Jumat, 19 Februari 2010

PEMBANGUNAN MANUSIA UPAYA MENCARI SINTESIS


PEMBANGUNAN MANUSIA UPAYA MENCARI SINTESIS
(Akhir Kalam dari Buku; Menggugat Ideologi Abad ke XX;
Kritik Atas Pembangunan Manusia, oleh: Ricardo Iwan Yatim,
Penerbit Yayasan Bentang Budaya, 1997)

Catatan; Di dalam Naskah Asli, Buku Menggugat Ideologi Abad ke XX, sebenarnya RIY meracik pemikiran 5 tokoh Filsafat - Lucas, Gramsci, Marcuse, Althusser, dan Habernas, akan tetapi saya hanya menyadur satu bagian dari tulisan tersebut yang sangat relevan dengan perkembangan pemikiran Ideologi ‘Pembangunan’ di Indonesia. Sahabat, Alm RIY, adalah wartawan Majalah Matra, menyelesaikan Sarjana Filsafat (S-1) di UGM, dan telah merampungkan Tesis Magister (S2) pada Program Studi Filsafat Pasca Sarjana UI. (A.M.A)

Kritik ‘ideologi’ pembangunan cukup lama mendapat sorotan sejak era 1970-an. Cukup banyak bermunculan kritik terhadap model–model teori ideologi pembangunan dari para pemikir sosial dan cendekiawan termasyhur tiga dasawarsa terakhir pada abad ke-20. Sebagaimana dikemukakan Sindhunuta, “sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kini banyak dilontarkan kritik terhadap teori-teori pembangunan yang pernah atau sedang diterapkan di negara-negara berkembang. Munculnya pemikir-pemikir baru seperti Gunnar Myrdal, P.L Berger, P. Freire, E.F Schumacher, pemikir-pemikir yang masih meraba-raba dalam mencari teori Pembangunan yang tepat ……” 1]

Berikut ini saya ingin menyoroti pendapat dan kritik ideologi pembangunan yang dilontarkan Peter L. Berger dan E.F Schumacher, lewat karya penting mereka masing-masing 2]. Ambillah sepuluh tesis pertama 3] dari 25 tesis, yang dikemukakan Berger tentang kubu-kubu ideologi : Kapitalisme dan Sosialisme, masing-masing dengan mitos-mitos pertumbuhan dan revolusi penuh kepalsuan. Kedua buku ini dipaparkan sekadar sebagai peringatan bahwa ideologi pembangunan yang diperlukan adalah sejauh mana ia dapat menghapusklan penderitaan. Berger secara jujur mengakui bahwa ia tidak mempunyai jawaban “siap pakai”, tetapi “semua pembangunan material pada akhirnya akan sia-sia kalau pembangunan itu tidak membantu mengembangkan makna-makna yang merupakan dasar hidup manusia .”4]

Berger prihatin terhadap model-model teori pembangunan yang disodorkan kepada dunia ketiga atau negara-negara (sedang) berkembang. Macam-macam teori sudah mencoba menjelaskan fakta-fakta tentang Negara kaya dan miskin. Dalam hal ini bisa digolongkan dua paradigm atau model teori, yaitu teori modernisasi dan teori imperialism, masing-masing dengan “konsep kunci” yang mewakili kubu kapitalis dan kubu sosialis. Teori modernisasi menyebut ciri “Ideologi pembangunan” menuju suatu masyarakat yang disebut “masyarakat industri maju,” sedangkan teori imperialism mengelompokan ciri itu pada suatu “masyarakat dalam tahap kapitalisme monopoli.” Di satu pihak “konsep kunci” teori modernisasi adalah pembangunan (development), pertumbuhan ekonomi (economic growth), diferensiasi kelembagaan (institutional differentiation), dan pembangunan bangsa (nation building) ; dan dipihak lain teori imperialism memakai istilah-istilah seperti ketergantungan (dependency), pengisapan (exploitation), neokolonialisme (neocolonialism), dan pembebasan (liberation). 5]

Sejalan dengan itu patut kita simak pendapat Schumacher mengenai kondisi masyarakat pada dasawarsa pasca perang dunia II. Menurut Schumacher, di dalam dunia modern, manusia kini telah tergelincir dari satu krisis ke krisis lain. Padahal semua itu telah diramalkan sebelumnya, dan sekarang sebetulnya gejala-gejala kehancuran telah tampak di sana sini. 6] Kesalahan terbesar pada zaman kita ini adalah keyakinan bahwa “masalah produksi” sudah bisa dipecahkan bersama. Pemimpin industri, pengatur ekonomi, ahli ekonomi - - baik yang akademis maupun yang setengah akademis - - dan juga para wartawan ekonomi, semua mempunyai keyakinan itu. Memang terjadi juga silang pendapat diantara mereka, tetapi semua ahli sepakat bahwa masalah produksi sudah beres. Maka, sekarang tugas yang menjadi tanggung jawab kita, “bagi Negara yang kaya… tugas terpenting sekarang adalah ‘pendidikan bersenggang’ (education of leisure), sedangkan untuk Negara miskin adalah ‘peralihan teknologi’ 7].

Science, menurut Schumacher, tidak bisa melahirkan ide yang dapat dipakai untuk hidup. Ia tidak lebih dari suatu hipotesis yang bermanfaat untuk tujuan penelitian dan sama sekali tidak bisa diterapkan untuk menafsirkan dunia dan menyelenggarakan hidup. Maka, kalau ada orang yang ingin mencari pendidikan karena merasa bingung, merasa hidupnya tidak berarti, yang dicari tidak mungkin diperoleh lewat ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu ini menjelaskan berbagai hal tentang jalannya segala sesuatu di dalam alam dan teknik, tetapi tidak bisa menerangkan arti hidup dan melenyapkan rasa putus asa. Banyak ide pada abad ke-19 masih saja mewarnai kerangka berpikir manusia Barat yang menjadi suatu keniscayaan bagi “pembangunan manusia seutuhnya” di muka bumi 8] Ide-ide ini hendak membuang metafisika jauh-jauh. Sebab, ia tidak teruji, tidak terukur, tidak punya standar, atau tidak bisa diverifikasi. Hukum-hukum positif dan pragmatis seakan-akan patut menjadi gagasan-gagasan mulia yang hendak terus dilestarikan; di mana peranan ilmu-ilmu alam dan teknologi sudah mengambil porsi yang terbanyak dalam gagasan-gagasan itu.

Kritik atas optimism “peralihan teknologi” serta dua model teori sosiologi pembangunan yang dikemukakan kedua pemikir di atas memang tidak berlebihan. Keprihatinan mereka ini justru memberikan peringatan kepada kita; benarkah teori-teori pembangunan Negara maju (Barat) pantas dijadikan model pada pembangunan di Negara-negara dunia ketiga atau sedang berkembang - - termasuk Indonesia? Lebih-lebih kenyataan menunjukkan bahwa pola pikir masyarakat di dunia ketiga masih bersumber pada pola hidup (dan pola kerja) tradisional. Apakah model-model teori ini bisa dianggap sebagai satu-satunya saka guru bagi pembangunan, sementara dibalik kenyataan semua itu yang terjadi malah semakin bergantungnya Negara-negara sedang membangun pada Negara-negara maju? Apakah ideologi pembangunan semata-mata harus berbau ekonomis? Apakah ia harus teknologis? Dan lebih dari itu, apakah ia sekedar melulu proses produksi yang dilancarkan oleh teknologi demi terciptanya kemakmuran ekonomis? Padahal, soalnya adalah apakah dengan tercapainya kemakmuran itu pembangunan sudah dapat mengantar kita kepada pembebasan sejati bagi kemanusiaan kita itu.

Pola teknik, sebagaimana dikemukakan To Thi Ahn, telah membawa masyarakat modern pada pelbagai kemudahan hidup. Pola ini telah mengungkapkan kebebasan manusia pada penguasaan manusia atas dunia materi. Dan akhirnya pola ini dinilai pula sebagai suatu janji yang amat menggiurkan - - selalu menyuarakan janji-janji untuk meperoleh kemakmuran, kesejahteraan , dan kebebasan. 9] Menurut pemikir dari Vietnam ini, petualangan teknik adalah suatu ‘kecepatan’ dan “loncatan besar yang begitu cepat terjadi sehingga teknologi seolah hanya memuaskan dirinya sendiri.“ 10] Menggunakan istilah Alvin Toffler “kejutan masa depan” (future shock), Ahn mengemukakan bahwa hasil teknologi merupakan suatu penemuan yang satu menghasilkan penemuan lainnya sebelum orang memiliki cukup waktu untuk menyadari penemuan pertama. Sehingga, dengan perubahan teknologi yang menggila, manusia modern saat ini kehilangan arah, kehilangan kepercayaan pada diri sendiri, kehilangan keyakinan terhadap nilai-nilai dan iman, mengalami kemerosotan kepribadian, cemas, tertekan, acuh tak acuh terhadap hidup, dan penuh dengan kekerasan. Teknologi merupakan suatu momok baru yang berbeda dengan komunisme dan fasisme. Mengutip Erich Fromm, the revolution of hope, Ahn menulis, “Masyarakat yang semata-mata dikuasai mesin diarahkan untuk mendapatkan hasil sebanyak mungkin dan lalu menggunakannya, diatur oleh komputer, dan dalam proses ini manusia sendiri hanya menjadi satu bagian dari seluruh mesin itu . . .”11]

Kemudian Ahn melancarkan protes; “Maka, protes utama terhadap teknologi adalah bahwa ia mematikan alam, masyarakat, dan pribadi manusia. Alam diperkosa . . . Masyarakat dirusakkan oleh persaingan yang kejam, perpecahan dalam keluarga,tradisi, dan iman. Manusia sendiri diasingkan dari lingkungannya, masyarakatnya, dan juga dari dirinya sendiri. Ia berada dalam bahaya akan menjadi roda penggerak belaka dalam system produksi-konsumsi . . .”12]

Dengan “persona manusia” dan “petualangan teknik” (istilah yang digunakan Ahn), sebagaimana yang menjadi rumusan tradisi pemikiran filsafat Barat, kita sampai pada pertanyaan tentang ideologi pembangunan. Suatu pertanyaan sederhana yang mendasar: “Apakah pembangunan itu?” 13] Tentu saja, dalam memberikan jawaban, kita harus masuk ke dalam wacana filsafat untuk mengadakan suatu refleksi atas pembangunan - - lebih-lebih bila derap langkah pembangunan kita sudah berada dalam arus pengalihan teknologi dan pola-pola gaya hidup konsumtif. 14] Fenomena ini ternyata menggelitik kita untuk mempertanyakan makna apa yang sesungguhnya akan diperoleh dari “arah pembangunan“ kita. Apakah ia merupakan sejumlah bangunan fisik disertai kemudahan akibat system teknis-operasional, 15] yaitu dengan mekanisasi, standardisasi, otomisasi, yang pada gilirannya menjadi suatu represi atau penindasan yang pada hakikatnya membuat manusia teralienasi oleh dirinya sendiri (seperti dikemukakan Macuse)?

Ideologi pembangunan manusia yang disuarakan pada zaman Renaisans dan Aufklarung pada abad ke -15 dan ke-18 ke arah kemajuan, emansipasi, liberasi, dan otonomi diri memang bukanlah suatu gagasan baru. Bagi kita sekarang ini, gagasannya kurang lebih bagaimana cita-cita itu bisa menerjemahkan kebutuhan pokok dasar manusia, misalnya rasa aman, rasa adil dan rasa kasih sayang, yang memiliki harga diri. Semuanya dilandasi dengan mengacu pada asas kebersamaan yang ikut berpartisipasi dalam karya-karya pembangunan. Model inilah yang rasa-rasanya yang hendak didambakan oleh kemanusiaan kita, khususnya pada masyarakat dunia ketiga.

Sinyalemen Marcuse atas ideologi pembangunan cukup menarik, terutama dalam menghadapi deru dan gelombang arus pembangunan dalam masyarakat industry modern. Kemajuan teknik yang meresap dalam seluruh system penguasaan menciptakan bentuk-bentuk kehidupan yang mampu meredakan dan membungkam suara-suara yang menentang. Bahkan, teknologi sudah menjadi alat control yang paling efektif. Masyarakat modern dalam One Dimensional Man, sebagaimana disimpulkan J. Sudarminta, adalah masyarakat yang duduk dalam sebuah bus besar yang luks. “ . . .dengan peralatan teknis yang serba lengkap dan luks, berjalan lancar dan enak, para penumpangnya pun merasa puas. Tetapi orang tidak menyadari lagi ke manakah bus itu mangarah. Orang sudah terbius dengan kenikmatan untuk tinggal di dalamnya. Bahkan pengemudinya pun terbawa saja oleh mekanisme gerak motor “. . . terus maju seturut jalan satu-satunya yang membawa bus tersebut tanpa sadar bahwa jalan tersebut menuju ke jurang kebinasaan.” 16]

Marcuse mengemukakan bahwa jurang kebinasaan ini bermula dari arah perkembangan ilmu pengetahuan. Prinsip ilmu pengetahuan modern yang berpindah dari teori operasionalisme ke praktek operasionalisme turut memberikan sikap pada manusia dan masyarakat industry modern. 17] Masyarakat telah diberi sikap mental “scientism” dan sekaligus sikap mental “kemanfaatan” sebagai realisasi dari dua aliran filsafat Barat; positivism dan pragmatism. Maka, menarik ditinjau kembali makna filsafat pembangunan yang sekadar dicapai melalui segi ekonomis dan teknologis. Barangkali cita-cita ini justru dilihat bukan untuk mencapai kebahagiaan atau menciptakan manusia se-utuhnya. Tekanan pertama yang diberikan ialah bagaimana filsafat pembangunan bertolak untuk menghapuskan penderitaan. Soalnya sekarang adalah bagaimana merumuskan model atau teori pembangunan itu sehingga memiliki relevansi terhadap Negara-negara berkembang. Dapatkah pola hidup dan kerja tradisional mengikuti pola industrialisasi?

“kemajuan pribumi yang demikian menuntut suatu kebijaksanaan terencana, yang bukan memaksakan teknologi pada pola hidup dan kerja tradisional, tetapi memperluas dan memperbarui dasar-dasarnya, menghilangkan tekanan-tekanan dan hal-hal lain yang menyebabkan mereka tidak mampu mengembangkan eksistensinya secara wajar. Perombakan sosial, pembaruan kepemilikan tanah, dan penekanan laju pertumbuhan penduduk harus menjadim prioritas lebih dulu, dan bukan industrialisasi menurut pola masyarakat maju. Keadaan akan menjadi baik bila ‘para penghasil’ itu memiliki kesempatan mencipta, bekerja keras dengan ikhlas, mau maju, dan menentukan sendiri bagaimana dan mau kemana . . . . kemajuan yang baru ini mengandaikan perubahan dalam kebijaksanaan dua kekuatan (kapitalisme dan sosialisme - - RIY) yang kini menguasai dunia - - untuk mengikis habis neokolonialisme dalam segala bentuknya.”18]

Menurut Barrington Moore adalah suatu pemikiran yang “absurd” bila kita hendak mencari satu tesis mengenai masyarakat yang sempurna - - dimana tidak ada peperangan, kemiskinan, dan ketidak adilan yang mencolok mata.19] Namun, kemustahilan yang utopis itu niscaya menuntut terciptanya bentuk-bentuk masyarakat ideal. Marcuse membuahkan inspirasi bagi Ahn dalam rangka mencoba ‘menyintesiskan’ pandangan Timur dengan Barat - - mencari bentuk masyarakat yang ideal bagi negara-negara Timur. Kreativitas harus menjadi kata kunci bagi Negara-negara berkembang . . . jika Timur menerapkan rasa harmoninya ke dalam proses industrialisasi, maka akan ada banyak kesempatan mengamankan keseimbangan dan menghindarkan banyak bencana yang mungkin timbul.”20]

Tanpa mengecilkan arti pemikiran Marcuse yang “radikal” itu, bahkan dianggap “gila” oleh para mahasiswa yang tadinya memberikan dukungan kepadanya, suara yang didengungkan itu setidak-tidaknya merupakan refleksi terhadap filsafat pembangunan kita. Ia memaparkan sejumlah nilai dan norma bagi kemanusiaan kita di tengah-tengah dunia yang serba kompleks. Akhirnya, tanpa mau memberikan penilaian kritis atas pemikiran itu, rasanya ada suatu ungkapan Marcuse yang menunjukkan betapa ia pesimistis, meski cukup menarik kita renungkan; “Bagi manusia rasional, hak untuk menjadi takut adalah sesuatu yang paling penting yang diwarisi hari ini. 21] Tantangan bagi kita kini ialah bagaimana mengatasi “ketakutan” tersebut.



Keterangan;

1] Sindhunuta, 1983, Dilema Usaha Manusia Rasional, hlm 146.
2] Pada tahun 1974 Berger meluncurkan buku Pyramids of Sacrifice, sedangkan Schumacher
menghasilkan karya Small is Beautiful, yang terbit perdana pada tahun 1973.

3] Sepuluh tesis pertama tersebut sebagai berikut; 1) Dunia dewasa ini terbagi dalam kubu-kubu ideologi. Dengan penuh kepastian, para penganut masing-masing memberitahukan kepada kita dimana kita berada dan apa yang harus kita lakukan. Sebaiknya kita tidak mempercayai satu pun dari kubu-kubu itu. 2) Model-model ideologis yang utama mengenai perubahan social (termasuk pembangunan dunia ketiga) didasari oleh dua mitos yang dominan, yaitu mitos pertumbuhan dan mitos revolusi. Kedua mitos tersebut harus dibongkar kepalsuan-kepalsuannya. 3) Pembongkaran itu sendiri bukanlah tujuan, tetapi merintis kemungkinan-kemungkinan baru bagi pemahaman dan pembuatan kebijaksanaan politik. Hal ini terutama penting untuk penilaian atas model-model kapitalis dan sosialis mengenai perubahan social. 4) Ideologi kapitalis, yang didasarkan pada mitos pertumbuhan harus dibongkar kepalsuan-kepalsuannya. 5) Pertumbuhan kapitalis membebankan biaya-biaya manusiawi yang tinggi. Di banyak negarqa dunia ketiga biaya-biaya ini terlalu mahal. 6) Perolehan kapitalisme yang penting adalah produktivitas yang tiada tandingannya dan lembaga-lembaga yang menunjang kebebasan pribadi. Kasus demi kasus, semua perolehan itu harus ditimbang terhadap biaya-biaya. 7) Di Banyak Negara dunia ketiga penilaian itu kiranya menyebabkan dipilihnya kebijaksanaan politik yang bukan kapitalis. Kebijaksanaan itu tidak masuk akal di Barat. 8) Ideologi sosialis yang didasarkan pada mitos revolusi harus dibongkar kepalsuan-kepalsuannya. 9) Revolusi-revolusi social telah membebankan biaya-biaya manusiawi yang tinggi. Suatu penilaian atas perolehan sosialisme (seperti pembagian yang lebih adil atas barang-barang kehidupan) harus menimbang biaya-biaya ini, kasus demi kasus. 10) Para pengkritik kapitalisme benar kalau mereka menolak kebijaksanaan-kebijaksanaan politik yang menyetujui kelaparan pada waktu sekarang, sementara menjanjikan kemakmuran di hari esok (dan mereka benar kalau mempertanyakan janji itu). Para pengkritik sosialisme benar kalau mereka menolak kebijaksanaan –kebijaksanaan politik yang menyetujui teror pada waktu sekarang demi janji suatu tatanan yang manusiawi di hari esok (dan begitu pula kalau mereka mempertanyakan apakah hari esok seperti itu dapat dipercaya). Berger, 1982, Piramida Kurban Manusia, hlm.xxx.

4] Ibid, hlm 222.
5] Ibid, hlm 11.

6] Schumacher mengemukakan bahwa dunia modern terbentuk oleh metafisikanya, yang kemudian membentuk pola pendidikan, dan akhirnya menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, tanpa kembali ke metafisika dan pendidikan, dunia modern bisa disebut terbentuk oleh teknologi. Schumacher, 1979, Kecil itu Indah,hlm 139.

7] Ibid, hlm.13.

8] Schumacher mengemukakan enam ide pokok dari abad ke-19 yang masih tetap menghantui pikiran kaum terpelajar dan ilmuan dewasa ini: 1) Ide evolusi, yang mengatakan bahwa bentuk-bentuk yang tinggi berkembang dari bentuk-bentuk yang rendah, sebagai suatu proses alami dan otomatis. Selama lebih dari seratus tahun terakhir kita menyaksikan bahwa ide ini secara sistematis diterapkan pada segala segi kehidupan. 2) Ide persaingan (Darwin), the survival of the fittest, yang merupakan seleksi alami yang mau menerangkan proses evolusi dan perkembangan yang wajar dan otomatis itu 3) Ide Marx adanya bentuk-bentuk yang tinggi dalam kehidupan manusia - - - antara lain agama, filsafat dan seni - - hanya sekadar “tambahan yang diperlukan proses kehidupan material,” sekadar menutup –nutupi dan memajukan kepentingan-kepentingan ekonomi, karena seluruh sejarah umat manusia tidak lain adalah sejarah perjuangan kelas, sebagaimana Marx menyebut “Panthasmogaria”. 4) Ide Freud, yang menganggap semua bentuk getaran gelap dari bawah sadar sebagai akibat dari keinginan di masa kanak-kanak dan awal masa remaja yang tidak terpenuhi. 5) Ide relativisme, yang menolak segala yang mutlak, melarutkan segala norma dan ukuran, dan menenggelamkan ide kebenaran dalam pragmatism. Pengaruhnya terasa pula pada bidang matematika, yang oleh Bertrand Russel diberi batasan sebagai “bidang yang tak akan pernah kita ketahui apa sesungguhnya, atau apakah yang kita katakana benar.” 6) Ide Positivisme, yang sejak Aguste Comte (Bapak Sosiologi) terus mengalami “kejayaan.” Pengetahuan yang benar hanya bisa diperoleh lewat metode ilmu-ilmu alam, maka pengetahuan sejati harus berdasarkan pada fakta-fakta yang dapat diamati. Positivisme semata-mata tertarik pada know-how dan menolak kemungkinan adanya pengetahuan yang objektif mengenai arti dan tujuan. Ibid. hlm. 84.

9] Ahn, 1984, Nilai Budaya Timur dan Barat, hlm.62.
10] Ibid, hlm. 56.
11] Fromm, 1968, the revolution of hope, hlm 1. Sebagaimana dikutip Ahn, ibid, hlm 58.
12] Ibid
13] Wibisono, 1985, Ilmu Filsafat dan aktualitasnya dalam Pembangunan Nasional, hlm 16.
14] Heraty, 1984, Aku dalam Budaya, hlm 19.
15] Bdk Peursen, 1976, Strategi Kebudayaan , hlm 109-117; Wibisono, op.cit, hlm 16.
16] Sudarminta,1982, “Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern,” dalam Sastrapratedja (ed.), Manusia Multi Dimensional, hlm 156.
17] Marcuse, 1972, One Dimensional Man, hlm. 158.
18] Ibid, hlm 47-48.
19] Moore, 1968, “the society nobody wants : A look Beyond Marxism and Liberalism,” dalam Wolff &Moore (ed), the critical spirit, hlm. 401.
20] Ahn, op.cit. hlm, 96-97.
21] Wolff &Moore, op.cit.,hlm viii.

Jumat, 12 Februari 2010

Noktah Hitam Liberalisme


Dalam buku The Return of Depression Economic (1999), Paul Krugman, pemenang hadiah Nobel Ekonomi 2008, meramalkan, suatu saat akan terjadi krisis akibat liberalisasi yang tidak terbatas. Dia berkata: the world economy has run out to be a much more dangerous place than we imaged.

Ramalan Krugman tampaknya terbukti. Banyak pengamat ekonomi memandang bahwa krisis ekonomi global , dewasa ini, menunjukkan betapa rapuhnya bangunan kapitalisme – liberalisme.

Menurut Kholid Syerazi (2008), krisis tersebut terjadi akibat kombinasi dari moral hazard dikalangan industry keuangan wall street serta sikap menutup mata otoritas pasar financial, moneter, dan pemerintah yang selama ini ‘diam-diam’ bermain api dengan para pialang saham.

Fenomena krisis global, dewasa ini, membuka kembali ingatan kita pada tragedy great depression pada 1930-an. Menurut John A Garraty (1987), masa tersebut merupakan tahun-tahun penting dalam sejarah, di mana Inggris dan Perancis, sebagai industry terbesar merasa terancam dengan adanya kekuatan industry baru, yaitu Jerman. Krisis great depression terjadi karena adanya perubahan standarisasi uang dan emas menjadi hanya uang kertas tanpa jaminan.

Ketika itu, teori liberalism klasik gagal menjelaskan mengapa semua teorinya tidak berjalan. Teori full employment tidak berjalan dan runtuh. Salah satu penyebabnya, para ekonom klasik menganggap fungsi uang hanya sebagai jendela transaksi. Pasca depresi hebat tersebut, system liberalism mendapat sorotan tajam. Selanjutnya, wacana Negara industry maju mulai ‘dikuasai’ wacana politik social democrat.

Argumen yang digemborkan adalah kesejahteraan setelah kapitalisme klasik dianggap tidak bisa bertahan, karena ternyata butuh peran dari Negara.

Bersamaan dengan itu, muncul teori john Maynard Keynes (resep Keynesian) yang menganggap bahwa peran Negara masih dianggap penting.

Kaum elite politik dan pengusaha memegang teguh pemahaman bahwa salah satu bagian penting dari tugas pemerintah adalah menjamin kesejahteraan warga negara. Rakyat berhak mendapat tempat tinggal layak, mendapat pendidikan, mendapat pengobatan, dan berhak mendapatkan fasilitas-fasilitas social lainnya.

Selanjutnya, Negara-negara yang terpengaruh gagasan Keynes membentuk welfare state di Eropah. Pada tahun 1970-an seiring dengan membubungnya inflasi, merosotnya pertumbuhan ekonomi, membengkaknya pengangguran, deficit sector public dan krisis minyak, keynesianisme diserang sebagai biang keladi terjadinya krisis ekonomi.

Freidrich Von Hayek dan Milton Freidman adalah orang yang kembali menghidupkan ajaran-ajaran Adam Smith (1723 – 1790). Para pemikir Neolib tersebut menyatakan bahwa masyarakat pasar kapitalis adalah masyarakat yang bebas dan merupakan masyarakat produktif. Kapitalisme bekerja menghasilkan kedinamisan, kesempatan dan kompetisi. Kepentingan dan keuntungan pribadi adalah motor yang mendorong masyarakat bergerak dinamis.

Dalam buku Republik yang menunggu (2008), dijelaskan, debut neo liberalism melejit karena ditopang oleh rezim Reagan di AS dan Tatcher di Inggris. Salah satu revolusi yang dilancarkan kedua kampiun neolin tersebut adalah liberalisasi pasar uang yang digalakkan sejak 1970-an.

Mereka ditopang oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF, World Bank, WTO, serta perusahaan-perusahaan multi nasional (MNC’s). Sampai sekarang, pola neoliberal kemudian diikuti oleh banyak Negara.


Mengubah Paradigma

Sejarah bukan hanya catatan tanpa makna. Sejarah merupakan guru yang bijak, agar kita tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Apabila demikian, pelajaran apa yang dapat ditimba dari jatuh bangunnya system liberalism?

Indonesia harus berani melakukan perubahan paradigm tatakelola ekonomi. Sebab, selama ini, system liberal-kapitalis yang dianut terbukti tidak mampu menuntun kita pada cita-cita nasional.

Kapitalisme, menurut Omerod dalam buku the death of economics (1994), justeru telah melakukan “perampokan” terhadap kekayaan Negara-negara berkembang melalui system moneter fiat money.


Globalisasi

Gagasan perubahan paradigm tata kelola ekonomi tersebut sesungguhnya telah diusulkan oleh beberapa ilmuan. Misalnya, Joseph E Stigliz, pemegang hadiah Nobel Ekonomi pada 2001. Dalam bukunya Gobalizatian and descontents, ia menyatakan, Globalisasi sebagai anak kandung kapitalisme, ternyata tidak banyak membantu negara miskin. Akibat Globalisasi ternyata pendapatan masyarakat tidak meningkat di berbagai belahan dunia.

Hal senada ditulis oleh Amitai Etzioni dalam buku The Moral Dimension : Toward a New Economics (1988). Menurutnya, dunia saat ini, membutuhkan paradigm shift (pergeseran paradigm) demi menyelamatkan umat manusia dari bahaya kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan serta pengangguran.

Tegasnya, jatuh – bangun liberalism mengajarkan agar kita menjadi bangsa yang percaya diri dan mandiri. Kita harus percaya diri karena mempunyai modal sumber daya manusia yang handal dan modal kekayaan alam yang melimpah–ruah. Kemudian, kita harus mandiri agar tidak didikte lagi oleh kepentingan asing.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, tidak ada pilihan lain, kecuali kita harus mendesain ekonomi nasional yang mengikuti kaidah-kaidah pro rakyat yang menitik beratkan pemerataan dan keadilan daripada pertumbuhan.

Dengan kata lain, saatnya kita kembali kepada ajaran Bung Karno, yaitu Trisakti (mandiri dibidang politik, berdikari dibidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya). Mari kita tunggu hadirnya pemimpin-pemimpin yang berani dengan membawa visi–misi paradigm ekonomi kerakyatan.



Catatan; Dicopy paste dari tulisan Bambang W. Soeharto, Suara Pembaruan on line, tgl 17/11/2008; penulis adalah Doktor Ilmu Politik UGM , Pimpinan Harian Dewan Koperasi Indonesia, Ketua Dewan Penasihat Partai Hanura, dan Kosgoro.