Kamis, 26 April 2012

Korupsi Menjadi Wabah Sistemik (Kejahatan Luar Biasa)


 

Kalam

    Uang mahar yang dijadikan prasyarat untuk mendapatkan dukungan partai politik terhadap calon Gubernur/ bupati/walikota, ternyata berdampak negative maraknya 'money politic' di dalam Pilkada. Partai politik gagal menjalankan fungsi agregasi politik dalam memasyarakatkan dan mensosialisasikan hak dan kewajiban sebagai warganegara.

    Alih-alih mau menyejahterakan masyarakat malah partai politik memasang pimpinan daerah menjadi sapi perah untuk mengisi pundi pundi partai dan biaya pengelolaan partai. Seorang Bupati atau Walikota jika terpilih menjadi Pejabat, bukannya didorong untuk sukses memimpin pemerintahan tapi justru sibuk memperluas kekuasaan, menggerogoti APBD dan mencalonkan diri lagi untuk kekuasaan selanjutnya. Terbukti 155 kepala daerah terlibat korupsi. Kekuasaan telah menjadi symbol kerakusan mengumpulkan duit, melupakan kepentingan rakyat dan kerdil.

    Mengapa Badan Anggaran DPR yang banyak di duduki Bendahara Partai politik berperan aktif menjadi calo anggaran? Semua kebutuhan Kepala daerah ditentukan dan diputuskan di pusat kekuasaan. Kaloborasi kepentingan Daerah dan partai politik di kemas di dalam hubungan yang bersifat 'simbiose mutualistis'.

Hal ini sedang didalami dan diperiksa di KPK, terlibatnya Wa Ode Nurhayati seorang anggota Bangga DPR, di dalam pencucian uang dan melakukan transaksi mencurigakan sangat erat kaitannya dengan suap yg diterima dari pengurusan itu. Dia juga menyebutkan keterlibatan dua anggota Banggar lainnya yaitu Tamsil linrung dan Olly Dondokambey .

Tulisan berupa reportase dibawah ini menarik untuk membedah persoalan korupsi yang sangat cepat mewabah di negeri ini. Saya masukkan di muin_angkat blogspot.com selamat membaca.

Korupsi telah menjadi wabah yang sistemik dan structural. Korupsi terjadi dimana-mana, baik lembaga legeslatif, eksekutif maupun judikatif. Korupsi di lembaga-lembaga yang mempunyai akademi biasanya sulit diungkap kerena pelakunya saling melindungi. Pertemanan yang erat sejak di akademi membuat mereka bisa melakukan korupsi secara sistemik.

Demikian pendapat yang mengemuka dari anggota komisi VI, Hendrawati Supratikno, pakar ekonomi politik Ichsanudin Noorcy dan wakil kepala pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) Agus Santoso secara terpisah diJakarta.

Dari laporan hasil analisis terhadap transaksi keuangan mencurigakan selama tahun 2011 yaqng dilakukan PPATK, diketahui ada 166 orang dari kalangan eksekutif, termasuk kepala daerah terindikasi korupsi. Pada unsure legeslatif 20 orang terindikasi korupsi. Ini bisa bertambah karena PPATK masih menganalisis 2000 transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan anggota DPR, terutama dari badan Anggaran. Adapun pada unsure judikatif, 29 polisi dan 12 jaksa terindikasi korupsi.

Korupsi yang demikian, menurut Hendrawan, diperparah oleh budaya politik Indionesia yang juga telah mereduksi kompetensi politisi yang pandai basa basi, main sandiwara, dan berdusta. "Ini karena tiadanya parameter yang objektif dan disepakati bersama untuk mengukur kerja politisi. Di saat yang sama, ada tekanan yang cukup besar dari masyarakat", kata Hendrawan.

Eva Kusuma Sundari politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menambahkan Parpol tidak bertugas mencetak orang suci, tapi memenangi Pemilu. Partai politik juga pengguna dari bidang lain, seperti dunia pendidikan.

"Korupsi di dunia pendidikan di duga juga lumayan parah. Kondisi sejumlah rekan pengajar saat ini ternyata amat berbeda jika dibandingkan ketika dulu saya menjadi dosen", kata mantan pengajar di Universitas Airlangga , Surabaya ini.

Penyelesaian structural, menurut Noorsyi, membutuhkan penyelesaian bertahap. "yang terjadi saat ini hanya penyelesaian model short cut yang pragmatis sehingga Korupsi mengganas. Indonesia sedang menerapkan korupsi sistemik, yakni korupsi dari system nilai hingga ke pembiayaan kegiatan kegiatan (keuangan Negara)", ujarnya.

Masalah tersebut tak pelak hanya bisa diselesaikan cepat melalui pemimpin yang bisa diteladani. "selama tidak ditemukan pemimpin seperti itu, selama itu situasi carut marut", ujarnya.

Menurut Ahmad Yani , anggota komisi III DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan (PPP), Parpol harus membenahi diri. Hal itu mengingat realitas saat ini, Parpol kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat. Karena banyak pengurus atau kader parpol di legeslatif atau eksekitif yang bermasalah.

"Proses kaderisasi berbasis ideology dan moral merupakan keharusa yang harus dilaksanakan Parpol", kata Ahmad Yani.

Nurul Arifin, politisi dari partai Golkar, berharap, semua institusi dan pejabat public mengusung asas akuntabilitas dan transparansi. Semangat integritas, harus ditumbuhkan disetiap individu dan institusi. "Peraturan sekaligus penegakan hokum harus jelas dan tegas. Korupsi sulit diberantas jika perubahan dan kehendak tidak dimulai secara bersamaan". Ujarnya. (NOW/LOK/DIK/FAJ)