Selasa, 12 Februari 2013

Negara Tanpa “Recht”


 


 

    Apa yang kita sebut krisis multidimensi sebetulnya bersimpul satu, yaitu tiadanya Rechsstat. Kata recht disini menghimpun semua kebajikan atau moralitas public ; benar,adil, beradab, patut, syah, dan berharkat. Para pemikir politik mulai dari Aristoteles, Rousseau-Kant-Hegel, hingga ke Jhon Rawls,Ian Shapiro, dan Michael Sandel selalu menekankan moralitas ini.

    Sejak pengujung abad ke-18, moralitas public bertumpu pada kolektivitas politik egaliter nernama Bangsa, atau Nation yang lahir dari solidaritas kesejarahan dan kesatuan cita-cita besar politik.Serempak moralitas public juga lahir dari tuntutan peradaban akan niscayanya menghormati setiap harkat individu warga nation. Perpaduan antara rasa ber-nation dan penekanan pada harkat tiap warga nation inilah yang melahirkan Negara dengan system demokrasi. Aktualisasi sistemik dari moralitas public ini kemudian juga dikukuhkan di atas prinsip transparansi dan akuntabilitas, begitupula prinsip pemisahan kekuasaan dan kesetaraan di depan hokum. Sejak pengujung abad ke-18 itu, Negara-negara nation pelopor demoktasi modern di Amerika dan Eropa Barat kurang lebih berkiprah, bertumbuh maju, dan bersinar dengannya.

    Baik moralitas public maupun Negara hokum sama sekalu bukanlah milik eksklusif peradaban barat. Jepang sedari awal peradabannya dan terlepas dari sejumlah kekurangannya adalah co0ntoh cemerlang dari tangguhnya akar serta kiprah moralitas public menurut kaidah-kaidah kulturalnya sendiri. Di zaman kita, pancaran sinar moralitas pub lik di jepang mungkin adalah yang paling cemerlang di dunia.

    Di Nusantara, prinsip "raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah", adalah bagian sentral dari moralitas yang sama –"raja" adalah otoritas pertama dan utama dari semua urusan public. Merujuk pada kesaksian Profesor Matulada dan Profesor Anthony Reid, berabad sebelum kuku-kuku colonial mencengkram Sulawesi Selatan pada abad ke-20, pangngadereng dalam kultur politik Bugis jelas merupakan bangunan moralitas public dan sekaligus bangunan hokum yang sangat berwibawa.

    Rechsstat lazim diterjemahkan sebagai Negara konstitusional atau Negara hokum. Ia representasi dari dari bersatu dan bersenyawanya politik dan hokum. Disini politik dan hokum adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Persenyawaan ini niscaya lantaran konstitusi yang merupakan pedoman dan atau rangkaian patokan politik tertinggi Negara sekaligus menjadi hokum tertinggi. Ia menjadi tiang pancang sebab tujuan utamanya memang tak lain dari pemihakan dan penjunjungan nyata pada upaya bersama menuju kesejahteraan, kemajuan, dan kebahagiaan sebangsa.

    Lazimnya, entitas ataupun ideal-ideal Rechsstat merupakan kepanjangan dari ideal-ideal nation dan demokrasi. Dan konstitusi, Rechtsstat, adalah cetak biru nation dan demokrasi sekaligus. Konstitusi adalah maklumat nasion, bukan maklumat Negara. Itulah sebabnya maka Js Mill menekankan bahwa konstirusi haruslah disusun oleh the best minds of the nation.

Nation tegak di atas prinsip-prinsip solidaritas,inklusivisme keadaban, kesaling percayaan, dan pluralitas. Demokrasi bertumpu pada prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, kebebasan, rasionalitas politik dan supremasi hokum. Kuatnya kohesi, affinitas bahkan ketumpangtindihan antara prinsip-prinsip nasition dan prinsip-prinsip demokrasi membuat nasion dan demokrasi dengan sendirinya terjalin kedalam suatu hubungan simbiosis – konstruktif. Begitulah, maka tiap demokrasi sehat bertujuan untuk memelihara berlakunya kesepuluh prinsip di atas agar semua warganegara bisa terus melangkah maju guna meujudkan ideal-ideal kemerdekaan dan peradabannya. Dengan konstitusi nation mengontrol dan mengarahkan Negara ataupun masyarakat.

Janji Yang Diingkari

    Pada zaman kita sulit membayangkan konstitusi atau Rechsstaat diluar konteks nation, dan demokrasi. Toh kerap dilupakan bahwa baik Negara (staat) maupun hokum (Recht) sama-sama berinduk pada dan merupakan derifat nasion dalam paradigm demokrasi. Sejatinya, kedaulatan Negara hanyalah pinjaman dari kedaulatan nasion. Bisa dikatakan bahwa Negara melangkah maju atau terpuruk mundur secara berbanding lurus dengan pasang surut penyantunan serempaknya atas nasion dan demokrasi.

    Atas dasar nalar ini, suatu Negara berhenti menjadi Rechsstaat manakala para pelaksana Negara dan/atau aparat hukum tak lagi mengindahkan nation, dalam paradigm demokrasi. Tanpa berpatokan kepada nation, dalam konteks itu, bukan hanya Recht yang akan lenyap, melainkan staat sendiripun akan kehilangan induk dan tujuan dasarnya. Tanpa induk dan tujuan dasar, Negara akan menjadi liar dan seketika akan menjadi mangsa para perakus kuasa dan harta dalam pemerintahan. Ia juga menjadi mangsa para pemodal besar nasional maupun internasional yang semata-mata di dikte oleh hasrat menggaruk untung yang sebesar-besarnya tanpa memedulikan akibat-akibat buruknya pada Negara, masyarakat dan negeri di mana mereka berkiprah.

    Ketika para pelaksana Negara mencampakkan nasion induknya, ketika itu pulalah Negara konstitusional batal. Disitu Negara kehilangan pijakan untuk memihak dan menjunjung ideal-ideal berbangsa. Begitu konstitusionalitas lenyap, kinerja politik dan hukumpun ikut meliar. Keterpaduan antara keduanya sirna. Sebab dibawah Negara tak berinduk dan nihil moralitas, baik praktik politik maupun praktik hokum tak lagi bertumpu pada Recht. Dari sini tinggal dua opsi yang menunggu Negara; Machstaat atau hokum rimba !

    Rapor atau kinerja seluruh rezim dan/atau pemerintahan di tanah air sejak proklamasi kemerdekaan bisa diukur dan dijelaskan dari penalaran dan patokan –patokan Rechsstaat di atas, termasuk rezim orde reformasi yang kemurnian cita-citanya telah dipelintir sedari awal. Dari sini kita mengetahui bahwa satu-satunya rezim yang menegakkan Rechsstaat hanyalah apa yang disebut Herb Feith, demokrasi konstitusional. Itu berlangsung hanya sekitar delapan tahun. Rechsstaat mulai dihianati sejak demokrasi terpimpin.

    Kita juga tahu bahwa penghianatan terbesar atas Rechsstaat berlaku mpada Orde Baru dan Orde Reformasi. Tsunami nasional dari ketiadaan hokum bermula di bidang politik pada 1965 saat Negara kita menjelma Machstaat. Hingga akhir orde baru, gelombang besarnya yang berulang berkali-kali juga melanda bidang ekonomi. Lalu Tsunami itu pecah lagi secara jauh lebih luas di awal Orde reformasi. Ini menggerogoti sendi-sendi politik, hokum dan ekonomi secara sama masifnya. Sebab, dipelintir sedari awal hingga kini, Orde Reformasi benar-benar mendekati situasi hokum rimba—total lawlessness—terlepas dari pernak-pernik perubahan system pemerintahan dipermukaan.

    Kesalahan terbesar selanjutnya adalah dijadikannya gerilya dictum impunitas sebagai patokan orde reformasi hingga kini. Dalam konteks inilah munir –pahlawan nasional sejati pembela rakyat kecil - - dibantai begitu biadab. Disini kesalahan terbesar Presiden SBY adalah penolakan umumnya untuk melakukan terobosan terobosan eksekutif ditengah realitas Negara dalam keadaan semi darurat. Padanya hingga kini tak kita temukan gut kepemimpinan . Lakunya ingkar janji dan sama sekali tidak presidensial ditengah tengah kerinduan nasional untuk mengakhiri kondisi Lawlessness dan kegilaan korupsi.

Itikad baik pemimpin

    Disini pulalah kita mempertanyakan itikad baik pimpinan dan anggota DPR yang secara kicik berusaha melemahkan KPK lewat revisi Undang-Undang dengan alas an konyol. Mereka mencampakkan kenyataan betapa parahnya kanker korupsi di Tanah Air dan betapa Ia tiada hentinya dilemahkan dari atas dengan pelbagai muslihat selama ini. Ibarat para psikopat, orang-orang yang mengaku terhormat di DPR buru-buru mengusung dalih kembali ke system hokum normal sementara Negara kita masih tetap kental diharu biru oleh korupsi sebagai extraordinary crime dari para extraordinary bastards!

    Sikap yang sama juga kita tujukan kepada jajaran pimpinan kepolisian. Bagaimanakah mereka bisa memelihara wibawa aparat penegak hokum jika mereka sendiri pun menempatkan diri diatas hokum lewat tindakan duplikasi penyelidikan yang siapa pun tahu bersifat pengecut? Kemanakah mau ditaruh butir ketiga missi polri untuk " menegakkan hokum secara professional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hokum dan hak azasi manusia menuju kepada adanya kepastian hokum dan adanya rasa keadilan"?

    Disini, perilaku kalangan DPR dan saudara saudara kita di kepolisian tak ubahnya dengan pepatah; "tiba di mata dipicingkan tiba diperut dikempiskan" Dalam kaitan ini, apresiasi yang tulus mesti kita berikan kepada pimpinan Mahkamah Konstitusi ketika menegaskan bahwa upaya pelemahan KPK lewat revisi undang-undang sama sekali tak bisa dibenarkan. Sama halnya, kita pun sungguh terwakili oleh suara resi KH Said Agil Siraj, pemimpin nahdatul ulama, yang bari-baru ini memberikan peringatan kepada instansi perpajakan serta mencanangkan imbauan "hukuman mati" bagi para koruptor kakap di Tanah Air. Pada peringatan dan imbauan itu terbersitlah kerinduan kita bersama bagi kebangkitan harkat bangsa dalam rangka mewujudkan ideal-ideal kenerdekaan kita.

    Kita mensyukuri integritas, kompetensi, keberanian dan keterpaduan jajaran pimpinan KPK. Bisa dikatakan bahwa KPK dibentuk untuk mengakhiri praktek dictum impunitas pada orde reformasi. Para pemimpinnya sedang berjuang keras untuk menegakkan Rechsstat pad titik sentral.

    Semua komponen masyarakat beradab di Tanah Air waJib bahu membahu mendukung tugas suci KPK untuk memberantas penggila korupsi sistemik ditubuh Negara kita hingga keakar-akarnya. Di Negara manapun wabah korupsi adalah maha kutukan! Sangatlah mendesak bahwa seluruh energy nasional haruslah pertama-tama dikerahkan pada pemberantasan kejahatan luar biasa ini. Untuk itu, kita kembali harus menegaskan eksistensi nation serta kemutlakannya sebagai induk dan junjungan Negara.

    Kita tahu bahwa hamper semua pelanggaran Rechts atau penyalahgunaan kekuasaan yang menciptakan krisis multidimensi bermuara pada korupsi. Maka pemberantasan korupsi merupakan cara paling efektif bukan hanya untuk mengakhiri krisis multidimensi itu, melainkan juga untuk menegakkan Negara hokum - - Rechtsstat - - dalam artikata yang sesungguhnya. Tanpa Negara hokum, nation tak akan bermartabat. Dalam konteks kehalusan tutur kata pada kultur jawa, peringatan dan imbauan para pemimpin NU sesungguhnya laik dibaca sebagai seruan teramat keras kepada kawanan extra ordinary bastards intra Negara yang terus bersekongkol menggarong dana Republik kita: "kami sudah lama jijik pada kalian! Enough is enough!" dan secara tegas, kita semua beserta mereka. (Tulisan Mochtar Pabottingi, Kompas tgl 4 0ktober 2012)