga; . . .”bilang papa sedang pergi…” itulah perintah seorang ayah kepada anaknya ketika sebuah telepon berdering, dan mecari sang ayah.Hilangnya figure ketauladanan  bagi seorang anak yang sedang mencari identitas diri, luput untuk meraih nilai yang sangat berharga dalam kehidupan. Seorang anak akan meniru kebohongan sang ayah, tanpa merasa bersalah.
            Sikap keterbukaan dalam pendidikan,  adalah satu etos untuk melawan sikap defensive dan pembiaran, dimana semangat untuk menegakkan kejujuran teralienisasi. Dapatkah kita konstatir, bahwa pendidikan kognitif telah gagal membangun ‘watak’ dan karakter bangsa?
              Dengan  harapan bisa menjadi pembanding dalam sukses story Pimpinan daerah lainnya, tulisan dibawah ini saya copy paste dari Kompas 20/11/2010, guna memperkaya ragam tulisan  di Blog saya ini. Salam (a.m.a)
             
Ingin tahu besar pendapatan bupati serta pejabat daerah?datanglah ke kabupaten Boalemo di Propinsi Gorontalo. Disana, di semua institusi pemerintahan terpampang jumlah penghasilan pejabat terkait per bulan, mulai dari bupati, wakil bupati, kepala dinas,  hingga kepala sekolah.
Transparansi anggaran bisa jadi dianggap tabu bagi sebagian kepala  daerah di Tanah Air. Namun, tidak demikian halnya denagn Boalemo. Di daerah yang terletak 80 Kilometer sebelah barat kota Gorontalo ini  transparansi keuangan begitu ‘telanjang’, tidak ada yang ditutup-tutupi.
Kompas yang datang  ke kantor Bupati Boalemo, kamis (18/11), menyaksikan informasi tentang besar gaji, biaya operasional, serta anggaran perjalanan dinas, kesehatan dan pakaian dinas bupati dipasang di depan pintu masuk ruang kerja bupati.
“Ini bukan transparansi, tetapi sudah telanjang”  demikian komentar Zougira dari Gorontalo Corruption Watch, yang hari itu juga berkunjung ke kantor bupati Boalemo.
Bupati Boalemo. Iwan Bokings, tersenyum saat diminta komentarnya tentang penghasilan nya itu. “gaji saya ya, seperti itu”, ujarnya.
Selama empat tahun menjadi bupati, Iwan Bokings menerima gaji Rp. 6.045.300 per-bulan, sedangkan tunjangan operasionalnya Rp. 11 juta –an. Disamping itu, ada juga anggaran APBD, tetapi besarnya ber-variasi tiap tahun.
Tahun ini, menurut Iwan , anggaran APBD untuk bupati Boalemo yang diberi nama dana taktis besarnya RP. 1,360 milyar. “dari jumlah itu, yang terealisasi  hingga agustus Rp 630 juta” paparnya.
Tiga tahun sebelumnya, lanjut Iwan, dana  taktis bupati hanya Rp1,169 milyar. Yang digunakan hanya Rp 951 juta. “Tahun lalu, dana taktis bupati naik menjadi Rp 1, 277 milyar.  Yang disisakan untuk kas daerah  Rp 239 juta” ujar Iwan.
Dana taktis itu,  menurut  Iwan, pemanfaatannya tidak untuk yang muluk-muluk, sesuai dengan kebutuhan bupati saja. Tahun ini, misalnya, digunakan untuk perjalanan dinas, provinsi (Rp 60 juta), perjalanan ke luar daerah (Rp 70 juta), dan perjalanan ke luar negeri  (RP. 37 juta).
Demikian pula tentang anggaran pakaian dinas yang  besarnya 20 juta dan anggaran kesehatan  yang Rp 50 juta. Hingga pengujung tahun ini belum terpakai semua.
Iwan mengaku, anggaran yang agak besar untuk bupati adalah  anggaran belanja rumah tangga. “Besarnya Rp 300 juta tahun ini. Hingga agustus telah terpakai  Rp 200 juta. Antara lain untuk jamuan makan  tamu resmi, bahan bakar dan penggantian suku cadang mobil dinas”, katanya.
Perjalanan darat
            Boalemo  dapat dijangkau dari kota Gorontalo, ibukota Gorontalo, melalui perjalanan darat selama dua jam. Daerah baru ini, merupakan hasil pemekaran wilayah kabupaten Gorontalo tahun 1999. Lima tahun kemudian Ia terpilih kembali  untuk memimpin daerah  tersebut. Tahun 2007, Iwan juga ikut pemilihan  kepala daerah dan lagi-lagi dipercaya  masyarakat untuk tetap bercokol di jabatan tersebut.
            Menurut Iwan, transparansi keuangan tak hanya  diberlakukan di kantornya, tetapi juga  disemua kantor dinas atau kantor pemerintahan Boalemo.”Ini untuk mendukung kinerja pemerintahan yang bersih. Masyarakat dapat mengontrol  pejabat apabila hidup mereka melebihi dari pendapatan pejabat” katanya. (ZAL).
      
  

Selasa, 19 Oktober 2010

“Kembalikan Pancasila sebagai Roh Bangsa”


Kalam.
       Sungguh, judul di atas sangat  menyentak sanubari kita, betapa rawannya posisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditengah-tengah perubahan yang tidak berujung setelah terjadi Reformasi jatuhnya Rejim penguasa Orde baru yang otoritarian dan  koruptif selama 32 tahun menguasai negeri ini.
        Pancasila  yang pada waktu itu telah menjadi satu-satunya Ideologi Bangsa, Filsafat Negara dan merupakan Pandangan hidup Bangsa, kini terlupakan dan ditinggalkan beramai-ramai baik oleh Negara maupun Partai Politik yang dengan  buta hati menutup pedoman perilaku ber Negara dan bermasyarakat, menjadi anomaly !    Padahal, salah satu tujuan Pancasila sebagai ideology Negara adalah untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia itu sendiri seperti yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, pada alinea keempat- - dimana Ideologi Pancasila juga merupakan Azas kerohanian untuk mewujudkan Pandangan hidup, pedoman hidup dan pegangan hidup masyarakat Indonesia - - (Notonagoro).
       Coba bayangkan, pergeseran model korupsi antara Orde Baru dan masa reformasi sekarang. Kalau dahulu dikuasai oleh kroni dan keluarga  Soeharto, maka sekarang lebih massif, sampai-sampai setiap Bupati , Gubernur maupun Menteri dan pejabat negeri serta jajaran penegak hukum ikut rame-rame tanpa risi dan malu sedikitpun ikut banca’an menguras dan menggerogoti uang Negara. Mereka seolah tidak takut kena hukuman, karena antara sisa hukuman dan keuntungan hasil hasil korupsi masih berlimpah, malah lamanya hukuman masih bisa di-negosiasikan melalui makelar hukum yang merupakan mafia di institusi penegakan hukum. 
        Selain kasus Gayus misalnya, Seorang  pejabat  pajak lainnya ditemukan mentransver uang sebesar 1 triliun ke- rekening istri dan kedua putrinya, jelas-jelas tidak diketahui asal usulnya. Mengapa pola tingkah laku yang bermartabat dan  bermoral tidak tertanam pada sanubari insane Indonesia?apakah karena minimnya sosialisasi nilai-nilai Pancasila baik secara lisan maupun tertulis tidak tercermin di dalam kode etik Institusi? serta lemahnya pemahaman agama serta pengamalannya?Mengapa pelaksanaan Pancasila secara murni dan kosekwen dilupakan?Atau, apakah penindakan hukum terlalu ringan hingga tidak menimbulkan efek  jera?Rusaknya tatanan hukum dan hancurnya moral para penyelenggara Negara akan membawa Negara bangsa ini kepada kehancuran peradaban yang tak terperikan.
        Dari kasus mafia pajak Gayus di Pengadilan Jaksel 19 oktober membuka borok kejaksaan yang membeli   surat rencana tuntutan (Rentut) dua lembar seharga 1 milyar. Transaksi ini dilakukan untuk mengetahui berapa tuntutan jaksa yang diarahkan kedirinya. Dan ternyata persis setelah tuntutan dibacakan sesuai dengan permintaan Gayus Tambunan,  Rentut tersebut  ditandatangani oleh  Pohan Lasphy Direktur Penuntutan Pidana  Umum, Kejagung, serta Jampidum Hamzah Tanja,  jatuhlah hukuman 1 tahun hukuman percobaan Apalagi yang kita banggakan di Negara Pancasila yang konon menjunjung tinggi supremasi hukum  tetapii  manusia  dibalik  the man behind the gun, cacat moral?
       Sebagai Ideologi Negara, seyogianya Pancasila merupakan dasar dalam kehidupan berbangsa. Juga merupakan sumber dari segala sumber hukum yang menjadikan tertib hukum  untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasional. Didalam implementasi Pancasila sebagaii pembangunan pendidikan,  ternyata BHP dianulir oleh Mahkamah Konstitusi karena dibelokkan kearah liberalisasi pendidikan. Di dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi seyogianya system perekonomian Pancasila yang berbasis pasal 33 harus sepenuhnya menjadi landasan filosofisnya di dalam pelaksanaannya kenyataannya  diterapkan sebagai liberalism, kapitalisme bahkan neo liberalism yang mendewakan pasar bebas, pertumbuhan dan individualism.
      Pancasila sebagai basis pembangunan politik dan hukum pun masih banyak menyisakan exercise yang harus disesuaikan untuk kemaslahatan dan tertib sosial masyarakat bangsa. Di dalam konstitusi dinyatakan system ketatanegaan adalah Presidential cabinet, ternyata pelaksanaannya adalah system parlementer. Seyogianya  pelaksanaan kedaulatan  rakyat oleh DPR dijalankan secara musyawarah dan mufakat di dalam perwakilan, malah diselewengkan dengan membentuk badan  Sekretariat gabungan koalisi, yang berada di luar parlemen.  Sila ke-dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab ternyata diterima oleh masyarakat sebagai sinyal kosong, ditengah  maraknya  perang suku, kelompok dan Gangster dengan terjadinya berbagai tindakan anarkhisme. Bukankah semua fenomena ini menunjukkan tidak  konsistennya para pemimpin,  terhadap komitmen bernegara? malah secara tegas dapat dikatakan, bahwa  telah terjadi manipulasi, pembiaran dan penyelewengan terhadap ideology Pancasila.
      
      Kita kembali kepada sejarah,  bukankah Pancasila  dalam perspektif Negara kesatuan merupakan wujud consensus nasional karena telah disepakati oleh para pendiri  Negara  di dalam sidang-sidang BPUPKI?Bukankah pada sidang pertama BPUPKI tgl 29 mei sd 1 juli 1945- - tgl 1 juni,  Bung Karno pertama kali berpidato tentang Pancasila?. . .”Saudara-saudara!  dasar Negara telah saya sebutkan, lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? bukan! Nama Panca dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar…..namanya bukan Panca dharma, tetapi ….saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa ….namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar dan di atas kelima  dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi”.(dalam 20 tahun Indonesia Merdeka, Deppen RI 1965).
       Kedalaman kajian  kelima sila dari Pancasila  sebagai rumus I,  yang dikemukakan oleh Soekarno sebenarnya telah melalui  perenungan yang mendalam yang mungkin belum tersosialisasi secara umum; pertama, kebangsaan Indonesia, mufakat dan demokrasi sama dengan marhaenisme, juga sama dengan nasionalisme San Mincu I milik Dr. Sun Yatsen (mintsu,min chuan, min sheng/nasionalisme, demokrasi dan sosialisme)  - - termasuk kesejahteraan umum dan keadilan sosial, Kedua, Internasionalime atau Perikemanusiaan sama denganInternasionalisme (kosmopolitanisme)  milik A. Baars. Ketiga,  Prinsip ketuhanan diambil dari pendapat-pendapat para pemimpin Islam yang berbicara terlebih dahulu.
       Kalaulah benang merah lahirnya Pancasila sebagai Ideologi Negara yang pada tgl 22 juni 1945 di syahkan oleh Panitia Sembilan, sebagai Piagam Jakarta dimana Pancasila berubah menjadi rumus ke II, maka pada tgl 18 agustus 1945  berubah lagi dengan  rumus ke III, dengan menghilangkan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tgl 18 agustus 1945 PPKI berhasil menetapkan Pembukaan UUD 1945 sekaligus dengan UUD 1945, serta memilih Presiden dan WakilPresiden untuk pertamakalinya setelah Proklamsi kemerdekaan 17 agustus 1945.
       Mungkinkah perubahan esensial dari rumus Pancasila yang termaktub di dalam Piagam Jakarta yang diterima oleh sidang BPUPKI tgl 17 juli 1945 menjadi rumus Pancasila   oleh PPKI yang ke III, dianggap tidak legitimate? Semoga ini bukan sebagai  alasan  pemicu hilangnya  Roh Pancasila  karena antara golongan nasionalis dan agama seolah-olah “tertanam bibit ketidak ikhlasan” menerima Pancasila sebagai Ideologi negara. Semoga Kebesaran jiwa dan kenegarawanan tokoh Islam masa lalu dan masa kini tetap konsisten karena  sangat berpengaruh menjaga dan memelihara momentum kesejarahan  ini,  sampai akhir zaman.
       Hal lainnya  yang merupakan dinamika rumusan Pancasila walaupun pada Mukaddimah UU Dasar sementara RIS rumusan IV dan V Pancasila masih berubah secara redaksional, dan sampai kepada Pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945, Pancasila yang lahir tgl 1 Juni tersebut ternyata masih di interpretasikan oleh Soekarno sebagai  Tri sila dan Eka Sila(gotong royong).
      Barulah  pada perjalanan selanjutnya Pengertian Pancasila sebagai dasar Negara yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945, sebagaimana tertuang di dalam memorandum DPR-GR 9 juni 1966 dan Oleh TAP MPR no IX/MPR/1978 menegaskan bahwa kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
       Dari sejarah panjang lahirnya Pancasila dapatlah di simpulkan ; pertama, bahwa penetapan Pancasila yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945 oleh PPKI tgl 18 agustus 1945, merupakan perwujudan dan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang merdeka. Kedua Negara Indonesia adalah Negara Pancasila\; Negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakan semua perundang-undangan yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila.   
       Semoga tumbuh kesadaran baru tentang Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa, ideology, pegangan  hidup. Eksintensi Pancasila harus tetap di pertahankan, sesuai dengan Inpres no. 12, th 1968 bahwa pengucapan, penulisan dan rumusan Pancasila sebagai dasar Negara RI nyang syah dan benar adalah sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
       Pada Seminar Pancasila di Yoyakarta menjelaskan bahwa Pancasila  merupakan kesatuan organis dimana antara sila yang satu dan sila lainnya saling mengkualifikasi secara hirarkis pyramidal, dan berporos kepada sila pertama yaitu ketuhanan Yang maha Esa. Seandainya terlahir sebuah strategi yang direncanakan secara komprehensif yang mengintegrasikan resources dan kapabilitas bagaimana meraih tujuan kemakmuran dan keadilan sosial  dengan basis Pancasila, maka kiranya bangsa ini tidak perlu belajar kenegara tetangga maupun latin, untuk menjadi Negara sukses.
       Laporan wartawan Kompas terbitan senin 18 oktober 2010, sesuai judul di atas menarik untuk direnungkan seperti saya copy di bawah ini, semoga menjadi inspirasi adanya  perubahan  persepsi dan aksi sebagai jawaban adanya rongga kosong yang mengisi perjalanan bangsa  selama  12 tahun pasca reformasi, beku  tanpa makna ideology. (a.m.a)
      
         Aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, baik pada tataran kebangsaan, Negara maupun  masyarakat, sangat mendesak. Kalau  Pancasila tidak segera dikembalikan sebagai roh bangsa Indonesia dikhawatirkan  akan muncul ideology alternative yang akan dijadikan landasan perjuangan  dan pembenaran bagi gerakan – gerakan radikal.
       Hal itu diungkapkan pengamat politik dari CSIS, J. Kristiadi, dalam diskusi berpikir ulang  tentang “Bhineka Tunggal Ika melalui Gadget” yang digelar Institute for multicultalism and Pluralism Studies, sabtu (16/10) di Yogyakarta. Hadir sebagai pemakalah dalam diskusi ini pengamat politik Yudi Latif dan Seno Gumira Ajidarma.
       Dalam makalahnya Kristiadi mengungkapkan, tiadanya ideology yang  memberikan arah perubahan politik dikhawatirkan memunculkan gerakan-gerakan radikal, baik  yang bersumber dari rasa frustasi masyarakat  dalam menghadapi ketidak pastian  hidup maupun akibat dari manipulasi  dari sentiment primordial. “Gerakan-gerakan radikal radikal semacam ini tentu  sangat  berbahaya karena mengancam kebhineka tunggalika-an serta memutar kembali proses demokratisasi kepada situasi yang mendorong  munculnya kekuatan yang otoritarian maupun memicu anarki sosial  yang tidak berkesudahan” paparnya.
       Tidak mustahil, kalau Pancasila tidak segera kembali sebagai  roh bangsa Indonesia, dikhawatirkan akan muncul ideology alternative yang akan dijadikan landasan perjuangan dan pembenaran bagi gerakan-gerakan radikal.

Pemersatu
        Yudi mengungkapkan, perbedaan-perbedaan akan berjalan damai apabila Negara bisa menjadi pelindung bagi semua pihak dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu, termasuk hak beribadah. Apabila Negara  tidak mampu, akan memunculkan eksklusivisme  dan fundamentalisme. “Negara bisa menjadi pemersatu dan pemecah belah” ungkapnya (RWN).                 

Senin, 01 Maret 2010

NEO-LIBERALISME DAN NASIONALISME KITA


Kalam ;
Rasanya ada yang salah dalam Sistem Perekonomian kita dewasa ini, setelah 65 tahun Indonesia Merdeka, ternyata
belum bisa membebaskan diri dari 'perangkap' Liberalisme dan kapitalisme; kalau selama 350 tahun kita di jajah oleh Belanda (baca; VOC), maka sekarang kita tetap dalam genggaman Badan-badan keuangan dunia. Terbukti kita sudah ber- hutang kurang lebih 1400 triliun Rupiah, yang akan diwariskan kepada anak cucu. Beberapa kelompok masyarakat telah mengusulkan agar kita kembali Ke-Undang-undang Dasar 1945, Ingin menjalankan pasal 33 secara murni dan konsekwen namun didalam Amandemen UUD 1945, tahun 2002, khususnya pasal 33 telah ditambahkan ayat baru ; dengan klausul "Merumuskan kembali sistem perekonomian nasional," (?)
Mengutip pernyataan Ferry Julianto, ketua umum Dewan Tani Indonesia , Rakyat Merdeka 20 Februari 2010 ; . . ."Presiden SBY pernah berjanji pada Kampanye 2009, bahwa kebijakan ekonomi yang akan diambil adalah kebijakan ekonomi jalan tengah, yaitu kebijakan yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dari kegiatan sector pasar saham dan sector riil - - -yaitu pertanian, nelayan, ukm dan kaki lima. Benarkah kebijakan ekonomi nasional terlalu Neolib dan tidak pro rakyat? Dan yang mengejutkan adalah pernyataan Prof.Dr. Suhardi Msc, Ketua umum Partai Gerindra, dalam Rakornas di Hambalang Bogor , "kalau Pemerintah mau meninggalkan konsep Ekonomi Liberal ke sistem kerakyatan, maka kemungkinan masuk dalam Pemerintahan akan dipertimbangkan".( Rakyat Merdeka 29 Februari 2010). Dengan demikian secara Ideologis – Politis Seorang Presiden sangat menentukan arah daripada Sistem Perekonomian yang dianut oleh satu Negara.
Oleh sebab itu, makalah Prof. Dr. Abdul Hadi WM yang pernah disampaikan pada Diskusi Panel yang diselenggarakan oleh Balitbang Partai Hanura, pada tahun 2009, di Jakarta, relevan untuk membedah sistem perekonomian nasional kita. (a.m.a)

Seperti halnya sebuah sistem pemerintahan dan politik, sebuah sistem ekonomi pastilah didasarkan atas pemikiran atau aliran filsafat tertentu. Demikian pula halnya dengan dua sistem ekonomi yang sedang diperdebatkan dengan hangatnya sekarang ini di negeri kita, yaitu neo-liberalisme dan ekonomi kerakyatan. Karena itu keduanya tidak saja diperdebatkan dari persfektif ilmu ekonomi, tetapi juga dari perspektif sejarah pemikiran atau filsafat sebagaimana akan saya coba lakukan sejauh kemampuan saya.
Aliran pertama, lazim disamakan dengan sistem ekonomi pasar bebas, dan berakar dari perpaduan pemikiran sosial, politik dan ekonomi, serta anthtropologi falsafah seperti liberalism, utilitarianisme, individualism, materialism, kapitalisme, hedonism, dan lain sebagainya. Yang kedua lahir paham seperti altruism, kolektivisme, dan sosialisme, baik sosialisme bercorak sekuler maupun keagamaan.
Ekonomi kerakyatan, dipandang sebagai sistem yang sesuai dengan semangat UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah di-amandemen. Karena itu sering dihubungkan apa yang disebut sebagai Ekonomi Konstitusi. Mohammad Hatta (1959) menyebutnya sebagai Ekonomi Terpimpin. Dalam perkataan 'kerakyatan' itu tersimpul dasar keadilan sosial yang bersifat Demokratis; yaitu satu untuk semua, semua untuk satu dan semua untuk semua (Hadori Junus, dalam Mubyarto 1980). Dalam sistem ini produksi dikehendaki dikerjakan untuk kepentingan bersama dan dijalankan melalui koperasi secara bersama-sama, dengan pengawasan masyarakat secara terpimpin.
Sayangnya, sistem yang berpihak kepada rakyat itu tidak dilaksanakan dengan baik sebagaimana terbukti dengan mandeknya perkembangan koperasi. Sarjana-sarjana ekonomi mencari sumber kegagalannya pada strategi pembangunan ekonomi yang cenderung bersifat liberal-materialistis, terutama yang dijalankan padea masa pemerintahan Orde Baru (Jan Mokoginta 1979). Menurut Mubyarto (1980), sistem yang tersimpul dalam kebijakan pembangunan Orde Baru tidak sesuai dengan GBHN, karena di dalamnya sangat jelas sekali cirri-ciri negative dalam sistem ekonomi liberal ditolak seperti misalnya free fight liberalism, etatisme dan kecenderungan monopoli serta oligopoly. Dibawah strategi pembangunan seperti itu, yang kelak memberi jalan lempang bagi neo-liberalisme, bangsa Indonesia menderita dan lumpuh, dan akhirnya jatuh ketangan eksploitasi asing. Dampak dahsyatnya pun tidak kalah, dan sangat dirasakan secara kultural, berupa suburnya pola serta gaya hidup konsumtif dan hedonis.

Sejarah Neo-liberalisme
Istilah neo-liberalisme sebenarnya telah lama diperkenalkan di Indonesia, oleh Mohammad Hatta dalam bukunya Ekonomi Terpimpin (1959). Sebutan ini merujuk kepada pemikiran tiga filosof ekonomi terkemuka pasca-perang dunia II-Walter Euchen, Fredrich von Hayek, dan Wilhelm Ropke. Mereka menuntut adanya peraturan yang menjamin lancarnya persaingan bebas dalam kehidupan ekonomi seperti ketetapan nilai mata uang, adanya pasar terbuka di banyak Negara, pemilikan swasta atas sarana produksi, kebebasan membuat perjanjian yang tepat mengenai tanggung jawab perusahaan yang sesuai dengan politik perekonomian.
Secara umum paham ini lahir dari rahim aliran filsafat liberalism atau paham serba bebas. Pencetusnya dua filosof Inggris abad ke-17, Thomas Hobbes dan Jhon Locke. Aliran ini berkembang pesat pada abad ke-18. Menurut dua filosof ini dalam kodratnya manusia bukanlah mahluk altruistic atau cinta kepada masyarakat. Karena itu cenderung pula tidak kooperatif, atau tidak mau bekerja sama dengan sesama anggota masyarakat. Bawaan manusia sebagai hewan berakal (animal rationale) adalah mengutamakan pribadi.
Dalam bukunya Leviathan, Thomas Hobbes menyatakan bahwa "manusia adalah serigala bagi manusia lainnya" (homo homoni lopus). Semboyan lainnya yang terkenal ialah "a war of all against all. " Untuk mengatasi situasi hukum rimba yang serba kejam itu harus ada Negara yang dikuasai oleh satu orang secara mutlak, yaitu monarki absolute. Bentuk kekuasaan absolute ini dijumpai dalam pribadi Raja Louis IX yang terkenal dengan semboyannya "Le' etat est moi" (Negara adalah saya).
Dengan jalan pikiran yang sama, John Locke membawa liberalism ketempat lain. Kebebasan, menurutnya tak punya nilai intrinsic. Nilai ditambahkan manusia dalam kehidupan sosialnya. Ia menunjuk property sebagai sumber nilai yang membawa manusia mau hidup masyarakat. Hanya hal-hal yang bersifat kebendaan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun suatu masyarakat. Lebih jauh baginya kehidupan sosial tak lebih dari gelanggang persaingan bebas antar individu. Sebaik-baiknya cara agar masyarakat maju dan berkembang ialah dengan membiarkan persaingan itu berlangsung tanpa campur tangan Negara.
Berdasarkan dua pemikiran filosof abad ke-17 itu Adam Smith (1723-1790) mengembangkannya menjadi aliran pemikiran ekonomi. menurutnya pusat kehidupan sosial yang ideal adalah pasar. Di sini, liberalism dalam pengertian ekonomi, ia artikan sebagai pemeliharaan kebebasan individu untuk berjual beli dan saling bersaing dengan bebas di pasar. Motivasi jual beli bukan kerjasama, melainkan kepentingan pribadi. Hasil akhir persaingan yang fair ialah keadilan, asal saja setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk bersaing (Mead 1972: 14-16).
Dalam bukunya An Enquiry in to the Nature and causes of the Wealth of Nation (1976) , Adam Smith mengatakan bahwa sebagai mahluk ekonomi manusia cenderung memburu kenikmatan dan keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya. Jika tabiat bawaan manusia yang individualistik, egosentrik dan condong kepada kebebasan ini dibiarkan berkembang tanpa campur tangan pemerintah/Negara, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang memadai dari factor-faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan , dan dengan demikian inovasi dan kreativitas dapat berkembang.
Bersumber dari pemikiran Adam Smith, pada akhir abad ke-18 bersamaan dengan berkobarnya Revolusi Perancis dan lahirnya Revolusi Industri di Inggris, lahir pula dua aliran pemikiran yang dominan. Yaitu individualism di bidang hukum dan antropologi filsafat, dan ide pasar terbuka yang berkaitan dengan perkembangan pasar industry. Menurut paham individualism, manusia yang lahir dengan bawaan bebas dan hidup bebas, tidak boleh dikekang kebebasannya. Paham ini sangat dominan pada abad ke-20 dalam kehidupan politik, ekonomi, dan seni.
Aliran kedua, berkenaan dengan berpindahnya pusat usaha dari kaum merkantilis (pedagang) ke tangan kaum industrialis. Kaum industrialis yang menguasai modal ini pantang berkoalisi seperti partai-partai politik, dan hanya bisa membuat persekutuan modal dalam bentuk perseroan terbatas. Semakin lama persekutuan ini kian kuat dan mengancam kehidupan kaum pekerja yang dilarang berserikat. Dari perkembangan inilah lahir badan-badan monopoli atau oligopoly yang begitu berkuasa. Tetapi sebagai hasil dari perjuangan kaum sosialis, Negara-negara industry di Eropah memperkenankan kaum buruh membentuk serikat pekerja untuk memperjuangkan nasibnya.
Pada awal abad ke-20 zaman keemasan individualism ekonomi mulai pudar. Perang dunia I (1914-1918) mendorong negara-negara kapitalis memberlakukan banyak aturan yang mengekang sistem pasar bebas. Krisis ekonomi pada dekade 1920-an juga mendorong Negara-negara Eropa untuk menyusun industrinya masing masing, dengan berbagai proteksi. Pada tahun 1929, krisis hebat melanda kapitalisme disusul dengan bayangan bangkitnya kembali fascism Jerman dan Italia. Berbagai regulasi diberlakukan agar ekonomi rakyat tidak ambrug. Pada masa inilah gagasan Ekonomi Terpimpin atau yang semacam itu mulai diterapkan di beberapa Negara Eropa.
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, seorang ahli ekonomi terkenal Karl Polanyi menerbitkan buku yang kemudian masyhur The Great Transformation (1944). Ia mengecam keras masyarakat industry kapitalis yang mendasarkan perkembangan ekonominya pada sistem pasar bebas. "Dengan mengakui mekanisme pasar sebagai satu-satunya penentu nasib manusia dan kondisi alam lingkungannya", kata Polanyi, "kerusakan besar akan menimpa masyarakat". (Hal 73). "Kerusakan itu tidak akan terjadi jika kepentingan masyarakat diabaikan diatas kepentingan individu."
Pandangan Polanyi dan lain-lain berpengaruh besar di dunia, ditopang lagi dengan Perang dingin antara Blok Barat yang kapitalis dengan Blok Timur yang sosialis-komunis. Neo Liberalisme untuk sementara waktu harus bertiarap. Memasuki decade 1970-an, sistem sosialisme mulai memperlihatkan kegagalan dan Negara-negara industry mulai mengalami krisis. Keyakinan akan keunggulan sistem pasar bebas mulai bertunas kembali. Pada tahun 1974 Robert Nozick, seorang filosof politik Amerika, menerbitkan buku Anarchi, state and utopia yang kemudian masyhur dan dianggap sebagai tanda nyata lahirnya kembali liberalism dalam bentuknya yang baru. Dalam bukunya itu Nozick mengatakan bahwa tugas Negara bukanlah memaksakan sistem dan pola tertentu bagi kehidupan warga Negara, termasuk kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Menurutnya, gagasan tentang keadilan dan pemerataan bertentangan dengan kodrat manusia yang menginginkan kebebasan penuh. Negara, karenanya tidak boleh melakukan intervensi atas apa yang berlaku di pasar. Biarkan pemodal dengan modalnya saling bersaing. Peranan Negara dengan demikian harus ditekan seminimal mungkin dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Urusan Negara yang terpenting adalah menentukan kebijakan luar negeri. Berdasarkan pemikiran Nozick, seorang ahli ekonomi terkenal dari Universitas Chicago, Friedrich von Hayek dan para pengikutnya, seperti Milton Friedman mengembangkan pemikiran yang dikenal dengan sebutan ekonomi pasar bebas atau Neo-liberalisme.
Pada akhir 1970-an gagasan Neo-liberalisme mulai tersebar luas dan diterima banyak sarjana dan pemimpin Negara maju. Antara lain Ronald Reagan dan Margareth Tatcher. Tatcher sendiri adalah seorang pengikut von Hayek , yang meyakini kebenaran Teori Darwin tentang survival of the fittest. Begitu terpilih menjadi Perdana Menteri Inggris pada tahun 1979, ia mencanangkan doktrin neo-liberalismenya yang dikenal dengan sebutan TINA (there is no alternative). Dalam doktrinnya itu dikemukakan ke-utamaan persaingan bebas dalam kehidupan manusia, termasuk persaingan antar bangsa, negeri, perusahaan besar, dan umat berbeda agama, serta persaingan antar individu dalam masyarakat (Susan Goerge 1999).
Persaingan bagi Tatcher adalah kebajikan tertinggi. Akibat-akibat daripadanya tidak boleh dipandang buruk. Pasar adalah pusat kebijakan dan kebajikan tertinggi, menggantikan peranan Tuhan. Sebagaimana Tuhan pula, ia dapat menelorkan kebaikan dari sesuatu yang tampaknya jahat dan buruk. Melalui kebijakannya itu sector public dihancurkan. Akibatnya antara tahun 1979 -1995 jumlah pekerja di Inggris dikurangi dari 7 juta menjadi 5 juta. Sementara itu income yang diperoleh Negara dari pajak bukannya digunakan untuk kepentingan public, melainkan untuk menutupi hutang perusahaan–perusahaan besar dan memberikan suntikan modal baru agar bangkit kembali dari kebangkrutan.

Ciri-ciri Neo-liberalisme
Seperti liberalism klasik, neo-liberalisme menolak nilai-nilai moral dan agama yang diungkapkan dalam Slogan Hak Asasi Manusia. Masyarakat tidaklah penting, sebab yang asasi adalah kebebasan individu. Pendek kata sebagai doktrin ekonomi, neo-liberalisme menghendaki perluasan perdagangan bebas tanpa control dan regulasi. Idea utamanya ialah persaingan bebas antara pemilik modal yang satu dengan yang lain. Tujuannya menciptakan keuntungan sebesar-besarnya bagi penguasa pasar yaitu pemilik modal besar. Seperti dikatakan Marcos, pemimpin gerakan Zapatista di Meksiko, "kaum neo-liberalisme ingin menciptakan seluruh dunia menjadi Mall raksasa sehingga dengan mudah dapat membeli penduduk pribumi, wanita dan anak-anak mereka dengan harga murah, sebagai tenaga kerja, berikut tanah milik dan sumber kekayaan alam mereka."
Sebagai paham ekonomi jelas neo-liberalisme bukan suatu yang baru. Kebaruannya disebabkan penyebarannya yang begitu luas ke seluruh dunia. Walau kata-kata tersebut jarang terdengar di AS, kata Elisabeth Martinez dan Arnoldo Garcia (2005), dampak buruknya pada akhirnya dirasakan di negerinya sendiri. Di sana yang kaya (20%) bertambah kaya, dan yang miskin (80%) bertambah-tambah miskinnya. Di seluruh dunia kebijakan neo-liberalis dipaksakan melalui tangan lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan dunia, seperti IMF, ADB, WTO, IGGI (untuk Indonesia), Bank Dunia, dan lain-lain. Yang memicu lahirnya kembali liberalism ekonomi ini ialah krisis kapitalis sepanjang 25 tahun terakhir, berupa anjlognya keuntungan yang mereka peroleh sejak awal dekade 1970-an yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran.
Istilah neo-liberalisme untuk pertama kali memang muncul di Amerika Latin, anak benua yang paling awal merasakan dampak buruknya. Sejak itu kaum intlektual negeri itu berkeyakinan bahwa kendati neo-liberalisme merupakan fenomena Negara Barat kapitalis, namun yang paling menderita disebabkan dampaknya ialah Negara-negara berkembang. Secara garis besar pendirian neo-liberalisme dapat di gambarkan sebagai berikut:
Pertama, ia merupakan paham yang menekankan pada kekuasaan pasar. Menurut paham ini, adanya pasar bebas tanpa pengawasan dan regulasi yang ketat akan memungkinkan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Reagan menyebutnya sebagai kebijakan ekonomi supply side, yaitu suatu kebijakan yang dapat mengucurkan kemakmuran secara cepat dan meluas dari atas sampai kebawah. Dalam perkembangannya terbukti bahwa kemakmuran menumpuk diatas, sedangkan milik yang dibawah semakin terkuras. Kesenjangan kaya dan miskin semakin menjadi-jadi. Jika terjadi krisis ekonomi, maka yang membangun beban ialah mayoritas penduduk yang miskin.
Kedua, untuk meminimalkan peranan Negara, dilakukan pemotongan besar-besaran, anggaran Negara untuk sector-sektor seperti pelayanan sosial, termasuk kesehatan , pendidikan, kesejahteraan, dan juga kebudayaan dan keagamaan. Suply dan subsidi bahan bakar dan air juga dikurangi, sehingga beban masyarakat bertambah berat. Biaya pendidikan dan kesehatan bertambah mahal.
Ketiga, deregulasi perusahaan-perusahaan besar, wajib mengesampingkan regulasi dari pemerintah apabila keuntungan yang mereka peroleh berkurang. Dalam kaitan ini, pasar mempunyai kekuasaan untuk mengatur opini dan pemikiran masyarakat, yaitu melalui media yang mereka miliki atau kuasai. Termasuk selera seni dan budaya. Pasar juga berusaha melakukan hegemoni penafsiran terhadap konstitusi, wacana keagamaan, politik, dan falsafah. Misalnya, melalui LSM dan lembaga pendidikan yang mereka danai.
Keempat, Privatisasi. Dengan privatisasi perusahaan Negara terbuka peluang bagi investor asing untuk menguasai dunia perbankan, sarana transportasi, media komunikasi dan informasi, bahkan media cetak, elektronik, dan penerbitan buku, sekolah, lembaga penelitian sosial dan keilmuan, lembaga keagamaan dan lain sebagainya. Tidak mengherankan dibanyak negeri berkembang seperti Indonesia, Filipina, Thailand, dan lain-lain ,neo-liberalisme sanggup menjadikan Negara sebagai benar-benar sebuah pasar bebas.
Kelima, tak kalah penting ialah apa yang disebut penciutan kominitas-komunitas besar dalam masyarakat, menjadi komunitas-komunitas kecil yang terpecah belah serta sukar ter-integrasikan. Neo-liberalisme lihai menciptakan komunitas-komunitas kecil di bidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi, keuangan, politik, bahkan dalam bidang keagamaan, seni, dan lain sebagainya. Dengan demikian masyarakat kian terpecah belah.
Pada peringkat internasional, neo-liberalisme dapat disebut sebagai paham yang member tekanan kepada: (1) keleluasaan perdagangan barang komoditi dan jasa, termasuk film, hiburan, senjata, dan lain-lain kendati komoditi-komoditi tersebut menimbulkan kerusakan moral. Biasanya ini ditamengi dengan hiruk pikuknya wacana seperti kebebasan ber-ekspresi, pluralism, multikulturalisme, relativisme nilai, dan lain sebagainya; (2) Perputaran modal yang lebih bebas, dengan akibat hancurnya modal kecil dan menengah dibawah sektor kehidupan asal saja mendatangkan keuntungan berlipat ganda. Termasuk di dalamnya sector pendidikan, kesehatan, penerbitan buku, mass media, telekomunikasi, transportasi, dan lain sebagainya.
Dalam bukunya La Mondialisation du capital (penduniaan modal) Dumeil dan Levy mengatakan bahwa neo-liberalisme telah merebut kekuasaan Negara di dunia melalui modal financial. Tujuan kudeta ini ialah untuk merintangi Negara-negara lain di dunia menjalankan kebijakan ekonomi yang memihak rakyat. Karena itu ia juga menghalangi bangkitnya kembali nasionalime, yang di dalamnya kebudayaan nasional dimungkinkan tumbuh dengan subur melalui kebijakan yang mandiri.

Ekonomi Kerakyatan dan Terpimpin
Semangat UUD 45 cenderung ke sosialisme religius. Ini dapat dilihat pada terpimpin aqdalah pengejawantahannya. Ia juga sejalan dengan cita-cita nasionalisme kita, lahir pada awal abad ke-20 sebagai bentuk perlawanan atau penentangan terhadap kolonialisme dan imperialism yang dilakukan Negara kapitalis.
Dalam kolonialisme, tergantung tiga hal : (1) Politik dominasi dan hegemoni; (2) Eksploitasi ekonomi; (3) Penetrasi budaya. Karena itu Nasionalisme Indonesia mengandung juga tiga aspek penting yang berlawanan yaitu a) aspek politik. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghilangkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat (lihat pidato-pidato Bung Karno, Hatta, dan pemimpin yang lain seperti Ruslan Abdul Gani); b) aspek sosial ekonomi. Nasionalisme Indonesia muncul untuk menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang mandiri dan kreatif; c) aspek budaya. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman.
Sistem ekonomi yang sesuai dengan jiwa nasionalisme Indonesia ialah ekonomi kerakyatan yang oleh Bung Hatta disebut ekonomi terpimpin. Ada pula yang menyebutnya sebagai Ekonomi Kesejahteraan yang merupakan percampuran kapitalisme dan sosialisme. Menurut Bung Hatta, ekonomi terpimpin merupakan konsekwensi dari nasionalisme Indonesia yang timbul sebagai perlawanan menentang kolonialisme dan imperialism. Dalam menancapkan kekuasaannya pemerintah kolonial menggunakan sistem kapitalisme perdagangan yang eksploitatif dan menjadikan negeri ini sebagai perkebunan raksasa. Dengan itu rakyat Indonesia di eksploitasi sebagai buruh perkebunan dengan gaji rendah, sedangkan pemerintah Belanda memperoleh keuntungan yang besar.
Ekonomi terpimpin adalah juga lawan dari ekonomi liberal yang melahirkan sistem kapitalisme. Ekonomi liberal menghendaki pemerintah tidak campur tangan dalam perekonomian rakyat dengan membuat peraturan-peraturan ketat (regulasi) yang membatasi gerak pasar bebas. Ekonomi terpimpin adalah sebaliknya. Pemerintah harus aktif bertindak dan memberlakukan peraturan terhadap perkembangan ekonomi dalam masyarakat agar rakyat tidak di eksploitasi, harga tidak dipermainkan dan dengan demikian tercapai keadilan sosial.
Alasan mengapa Ekonomi Terpimpin dipandang sesuai dengan cita-cita nasionalisme Indonesia ialah; karena membiarkan perekonomian berjalan menurut permainan bebas dari tenaga-tenaga masyarakat , berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan yang kuat. Ekonomi liberal bercita-cita memberikan kemakmuran dan kemerdekaan bagi semua orang, tetapi hasilnya menimbulkan pertentangan dan kesengsaraan. Yang kaya bertambah kaya yang miskin bertambah melarat. Sebab kebebasan atau liberalism yang disandang oleh sistem itu dalam kenyataan hanya dimiliki oleh segolongan kecil orang (yaitu pemilik modal atau kapital); dan kepada mereka yang segelintir itu sajalah keuntungan dan kemakmuran berpihak, bukan kepada rakyat banyak.
Tetapi di dalam sistem ekonomi terpimpin itu terdapat banyak aliran. Antara lain; (1) Ekonomi terpimpin menurut menurut ideologi komunisme; (2) Ekonomomi terpimpin menurut pandangan sosialisme demokrasi ; (3) Ekonomi terpimpin menurut solidaroisme; (4) Ekonomi terpimpin menurut paham Kristen sosialis; (5) Ekonomi terpimpin berdasarkan ajaran islam; (6) Ekonomi terpimpin berdasarkan pandangan demokrasi sosial.
Semua aliran ekonomi terpimpin ini, menentang dasar-dasar individualism yang meletakkan buruk baik, nasib masyarakat ditangan orang-orang yang mengemudikan kehidupan dan tindakan ekonomi. Ekonomi liberal berdasarkan pada individualism. Individu (baca; kepentingan individu) didahulukan dari kepentingan masyarakat. Tetapi Ekonomi terpimpin mendahulukan masyarakat ketimbang individu, sebuah paradox. Sekalipun demikian diantara paham-paham ekonomi terpimpin itu, ada yang menolak kolektivisme, karena bagi mereka kolektivisme sebenarnya hanya berlaku dalam ideology komunisme dan sosialisme.
Tetapi terdapat persamaan pula dari sistem ekonomi terpimpin, yang berbeda-beda itu, yaitu; (1) Dalam hal menentang individualism ; (2) Dalam hal pemberian tempat yang istimewa kepada pemerintah untuk mengatur dan memimpin perekonnomian Negara. Perbedaan antara sistem-sistem itu berkenaan dengan seberapa besar campur tangan kekuasaan publik dan bagaimana coraknya campur tangan itu dalam perekonomian individu dan masyarakat. Ideologi komunisme menghendaki campur tangan besar dan menyeluruh dari pemerintah atau Negara, sehingga individu ditindas. Sistem ekonomi komunis bersifat totaliter, dikuasai oleh Negara.
Tetapi ekonomi terpimpin yang lebih sesuai dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah ekonomi bercorak sosialis, yang berkehendak melaksanakan cita-cita demokrasi ekonomi. Dengan diimbangi demokrasi ekonomi, maka sifat individualistis dari demokrasi liberal dapat dikurangi. Di dalamnya campur tangan Negara terbatas dari peranan individu tidak sepenuhnya dimusnahkan, hanya saja gerak mereka dibatasi dan diatur demi melindungi kepentingan masyarakat. Bung Hatta, bertolak dari pemikiran Lerner, penulis buku The Economic of Control (1919), unsur-unsur ekonomi kapitalis dan kolektif digabungkan ke dalamnya, menjadi sistem yang disebut "Welfare economic" atau Ekonomi kemakmuran.
Dalam sistem tersebut tiga hal yang harus dilaksanakan; pertama, segala sumber perekonomian yang ada harus dikerjakan supaya semua orang memperoleh pekerjaan; kedua, melaksanakan pembagian pendapatan yang adil, agar perbedaan atau jurang besar dalam pendapatan dan kekayaan antara yang kaya dan yang miskin dikurangi; ketiga, mengpuskan monopoli dan oligopoly dalam perekonomian, sebab keduanya melahirkan eksploitasi yang melampaui batas dan pemborosan ekonomi yang besar pula.
Menurut Hatta, tujuan ekonomi terpimpin dalam bidang demokrasi, ialah mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya, dengan tiada menghilangkan kepribadian manusia. Masyarakat didahulukan, bukan individu. Tetapi manusia sebagai individu tidak lenyap sama sekali dalam kolektivitas. Secara umum cita-cita ekonomi terpimpin ialah: (1) Terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat secara keseluruhan sehingga pengangguran dikurangi; (2) Adanya standar hidup yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan; (3) Semakin berkurangnya ketidak samaan ekonomi dengan memeratakan kemakmuran; (4) Terciptanya keadilan sosial. (jkt 22-6-09)

Biodata :
Abdul Hadi WM (Wiji Muthari), Guru besar dalam ilmu filsafat dan sastra, Universitas Paramadina Jakarta. (S1) Fakultas Filsafat UGM, (S2) Pusat pengajian Ilmu Kemanusiaan, University Sains Malaysia dalam bidang studi Filsafat dan Sastra Islam, (S3) Universitas Sains Malaysia, Pulau Pinang.
Mengajar di FIB, UI, dan ICAS (Islamic College for Advand Studis) London, cabang Jakarta.









Jumat, 19 Februari 2010

PEMBANGUNAN MANUSIA UPAYA MENCARI SINTESIS


PEMBANGUNAN MANUSIA UPAYA MENCARI SINTESIS
(Akhir Kalam dari Buku; Menggugat Ideologi Abad ke XX;
Kritik Atas Pembangunan Manusia, oleh: Ricardo Iwan Yatim,
Penerbit Yayasan Bentang Budaya, 1997)

Catatan; Di dalam Naskah Asli, Buku Menggugat Ideologi Abad ke XX, sebenarnya RIY meracik pemikiran 5 tokoh Filsafat - Lucas, Gramsci, Marcuse, Althusser, dan Habernas, akan tetapi saya hanya menyadur satu bagian dari tulisan tersebut yang sangat relevan dengan perkembangan pemikiran Ideologi ‘Pembangunan’ di Indonesia. Sahabat, Alm RIY, adalah wartawan Majalah Matra, menyelesaikan Sarjana Filsafat (S-1) di UGM, dan telah merampungkan Tesis Magister (S2) pada Program Studi Filsafat Pasca Sarjana UI. (A.M.A)

Kritik ‘ideologi’ pembangunan cukup lama mendapat sorotan sejak era 1970-an. Cukup banyak bermunculan kritik terhadap model–model teori ideologi pembangunan dari para pemikir sosial dan cendekiawan termasyhur tiga dasawarsa terakhir pada abad ke-20. Sebagaimana dikemukakan Sindhunuta, “sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kini banyak dilontarkan kritik terhadap teori-teori pembangunan yang pernah atau sedang diterapkan di negara-negara berkembang. Munculnya pemikir-pemikir baru seperti Gunnar Myrdal, P.L Berger, P. Freire, E.F Schumacher, pemikir-pemikir yang masih meraba-raba dalam mencari teori Pembangunan yang tepat ……” 1]

Berikut ini saya ingin menyoroti pendapat dan kritik ideologi pembangunan yang dilontarkan Peter L. Berger dan E.F Schumacher, lewat karya penting mereka masing-masing 2]. Ambillah sepuluh tesis pertama 3] dari 25 tesis, yang dikemukakan Berger tentang kubu-kubu ideologi : Kapitalisme dan Sosialisme, masing-masing dengan mitos-mitos pertumbuhan dan revolusi penuh kepalsuan. Kedua buku ini dipaparkan sekadar sebagai peringatan bahwa ideologi pembangunan yang diperlukan adalah sejauh mana ia dapat menghapusklan penderitaan. Berger secara jujur mengakui bahwa ia tidak mempunyai jawaban “siap pakai”, tetapi “semua pembangunan material pada akhirnya akan sia-sia kalau pembangunan itu tidak membantu mengembangkan makna-makna yang merupakan dasar hidup manusia .”4]

Berger prihatin terhadap model-model teori pembangunan yang disodorkan kepada dunia ketiga atau negara-negara (sedang) berkembang. Macam-macam teori sudah mencoba menjelaskan fakta-fakta tentang Negara kaya dan miskin. Dalam hal ini bisa digolongkan dua paradigm atau model teori, yaitu teori modernisasi dan teori imperialism, masing-masing dengan “konsep kunci” yang mewakili kubu kapitalis dan kubu sosialis. Teori modernisasi menyebut ciri “Ideologi pembangunan” menuju suatu masyarakat yang disebut “masyarakat industri maju,” sedangkan teori imperialism mengelompokan ciri itu pada suatu “masyarakat dalam tahap kapitalisme monopoli.” Di satu pihak “konsep kunci” teori modernisasi adalah pembangunan (development), pertumbuhan ekonomi (economic growth), diferensiasi kelembagaan (institutional differentiation), dan pembangunan bangsa (nation building) ; dan dipihak lain teori imperialism memakai istilah-istilah seperti ketergantungan (dependency), pengisapan (exploitation), neokolonialisme (neocolonialism), dan pembebasan (liberation). 5]

Sejalan dengan itu patut kita simak pendapat Schumacher mengenai kondisi masyarakat pada dasawarsa pasca perang dunia II. Menurut Schumacher, di dalam dunia modern, manusia kini telah tergelincir dari satu krisis ke krisis lain. Padahal semua itu telah diramalkan sebelumnya, dan sekarang sebetulnya gejala-gejala kehancuran telah tampak di sana sini. 6] Kesalahan terbesar pada zaman kita ini adalah keyakinan bahwa “masalah produksi” sudah bisa dipecahkan bersama. Pemimpin industri, pengatur ekonomi, ahli ekonomi - - baik yang akademis maupun yang setengah akademis - - dan juga para wartawan ekonomi, semua mempunyai keyakinan itu. Memang terjadi juga silang pendapat diantara mereka, tetapi semua ahli sepakat bahwa masalah produksi sudah beres. Maka, sekarang tugas yang menjadi tanggung jawab kita, “bagi Negara yang kaya… tugas terpenting sekarang adalah ‘pendidikan bersenggang’ (education of leisure), sedangkan untuk Negara miskin adalah ‘peralihan teknologi’ 7].

Science, menurut Schumacher, tidak bisa melahirkan ide yang dapat dipakai untuk hidup. Ia tidak lebih dari suatu hipotesis yang bermanfaat untuk tujuan penelitian dan sama sekali tidak bisa diterapkan untuk menafsirkan dunia dan menyelenggarakan hidup. Maka, kalau ada orang yang ingin mencari pendidikan karena merasa bingung, merasa hidupnya tidak berarti, yang dicari tidak mungkin diperoleh lewat ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu ini menjelaskan berbagai hal tentang jalannya segala sesuatu di dalam alam dan teknik, tetapi tidak bisa menerangkan arti hidup dan melenyapkan rasa putus asa. Banyak ide pada abad ke-19 masih saja mewarnai kerangka berpikir manusia Barat yang menjadi suatu keniscayaan bagi “pembangunan manusia seutuhnya” di muka bumi 8] Ide-ide ini hendak membuang metafisika jauh-jauh. Sebab, ia tidak teruji, tidak terukur, tidak punya standar, atau tidak bisa diverifikasi. Hukum-hukum positif dan pragmatis seakan-akan patut menjadi gagasan-gagasan mulia yang hendak terus dilestarikan; di mana peranan ilmu-ilmu alam dan teknologi sudah mengambil porsi yang terbanyak dalam gagasan-gagasan itu.

Kritik atas optimism “peralihan teknologi” serta dua model teori sosiologi pembangunan yang dikemukakan kedua pemikir di atas memang tidak berlebihan. Keprihatinan mereka ini justru memberikan peringatan kepada kita; benarkah teori-teori pembangunan Negara maju (Barat) pantas dijadikan model pada pembangunan di Negara-negara dunia ketiga atau sedang berkembang - - termasuk Indonesia? Lebih-lebih kenyataan menunjukkan bahwa pola pikir masyarakat di dunia ketiga masih bersumber pada pola hidup (dan pola kerja) tradisional. Apakah model-model teori ini bisa dianggap sebagai satu-satunya saka guru bagi pembangunan, sementara dibalik kenyataan semua itu yang terjadi malah semakin bergantungnya Negara-negara sedang membangun pada Negara-negara maju? Apakah ideologi pembangunan semata-mata harus berbau ekonomis? Apakah ia harus teknologis? Dan lebih dari itu, apakah ia sekedar melulu proses produksi yang dilancarkan oleh teknologi demi terciptanya kemakmuran ekonomis? Padahal, soalnya adalah apakah dengan tercapainya kemakmuran itu pembangunan sudah dapat mengantar kita kepada pembebasan sejati bagi kemanusiaan kita itu.

Pola teknik, sebagaimana dikemukakan To Thi Ahn, telah membawa masyarakat modern pada pelbagai kemudahan hidup. Pola ini telah mengungkapkan kebebasan manusia pada penguasaan manusia atas dunia materi. Dan akhirnya pola ini dinilai pula sebagai suatu janji yang amat menggiurkan - - selalu menyuarakan janji-janji untuk meperoleh kemakmuran, kesejahteraan , dan kebebasan. 9] Menurut pemikir dari Vietnam ini, petualangan teknik adalah suatu ‘kecepatan’ dan “loncatan besar yang begitu cepat terjadi sehingga teknologi seolah hanya memuaskan dirinya sendiri.“ 10] Menggunakan istilah Alvin Toffler “kejutan masa depan” (future shock), Ahn mengemukakan bahwa hasil teknologi merupakan suatu penemuan yang satu menghasilkan penemuan lainnya sebelum orang memiliki cukup waktu untuk menyadari penemuan pertama. Sehingga, dengan perubahan teknologi yang menggila, manusia modern saat ini kehilangan arah, kehilangan kepercayaan pada diri sendiri, kehilangan keyakinan terhadap nilai-nilai dan iman, mengalami kemerosotan kepribadian, cemas, tertekan, acuh tak acuh terhadap hidup, dan penuh dengan kekerasan. Teknologi merupakan suatu momok baru yang berbeda dengan komunisme dan fasisme. Mengutip Erich Fromm, the revolution of hope, Ahn menulis, “Masyarakat yang semata-mata dikuasai mesin diarahkan untuk mendapatkan hasil sebanyak mungkin dan lalu menggunakannya, diatur oleh komputer, dan dalam proses ini manusia sendiri hanya menjadi satu bagian dari seluruh mesin itu . . .”11]

Kemudian Ahn melancarkan protes; “Maka, protes utama terhadap teknologi adalah bahwa ia mematikan alam, masyarakat, dan pribadi manusia. Alam diperkosa . . . Masyarakat dirusakkan oleh persaingan yang kejam, perpecahan dalam keluarga,tradisi, dan iman. Manusia sendiri diasingkan dari lingkungannya, masyarakatnya, dan juga dari dirinya sendiri. Ia berada dalam bahaya akan menjadi roda penggerak belaka dalam system produksi-konsumsi . . .”12]

Dengan “persona manusia” dan “petualangan teknik” (istilah yang digunakan Ahn), sebagaimana yang menjadi rumusan tradisi pemikiran filsafat Barat, kita sampai pada pertanyaan tentang ideologi pembangunan. Suatu pertanyaan sederhana yang mendasar: “Apakah pembangunan itu?” 13] Tentu saja, dalam memberikan jawaban, kita harus masuk ke dalam wacana filsafat untuk mengadakan suatu refleksi atas pembangunan - - lebih-lebih bila derap langkah pembangunan kita sudah berada dalam arus pengalihan teknologi dan pola-pola gaya hidup konsumtif. 14] Fenomena ini ternyata menggelitik kita untuk mempertanyakan makna apa yang sesungguhnya akan diperoleh dari “arah pembangunan“ kita. Apakah ia merupakan sejumlah bangunan fisik disertai kemudahan akibat system teknis-operasional, 15] yaitu dengan mekanisasi, standardisasi, otomisasi, yang pada gilirannya menjadi suatu represi atau penindasan yang pada hakikatnya membuat manusia teralienasi oleh dirinya sendiri (seperti dikemukakan Macuse)?

Ideologi pembangunan manusia yang disuarakan pada zaman Renaisans dan Aufklarung pada abad ke -15 dan ke-18 ke arah kemajuan, emansipasi, liberasi, dan otonomi diri memang bukanlah suatu gagasan baru. Bagi kita sekarang ini, gagasannya kurang lebih bagaimana cita-cita itu bisa menerjemahkan kebutuhan pokok dasar manusia, misalnya rasa aman, rasa adil dan rasa kasih sayang, yang memiliki harga diri. Semuanya dilandasi dengan mengacu pada asas kebersamaan yang ikut berpartisipasi dalam karya-karya pembangunan. Model inilah yang rasa-rasanya yang hendak didambakan oleh kemanusiaan kita, khususnya pada masyarakat dunia ketiga.

Sinyalemen Marcuse atas ideologi pembangunan cukup menarik, terutama dalam menghadapi deru dan gelombang arus pembangunan dalam masyarakat industry modern. Kemajuan teknik yang meresap dalam seluruh system penguasaan menciptakan bentuk-bentuk kehidupan yang mampu meredakan dan membungkam suara-suara yang menentang. Bahkan, teknologi sudah menjadi alat control yang paling efektif. Masyarakat modern dalam One Dimensional Man, sebagaimana disimpulkan J. Sudarminta, adalah masyarakat yang duduk dalam sebuah bus besar yang luks. “ . . .dengan peralatan teknis yang serba lengkap dan luks, berjalan lancar dan enak, para penumpangnya pun merasa puas. Tetapi orang tidak menyadari lagi ke manakah bus itu mangarah. Orang sudah terbius dengan kenikmatan untuk tinggal di dalamnya. Bahkan pengemudinya pun terbawa saja oleh mekanisme gerak motor “. . . terus maju seturut jalan satu-satunya yang membawa bus tersebut tanpa sadar bahwa jalan tersebut menuju ke jurang kebinasaan.” 16]

Marcuse mengemukakan bahwa jurang kebinasaan ini bermula dari arah perkembangan ilmu pengetahuan. Prinsip ilmu pengetahuan modern yang berpindah dari teori operasionalisme ke praktek operasionalisme turut memberikan sikap pada manusia dan masyarakat industry modern. 17] Masyarakat telah diberi sikap mental “scientism” dan sekaligus sikap mental “kemanfaatan” sebagai realisasi dari dua aliran filsafat Barat; positivism dan pragmatism. Maka, menarik ditinjau kembali makna filsafat pembangunan yang sekadar dicapai melalui segi ekonomis dan teknologis. Barangkali cita-cita ini justru dilihat bukan untuk mencapai kebahagiaan atau menciptakan manusia se-utuhnya. Tekanan pertama yang diberikan ialah bagaimana filsafat pembangunan bertolak untuk menghapuskan penderitaan. Soalnya sekarang adalah bagaimana merumuskan model atau teori pembangunan itu sehingga memiliki relevansi terhadap Negara-negara berkembang. Dapatkah pola hidup dan kerja tradisional mengikuti pola industrialisasi?

“kemajuan pribumi yang demikian menuntut suatu kebijaksanaan terencana, yang bukan memaksakan teknologi pada pola hidup dan kerja tradisional, tetapi memperluas dan memperbarui dasar-dasarnya, menghilangkan tekanan-tekanan dan hal-hal lain yang menyebabkan mereka tidak mampu mengembangkan eksistensinya secara wajar. Perombakan sosial, pembaruan kepemilikan tanah, dan penekanan laju pertumbuhan penduduk harus menjadim prioritas lebih dulu, dan bukan industrialisasi menurut pola masyarakat maju. Keadaan akan menjadi baik bila ‘para penghasil’ itu memiliki kesempatan mencipta, bekerja keras dengan ikhlas, mau maju, dan menentukan sendiri bagaimana dan mau kemana . . . . kemajuan yang baru ini mengandaikan perubahan dalam kebijaksanaan dua kekuatan (kapitalisme dan sosialisme - - RIY) yang kini menguasai dunia - - untuk mengikis habis neokolonialisme dalam segala bentuknya.”18]

Menurut Barrington Moore adalah suatu pemikiran yang “absurd” bila kita hendak mencari satu tesis mengenai masyarakat yang sempurna - - dimana tidak ada peperangan, kemiskinan, dan ketidak adilan yang mencolok mata.19] Namun, kemustahilan yang utopis itu niscaya menuntut terciptanya bentuk-bentuk masyarakat ideal. Marcuse membuahkan inspirasi bagi Ahn dalam rangka mencoba ‘menyintesiskan’ pandangan Timur dengan Barat - - mencari bentuk masyarakat yang ideal bagi negara-negara Timur. Kreativitas harus menjadi kata kunci bagi Negara-negara berkembang . . . jika Timur menerapkan rasa harmoninya ke dalam proses industrialisasi, maka akan ada banyak kesempatan mengamankan keseimbangan dan menghindarkan banyak bencana yang mungkin timbul.”20]

Tanpa mengecilkan arti pemikiran Marcuse yang “radikal” itu, bahkan dianggap “gila” oleh para mahasiswa yang tadinya memberikan dukungan kepadanya, suara yang didengungkan itu setidak-tidaknya merupakan refleksi terhadap filsafat pembangunan kita. Ia memaparkan sejumlah nilai dan norma bagi kemanusiaan kita di tengah-tengah dunia yang serba kompleks. Akhirnya, tanpa mau memberikan penilaian kritis atas pemikiran itu, rasanya ada suatu ungkapan Marcuse yang menunjukkan betapa ia pesimistis, meski cukup menarik kita renungkan; “Bagi manusia rasional, hak untuk menjadi takut adalah sesuatu yang paling penting yang diwarisi hari ini. 21] Tantangan bagi kita kini ialah bagaimana mengatasi “ketakutan” tersebut.



Keterangan;

1] Sindhunuta, 1983, Dilema Usaha Manusia Rasional, hlm 146.
2] Pada tahun 1974 Berger meluncurkan buku Pyramids of Sacrifice, sedangkan Schumacher
menghasilkan karya Small is Beautiful, yang terbit perdana pada tahun 1973.

3] Sepuluh tesis pertama tersebut sebagai berikut; 1) Dunia dewasa ini terbagi dalam kubu-kubu ideologi. Dengan penuh kepastian, para penganut masing-masing memberitahukan kepada kita dimana kita berada dan apa yang harus kita lakukan. Sebaiknya kita tidak mempercayai satu pun dari kubu-kubu itu. 2) Model-model ideologis yang utama mengenai perubahan social (termasuk pembangunan dunia ketiga) didasari oleh dua mitos yang dominan, yaitu mitos pertumbuhan dan mitos revolusi. Kedua mitos tersebut harus dibongkar kepalsuan-kepalsuannya. 3) Pembongkaran itu sendiri bukanlah tujuan, tetapi merintis kemungkinan-kemungkinan baru bagi pemahaman dan pembuatan kebijaksanaan politik. Hal ini terutama penting untuk penilaian atas model-model kapitalis dan sosialis mengenai perubahan social. 4) Ideologi kapitalis, yang didasarkan pada mitos pertumbuhan harus dibongkar kepalsuan-kepalsuannya. 5) Pertumbuhan kapitalis membebankan biaya-biaya manusiawi yang tinggi. Di banyak negarqa dunia ketiga biaya-biaya ini terlalu mahal. 6) Perolehan kapitalisme yang penting adalah produktivitas yang tiada tandingannya dan lembaga-lembaga yang menunjang kebebasan pribadi. Kasus demi kasus, semua perolehan itu harus ditimbang terhadap biaya-biaya. 7) Di Banyak Negara dunia ketiga penilaian itu kiranya menyebabkan dipilihnya kebijaksanaan politik yang bukan kapitalis. Kebijaksanaan itu tidak masuk akal di Barat. 8) Ideologi sosialis yang didasarkan pada mitos revolusi harus dibongkar kepalsuan-kepalsuannya. 9) Revolusi-revolusi social telah membebankan biaya-biaya manusiawi yang tinggi. Suatu penilaian atas perolehan sosialisme (seperti pembagian yang lebih adil atas barang-barang kehidupan) harus menimbang biaya-biaya ini, kasus demi kasus. 10) Para pengkritik kapitalisme benar kalau mereka menolak kebijaksanaan-kebijaksanaan politik yang menyetujui kelaparan pada waktu sekarang, sementara menjanjikan kemakmuran di hari esok (dan mereka benar kalau mempertanyakan janji itu). Para pengkritik sosialisme benar kalau mereka menolak kebijaksanaan –kebijaksanaan politik yang menyetujui teror pada waktu sekarang demi janji suatu tatanan yang manusiawi di hari esok (dan begitu pula kalau mereka mempertanyakan apakah hari esok seperti itu dapat dipercaya). Berger, 1982, Piramida Kurban Manusia, hlm.xxx.

4] Ibid, hlm 222.
5] Ibid, hlm 11.

6] Schumacher mengemukakan bahwa dunia modern terbentuk oleh metafisikanya, yang kemudian membentuk pola pendidikan, dan akhirnya menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, tanpa kembali ke metafisika dan pendidikan, dunia modern bisa disebut terbentuk oleh teknologi. Schumacher, 1979, Kecil itu Indah,hlm 139.

7] Ibid, hlm.13.

8] Schumacher mengemukakan enam ide pokok dari abad ke-19 yang masih tetap menghantui pikiran kaum terpelajar dan ilmuan dewasa ini: 1) Ide evolusi, yang mengatakan bahwa bentuk-bentuk yang tinggi berkembang dari bentuk-bentuk yang rendah, sebagai suatu proses alami dan otomatis. Selama lebih dari seratus tahun terakhir kita menyaksikan bahwa ide ini secara sistematis diterapkan pada segala segi kehidupan. 2) Ide persaingan (Darwin), the survival of the fittest, yang merupakan seleksi alami yang mau menerangkan proses evolusi dan perkembangan yang wajar dan otomatis itu 3) Ide Marx adanya bentuk-bentuk yang tinggi dalam kehidupan manusia - - - antara lain agama, filsafat dan seni - - hanya sekadar “tambahan yang diperlukan proses kehidupan material,” sekadar menutup –nutupi dan memajukan kepentingan-kepentingan ekonomi, karena seluruh sejarah umat manusia tidak lain adalah sejarah perjuangan kelas, sebagaimana Marx menyebut “Panthasmogaria”. 4) Ide Freud, yang menganggap semua bentuk getaran gelap dari bawah sadar sebagai akibat dari keinginan di masa kanak-kanak dan awal masa remaja yang tidak terpenuhi. 5) Ide relativisme, yang menolak segala yang mutlak, melarutkan segala norma dan ukuran, dan menenggelamkan ide kebenaran dalam pragmatism. Pengaruhnya terasa pula pada bidang matematika, yang oleh Bertrand Russel diberi batasan sebagai “bidang yang tak akan pernah kita ketahui apa sesungguhnya, atau apakah yang kita katakana benar.” 6) Ide Positivisme, yang sejak Aguste Comte (Bapak Sosiologi) terus mengalami “kejayaan.” Pengetahuan yang benar hanya bisa diperoleh lewat metode ilmu-ilmu alam, maka pengetahuan sejati harus berdasarkan pada fakta-fakta yang dapat diamati. Positivisme semata-mata tertarik pada know-how dan menolak kemungkinan adanya pengetahuan yang objektif mengenai arti dan tujuan. Ibid. hlm. 84.

9] Ahn, 1984, Nilai Budaya Timur dan Barat, hlm.62.
10] Ibid, hlm. 56.
11] Fromm, 1968, the revolution of hope, hlm 1. Sebagaimana dikutip Ahn, ibid, hlm 58.
12] Ibid
13] Wibisono, 1985, Ilmu Filsafat dan aktualitasnya dalam Pembangunan Nasional, hlm 16.
14] Heraty, 1984, Aku dalam Budaya, hlm 19.
15] Bdk Peursen, 1976, Strategi Kebudayaan , hlm 109-117; Wibisono, op.cit, hlm 16.
16] Sudarminta,1982, “Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern,” dalam Sastrapratedja (ed.), Manusia Multi Dimensional, hlm 156.
17] Marcuse, 1972, One Dimensional Man, hlm. 158.
18] Ibid, hlm 47-48.
19] Moore, 1968, “the society nobody wants : A look Beyond Marxism and Liberalism,” dalam Wolff &Moore (ed), the critical spirit, hlm. 401.
20] Ahn, op.cit. hlm, 96-97.
21] Wolff &Moore, op.cit.,hlm viii.