Rabu, 06 Juli 2011

FILSUF HERBERT MARCUSE (1898-1979) “MASYARAKAT SATU DIMENSI”

Kalam.

    Pada awal medio maret 1997, sahabat Alm. Ricardo Iwan Yatim menulis di dalam Prakalam(sebuah Apologia) tentang ketertarikannya tentang Marcuse dan Habermas dari Mazhab Frankfurt. Itu, merupakan daftar minat selang beberapa tahun silam (1974-1978) ketika almarhum masih kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjahmada. Alasan kedua adalah ketika menyimak buku suntingan Peter Beilharz, Sozial Theory: A Guide to Central Thinkers (1992), dan ketika beliau mengikuti kuliah-kuliah di Program Studi Ilmu Filsafat, Program Pascasarjana (S2) Universitas Indonesia. 

Selanjutnya, beliau menulis, "gagasan naskah buku Menggugat Ideologi Abad XX; Kritik atas Pembangunan manusia" Penerbit Yayasan bentang budaya diilhami oleh perkuliahan yang menarik dari mata kuliah 'Teori-Teori ilmu sosial' yang dajarkan oleh DR Thamrin Amal Tomagola, dan F.X Mudji sutrisno (Kritik Ideologi)".

Apabila anda ikut membaca tulisan ini seperti yang di muat di Blog saya muin_angkat blogspot .com, maka ini hanyalah sebagai suatu cara mengenang almarhum RIY, sebagai salah satu sahabatnya (diantara yang lain, faisal haq dan djoko pitoyo) yang suka diskusi, dan produktif penuh dengan ide-ide kreatif semasa berteman sebagai mahasiswa filsafat. "Monograf untuk meracik kelima filsuf Lukacs, Gramsci, Marcuse, Althusser, dan Habermas, tidak berpretensi untuk mempertautkan benang merah untuk suatu 'sintesis ilmiah' atau menghasilkan 'rumusan baru', " tulis RIY. (a.m.a.)

Tatkala ditanya komentarnya mengenai Herbert Marcuse, dengan garang SidneyHook mengatakan , 'marcuse adalah keledai! Dia seorang filsuf yang patut dikasihani.' Pendapat Wilard van Orman Quine masih bermurah hati meski mau membikin perhitungan terhadap Marcuse : "Saya menantangnya! Tidak turutkah anda?" Pada tahun 1969 sebuah surat kabar local yang merupakan kelompok penekan (pressure group) politik di Sandiego, Amerika Serikat, memaksa Marcuse mengundurkan diri dari kegiatan akademik. Kala itu Ia banyak mendapat sorotan. Ia bahkan menerima ancaman akan dibunuh! Menyadari hal itu Marcuse berujar, " Jika ada orang yang betul-betul percaya bahwa pikiran saya bisa membahayakan masyarakat , ia dan masyarakat sungguh-sungguh dalam keadaan sakit."

Sebagai salah seorang inspirator gerakan 'kiri baru' (the new left),1) doktrin Marcuse tentang system politik dan system social dinilai lebih radikal daripada kaum komunis ortodoks. Keradikalan ini rupa-rupanya menjadikan namanya termasyhur dikalangan sangat luas antara era-1960-an dan 1970-an. Para pengagumnya malah menjulukinya 'sang nabi'. Nabi yang menjadi 'inspirator revolusi mahasiswa tahun 1968', nabi bagi kaum hippy dan 'generasi bunga' (flower generation), nabi yang menyuarakan pendapat mereka, dan nabi yang mencanangkan gejala yang melanda serta mengancam dunia dan umat manusia. 


Buah pikirannya ternyata melekat dan telah mendarah daging bagi kelompok-kelompok mahasiswa militan. Gagasannya menjadi salah satu pangkal kerusuhan mahasiswa di Amerika Serikat dan Eropa Barat - - terutama dalam gerakan mahasiswa di Perancis yang dikenal dengan sebutan 'mouvement du 22 Mars'. "Revolusi mahasiswa akan mengantar kita pada suatu pola baru," kata Maecuse suatu ketika. Namun sewaktu para mahasiswa menuntut diberi rumujsan-rumusan praxis, sang nabi menolak. "tugas filsuf dan filsafat bukan menyumbangkan suatu rencana aksi - - melainkan suatu tinjauan kritis dan analitis," ujar Marcuse memaparkan alasan, "Saya selalu menolak ide dungu sebagai "bapak kiri baru."Generasi ini tidak membutuhkan seorang bapak."

Herbert Marcuse lahir di Berlin, 19 juli 1898, dan berasal dari keluarga menengah atas keturunan Yahudi. Ia belajar filsafat dan susastera di Universitas Berlin dan Universitas Freiburg. Sempat mengambil bagian dalam kesatuan militer Jerman pada Perang Dunia I, seusai perang ia menjadi anggota partai Sosial-Demokrat, yang kemudian ditinggalkannya pada tahun 1919. 

Pada tahun 1923 ia meraih gelar Doktor di Universitas Freiburg dengan disertasi mengenai susastra. Setelah berapa lama bertualang di bidang penjualan dan penerbitan buku, pada tahun 1929 Marcus kembali ke Freiburg dan melanjutkan studi filsafat pada Edmund Husserl dan Marti Heidegger. Seperti Jean Paul Sartre, Marcuse menjadi seorang asisten Heidegger. Dibawah bimbingan Heidegger, pada tahun 1932 ia menyelesaikan "habilitationsschrift" 2) berjudul Hegels Ontologie und die grundlegung einer Theorie der Geschichlichkeit.
 
Pengaruh Husserl, lebih-lebih Heidegger sangat menentukan masa depan pemikiran Marcuse. Namun, karena ia dianggap terlampau kekiri-kirian dan memiliki simpati yang berlebihan kepada Marxisme, hubungannya dengan Heidegger menjadi renggang pada pada masa akhir studinya. Sejak tahun 1940 Marcuse sebetulnya tidak tercacat lagi sebagai anggota Mazhab (sekolah) Frankfurt.3), Namun, bagaimanapun, peran dan pengaruh Marcuse sangat berharga pada kelompok itu. Mula-mula ia menjadi anggota peneliti Lembaga ini pada cabangnya di Jenewa. 

Pada tahun 1934, bersama anggota Mazhab Frankfurt lainnya, ia pindah ke Amerika serikat dan untuk beberapa saat bergabung dengan sekelompok imigran Jerman yang radikal. Ia lalu mengubah kewarganegaraannya menjadi warga Negara Amerika serikat tahun 1940. Dan selama PD II ia bekerja untuk pemerintah pada Office of Strategic Service dan State Department di Washington DC. Seusai perang, Marcuse diangkat sebagai kepala seksi Eropa Timur pada Office of Intelligence Research yang menyediakan laporan buat agen-agen rahasia, seperti Badan Intelijen AS (CIA). Pada tahun 1951, disamping memberikan serangkaian kuliah, ia diangkat menjadi staf ahli Russian Instutute di Universitas Columbia. Setahun kemudian ia pindah ke Universitas Harvard untuk melakukan pekerjaan yang sama di Russian Research Centre.

Atas undangan Abraham Sachar, Rector Universitas Brandeis, di Waltham, Massachusetts, pada tahun 1953 dibenum menjadi guru besar politik dan filsafat. Masih tercatat sebagai dosen di Brandeis, ia diangkat sebagai direktur urusan studi pada Ecole Pratique des hautes Etudes di Paris, Perancis, untuk beberapa waktu lamanya. Dua belas tahun di Brandeis, setelah mengalami sejumlah percekcokan dengan Sachar, Marcuse pindah ke San Diego untuk memenuhi undangan Universitas California (UCLA). Ia mengajar di kampus San Diego sampai dipaksa meninggalkan kursi professor pada tahun 1970 oleh sekelompok penekan politik di kota itu. Walaupun selalu mendapat ancaman demi ancaman pistol, ia terus menetap di San diego. Hingga akhirnya, pada 29 juli 1979, 10 hari setelah merayakan usia ke-81, filsuf yang disebut-sebut sebagai 'nabi abad ke-20' mangkat ditanah tumpah darahnya. Di kota Strenberg, Jerman, Marcuse mengembuskan nafas terakhir ketika sedang memenuhi undangan Jurgen Habermas, bekas - anggota Mazhab Frankfurt, yang waktu itu menjabat direktur Max Planck Institut.
                                                                        *************

Diantara anggota Mazhab Frankfurt, Marcuse dinilai sebagai seorang teoritisi yang paling kuat, apalagi karena corak filsafatnya lebih sistimatis. Disamping tidak pernah terlibat dalam penelitian empiris, Marcuse - - berbeda dengan Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno - - cukup banyak dipengaruhi oleh fenomenologi dan filsafat eksistensi. Mazhab Frankfurt mau mengupayakan suatu penafsiran kembali atau mau memberikan interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran Marx. Hal ini dapat dimengerti karena kala itu ajaran Marx telah banyak diselewengkan para politikus, lebih-lebih sesudah revolusi Bolsheviki (Revolusi Oktober 1917) di Rusia, yaitu sebuah revolusi yang sangat menentukan sejarah Marxisme internasional - - tetapi juga penuh pertumpahan darah. Menyadari hal ini, Horkheimer dan kawan-kawan berkeyakinan bahwa untuk mengahadapi persoalan masyarakat, para cendikiawan harus turun tangan dan sekaligus memberikan teori-teori ilmiah sebagai sumbangan pemikiran yang konkret.

Ajaran Marx yang melatarbelakangi revolusi bolsheviki harus dilacak kembali dan dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan teoritis. Pemikiran Marx juga harus ditempatkan dalam rangka humanitas kemanusiaan - seperti pada "Naskah-Naskah Prancis" era Marx muda. Tidak aneh kalau kelompok ini disebut sebagai kaum neo-Marxis. Apalagi, menurut Mazhab Frankfurt, Marx masih bermanfaat untuk memberikan analisis pada perkembangan masyarakat. Profesor Carl Grunberg, direktur pertama Mazhab ini sempat mengatakan bahwa "metode yang diajarkan sebagai petunjuk memecahkan persoalan-persoalan kita adalah metode Marxis." Sedangkan Hork heimer pengganti Grunberg, menambahkan bahwa "doktrin Marx dan Engels masih sangat diperlukan untuk memahami dinamika masyarakat… "Sehubungan dengan analisis perkembangan masyarakat, pada akhirnya diperkenalkan filsafat yang disebut "Teori kritis Masyarakat" (Eine Kritische Theorie der Gesellschaft) atau Teori kritis.

Teori ini dilatarbelakangi ajaran-ajaran George W, Hegel, Marx dan Sigmund Freud. Teori ini tidak netral, berpikir secara historis, memiliki kesatuan berpikir antara teori dan praxis, dan akhirnya bersifat pembebasan atau emansipatoris 4). Hegel tercatat sebagai pemikir pertama yang mempengaruhi lahirnya Teori kritis karena memberikan inspirasi konsep "dialektika" yang sangat penting - - terutama juga karena ada hubungan jelas antara filsafat Hegel dan Marx. Minat terhadap psikoanalisis Freud banyak membantu dalam usaha meneliti persoalan-persoalan social. Sekurang-kurang nya psikoanalisis Freud dapat membantu dan sekaligus "menyelamatkan" pemikiran revolusioner Marx yang dianggap sebagai metode yang paling tepat dalam rangka menyelidiki masyarakat.

Studi kritis terhadap ketiga filsuf ini - - Hegel, Marx, dan freud - - banyak dikerjakan Marcuse. Dua buku Marcuse, Reason and Revolution (1941) dan Eros and civilization (1955), kerap disebut sebagai karya-karya resmi Mazhab Frankfurt. Buku Reason and Revolution mencerminkan pernyataan pikiran kelompok ini atas masa peralihan konsep Hegel ke Marx. Marcuse dalam buku itu mengatakan bahwa Hegel telah membawa filsafat pada ambang pintu negasi antara bentuk lama dan bentuk baru dalam teori kritis, antara filsafat dan Teori social. 

Sedangkan usaha Marcuse mempelajari Freud, terutama percobaan untuk memasukkan psikoanalisis kedalam ajaran Marx, menghasilkan buku Eros and Civilization. Proyek ini merupakan suatu gagasan yang paling ambisius dan baru sama sekali, yaitu suatu usaha menyintesiskan teori Freud dengan ajaran marx; membaca Marx lewat Freudian, dan sebaliknya membaca Freud melalui kacamata Marxian. Gagasan "Freud- Marxian ini mula-mula mendapat banyak kecaman.Ada yang menuduh Horkheimer dan kawan-kawan sudah merongrong ortodoksi marxime, ada yang menuding upaya ini sebagai suatu 'eklektisisme' belaka, bahkan ada pula yang menganggap usaha tersebut sebagai suatu pekerjaan yang tolol dan dungu. Kendati, bagi Mazhab Frankfurt, penafsiran psikoanalisis Freud sangat dibutuhkan dalam menghadapi masyarakat.

    Marcuse menunjukkan bahwa pada psikoanalisis Freud terdapat dua aspek yang sebetulnya berbeda. Di satu pihak ajarannya bersifat psikologis, sedangkan di pihak lain bersifat sosiologis, yakni sejarah individu, sejarah manusia dan kebudayaannya. Kedua hal ini tidak boleh dipertentangkan, tetapi harus saling mempengaruhi. Psikologi harus menempatkan individu sebagai mahluk yang ditentukan oleh kebudayaan dalam kenyataan social, sedangkan sosiologi menempatkan struktur masyarakat dalam kenyataan psikologis. Itu sebabnya Marcuse menilai bahwa kepapaan kaum tertindas (buruh) yang menjadi pokok soal Marx berbeda dengan kelimpahan bagi suatu masyarakat industry modern yang harus diberi penafsiran melalui ajaran Freud. 

Ramalan Marx tentang revolusi kaum proletar ternyata tidak pernah berlangsung. Kapitalisme liberal yang berpedoman kepada system pasar dan persaingan bebas terbukti kemudian hancur dan diganti dengan kapitalisme monopoli yang ditentukan oleh campur tangan Negara. Marx mau memberikan suatu pemisahan antara masyarakat kapitalis dan Negara. " Kalau masyarakat komunis terwujud, Negara akan lenyap," katanya. Disitu kekeliruan Marx. Padahal dalam perkembangannya (sampai hari ini) Negara dan masyarakat (kapitalis) merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Negara adalah produk suatu masyarakat; dan sebaliknya, masyarakat merupakan produk dari Negara.

Marx mengemukakan bahwa kesadaran manusia dalam berbagai bidang kehidupan selalu ditentukan oleh keadaan materi ekonomis, meskipun ia tidak memberikan suatu alas an mengapa kenyataan social ini bisa menentukan kesadaran itu. Karena itu, menurut Marcuse dan kawan-kawan, Marxisme membutuhkan teori psikoanalisis (Freud) supaya bisa mempertajam kritik ideology Marx. Peranan ini diberikan kepada psikoanalisis karena pandangan marxisme dalam rangka sejarah dan analisis psikologis belum cukup. Tanpa Freud, analisis murni Marxisme tentang dunia tidak mendalam, disamping tidak cukup radikal agar dapat memahami revolusi. 

Marcuse menetapkan Marxisme pada komponen psikis melalui Freud, dan menetapkan Freud pada dimensi sejarah lewat Marx. Ia mendemonstrasikan kemumgkinan – kemungkinan pembebasan psikis pada Freud sebagai dasar untuk menggali kemungkinan-kemungkinan revolusioner Marx; dan pada saat yang sama, ia juga memanfaatkan kepastian Marx tentang upaya menaklukkan alam sebagai dasar untuk membuka kemungkinan-kemungkinan sejarah bagi pemecahan abadi yang ditemukan Freud antara 'ego' dan 'id.'5) Realitas sejarah dan konsep Freud yang sulit dipahami itu merupakan titik tolak Marcuse - - maksudnya, sebagaimana dikemukakan di atas, untuk 'menyelamatkan' pemikiran Marx dalam rangka memahami masyarakat modern yang berkelimpahan.

Marcuse melancarkan kritik tatkala masyarakat industry modern ditandai oleh perkembangan teknologi yang amat mengagumkan , yaitu suatu gejala yang dianggap sebagai ukuran dari segala kemajuan. Marcuse menyebutnya justru sebagai suatu krisis yang menunjukkan kemerosotan masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan fungsi dari keberuntungan pada masyarakat. Perbaikan hidup, jaminan kesehatan, kemudahan-kemudahan,semuanya telah diperoleh. Pokok persoalan masyarakat modern ini adalah kelimpahan (affluent). Zaman sudah mencapai titik perkembangan dimana produktivitas kerja demikian besar, sehingga manusia sanggup melakukan apa saja demi memenuhi keinginannya dan kebutuhannya. Ini adalah suatu 'ketimpangan.' Alasannya, mitivasi ekonomi dan perubahan social - - atas dasar pemikiran revolusioner - - yang ditawarkan Karl Marx (1818-1881) tidak bisa digunakan kaum pekerja (buruh) telah 'larut' dalam system yang ada. Naluri-nalurinya sudahdibentuk dan dipengaruhi, sehingga keinginan, kebutuhan dan minat mereka menjadi konformistis.

Kenyataan ini, kata "sang nabi" tak sehat. Masyarakat modern adalah masyarakat yang sakit, sebuah masyarakat yang hanya berpikir dan bertindak dalam satu dimensi (one dimension), yaitu satu masyarakat yang seluruh aspek kehidupannya diarahkan pada satu tujuan belaka. Masyarakat semacam ini bersifat represif dan totaliter. Kendati memperoleh banyak kemudahan, manusia tetap ter-alienasi - - sebagaimana dikemukakan Marx pada abad ke-19. Manusia telah direpresi oleh masyarakat secara keseluruhan; mereka terbius menjadi 'manusia satu dimensi', sementara kebebasan sebagai individu sudah terikat. Dan yang paling mengerikan dan menyedihkan, kekuasaan teknologi ternyata telah membuat manusia kehilangan kesadaran kritisnya. Ini semua dituturkan Marcuse lewat buku best seller - - yang kerap disebut sebagai 'kitab suci' kelompok the new left - - berjudul One Dimensional Man (1964).

Lalu, bagaimana ciri masyarakat industry atau teknologi modern ini? Menurut Marcuse, ada tiga cirri khas utama. Pertama, masyarakat berada dibawah kekuasaan prinsip teknologi, yaitu suatu prinsip yang segala tekanannya dikerahkan untuk memperlancar, memperluas dan memperbesar produksi. Kemajuan manusia disamakan dengan terciptanya perluasan teknologi. Kekuasaan teknologi sudah mencakup seluruh bidang kehidupan; tidak hanya meliputi bidang ekonomi saja, tetapi meliputi juga bidang –bidang lain; politik, pendidikan dan budaya. 

Kedua, masyarakat menjadi irasional secara keseluruhan. Sebab terjadi kesatuan antara produktivitas (penghasilan) dan destruktivitas (penghancuran). Kekuatan produksi bukan digunakan untuk perdamaian, melainkan untuk menciptakan potensi-potensi permusuhan dan kehancuran, misalnya untuk persenjataan. Semua pihak setuju bila anggaran senjata dan pertahanan perlu ditingkatkan. Padahal, ini tidak masuk akal. Namun, demi kelangsungan pertahanan, anggaran militer harus terus bertambah. Itu sebabnya destruktivitas adalah hukum batin produktivitas. Maka masyarakat industry modern menampakkan sifat "rasional dalam detail, tetapi irrasional dalam keseluruhan." 

Dan ketiga, masyarakat berdimensi satu. Inilah ciri yang paling fundamental. Segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan, yakni meningkatkan dan melangsungkan satu system yang telah berjalan. Manusia tidak memiliki lagi dimensi-dimensi lain; bahkan, dengan satu tujuan itu, dimensi-dimensi lain justru disingkirkan.

Sejarah mencatat bahwa manusia - - dalam industry modern - - memiliki kemungkinan yang objektif agar dapat merealisasi pemuasan akan kebutuhan kebutuhannya. Tetapi yang terjadi sesungguhnya, manusia tetap saja terhalang karena adanya suasana represif. Peran dan peluang ilmu pengetahuan dan teknologi memang amat besar. Ukuran rasionalitas masyarakat adalah rasionalitas teknologi. Manusia dan masyarakat masuk ke dalam perangkap, penguasaan, dan manipulasi teknologi. Teknologi mempu menggantikan tenaga manusia bukan saja dalam bidang industry, tetapi juga dalam seluruh mata rantai kehidupan. Asalkan ia dapat dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasi, atau ditangani, berarti ia sudah terjerat dalam system yang mutakhir ini. 

Teknologi yang tadinya diciptakan sebagai alat emansipasi dari kekejaman alam, kini malah dipakai untuk menindas atau merepresi manusia. Karena itu menurut Marcuse hal yang menonjol dalam mayarakat modern adalah 'toleransi represif,' yakni toleransi yang member kesan seolah-olah menjanjikan kebebasan yang luas, padahal maksudnya tidak lain dari menindas. Kemanusiaan, kebebasan, otonomi dan social life tidak diberi kesempatan, semuanya sudah menjadi alat. 

Lucunya, masyarakat demikian, menurut Marcuse, lebih suka mempertahankan status quo itu; apakah system kapitalisme atau para penganut system sosialisme/komunisme. Masyarakat modern juga tidak menunjukkan adanya penghapusan kelas - - sebagaimana yang dicanangkan Marx. Bedanya,rakyat banyak (termasuk kaum buruh) mkendukung kelangsungan system tersebut dan sekaligus ikut pula dalam system yang sudah begitu mapan. Marx mengemukakan bahwa kaum buruh mengeluh akibat pekerjaan yang berat dan membosankan, ditambah pula akibat upah kerja yang amat rewndah dari kaum modal, sementara Marcuse mengatakan kini kaum buruh tak mengeluh lagi dengan kerja kerasnya karena pemuasan kebutuhan terpenuhi. Kaum buruh tidak reaksuoner lagi; mereka sudah menjadi para pembela system kerja itu sendiri.

Lain halnya ketika Marx mencanangkan "pertentangan kelas" - - antara kaum proletar dan kaum borjuasi. Kaum proletar menjadi tertindas akibat turutnya kaum borjuasi dalam kekuasaan, yang memaksa agar produktivitas terus ditingkatkan. Akhirnya kaum proletar Cuma punya satu pilihan; hidup dan revolusi ! Ini berbeda dalam abad ke-20. Kini telah terjadi suatu masyarakat yang berkelimpahan, "the affluent society," di mana semua kebutuhan manusia terpenuhi. Meski kaum buruh tidak merasa dirinya diperbudak lagi, masih ada penindasan dalam bentuk berbeda. Energi fisik yang dibutuhkan untuk bekerja memang semakin berkurang, tetapi mirama kerja yang rutin, monoton, terkungkung, dalam bidang masing-masing, menimbulkan ketegangan-ketegangan psikis. Keadaan buruh atau budak menjadi terselubung. Ia tidak lagi ditentukan oleh taanya kepada pemilik modal. Keberadaannya diukur melulu sebagai alat - -pemerosotan martabat manusia menjadi benda.

Dalam masyarakat teknologi modern, peran manusia menjadi tidak menonjol. Teknologi sudah merupakan ungkapan kepentingan pribadi, bahkan kepentingan golongan yang dipaksakan pada massa banyak. Potensi emansipasi yang ada dalam diri individu tenggelam dalam teknologi. Masyarakat menjadi ter-alienasi; ia telah mengasingkan manusia dari kemanusiaannya. Akibatnya manusia semakin tak sadar bahwa mereka berada dalam keadaan teralienasi atau terasing. 

Teknologi membangkitkan keinginan agar system tersebut dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. Manusia seolah terjepit dalam satu lingkaran. Di satu pihak, semakin besar tingkat produktivitas memungkinkan peningkatan konsumsi yang besar pula; sedangkan dipihak lain, satu-satunya alas an bagi konsumsi ialah dengan menjamin berlangsungnya produktivitas. Alat-alat produksi berkat keampuhan teknologi - - dengan mekanisasi, standardisasi, otomatisasi - - seharusnya dapat membebaskan manusia dari keharusan kerja industry kerja mengakibatkan "ideology" instrumental memasukim bidang kehidupann lainnya. Meski, pada kenyataannya, tuntutan ekonomis dan politis memaksa untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan waktu kerja. Akibatnya, manusia hanya mampu memperoleh pemuasan kebutuhan–kebutuhan semu belaka. Mereka tidak tahu apa mendorongnya membeli dan menggunakan sesuatu; semua ini bukan timbul dari lubuk hatinya, melainkan hanya Cuma sekadar melihat orang lain. Ia menjadi tidak otonom dalam bersikap.

Teknologi bukannya lagi menjadi sarana pembebasan, melainkan menjadi sarana penindasan. Manusia seharusnya mendobrak tekanan tersebut untuk mencapai kebebasannya. Namun, ini malah direpresi oleh masyarakat secara keseluruhan, membuat manusia terbius, sehingga pandangannya menjadi 'manusia satu dimensi'. Disini timbul satu pertanyaan ; dengan tidak memiliki kesadaran akan dirinya, apakah ia mempu memanfaatkan teknologi bagi kepentingannya sendiri, ataukah teknologi telah mengarahkan kepentingannya? Kalau teknologi yang mengarahkan manusia, tentu mini berarti ia sudah teralineasi dalam perbudakan baru. Potensi emansipatoris yang ada jadi tenggelam akibat ketidaksadarannya. Itu berbeda dengan alineasi kerja ala Marx. Pada Marx, kaum buruh sadar akan keterasingannya, sehingga mereka diharapkan melakukan revolusi. Sedangkan padsa masyarakat industry modern, kesadaran ini tak muncul. Mereka tidak pernah berpikir apakah mereka memang teralineasi terhadap linkungannya.

Lalu, bagaimana kita keluar dari lingkaran tertutup itu? Menurut Marcuse, kaum buruh tak bisa diharapkan lagi; kita harus mencari manusia-manusia yang anti terhadap kemapanan. Ini hanya ada pada golongan atau kelompok marjinal.Mereka adalah kelompok yang terdiri dari golongan kecil, yang kesadarannya belum teracuni; mereka adalah kelompoik individu yang terpojok dan tertindas, sehingga mampu memberontak dari segala kemapanan. Dan satu-satunya kelompok yang bisa melakukan hal itu adalah kaum muda, para mahasiswa, dan golongan cendikiawan yang selalu kritis melihat situasi social budaya ; mereka adalah kaum yang terus menentang segala bentuk 'establishment'; mereka harus mengucapkan "the great refusal," ; mereka harus menolak terlibat dalam system totaliter ini; mereka harus bertekad untuk tidak ikut dalam system itu lagi.

Marcuse tidak bermaksud membuang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah berkembang sedemikian rupa itu. Ia tidak menganjurkan agar kita kembali ketempat asali - - seperti diserukan J.J Rouseau. Semua yang ada harus diubah secara kualitatif, sehingga kita mendapatkan suatu masyarakat yang memiliki kualitas lain. Cita-citanya untuk membentuk masyarakat baru secara konkret dituturkan lewat "kitab suci" One Dimensional Man itu. Pertama, harus diberi kesadaran pada orang untuk mengurangi rasa ingin berkuasa. Yang penting konsentrasi kekuasaan harus bisa diredakan. Kedua, sudah waktunya orang mengurangi perkembangan yang berlebihan. Sebab ini merupakan kebutuhan-kebutuhan kita yang palsu, yang sering secara artificial dibangkitkan oleh system produksi. Ini perlahan-lahan harus ditinggalkan untuk meningkatkan mutu kehidupan.

Apa yang dikemukakan Marcuse terhadap masyarakat modern adalah suatu 'kritik ideologi' terhadap pembangunan kemanusiaan kita. Sekadar merangkum pikiran Marcuse ini, kita dapat menyebut dua pandangan pokok. Pertama ia mau melakukan suatu perobahan total dengan jalan revolusi, di mana dilibatkan kelompok-kelompok individu yang anti kemapanan. Kedua, ia mau mengadakan suatu perubahan dari hal yang kuantitatif kearah yang kualitatif. Karena ada kecenderungan mempertahankan system yang ada, apa yang dikembangkan adalah suatu pembangunan yang tak pernah bisa dikritik. Masyarakat modern tidak lagi aktif, tetapi sangat pasif. Padahal, perkembangan dalam masyarakat demikian justru secara terus menerus membawa dan memperkuat ideology terdahulu. Marcuse menolak semua karena dianggapnya cumalah kepalsuan-kepalsuan dan sudah waktunya manusia diberi kesadaran kritis. Disini pula ia mengajukan serangkaian kritik terhadap ilmu pengetahuan positif dan teknologi. Dengan lantang ia menyindir bahwa kemajuan semua yang dicapai masyarakat industry modern harus dirombak dan dibebaskan dari kepalsuan-kepalsuan.




Catatan kaki:


  1. Gerakan the new left adalah gerakan yang beraneka ragam. Namun, terdapat tujuh cirri kesamaan ; (1) aksi atau tindakan , (2) pencarian jati diri (authentic self), (3) revolusi, (4) komunalisme, (5) persamaan derajat, (6) kebebasan, (7) demkrasi langsung. Manus dan Murliana, 1980, "Kiri Baru (New left) Suatu Pengantar," dalam Notosusanto (red). "Gerakan Kiri Baru", Majalah Persepsi no.4, hlm 5.
  2. Habilitationsschrift adalah karya yang harus ditulis calon dosen sebelum mendapatkan izin mengajar di universitas-universitas Jerman. Lihat; Bertens, 1983, Filsafat Barat dalam Abad
    XX(jilid 1), hlm.96.
  3. Marcuse menjadi anggota Mazhab Frankfurt atau sekolah Frankfurt (Die Frankfurter Schule)pada tahun 1932 atas rekomendasi Husserl. Anggotanya tergabung dalam institute fur Sozialforschung, sebuah lembaga penelitian yang didirikan oleh Felix J. Weil pada tahun 1923 di Frankfurt am Main. Lembaga ini bertujuan meneliti segala macam persoalan social yang kala itu tak pernah terjangkau dan diselidiki secara ilmiah. Mereka terdiri atas sarjana dan cendekiawan kiri berbagai disiplin keilmuan yang bersimpati pada ajaran Marx.bebverapa diantaranya mengajar di Universitas Frankfurt dan menjadi anggota Partai Komunis Jerman, kendati mereka tetap mempertahankan keinependenan lembaga. Amggotanya antara lain Max Horkheimer, Theodore Wiesengrund Adorno, Friedrich Pollock, Leo Lowenthal, Walter Benjamin, Karl Agust Wittfogel, Erich Fromm, Franz Neumann, dan Jurgen Habermas, pada tahun 1933, ketika nasionalis-sosialis berkuasa di Jerman, atas perintah Adolf hitler kegiatan lembaga ini dibekukan. Propaganda rasial membuat hati anggotanya menjadi kecut. Apalagi kebanyakan anggotanya berketurunan Yahudi. Untuk melanjutkan kegiatan lembaga ini, mereka mengungsi ke luar negeri dan mengembangkan beberapa cabang, antara lain di London, Paris, dan Jenewa. Saat Perang Dunia ke II berkecamuk di daratan Eropa,semua anggota lembaga ini akhirnya pindah ke Amerika serikat dan memusatkan kegiatannya di Universitas Columbia di New York.
  4. Sindhunuta, 1983, Dilema Usaha Manusia Rasional, hlm 167.
  5. Freidman, 1981, The Political Philosophy of Frankfurt School, hlm 89.

DPR Meresapkan Kehancuran

Kalam;

Tuntutan internal setelah terjadinya krisis ekonomi pasca tumbangnya pemerintahan orde baru disusul krisis multi dimensi termasuk kebocoran RAPBN/RAPBD, korupsi dan abuse of power, menyebabkan Negara 'dipaksa' melakukan tranparansi, akuntabilitas dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam hal pengelolaan keuangan Negara.

Pada saat itu istilah good governance yang diartikan sebagai tata kelola kepemerintahan yang baik diperkenalkan terutama di dalam birokrasi pemerintahan. Semua dana-dana terpusat yang selama ini di laksanakan oleh Kementerian terkait, di serahkan pengelolaannya kepada daerah. Tentu perubahan kebijakan itu tidak disalah artikan sebagai usaha pemindahan kesempatan dan peluang melakukan korupsi oleh pejabat-pejabat atau birokrat di daerah-daerah.

Ada beberapa hal yang dilanggar oleh pemerintahan hasil reformasi sesuai dengan TAP NPR no. VIII/MPR/1998, penegakan hukum, ketertiban umum, dan perbaikan sikap mental.Tentang penegakan hukum, ternyata baik polisi, kejaksaan dan hakim masih banyak terlibat penyelewengan, dari perilaku korupsi sampai pengaturan tuntutan. Skandal hukum ini diatur secara sistemik dan dikenal sebagai mafia hukum.

Tentang hal perbaikan sikap mental yang mengacu kepada pembangunan insan yang ber-akhlakul karimah tiada lain berpatokan kepada moralitas Pancasila yang jiwai dan oleh sila pertama dan menjiwai sila selanjutnya secara organis dan bersifat hirarkis pyramidal. Sesuai dengan nilai intrinsic dan nilai instrumental nya maka Pancasila seharusnya menjadi 'way of life' bangsa. Tapi mengapa nilai-nilai Pancasila justru di lupakan oleh petinggi negeri?Bukankah sangat berbahaya apabila perjalanan suatu bangsa tidak berpedoman kepada ideology?

Tulisan Laksamana Sukardi selaku mantan Menteri BUMN di Kompas , senin 27 juni 2014, saya masukkan di dalam Blog ini, sebagai inspirasi baru bahwa sesungguhnya cita-cita good governance bukan hanya restorasi manajemen kepemerintahan ataupun reformasi birokrasi akan tetapi menyangkut perbaikan moral, etika dan tanggung jawab bernegara dan berbangsa untuk mensejahterakan masyarakat.(a.m.a)


 

Istilah good governance merupakan kosa kata yang sangat dikenal di Negara maju dan perusahaan besar dunia. Ini kewajiban yang harus dilaksanakan tanpa cela. Terjemahan yang artinya paling mendekati adalah tata kelola yang baik.

Tata kelola yang baik merupakan produk masyarakat yang beradab, tetapi sangat asing bagi masyarakat yang belum beradab dan berpendidikan rendah. Negara yang tidak mengenal tata kelola yang baik ini umumnya masuk kategori Negara tertinggal.

Sangat lumrah jika kita tidak memiliki terjemahan yang pas karena praktik tersebut masih aneh di Indonesia. Seorang anggota DPR, dalam acara dengar pendapat dengan Menteri, bahkan dengan lantang mengatakan , "Saudara Menteri Saudara tidak mengenal prinsip good government."

Ini menggambarkan bahwa tata kelola yang baik masih asing dalam kehidupan ber-organisasi, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam sebuah system tata kelola yang baik, pengelolaan akan tertata sehingga memberikan hasil yang baik dan optimal, bukan sebaliknya. Bahkan lebih dari itu, tata kelola yang baik sebenarnya juga mencakup penyertaan moral moral dan niat baik kedalam system tata kelola, baik dalam organisasi perusahaan maupun lembaga Negara.

Dasar utama dari tata kelola yang baik adalah menaruh prioritas yang tinggi terhadap upaya melindungi kepentingan public atau pemangku kepentingan. Sama sekali tak memberikan ruang terhadap terjadinya benturan kepentingan. Untuk mencapai tujuan tersebut, selain pengelolaan yang harus transparan, juga perlu pemisahan tugas dan tanggung jawab. Jadi, ada fatsun yang melarang terjadinya perankapan jabatan dan tanggung jawab serta upaya pembuktiannya, yaitu larangan perangkapan jabatan antara pembuat kebijakan (regulator) dan pelaksana kebijakan (operator) serta pengawas pelaksanaan kebijakan (auditor).

Pada intinya, jika terjadi perangkapan jabatan antara regulator, operator, dan auditor, tidak ada jaminan kepetingan public akan terlindungi dan benturan kepentingan tumbuh subur. Dengan kata lain, praktek yang tidak memisahkan ketiga fungsi merupakan resep kehancuran.

Bisa dibayangkan juga kalau hakim, jaksa penuntut, serta penyidik berada dalam satu tangan. Maka yang akan terjadi adalah pengadilan yang jauh panggang dari api dan sama sekali tidak ada jaminan keadilan.


 

Fungsi di satu tangan

    Dalam konteks ini, bagaimana dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia? Partai politik melalui fraksinya di DPR sebagai perpanjangan tangan , ternyata memegang hamper semua fungsi di satu tangan.

    Misalnya dalam pembuatan aturan atau UU mengangkat pejabat pelaksana melalui proses uji kelayakan dan kepatutan, serta memilih hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), juga ketua dan anggota pengawasan kebijakan atau auditor seperti Badan Pemerksa Keuangan (BPK), Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Komisi Yudisial, Komisi pemilihan Umum (KPU), dan Komisi pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Begitu pula Gubernur dan wakil Gubernur Bank Indonesia, bahkan Kapolri dan Panglima TNI. Semua tak lepas dari proses pemilihan oleh DPR.

    Tidak hanya itu. Anggota DPR yang nota bene secara efektif berfungsi sebagai perpanjangan tangan partai politik juga menentukan anggaran untuk setiaporganisasi penyelenggara Negara, seperti diamanatkan oleh UUD '45. DPR juga memiliki tugas pengawasan melalui hak angket dan interpelasi serta pengawasan memalui mekanisme rapat dengar pendapat dengan para penyelenggara Negara.

    Singkat kata. DPR (baca; partai politik) memegang semua fungsi kegiatan, yaitu menentukan anggaran, membuat aturan, mengangkat pejabat pelaksana dan pejabat pengawas, serta mengawasi pelaksanaannya. Sebuah ilustrasi kasat mata tentang resep kehancuran! Hanya ada satu hal yang tidak dilakukan DPR, yaitu mempertanggung jawabkan kinerjanya.

    Kita bisa melihat bahwa banyak kepentingan saling berbenturan dan subur dalam system yang pengelolaannya tidak tertata baik atau bad governance. Hal yang tidak wajar telah berubah menjadi wajar ketika melihat mantan anggota DPR menjadi hakim MK, anggota BPK, bahkan anggota KPPU pindah menkadi anggota partai politik. Ibaratnya, wasit ganti seragam menjadi pemain.

    Tidak hanya itu, ada juga anggota KPK yang langsung menjadi direksi BUMN saat pensiun, tanpa melalui tenggang waktu. Juga masih banyak anggota DPR yang aktif menjadi pengusaha.

    Seperti diuraikan diatas, tata kelola yang baik tidak hanya wajib diterapkan , tetapi juga harus disertai kesadaran dan budaya niat baik. Tak kalah penting dan sulit diterapkan adalah mengikut sertakan system pembuktian bahwa tata kelola yang baik telah diterapkan, paling tidak telah diupayakan. Ini juga disebut kesediaan mengorbankan kepentingan pribadi.

    Contohnya, ada tanggung jawab moral untuk tak mengangkat saudara dalam jabatan penting dan ada tenggang waktu pejabat pengawas untuk tidak pindah jabatan atau menjadi pejabat pelaksana. Jangan sampai anggota KPU pindah ke partai politik yang mereka awasi dan anggota KPK menjadi direksi BUMN tanpa waktu jeda.


 

Kembali ke Etika

    Kenyataan di atas sekilas tidak melanggar ketentuan apapun, tapi bergantung dengan kacamata apa kita melihatnya. Bangsa yang memiliki peradaban tinggi melihat hal tersebut tak etis dan melanggar prinsip tata kelola yang baik, tetapi bangsa yang tak beradab tak ada pelanggaran karena mereka nyatanya belum mengenalnya.

    Saat ini sedang terjadi perdebatan di DPR mengenai rancangan undang-undang Pemilu. Ada upaya untuk memperbolehkan anggota partai politik menjadi anggota KPU dan beragam keinginan partai politik menjadikan undang-undang yang menguntungkan mereka.

    Sekali lagi, upaya tersebut bisa menciptakan kondisi yang mengarah dicampakkannya para pemangku kepentingan, Namun begitu fungsi wasit, pemain, pembuat aturan, pemberi dana anggaran dan pengawas ada dalam satu genggaman, kita sedang berada di ambang kehancuran.

    Di Thailand, ketika rakyat tidak memercayai hasil Pemilu, ditetapkan bahwa parlemen (baca; partai politik) tidak boleh terlibat dalam proses pembuatan Rancangan Undang-Undang Pemilu, kecuali mengesahkannya. Mereka membentuk dan menugaskan tim independen yang terdiri atas para akademisi dan tokoh masyarakat untuk membuatnya.

    Singkat kata, tidak ada pemain membuat aturan sendiri dan wasit yang mendadak menjadi pemain, bahkan pengawas menjadi pelaksana objek yang diawasinya! Ini hanya bisa terjadi jika tidak ada lagi yang bertanya, "Apa itu good governance?" (LS)