Tampilkan postingan dengan label Ideologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ideologi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Desember 2010

Pernyataan Umum Kosgoro 12 Desember 2010

Kalam;

Sebuah Ormas kebangsaan Kosgoro yang berciri independen, dan didirikan oleh para pelajar pejuang yang tergabung dalam Tentara Pelajar Republik Indonesia (TRIP) tahun 1957, dikomandoi Alm. Mas Isman. Satu-satunya tentara pelajar bersenjata di dunia, diantara 2 negara lainnya yang merdeka dengan perang; Alzajair dan Vietnam. Pergeseran nilai antara brigade pertempuran ke brigade pembangunan,  menjadikan Ia sosok pemimpin yang berani,  kritis konstruktif  sebagai bukti nilai-nilai kejuangannya. Kosgoro, sudah lama ‘tiarap’ tak bersuara, sekarang mulai menggeliat ingin tetap mengkritisi pemerintah,  sebagai kekuatan ‘moral force’. Isi pernyataan umum ini saya copy paste dari hasil Mukernas Kosgoro,  yang diselenggarakan baru-baru ini di Jakarta, dan saya muat di Blog  untuk memperkaya visi Indonesia kedepan, selamat membaca. Bravo!(a.m.a)

Pendahuluan

Kosgoro  melalui  Mukernas Kosgoro 2010, di Jakarta menyampaikan Pernyataan Sikap yang merupakan kristalilasi nilai dari aspirasi yang disampaikan oleh sebagian besar masyarakat tentang permasalahan permasalahan yang tengah dihadapi berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.    

Prinsip dan sikap Kosgoro mendukung Pemerintahan yang sah, namun tetap bersikap kritis konstruktif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat. Kosgoro selalu membangun etika dan etos kerja, kebersamaan dan kegotong royongan dalam peri-kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara baik  dibidang sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, dan penegakan hukum menuju Indonesia modern, demokratis dan adil dalam kemakmuran.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Mukernas Kosgoro 2010 menyatakan Pernyataan Umum sebagai berikut : 

 1.    Bidang Ideologi 
Di era keterbukaan dan demokrasi, Kosgoro memandang  perlu seluruh komponen bangsa untuk menyatukan perspektif ideology dalam peri-kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara guna terwujudnya Negara Indonesia  yang kokoh, utuh, demokratis dengan memperkuat sendi-sendi 4(empat) pilar kebangsaan : Pancasila,UUD 1945,NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, yang dilandasi oleh Sumpah Pemuda 1928.

Dalam rangka memperkuat Nation and Character Building, Kosgoro mendesak Pemerintah meng aktifkan kembali pelaksanaan pendidikan pemahaman dan pengamalan Pancasila secara murni dan konsekwen.  

2.   Bidang Politik
Bahwa check and balance  antara Eksekutif, legeslatif, dan Judikatif diperlukan partisipasi aktif rakyat sebagai pemegang mandate dan penyeimbang sehingga Penyelenggara Negara dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing lembaga.

a)    Kosgoro mengusulkan agar kabinet presidensil dapat berjalan secara efektif dan efisien maka demokrasi politik harus  dikembalikan kepada marwah Pancasila.

b)    Kosgoro berpandangan bahwa semangat state responsibility kepada rakyat berangsur menurun dan  para pemimpin mengambil jarak dengan rakyat. Dukungan rakyat sebagai konstituen hanyalah kepentingan sesaat untuk mendapat suara pada saat Pemilu dan Pilkada. Oleh sebab itu, Partai politik harus meningkatkan  pendidikan politik kebangsaan bagi para anggotanya.
c)    Kosgoro mendukung sikap tegas Presiden dalam mengambil langkah-langkah dan kebijakan untuk kepentingan bangsa dan Negara, termasuk mengganti pembantu Presiden yang dinilai tidak berprestasi

3.    Bidang Hukum dan HAM;

Kosgoro menjunjung tinggi tegaknya supremasi hukum, dan    menjadikan  hukum sebagai panglima, (Law state)  agar  terwujudnya Negara hukum yang dilandasi Pancasila.
Kosgoro berpendapat bahwa Revisi berbagai UU serta kodifikasi pasal-pasal dalam  KUHP, terutama KUHAP (pidana umum, pidana khusus) yang kurang relevan dengan perkembangan jaman, agar secara progresif mampu  memenuhi  rasa keadilan  dan citra penegakan hukum.

Kosgoro mengusulkan agar diberikan sanksi hukum yang tegas dan berat terhadap penegak hukum(kepolisian, kejaksaan,dan kehakiman), yang melakukan korupsi dengan menyalahgunakan wewenang sekaligus memberikan efek jera. Tetapi dilain pihak perlu diberikan penghargaan,  atau apresiasi sebagai kompensasi atas tugas-tugas  berat yang yang dilaksanalan dengan baik dan jujur.  

Kosgoro mendesak pemerintah untuk  menyatakan  Korupsi adalah bahaya laten yang harus ditumpas sampai keakar-akarnya karena menggerogoti kekayaan Negara, dan memiskinkan rakyat.

Koruptor harus di hukum seberat-beratnya dan seluruh kekayaannya disita untuk Negara dengan melakukan pembuktian terbalik bagaimana harta tersebut di didapatkan. Pemerintah harus segera memotong rantai korupsi karena sudah menjadi trend sebagai usaha bisnis baru, karena hukum bisa diperjual belikan, dan dalam proses pengadilan masih dimungkinkan berkolaborasi dengan para penegak hukum yang bermental  sogok, dengan memperoleh  pengurangan hukuman.

Kosgoro mendesak agar semua pelaku korupsi tanpa pandang bulu disita seluruh kekayaannya, dimiskinkan dan di cabut haknya untuk mendapatkan remisi.    

4.    Bidang Ekonomi.
         Kosgoro mengusulkan agar dengan segera menyusun system perekonomian nasional 
         yang diamanatkan oleh konstitusi.  Berdasarkan pasal 33 UUD ’45. 

Kosgoro setuju untuk melikwidasi BUMN yang tidak mampu menjalankan misi nya secara professional, untuk meningkatkan penerimaan Negara dan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi,  bagi BUMN yang strategis yang di jual kepada asing dengan mayoritas saham kepemilikan,  sangat bertentangan dengan pasal 33 UUD ’45. Kebijakan BKPM yang hanya mengejar target pendapatan dengan menjual asset Negara ke asing  tanpa memikirkan kepentingan nasional jangka panjang,  sangat melukai hati  rakyat, dan ini harus dihentikan segera.

Kosgoro mendesak pemerintah agar mengkaji ulang regulasi dan alokasi dana perimbangan  pusat dan daerah secara proporsional dengan memperhatikan  asas keadilan dan pemerataan.

Kosgoro mendesak pemerintah untuk mempercepat investasi langsung yang diutamakan pada sector riil, bukan kepada sector perbankan, dan lembaga keuangan lainnya. Insentif bagi sector UKM melalui kredit lunak, sangat membantu pertumbuhan dan memperluas   lapangan kerja  serta mengurangi pengangguran.

5.    Bidang pendidikan dan budaya
Kosgoro mengkontatir bahwa pendidikan kognitif yang berbasis  rasionalisme telah  gagal membangun  nation and character building. Kosgoro menyerukan, agar dunia pendidikan perlu menata ulang system pengajaran dan kurikulum yang berbasis martabat manusia dan hati nurani.

Pengembangan  Metoda pengajaran bersifat holistic yang memadukan IQ,EQ, dan SQ akan menjadi kekuatan kepribadian yang berkarakter dan punya integritas. Disamping itu  menata kembali kebijakan memasukkan mata pembelajaran baru tentang anti korupsi, sejarah perjuangan bamngsa, budi pekerti/ moral pancasila di- sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, adalah usaha prefentif semakin  kokohnya fundamen  Negara pada masa datang. Peningkatan Pendidikan politik berbasis budaya politik melalui ketauladanan  dan etika politik yang santun dan saling menghormati, adalah pembangunan karakter dan integritas.

Bukti bahwa bangsa ini telah Kehilangan martabat kemanusian, terjadinya degradasi moral, dan kehancuran nilai-nilai kejujuran  dengan maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme akan mengancam eksistensi NKRI.  perkelahian antara pelajar dan mahasiswa, konflik horizontal antar suku-suku, dan kelompok masyarakat lainnya memberikan indikasi bahwa  ada sesuatu yang hilang yaitu jati  diri dan kearifan lokal, sebagai bangsa yang bermartabat.

Kosgoro mengusulkan dalam pemeliharaan budaya yang egaliter, agar menghidupkan forum komunikasi kebangsaan melalui pendekatan  kekerabatan etnis sehingga terjadi komunikasi yang bisa saling memahami pluralism dan etnisitas. Komunikasi dan dialog dengan tujuan meminimalisir stigma negative antar etnis ini,  pada gilirannya akan mampu  membangun kembali perasaan kebangsaan, paham kebangsaan  sesuai dengan kebhineka tunggal ika an.

6.    6. Penghormatan Negara terhadap Daerah istimewa /Khusus

Negara RI sesuai dengan pasal 18 UUD ’45, secara eksplisit telah mengakui dan memberi keistimewaan bagi Kraton Ngayoyakarta .Berdasarkan sejarah perjalanan kemerdekaan  proklamasi 17 agustus. Pemerintahan pusat yang sempat hijrah ke Yogyakarta dan ke  Bukit tinggi karena kekosongan pemerintahan tertangkapnya, Soekarno dan Hatta, menjadikan Sultan hamengkubuwono 1X  menjadi tokoh kunci yang memfasiltasi  perlawanan RI dalam perang kemerdekaan melawan penjajah asing yang ingin berkuasa kembali di Indonesia.

Kosgoro mengusulkan kepada DPR, agar di dalam pembahasan RUU tentang DIY, lebih dikedepankan   pembahasan nilai konstitusi, nilai demokrasi dan nilai sejarah, secara komprehensif integrative.

Kosgoro  secara tegas mendukung penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY secara otomatis dijabat Sultan dan Sri Paku Alam.

7.    Pelaksanaan Pilkada dan Otda
 Penyelenggaraan Pilkada untuk pemilihan Gubernur, Bupati dan walikota selama kurun  
 waktu 6 tahun terakhir ternyata sangat tidak efisien karena memakan biaya penyelengaraan yang sangat besar.  Bahwa sampai dengan tahun 2010, telah dikeluarkan dana 14 Triliun, dengan rincian 10 Triliun dari kandidat calon bupati dan 4 Triliun dari pemerintah pusat.

Kosgoro menghimbau agar Pemilukada Gubernur yang selama ini dipilih secara langsung, dikembalikan kepada Pemilihan DPRD Propinsi.

Untuk memperkuat otoritas kepemiminan Gubernur, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, maka pengawasan  Pilkada Bupati/walikota  bersama KPU diberikan kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraannya secara jujur dan adil. Sedangkan di dalam penyelenggaraan Pilkada Bupati/walikota tetap dilakukan  secara   langsung, dipilih  oleh rakyat.

8.   Penutup

Demikian pernyataan Umum disampaikan untuk mendapatkan perhatian dari semua pihak yang berkepentingan.



Jakarta, 12 desember 2010.
Ttd:
H. Efendi Yusuf SH (Ketua umum PPK Kosgoro)
H. Syahrul J. Bungamayang SE (Sekjen PPK Kosgoro)

Senin, 15 November 2010

Mengenang Mas Isman di HUT ke- 53 Kosgoro (10 nop 1957 - 10 Nop 2010)

Oleh ; Abdul Muin Angkat


Saudara Isman,

Jiwamu tidak mati, tidak mungkin mati.

Engkau, seperti kita sekalian, berasal dari Tuhan.
Dan engkau telah kembali kepada Tuhan, seperti kita sekalian
Pada waktunya juga.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun !
(Sambutan DR. H.Roeslan Abdul gani pada 40 hari wafatnya Mas Isman di
Gedung Nasional Jakarta).

Pasca Mubes IV Kosgoro th 1978 di Semarang, adalah era baru atau angin baru bagi Kosgoro yang berhembus kencang. Mas Isman (alm), Pendiri Kosgoro tgl 10 Nopember 1957, di Semarang gencar mengkritisi Pemerintahan Soeharto c/q Golkar untuk menyuarakan 'semangat kerakyatan' dan pembaharuan system politik yang authoritarian dan represif Orde baru. 

Tak salah kalau Sarwono Kusumaatmadja politisi yang 'bersinar' kala itu dikancah perpolitikan nasional, kepincut, dan ikut masuk Kosgoro sebagai salah satu Ormas yang berbasis kebangsaan. Ketika pada satu ketika ditanyakan apa alasan persisnya mau 'ke kosgoro'? beliau enteng menjawab': …"Karena Kosgoro yang dipimpin oleh Oleh para eks Pelajar pejoang - - bersikap terbuka - - dan kritis terhadap Pemerintah. . ."

Ibarat gayung bersambut, Sarwono berkiprah di Kosgoro, dan oleh mas Isman diberi tanggung jawab untuk memimpin Grup Diskusi Nasional dan Badan Fortanas. Kedua badan inilah yang menjadi ujung tombak kaderisasi kosgoro yang secara teratur melakukan dialog dan debat terbuka antar kader dan yang pada gilirannya menjadi 'clearing house' guna meluruskan visi misi kejuangan organisasi.

Sesuatu yang tidak bisa disangkal eksistensi Kosgoro (salah satu eks Kino yang berpengaruh) sebagai penopang kekuatan Sekber Golkar yang memenangkan Pemilu 1971 dengan suara 62,8 % merupakan tonggak hegemoni Golkar pada Pemilu-Pemilu selanjutnya, di zaman Orde baru. Maka tidak salah apabila Sejak saat itu kader-kader Golkar yang berbasis di Kosgoro muncul dipermukaan duduk dalam cabinet Ordebaru, dan jabatan penting lainnya. Sebut saja misalnya, Martono, Soeprapto, Siswono Yudohusodo, Hayono Isman, Agung Laksono, Theo Sambuaga, Marzuki Achmad, Sunaryo Hadade, Bambang W. Soeharto, ………dst.

Dalam buku Peran Historis Kosgoro oleh Ramadhan KH, Suhardiman selaku ketua Umum SOKSI berpendapat bahwa dibawah kepemimpinan Mas Isman berhasil meng-integrasikan kekuatan Tri Karya (Kosgoro, Soksi, MKGR) sebagai pilar utama Golkar. Walaupun dalam format tersebut ada pilar A(bri) B(irokrat) namun pilar O(organisasi dalam Golkar) terutama Tri karya masih dominan mewarnai perjalanan Golongan Karya. Disorganisasi terjadi secara faktual setelah terjadinya pengendalikan Golkar diluar paham 'kekaryaan' sebagaimana dimaksudkan para pendiri. Tiga kekuatan paham tersebut adalah HMI (personifikasi Abdul Gafur), Sosialis (Midian Sirait), Katolik (Cosmas Batubara).

Keinginan Mas isman untuk tetap mempertahankan 'trade mark' dalam suatu kekuatan Tri karya yang mewarnai Partai Golongan Karya terhenti setelah almarhum tiada, dan ternyata sudah lama terkontaminasi oleh paham lainnya. Sejak tahun 1978 ternyata Golkar dan partai politik sudah menghapuskan 'politik' sebagai pemikiran untuk mempersoalkan 'keadilan' bagi rakyatnya, justru mencari dan membagi kekuasaan untuk kepentingan kelompok. 

Adalah bukti sejarah yang tidak dapat dihapus bahwa pemuda pelajar pejoang yang tergabung dalam TRIP Jawa timur adalah 'kumpulan pelajar yg gila perang' (di dunia; hanya Vietnam dan Indonesia yg punya tentara pelajar yg heroic), yang telah mengorbankan 44 suhada terbujur damai, menjadi martir pada Perang Kemerdekaan sepanjang 1945 sd 1950, yang mengusir tentara pendudukan Inggris dan Jepang di Surabaya - - dan setelah mana mereka mendirikan Kosgoro pada tahun 1957 - - sebagai Organisasi perjoangan baru, untuk membuktikan komitmen dan krenteg untuk tetap mengabdi kepada Bangsa dan Negara. Mas Isman sebagai eks Komandan Trip berujar; …"Mari beralih dari Brigade Pertempuran ke Brigade Pembangunan".

Tokoh Pejuang Nasional

Selasa, 14desember 1982, jenazah Mas Isman yang seharusnya di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, atas permintaan keluarga, dikebumikan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, agar lebih dekat dengan rakyatnya. Rencana ibadah Umroh nyaris terlaksana seandainya Alkhalik tidak memanggilnya segera tgl 12 desember 1982, jam 02.12, kembali ke rahmatullah dengan tenang di RS Dr. Soetomo Surabaya. Suasana haru yang menggayut para pelayat semakin diliputi rasa haru yang dalam ketika jenazah di semayamkan di Jl. Cikditiro 34, di rumah kediaman almarhum. Lagu 'Temanku Pahlawan' lirih dinyanyikan remaja Trip lamat-lamat, - - Teringat ku kan padamu Pahlawan Indonesia/ waktu kau akan kembali ke alam yang baka/ Terbayang roman muka mu yang suci dan bersih/ Saat tiba kan menghadap kehadirat Ilahi/ Dengan tulus ikhlas kau korbankan jiwamu/ Kau basahi bumi dengan darah kesatriamu/ Tak akan lenyap jasamu daripada ingatan/ Perjuangan ku teruskan sampai ke akhir zaman.


Jenderal Surono, selaku Menko Kesra mewakili Pangab/Menhamkam M. Yusuf, bertindak sebagai Inspektur Upacara. Mengikuti upacara yang berlangsung khidmat, berbagai lapisan masyarakat tumplek di area Makam, bukan hanya kader-kader Kosgoro, teman seperjuangannya semasa di Trip, sejumlah Menteri dan para anggota DPR/MPR, dan masyarkat luas,ikut mengantarkan Almarhum ke peristirahatan terakhirnya.

Dalam pidatonya Surono mengemukakan bahwa almarhum Mas Isman adalah seorang Tokoh Pejuang Nasional, baik pada masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan selaku komandan Trip di Jawa Timur, maupun dalam masa pembangunan dewasa ini, selaku Ketua Umum Kosgoro. Figur Mas Isman termasuk salah seorang pejuang yang berani, ulet dan tekun dalam mencapai cita-cita perjuangan. Almarhum berani mengatakan yang salah terhadap apa yang disadarinya sebagai suatu kesalahan, dan berani pula mengatakan benar, apa yang dianggap benar. 

Dilingkungan pemuda pada umumnya, para eks tentara pelajar dan pemuda pejuang pada khususnya, beliau dikenal sebagai tokoh berwibawa, diterima secara luas, selalu bersifat terbuka, dan menunjukkan ciri sebagai seorang democrat yang baik. Dikalangan para generasi muda, beliau dikenal sebagai seorang Pembina yang sabar, bersikap edukatif, persuasive, dan berpandangan jauh kedepan. Tak salah kalau Mas Bambang Soeharto di dalam sambutan selaku Ketua Dewan Penasehat Kosgoro, dalam resepsi Ultah ke 53 tgl 10 Nopember di Jl. Teuku Cikditiro 34, mengatakan bahwa lahirnya Kosgoro yang yang ingin menguji 'krenteg'para pejuang '45 untuk berkiprah dalam pembangunan karena 'tidak kerasan' dalam situasi pergolakan politik dan intrik diantara kesatuan bersenjata dewan banteng, dewan gadjah dan seterusnya, - --"Kosgoro bukan pengekor, tapi harus menjadi pelopor- -".

Tradisi Perjuangan yang Mandek

Melihat aktualisasi pelaksanaan Demokrasi pasca reformasi sekarang dimana terlihat adanya gap antara das solen dan das sein maka apa yang terjadi pada sekitar tahun '51 sd '57 saat pergolakan politik menjelang kelahiran Kosgoro, hampir sama, karena kurangnya komunikasi politik antara Parpol dan Ormas sehingga terjadinya 'diskrepansi' antara lembaga politik dengan realitas politik. 


Lembaga politik sebagai kekuatan supra struktur terlalu dominan, sehingga sangat mengganggu berjalannya aspirasi masyarakat dan tidak tertampungnya secara genuine ide-ide pembangunan masyarakat. Terjadilah pemborosan sumber daya manusia, sumber daya alam, potensi maupun dana yang tergerus untuk kepentingan politik, tetapi tidak membawa kemaslahatan kepada rakyat kecil. Contoh sederhana adalah pelaksanaan "pilkada" yang justru melenceng kearah penggunaan demokrasi secara tidak terkontrol karena terjadinya manipulasi dan money politic. Fenomena  gonjang ganjing politik semasa Orde baru di kritisi oleh Mas Isman  agar warna 'kekaryaan' tetap taat azas seperti kelahiran Sekber Golkar terdahulu sebagaimana  analisis di bawah ini.

Pertama, pandangan Mas Isman terhadap perlunya kekuatan baru untuk menampung 'kekaryaan' dari kekuatan non Abri (baca; TNI), dan golongan afilisasi lainnya, sebenarnya bukanlah dimaksud sebagai reprentasi dari Partai Golkar sekarang, tetapi lebih dimaksudkan kepada usaha mengamalkan dan mengembangkan karya-karya kemasyarakatan secara demokratis. Pembinaan demokrasi sesungguhnya tidak mutlak hanya diberikan kepada Parpol, akan tetapi juga secara adil dipangku oleh Ormas kebangsaan, Ormas lainnya, sebagai pertanggung jawaban golongan-golongan terhadap perjalanan demokrasi. (yang dimaksudkan golongan karya (kecil) bukanlah Golongan Karya (besar) yang berkonotasi politik tertentu sebagaimana dijelaskan di dalam Pedoman Perjuangan Kosgoro).


Kedua, Pandangan Mas Isman terhadap pentingnya pemeliharaan dan penciptaan iklim politik yang stabil dan konstruktif, dalam rangka kontinuitas pembangunan, dalam kehidupan nasional. Tradisi perjoangan yang merupakan rantai perjalanan kebangsaan dari angkatan '28, angkatan '45, angkatan '66 serta angkatan reformasi, sekarang ini kehilangan 'greget' karena seolah-olah terpisah satu sama lain. 

Apa yang dimaksudkan sebagai orde reformasi menggantikan peran Orde baru, tidak diikuti dengan paradigm baru sebagai satu model pembangunan kedepan kearah mana bangsa ini mau dibawa oleh para pemimpinnya. Apa yang pernah dikumandangkan oleh mahasiswa ketika 'menjatuhkan' Rezim Soeharto 12 tahun yang lalu, hampir tidak bermakna dan dilupakan dan sampai sekarang karena tidak pernah dirumuskan kembali untuk di evaluasi.
Apakah Pemerintah konsisten terhadap pembangunan yang berbasis pada pasal 33 UUD'45? Mengapa iklim Kapitalisme, liberalism dan neo liberalism pada kenyataannya tetap dilaksanakan secara kasat mata? Mengapa gaya/ sistem perpolitikan nasional lebih liberal dan menghilangkan aspek musyawarah dan mufakat? Pertanyaan tersebut hanyalah ingin menjelaskan bahwa perjalanan demokrasi seperti yang dipikirkan oleh Mas Isman di dalam buku "Mengenang Mas Isman" (Kasno widjojo; 1995) ternyata masih relevan saat ini.

Ketiga, pandangan Mas Isman terhadap kepemimpinan adalah lahirnya seorang pemimpin yang mampu berkomunikasi dan bisa menangkap getaran jiwa rakyat, khususnya pada masyarakat terbesar bangsa ini yaitu para petani.. Dengan tidak adanya komunikasi yang intens terhadap rakyat dan pemimpinnya, maka akan terjadi disharmoni dan jurang yang dalam diantara keduanya. Pemimpin tidak tahu aspirasi rakyat, selanjutnya rakyat tidak tahu apa yang dikehendaki pemimpin. Kekuasaan yang sejatinya diikhlaskan oleh rakyat di dalam proses demokrasi, dalam prakteknya berobah menjadi kelaliman. Yang memimpin minta dijunjung, yang dipimpin malah terbebani.

Secara komprehensif–integratif Mas Isman jauh hari sudah memprediksi bahwa perjuangan bangsa di fokuskan memerangi keterbelakangan, kebodohan, kemelaratan dan kemiskinan yang masih mencengkram kehidupan rakyat. Dengan kalimat yang lebih indah adalah untuk melancarkan pembangunan yang bisa mengangkat tingkat kehidupan rakyat. Yang menjadi tantangan adalah, mampukah transformasi pembangunan dari masyarakat terkebelakang (baca; Negara berkembang) diarahkan, menjadi Negara modern yang makmur dan sejahtera? 

Terhadap pertanyaan ini, penulis membandingkan bahwa Brazil sebuah Negara yang juga pada tahun 1998 mengalami nasib yang sama dengan Indonesia, terkena krisis ekonomi global, akhirnya hanya dalam hitungan 12 tahun dibawah Presiden Luna, bisa memakmurkan 20 juta rakyat miskin, terangkat derajad kehidupannya menjadi kelas menengah yang makmur dan sejahtera. 

Padahal sebenarnya sumber daya manusia dan alam Indonesia jauh lebih baik daripada Negara Brazil. Indonesia yang dijuluki masyarakat yang toto tentrem loh jianawi masih terpuruk dalam angka 15 % (35 juta) rakyat Indonesia masih dibawah garis kemiskinan oleh PBB, (2008), dengan perhitungan pendapatan percapita/perhari Rp. 205.000 /per bulan (di kota) dan rp 165 000/per bulan ( di desa). Sejatinya kalau mau jujur, kebutuhan hidup perhari rakyat Indonesia adalah 2(dua) dollar maka diperkirakan sebanyak 100 juta rakyat masih dikategorikan Miskin, di Indonesia. 

Keempat, pandangan Mas Isman terhadap terhadap 'kegotong royongan'.Jiwa dan pengertian gotong royong, membawa Bangsa ini kepada pengertian yang bersatu, kekeluargaan dan saling tolong menolong; yang kuat membantu yang lemah dan atau sebaliknya, yang lemah meminta bantuan kepada yang kuat, yang pintar membantu yang kurang pintar atau sebaliknya, yang kaya membantu yang miskin atau sebaliknya, Yang kuasa melindungi yang tidak kuasa atau sebaliknya. Pergaulan dalam pengertian hal diatas, dikenal dengan sebutan "Ojo dumeh", yang artinya, janganlah kita mentang-mentang berkuasa, mentang-mentang kaya, mentang-mentang pintar, lantas kita berbuat sekehendak hati pada orang lain. 

Apa yang dicita-citakan mas Isman dalam konteks kegotong royongan di atas untuk membawa Negara bangsa ini kepada kehidupan lebih baik, bersatu, bersifat kekeluargaan dan mantaati Pancasila secara konsekwen, ternyata jauh panggang dari api. Dengan kekuasaan yang semena-mena, BUMN Krakatau Stell, yang diperjuangkan dengan susah payah oleh Bung karno ternyata di jual ke pasar modal, 35 % saham di jual ke- pihak asing. Bukankah ini bertentangan dengan pasal 33 UUD '45 yang menyatakan bahwa seluruh hasil bumi, air dan udara di gunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat? Namun, apa yang terjadi pada BUMN strategis Krakatau Stell dewasa ini?  ternyata Hendri Saparini menguak tabir di Kompas 15 nopember 2010, bahwa sekarang kepemilikan PT 'KS' hanya 30 % dan Posco 70% sebuah perusahaan dari Korea Selatan. Akankah rakyat 'menangis' tanpa bisa berbuat apa-apa?

Kelima, pandangan Mas Isman terhadap Pahlawan Bangsa, perintis kemerdekaan dan seluruh rakyat yang telah memberikan segala-galanya demi kemerdekaan. Jadikanlah pengorbanan mereka sebagai pengingat dan penghati-hati di dalam menjalankan misi perjoangan yang belum selesai - - karena pengorbanan rakyat demikian besarnya terhadap perjoangan bangsa, hendaknya selalu dipupuk sikap rendah hati - - -luwes dalam penampilan namun tetap tegas dalam berpegang pada prinsip-prinsip perjoangan. Jangan sekali-kali menyakiti hati rakyat, jangan angkuh dan suka menakut-nakuti rakyat.

Perpecahan dan Rekonsiliasi

Di dalam kenyataan perpecahan Kosgoro antara dua kubu yaitu kubu Agung laksono yang menamakan dirinya Kosgoro 1957, dan kubu Mas Hayono isman, yang disebut sebagai kubu Kosgoro independen. Masihkah ada kemungkinan dua kubu berseteru untuk kembali ke khittah? Tentu, rambu-rambu kepentingan politik jangka pendek merintangi jalannya rekonsiliasi tersebut. Karena Kosgoro '57 telah menjadikan dirinya di dalam AD/ART menjadi onderbouw Partai Golkar? dan menafsirkan "kekaryaan" Kosgoro identik dengan GOLKAR (huruf besar), atau karena salah menafsirkan Kosgoro adalah salah satu kino dalam pembentukan Sekber Golkar, sehingga otomatis Kosgoro merupakan bagian dari Golkar.

Padahal di dalam Pedoman Perjoangan jelas dinyatakan Kosgoro adalah 1) golongan karya (huruf kecil) dan 2) Kosgoro adalah koperasi yang bernaung di bawah Gerakan koperasi Indonesia. Secara eksplisit juga dinyatakan bahwa Kosgoro tidak ber-afiliasi dengan partai manapun. Bukankah pengingkaran daripada prinsip dasar ini telah dilanggar oleh Kosgoro '57?


Selama masih ada kepentingan politis sesaat yang menjadi akar terjadinya dua Kosgoro, maka rekonsiliasi yang diharapkan sukar akan terwujud. Persaingan dan ambisi diantara dua figure utama, antara Mas Hayono Isman dan Mas Agung Laksono yang berkepanjangan, mengakibatkan cita-cita Kosgoro menjadi mimpi dialam realitas. Kekuatan itu telah musnah sesaat keikhlasan berkorban tercerai berai di dalam hati generasi pelanjut, yang tidak menangkap sinyal dan getaran jiwa perjuangan Mas Isman. 

Di dalam kesatuan Trip (Tentara Republik Indonesia Pelajar) yang merupakan cikal bakal Kosgoro, selama bergerilya lebih lima tahun, sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai perang kemerdekaan yang diakhiri tahun 1951, rasa solidaritas dan kohesifitas sesama lasykar begitu erat sehingga mampu menjadi kekuatan dahsat untuk mengusir kaum penjajah yang berusaha masuk kembali menancapkan kuku kolonialnya di bumi pertiwi.

Transformasi nilai-nilai kejuangan yang dilakoni eks pejuang Trip, diwaktu malam berjaga dengan senapan ditangannya, masih terlintas dalam pikiran mereka: …"rakyat yang melarat-menderita ditengah-tengah alam yang subur makmur, - - - tergugah pikiran dan tekad untuk mengangkat derajad kehidupan rakyatnya". Masihkah nilai-nilai kejuangan tersebut menjadi prinsip dasar kejuangan Kosgoro di alam pembangunan? Atau apakah doktrin Pengabdian, kerakyatan dan solidaritas hanya menjadi pemanis dan lipstik di bibir? Pertanyaan ini semoga menggugah para generasi penerus Kosgoro terutama para kader biologis maupun kader geneologis langsung dari Mas Isman.

Model Kepemimpinan Mas Isman

Sebenarnya model kepemimpinan yang bagaimana yang diperankan oleh Mas Isman di dalam kiprah perjoangannya sejak dari Pendiri TKR Pelajar Surabaya tahun 1945, Komandan Trip, Duta besar, Asisten VI Pangab berpangkat Mayjen, serta Ketua Umum Kosgoro? 


Model Kepemimpinan situasional. Teori ini memiliki kecenderungan terhadap dua hal yaitu konsiderasi dan inisiasi. Konsiderasi merupakan kecenderungan pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan, seperti membela dan memberi masukan kepada bawahan. Sedangkan inisiasi, merupakan kecenderungan pemimpin memberikan instruksi kepada bawahan, dipengaruhi oleh adanya mekanisme kerja yang terstruktur di dalam pelaksanaan tugas. 

Semasa hidupnya di- rumah kediaman jalan Cikditiro 34, semua tamu dan teman-teman seperjuangan diterima dengan baik, bahkan pengurus Kosgoro dari daerah bisa langsung bertemu dikamar beliau tanpa aturan protokoler. Almarhum sangat memperhatikan keadaan keluarga, sangat akrab kepada anak buah terutama kepada mereka yang masih lemah kehidupan ekonominya. Dalam pengelolaan manajemen organisasi, fungsi serta tanggung jawab tugas, dilakukan secara terbuka dan akuntabel. Penempatan pengurus dibahas secara objektif sesuai dengan kemampuan dan latar belakang pendidikannya.

Model kepemimpinan transformative. Teori Transformasional oleh Burns (1978), menekankan bahwa seorang pemimpin perlu memotivasi bawahannya untuk melakukan tanggung jawab mereka lebih dari yang mereka harapkan, Mereka harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan kredibilitas pemimpinnya. Menurut Bass (1988), seorang pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang kharismatik, dan merupakan peran sentral membawa organisasi mencapai tujuan. 

Dari uraian diatas, bagaimana seorang pemimpin bisa mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi didapatkan dari Forum Orientasi dan Tatap Muka (Forta) yang diselenggarakan sebagai wadah kaderisasi untuk mensosialisasikan Pedoman Perjuangan Kosgoro keseluruh wilayah, dan menangkap potensi dan program unggulan apa yang akan dikembangkan di satu daerah sesuai aspirasi yang berkembang. 

Dengan bukti terselenggaranya Satuan pendidikan, semula sebanyak 400 institusi, dan terbentuknya koperasi dan puluhan Bank perkreditan rakyat, menandakan program sosial ekonomi Kosgoro di dukung oleh masyarakat luas. Kerjasama Pertanian dengan pihak Jepang di Lampung, PT. Mitsugoro. Disamping itu, pemberian Beasiswa kepada mahasiswa berprestasi, tapi tidak didukung dana yang memadai di perguruan tinggi negeri, dibantu oleh Yayasan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Mitsui-kosgoro. Kosgoro yang bekerjasama dengan perusahaan MITSUI&CO.,LTD. - Jepang, berhasil memberi bantuan beasiswa dan menjadikan jumlah Alumni penerima sampai saat ini, mencapai 1000 orang yang tersebar diseluruh negeri. 

Semua yang dikerjakan Mas Isman sangat monumental, tetapi apakah kepemimpinan Kosgoro setelah 28 tahun pasca Mas Isman, masih melahirkan kepemimpinan situasional dan transformasional, yang juga memiliki serangkaian kompetensi yang bersifat antisipatif, cepat dan komunikatif? Di dalam era perubahan dan era globalisasi sekarang, nampaknya sebuah organisasi kemasyarakatan harus mampu menerjemahkan visi, misi baru untuk berkompetisi secara sehat dan inovatif. Seperti pesan Mas Isman sebelum wafat, kalian janganlah seperti bebek-bebek kalau suatu saat saya sudah tiada. Atau benarkah sinyalemen James F. Bolt (2009), bahwa telah terjadi krisis pengembangan kepemimpinan, karena para pemimpin kita memang missing in action? Wallahu alam bis sawab.(a.m.a)
  
  

    
  
    
    
  
    
  



















 

Selasa, 19 Oktober 2010

“Kembalikan Pancasila sebagai Roh Bangsa”


Kalam.
       Sungguh, judul di atas sangat  menyentak sanubari kita, betapa rawannya posisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditengah-tengah perubahan yang tidak berujung setelah terjadi Reformasi jatuhnya Rejim penguasa Orde baru yang otoritarian dan  koruptif selama 32 tahun menguasai negeri ini.
        Pancasila  yang pada waktu itu telah menjadi satu-satunya Ideologi Bangsa, Filsafat Negara dan merupakan Pandangan hidup Bangsa, kini terlupakan dan ditinggalkan beramai-ramai baik oleh Negara maupun Partai Politik yang dengan  buta hati menutup pedoman perilaku ber Negara dan bermasyarakat, menjadi anomaly !    Padahal, salah satu tujuan Pancasila sebagai ideology Negara adalah untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia itu sendiri seperti yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, pada alinea keempat- - dimana Ideologi Pancasila juga merupakan Azas kerohanian untuk mewujudkan Pandangan hidup, pedoman hidup dan pegangan hidup masyarakat Indonesia - - (Notonagoro).
       Coba bayangkan, pergeseran model korupsi antara Orde Baru dan masa reformasi sekarang. Kalau dahulu dikuasai oleh kroni dan keluarga  Soeharto, maka sekarang lebih massif, sampai-sampai setiap Bupati , Gubernur maupun Menteri dan pejabat negeri serta jajaran penegak hukum ikut rame-rame tanpa risi dan malu sedikitpun ikut banca’an menguras dan menggerogoti uang Negara. Mereka seolah tidak takut kena hukuman, karena antara sisa hukuman dan keuntungan hasil hasil korupsi masih berlimpah, malah lamanya hukuman masih bisa di-negosiasikan melalui makelar hukum yang merupakan mafia di institusi penegakan hukum. 
        Selain kasus Gayus misalnya, Seorang  pejabat  pajak lainnya ditemukan mentransver uang sebesar 1 triliun ke- rekening istri dan kedua putrinya, jelas-jelas tidak diketahui asal usulnya. Mengapa pola tingkah laku yang bermartabat dan  bermoral tidak tertanam pada sanubari insane Indonesia?apakah karena minimnya sosialisasi nilai-nilai Pancasila baik secara lisan maupun tertulis tidak tercermin di dalam kode etik Institusi? serta lemahnya pemahaman agama serta pengamalannya?Mengapa pelaksanaan Pancasila secara murni dan kosekwen dilupakan?Atau, apakah penindakan hukum terlalu ringan hingga tidak menimbulkan efek  jera?Rusaknya tatanan hukum dan hancurnya moral para penyelenggara Negara akan membawa Negara bangsa ini kepada kehancuran peradaban yang tak terperikan.
        Dari kasus mafia pajak Gayus di Pengadilan Jaksel 19 oktober membuka borok kejaksaan yang membeli   surat rencana tuntutan (Rentut) dua lembar seharga 1 milyar. Transaksi ini dilakukan untuk mengetahui berapa tuntutan jaksa yang diarahkan kedirinya. Dan ternyata persis setelah tuntutan dibacakan sesuai dengan permintaan Gayus Tambunan,  Rentut tersebut  ditandatangani oleh  Pohan Lasphy Direktur Penuntutan Pidana  Umum, Kejagung, serta Jampidum Hamzah Tanja,  jatuhlah hukuman 1 tahun hukuman percobaan Apalagi yang kita banggakan di Negara Pancasila yang konon menjunjung tinggi supremasi hukum  tetapii  manusia  dibalik  the man behind the gun, cacat moral?
       Sebagai Ideologi Negara, seyogianya Pancasila merupakan dasar dalam kehidupan berbangsa. Juga merupakan sumber dari segala sumber hukum yang menjadikan tertib hukum  untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasional. Didalam implementasi Pancasila sebagaii pembangunan pendidikan,  ternyata BHP dianulir oleh Mahkamah Konstitusi karena dibelokkan kearah liberalisasi pendidikan. Di dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi seyogianya system perekonomian Pancasila yang berbasis pasal 33 harus sepenuhnya menjadi landasan filosofisnya di dalam pelaksanaannya kenyataannya  diterapkan sebagai liberalism, kapitalisme bahkan neo liberalism yang mendewakan pasar bebas, pertumbuhan dan individualism.
      Pancasila sebagai basis pembangunan politik dan hukum pun masih banyak menyisakan exercise yang harus disesuaikan untuk kemaslahatan dan tertib sosial masyarakat bangsa. Di dalam konstitusi dinyatakan system ketatanegaan adalah Presidential cabinet, ternyata pelaksanaannya adalah system parlementer. Seyogianya  pelaksanaan kedaulatan  rakyat oleh DPR dijalankan secara musyawarah dan mufakat di dalam perwakilan, malah diselewengkan dengan membentuk badan  Sekretariat gabungan koalisi, yang berada di luar parlemen.  Sila ke-dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab ternyata diterima oleh masyarakat sebagai sinyal kosong, ditengah  maraknya  perang suku, kelompok dan Gangster dengan terjadinya berbagai tindakan anarkhisme. Bukankah semua fenomena ini menunjukkan tidak  konsistennya para pemimpin,  terhadap komitmen bernegara? malah secara tegas dapat dikatakan, bahwa  telah terjadi manipulasi, pembiaran dan penyelewengan terhadap ideology Pancasila.
      
      Kita kembali kepada sejarah,  bukankah Pancasila  dalam perspektif Negara kesatuan merupakan wujud consensus nasional karena telah disepakati oleh para pendiri  Negara  di dalam sidang-sidang BPUPKI?Bukankah pada sidang pertama BPUPKI tgl 29 mei sd 1 juli 1945- - tgl 1 juni,  Bung Karno pertama kali berpidato tentang Pancasila?. . .”Saudara-saudara!  dasar Negara telah saya sebutkan, lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? bukan! Nama Panca dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar…..namanya bukan Panca dharma, tetapi ….saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa ….namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar dan di atas kelima  dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi”.(dalam 20 tahun Indonesia Merdeka, Deppen RI 1965).
       Kedalaman kajian  kelima sila dari Pancasila  sebagai rumus I,  yang dikemukakan oleh Soekarno sebenarnya telah melalui  perenungan yang mendalam yang mungkin belum tersosialisasi secara umum; pertama, kebangsaan Indonesia, mufakat dan demokrasi sama dengan marhaenisme, juga sama dengan nasionalisme San Mincu I milik Dr. Sun Yatsen (mintsu,min chuan, min sheng/nasionalisme, demokrasi dan sosialisme)  - - termasuk kesejahteraan umum dan keadilan sosial, Kedua, Internasionalime atau Perikemanusiaan sama denganInternasionalisme (kosmopolitanisme)  milik A. Baars. Ketiga,  Prinsip ketuhanan diambil dari pendapat-pendapat para pemimpin Islam yang berbicara terlebih dahulu.
       Kalaulah benang merah lahirnya Pancasila sebagai Ideologi Negara yang pada tgl 22 juni 1945 di syahkan oleh Panitia Sembilan, sebagai Piagam Jakarta dimana Pancasila berubah menjadi rumus ke II, maka pada tgl 18 agustus 1945  berubah lagi dengan  rumus ke III, dengan menghilangkan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tgl 18 agustus 1945 PPKI berhasil menetapkan Pembukaan UUD 1945 sekaligus dengan UUD 1945, serta memilih Presiden dan WakilPresiden untuk pertamakalinya setelah Proklamsi kemerdekaan 17 agustus 1945.
       Mungkinkah perubahan esensial dari rumus Pancasila yang termaktub di dalam Piagam Jakarta yang diterima oleh sidang BPUPKI tgl 17 juli 1945 menjadi rumus Pancasila   oleh PPKI yang ke III, dianggap tidak legitimate? Semoga ini bukan sebagai  alasan  pemicu hilangnya  Roh Pancasila  karena antara golongan nasionalis dan agama seolah-olah “tertanam bibit ketidak ikhlasan” menerima Pancasila sebagai Ideologi negara. Semoga Kebesaran jiwa dan kenegarawanan tokoh Islam masa lalu dan masa kini tetap konsisten karena  sangat berpengaruh menjaga dan memelihara momentum kesejarahan  ini,  sampai akhir zaman.
       Hal lainnya  yang merupakan dinamika rumusan Pancasila walaupun pada Mukaddimah UU Dasar sementara RIS rumusan IV dan V Pancasila masih berubah secara redaksional, dan sampai kepada Pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945, Pancasila yang lahir tgl 1 Juni tersebut ternyata masih di interpretasikan oleh Soekarno sebagai  Tri sila dan Eka Sila(gotong royong).
      Barulah  pada perjalanan selanjutnya Pengertian Pancasila sebagai dasar Negara yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945, sebagaimana tertuang di dalam memorandum DPR-GR 9 juni 1966 dan Oleh TAP MPR no IX/MPR/1978 menegaskan bahwa kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
       Dari sejarah panjang lahirnya Pancasila dapatlah di simpulkan ; pertama, bahwa penetapan Pancasila yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945 oleh PPKI tgl 18 agustus 1945, merupakan perwujudan dan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang merdeka. Kedua Negara Indonesia adalah Negara Pancasila\; Negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakan semua perundang-undangan yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila.   
       Semoga tumbuh kesadaran baru tentang Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa, ideology, pegangan  hidup. Eksintensi Pancasila harus tetap di pertahankan, sesuai dengan Inpres no. 12, th 1968 bahwa pengucapan, penulisan dan rumusan Pancasila sebagai dasar Negara RI nyang syah dan benar adalah sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
       Pada Seminar Pancasila di Yoyakarta menjelaskan bahwa Pancasila  merupakan kesatuan organis dimana antara sila yang satu dan sila lainnya saling mengkualifikasi secara hirarkis pyramidal, dan berporos kepada sila pertama yaitu ketuhanan Yang maha Esa. Seandainya terlahir sebuah strategi yang direncanakan secara komprehensif yang mengintegrasikan resources dan kapabilitas bagaimana meraih tujuan kemakmuran dan keadilan sosial  dengan basis Pancasila, maka kiranya bangsa ini tidak perlu belajar kenegara tetangga maupun latin, untuk menjadi Negara sukses.
       Laporan wartawan Kompas terbitan senin 18 oktober 2010, sesuai judul di atas menarik untuk direnungkan seperti saya copy di bawah ini, semoga menjadi inspirasi adanya  perubahan  persepsi dan aksi sebagai jawaban adanya rongga kosong yang mengisi perjalanan bangsa  selama  12 tahun pasca reformasi, beku  tanpa makna ideology. (a.m.a)
      
         Aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, baik pada tataran kebangsaan, Negara maupun  masyarakat, sangat mendesak. Kalau  Pancasila tidak segera dikembalikan sebagai roh bangsa Indonesia dikhawatirkan  akan muncul ideology alternative yang akan dijadikan landasan perjuangan  dan pembenaran bagi gerakan – gerakan radikal.
       Hal itu diungkapkan pengamat politik dari CSIS, J. Kristiadi, dalam diskusi berpikir ulang  tentang “Bhineka Tunggal Ika melalui Gadget” yang digelar Institute for multicultalism and Pluralism Studies, sabtu (16/10) di Yogyakarta. Hadir sebagai pemakalah dalam diskusi ini pengamat politik Yudi Latif dan Seno Gumira Ajidarma.
       Dalam makalahnya Kristiadi mengungkapkan, tiadanya ideology yang  memberikan arah perubahan politik dikhawatirkan memunculkan gerakan-gerakan radikal, baik  yang bersumber dari rasa frustasi masyarakat  dalam menghadapi ketidak pastian  hidup maupun akibat dari manipulasi  dari sentiment primordial. “Gerakan-gerakan radikal radikal semacam ini tentu  sangat  berbahaya karena mengancam kebhineka tunggalika-an serta memutar kembali proses demokratisasi kepada situasi yang mendorong  munculnya kekuatan yang otoritarian maupun memicu anarki sosial  yang tidak berkesudahan” paparnya.
       Tidak mustahil, kalau Pancasila tidak segera kembali sebagai  roh bangsa Indonesia, dikhawatirkan akan muncul ideology alternative yang akan dijadikan landasan perjuangan dan pembenaran bagi gerakan-gerakan radikal.

Pemersatu
        Yudi mengungkapkan, perbedaan-perbedaan akan berjalan damai apabila Negara bisa menjadi pelindung bagi semua pihak dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu, termasuk hak beribadah. Apabila Negara  tidak mampu, akan memunculkan eksklusivisme  dan fundamentalisme. “Negara bisa menjadi pemersatu dan pemecah belah” ungkapnya (RWN).                 

Kamis, 19 Agustus 2010

Kembali ke Persoalan Dasar


Kalam ;
Mengapa para pemimpin kita tidak taat konstitusi?Apakah mereka sebagai penerus generasi tidak pernah membaca Sejarah Perjoangan Bangsa di mulai dari Kebangkitan Nasional 1908, 1928, 1945, Perang Kemerdekaan, 1955, 1959, 1965, Orde baru sampai dengan 1998 pasca reformasi?

Betapa sulit, dalam, dan luasnya pembahasan yang berbasis ilmu pengetahuan di dalam Seminar Pancasila yang di Pidatokan oleh Prof. Mr.Drs. Notonagoro (17 Februai 1959)yang menjelaskan secara ilmiah tempat dan kedudukan Pancasila di dalam ketatanegaraan Indonesia sungguh meng-inspirasi sidang-sidang Konstituante - -dengan jalan "musyawarah"dapat menyelesaikan - - tugas konstitusionalnya kembali ke-UUD 1945. 

Coba simak, betapa rumitnya persoalan mengenai posisi 2(dua) Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum di dalam Pemboekaan Oendang-oendang Dasar 1945 dan Pancasila yang tercantum di dalam Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara (yang di umumkan oleh Republik Indonesia Serikat), dari perdebatan proses pergantian UUDS kearah UUD yang tetap. Betapa komprehensifnya setiap pembahasan Prinsip-prinsip ketatanegaraan, tetapi sampai pada implementasi justru rezim penyelenggara Negara pasca Orde Baru tidak konsisten dan tidak kreatif melaksanakannya secara konsekwen.

Bandingkan sidang-sidang DPR yang telah menghasilan sekitar 72 UU tapi di bantu oleh Konsultan asing dari negara adi daya, yang tentunya secara politis berkepentingan untuk memperjuangkan misi politik, ekonomi secara terselubung di dalam pasal-pasalnya?Itu pulalah yang terjadi di dalam setiap amandemen yang telah dilakukan sehingga arah dari pembangunan bangsa yang bersumber dari Pancasila yang menjadi sumber dari segala sumber hukum, menjadi lemah di dalam pelaksanaannya.

Secara khusus tulisan Sri- Edi Swasono di dalam Kompas 12/8 saya tampilkan di Blog ini karena sangat relevan dan berhubungan dengan pandangan, bahwa terseok-seoknya perjalanan bangsa ini, karena pengertian Demokrasi Ekonomi telah dihilangkan dan sama sekali tidak tercantum di dalam Penjelasan UUD yang telah di amandir. Ruh daripada perekonomian yang berdasarkan kekeluargaan dan berbasis kerakyatan telah diselewengkan secara sistematis kepada pemujaan individualism, liberalisme dan kapitalisme. Dengan kata lain, Justru isme dan Pasar bebas yang gagal di Amerika, di era Reformasi ini, di negeri tercinta, di dewakan secara menakjubkan. Mengapa ini dapat terjadi? (a.m.a)

 
Para pendiri bangsa kita sejak pra kemerdekaan telah menegaskan penolakan nya terhadap liberalism dan individualism yang menjadi roh kapitalisme. Kapitalisme selanjutnya berkembang menjadi imperialism.

Mari kita perhatikan secarik catatan perjuangan Soekarno dan Hatta menentang penjajahan. Soekarno menggugat di Pengadilan Bandung pada tahun 1930. Pledoinya berjudul "Indonesia Klaagt-Aan" menegaskan bahwa "…Imperialisme berbuahkan 'negeri-negeri mandat', 'daerah pengaruh'… yang di dalam sifatnya 'menaklukkan negeri orang lain', membuahkan negeri jajahan… syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu ialah Kemerdekaan Nasional…"

Dua tahun sebelumnya Hatta menudung Pengadilan Denhaag pada tahun 1928 dalam Pledoinya "Indonesia Vrij". Disitu Hatta menegaskan , "…lebih baik Indonesia tenggelam kedasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…"

Pada sidang BPUPKI 15 juli 1945, Soekarno-Hatta sama-sama menyatakan bahwa Negara Indonesia didirikan berdasar rasa bersama. Dari situlah paham bernegara berdasarkan "kebersamaan dan asas kekeluargaan" digariskan dalam konstitusi.

Dasar Sistem Ekonomi

Paham kebersamaan dan asas kekeluargaan dimunculkan Hatta sebagai dasar system ekonomi Indonesia ke dalam UUD 1945 dengan istilah demokrasi ekonomi. Memang Hatta pada edisi pertama majalah perjuangan Daulat Ra'jat(20/9/1931) menyatakan, "… Bagi kita, rak'jat itoe yang oetama, ra'jat oemoem yang mempoenjai kedaoelatan, kekoeasaan (souvereiniteit). Karena ra'jat itu di djantoeng- hati Bangsa. Dan ra'jat itoelah yang mendjadi oekoeran tinggi rendah deradjat kita. Dengan ra'jat itoe kita akan naik dan dengan ra'jat kita akan toeroen. Hidoep ataoe matinya Indonesia Merdeka, semoeanya itoe bergantoeng kepada semangat ra'jat. Pengandjoer-pengandjoer dan golongan kaoem ter-pe- ladjar baroe ada berarti, kaloe dibelakngnya ada ra'jat jang sadar dan insjaf akan kedaoelatan dirinja…"

Artinya, Hatta memosisikan rakyat sebagai sentral-substansial, "takhta adalah milik rakyat". Dari sini lahirlah konsepsi tentang demokrasi ekonomi dengan makna utama "kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang-seorang", tersurat dalam Penjelasan UUD 1945 (asli). Penjelasan UUD 1945 ini kemudian dihilangkan melalui amandemen UUD 1945. Namun penjelasan untuk pasal 33 UUD 1945 (Demokrasi Ekonomi) sebagai referensi dan interpretasi otentik tetap berlaku.

Maria Soeprapto yang sekarang Hakim Mahkamah Konstitusi juga telah menyatakan (2005) bahwa "… bagi pasal-pasal yang belum diubah tentunya penjelasan pasal-pasal tersebut masih berlaku dan sesuai dengan makna dan rumusan dalam pasal-pasalnya, misalnya penjelasan pasal 4, pasal 22, dan pasal 33 ayat (1),(2),(3) …"

Para pendiri bangsa menempatkan paham colonial liberalistic yang berasas per orangan pada posisi temporer dan menggantinya dengan paham kebersamaan dan asas kekeluargaan yang diberi posisi permanen melalui pasa II Aturan Peralihan UUD 1945. Artinya, pembangunan haruslah demi kemakmuran rakyat untuk mencapai societal welfare and happiness, tidak boleh menjadi proses dehumanisasi kapitalistik.

Diskursus mengenai liberalism-individualisme versus kebersamaan dan asas kekeluargaan mungkin tak lagi menarik bagi kalangan ekonom kita saat ini. Namun, kiranya perlu kita ungkap untuk merespons sarasehan ekonomi yang baru-baru ini diadakan. Dipandu oleh Prof. Soebroto dan dibuka oleh Jacob oetama (Kompas 6/7), sarasehan itu menyimpulkan "arah ekonomi merisaukan" dan "ruh pembangunan untuk rakyat hilang".

Jangan direduksi

UUD 1945 yang mendudukkan posisi rakyat sebagai sentral-substansial ini, hendaknya tidak direduksi menjadi marginal-residual sehingga daulat rakyat tersisih oleh daulat pasar (baca; daulat capital), tetapi tetap berorientasi pada kepentingan rakyat dan tidak memosisikan capital sebagai yang primus.

Kita menyaksikan bahwa ekonomi pasar telah gagal mengurangi kemiskinan rakyat dan gagal mengakhiri pengangguran berkelanjutan. Berkat daulat pasar, pembangunan makin terlihat menggusur orang miskin dan tidak menggusur kemiskinan.Pembangunan makin tampak merupakan sekedar pembangunan di Indonesia, bukan pembangunan Indonesia. Ini jauh dari cita-cita menjadi Tuan di Negeri Sendiri . Bisa-bisa rakyat menjadi penonton dan kembali menjadi kuli di negeri sendiri. Retorika ini diteriakkan makin santer!

Benarlah Hendri Saparini (Kompas, 7/7); Kita secepatnya kembali ke Pancasila dan UUD 1945, kembali ke roh ekonomi konstitusi. Presiden SBY dalam Pidato Kenegaraan 14 agustus 2009 di DPR menegaskan bahwa "kita tidak boleh terjerat, menyerah, dan tersandera oleh kapitalisme global yang fundamental". Di depan DPD 19 agustus 2009 Presiden SBY menyatakan pula; "trickle down
effect (yang kapitalistik) telah gagal menciptakan kemakmuran untuk semua". Ini berarti Presiden
memberi harapan datangnya masa besar atau de grosse moment.
 
Peraih Nobel Ekonomi 1970 Paul Samuelson selaku pembaku istilah dan pengertian ekonomi membuat ekonom seluruh dunia bisa saling bicara dalam bahasa ekonomi yang sama. Bukunya, Economics, merupakan buku induk pengajaran ilmu ekonomi. Pengajaran Ekonomi di Indonesia terpaku pada buku induk dan buku teks lain ala Samuelson.

Dalam buku Samuelson edisi pertama (1948) sampai edisi ke-18 (2005) tak ditemukan satu pun perkataan cooperation (kerjasama). Artinya, sejak awal pengajaran Ilmu ekonomi, mahasiswa kita hanya ter-ekspos oleh ekonomi persaingan yang menjadi dasar liberalism ekonomi dan kapitalisme. Ekonomi kerjasama tak dikenal dalam buku induk Ilmu Ekonomi yang diajarkan di kampus kita. Akibatnya kerangka pikir mereka terkapsul oleh ekonomi persaingan, diasingkan dari ekonomi kerjasama dan kebersamaan.

Hal ini memudahkan para lulusan menerima liberalism dan kapitalisme, mewajarkan persaingan bebas dan saling rebut yang menjauhkan kerukunan. Pembangunan tak boleh dilihat dari sekadar meningkatnya GNP atau nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial –kultural, yang memuliakan rakyat, mewujudkan keadilan sosial , dan meningkatkan rasa kebersamaan kohesif dalam kehidupan bermasyarakat.

Saya ikut membenarkan kesimpulan sarasehan ekonomi Kompas; "ruh pembangunan untuk rakyat telah hilang". Bahkan Michael Hudson (2003) menegaskan bahwa imperialism berkembang jadi superimperialisme seperti sekarang dengan segala model hegemoni ekonomi serba canggih. Kita tak boleh lengah. Diperlukan kepemimpinan nasional yang tangguh dan taat konstitusi.

 

Kamis, 12 Agustus 2010

Revisitasi Pancasila



 

Kalam ;

Jelang 65 tahun Kemerdekaan Indonesia Pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekwen ternyata tidak terlaksana secara baik. Konsistensi Negara agar taat asas melaksanakan rumusan sila-sila Pancasila terasa jauh panggang dari api, konon pula melaksanakan Pancasila sebagai Ideologi negara, falsafah hidup, Weltanschauung, maupun Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Bukankah di dalam buku Lahirnya Pancasila tgl 1 Juni 1945 telah sangat jelas diuraikan mengenai usulan-usulan Pancasila sebagai cerminan dari dinamika berpikir yang bersifat umum kompromi, umum kolektif(empiris) dan umum abstrak(spekulatif)?
Khusus yang terakhir ini, bukan pulakah Guru besar Ilmu Filsafat UGM, Prof. Dr. Mr.Drs Notonagoro di dalam bukunya, Pancasila dasar Falsafah Negara menjelaskan bahwa susunan Pancasila adalah hierarchis dan mempunyai bentuk pyramidal? Bahwa urut-urutan kelima sila merupakan sila pertama merupakan inti isi yang menunjukkan tingkat dalam luas isinya sedangkan sila lainnya merupakan pengkhususan sila-sila dimukanya.
Oleh sebab itulah Prof Notonagoro berkesimpulan bahwa sila-sila Pancasila merupakan kesatuan yang bulat sebagai dasar kerohanian Negara sekaligus dasar tujuan Negara. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan basis dari Kemanusiaan, Persatuan Indonesia(Kebangsaan),Kerakyatan dan Keadilan sosial. Sebaliknya, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang Berkemanusiaan, Berpersatuan (Berkebangsaan), Berkerakyatan dan Berkeadilan sosial, demikian seterusnya, hingga tiap sila di dalamnya mengandung sila lainnya.
Rasanya Negara tidak terlalu sulit untuk meng-implementasikan Pancasila sebagai dasar Negara maupun Pancasila sebagai dasar tujuan Negara sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.Akan tetapi adakah Political Will dari Pemerintah?
Tulisan Prof Dr Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah UIN Jakarta di Harian Kompas Selasa, 10 Agustus 2010, sangat menarik untuk disimak tentang perlunya Rejuvenasi Dan Revitalisasi Pancasila. Salam (a.m.a).
Revisitasi atau mengunjungi kembali Pancasila, bagi saya, selalu menyenangkan sekaligus menantang sebab saya pernah menggagas urgensi rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila dalam transisi dan konsolidasi demokrasi Indonesia yang mendapat pengayaan penting dari berbagai kalangan public, khususnya tajuk rencana "Kompas" edisi 9, 11, dan 12 juni 2004.
Saya pun menulis tanggapan dalam Kompas 17 juni 2004. Sejak itu, berbagai kalangan baik di dalam maupun di luarnegeri sering mengundang saya mengelaborasi ihwal gagasan rejuvenasi Pancasila.
Namun dalam revitalisasi Pancasila kali ini, setelah tahun-tahun terus berlalu, revitalisasi dan reyuvenasi Pancasila tetap belum memenuhi harapan. Pancasila sebagai basis ideologis dan garis haluan bersama Negara- bangsa Indonesia yang plural dan multicultural masih tetap marjinal dalam diskursus kehidupan Nasional. Padahal, sepanjang waktu itu, dalam berbagai forum, saya mencoba mengajak para pemangku kepentingan menggalang momentum bagi revitalisasi dan reyuvenasi Pancasila.
Tiga faktor
Kenyataan yang tak menggembirakan ini terkait erat dengan masih bertahannya tiga factor yang membuat Pancasila tetap masih marjinal dalam hiru biru perkembangan politik Indonesia.
Pertama, dalam ingatan bersama banyak kalangan, Pancasila masih dipandang tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang pernah menjadikan Pancasila sebagai alat politik mempertahankan status quo kekuasaan. Rezim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang diindoktrinasikan melalui Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4).
Kedua, Liberalisasi Politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ. Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi yang memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideology lain, khususnya yang berbasiskan agama.
Ketiga, desentralisasi dan otonomi daerah yang sedikit banyak memperkuat semangat kedaerahan , berbau nasionalisme lokal yang tumpang tindih dengan etnonasionalisme dan bahkan sentiment agama.
Tetap kurangnya perhatian public terhadap Pancasila cukup mencemaskan; lampu kuning jika kitya ingin Indonesia yang tetap terintegrasi. Padahal, Pancasila sebagai dasar Negara dan garis haluan bersama dalam kehidupan Negara – bangsa Indonesia merupakan aktualisasi tekad bersama segenap warga untuk tetap bersatu ditengah berbagai keragaman. Pancasila sebagai kerangka dan dasar ideologis Negara-bangsa Indonesia merupakan sebuah deconfessional
ideology, ideology yang tidak berbasis agama manapun. Khususnya dengan sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, Pancasila adalah sebuah ideology yang sesuai dan bersahabat dengan agama.
Sebagai deconfessional ideology, Mark juergensmeyer, guru besar radikalisme agama UC Santa Barbara, dalam percakapan dengan saya, pernah menyatakan bahwa Pancasila adalah rahmat terselubung bagi bangsa Indonesia sebab Pancasila adalah religiously friendly ideology yang membuat tidak ada alasan yang valid untuk mengganti Pancasila dengan ideology lainnya. Berbagai upaya mengganti Pancasila dengan ideology lain – khususnya berbasis agama - tidak bakal mendapat dukungan mayoritas terbesar umat beragama Indonesia dan, karena itu, bakal gagal.
Pada hemat saya, Pancasila telah terbukti sebagai garis haluan bersama ideologis Negara- bangsa Indonesia yang paling feasible dan sebab itu lebih viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan dimasa datang. Saya tetap tidak melihat adanya alternative garis haluan bersama ideologis lain, yang tidak hanya akseptabel bagi warga bangsa, tetapi juga dapat terus hidup dalam perjalanan Negara-bangsa Indonesia kedepan.
Pendorong usaha
Meski masih terdapat disparitas dan diskrepansi antara cita ideal Pancasila dan realitas kehidupan Negara-bangsa, ini semestinya tidak mengurangi pentingnya Pancasila. Adanya disparitas dan diskrepansi itu semestinya sebagai pendorong usaha lebih keras lagi untuk terus mengaktualkan semangat, prinsip, dan nilai-nilai Pancasila.
Karena posisi Pancasila yang krusial itu, saya tetap melihat urgensi rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila. Jika tidak, ideology-ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama, dapat terus memunculkan diri sebagai alternative. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya memasarkan ideology berbasis agama masih tetap merupakan salah satu tendensi yang terlihat jelas dalam dinamika politik Indonesia pasca-Soeharto sampai sekarang.
Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan kembali menjadikan Pancasila sebagai diskursus. Dengan menjadi wacana public, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru. Langkah ini merupakan tahap awal krusial untuk revitalisasi Pancasila sebagai ideology terbuka yang dapat dimaknai secara terus menerus sehingga tetap relevan dan fungsional bagi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia.
Revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral para pemimpin bangsa dalam berbagai tingkatan, baik pemimpin formal maupun informal. Kegagalan membawa Pancasila kedalam wacana dan kesadaran public dapat berujung pada tragedy Negara-bangsa Indonesia.

 

 

 

 

 

 

Sabtu, 10 April 2010

VOX POPULI VOX DEI ( SUARA RAKYAT SUARA TUHAN )



Oleh: Abdul Muin angkat
Adagium Vox Populi Vox Dei, sangat sering diucapkan oleh para politisi maupun pakar hukum kita di negeri ini. ferakan reformasi tahun 1998 yang diprakarsai para mahasiswa menandai runtuhnya belenggu rejim otoriter Orde Baru selama hampir 32 tahun berkuasa. walaupun 'people power' di negeri tetangga Filipina lebih dahsyat gaungnya, namun Gerakan mahasiswa di Indonesia tidak kalah taktis dengan strategis mengepung gedung DPR RI berhari-hari, dan ini dianggap merupakan representasi dari 'moral force' yang menyuarakan 'suara rakyat' berupa tuntutan agar rezim yang berkuasa turun dari singgasana kekuasaan. tuntutan inilah yang menyebabkan lengsernya penguasa Orde baru Presiden soeharto secara elegan melalui testimony ala "Surat perintah 11 maret". apakah ini bukan sebagai pertanda adanya campur tangan Tuhan?
Bagaimana kita menjelaskan ini secara ilmiah praktis sehingga kita tidak terjebak di dalam pengertian yang sumir terhadap epistomology ketatanegaraan ini?
Ungkapan lama ini sering dikaitkan dengan William of Malmesbury (abad 12) dan surat alcuin of York kepada Charlemagne pada tahun 798.
Ungkapan "vox populi vox de" biasanya dipercaya secara mentah-mentah bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Dengan demikian tersirat bahwa pendapat umum selalu benar.
Sebenarnya kutipan surat yang ditulis oleh Alcuin of York (735-804), EPISTOLAE 166, paragraf 9, menyiratkan hal yang sebaliknya. Kutipan lengkap berbunyi:
"Nec Audienti sunt qui solet docere, 'VOX POPULI VOX DEI,' cum tumultuositas vulgi semper insanitas proxima est"
Vox = artinya SUARA
= kata benda, declinatio ke 3, nominativus, singularis, femininum
Populi = arti RAKYAT
= kata benda, declinatio ke 2, genetivus (bentuk nominativusnya POPULUS), singularis, masculinum
Dei = arti TUHAN
= kata benda, declinatio ke 2, genetivus (nominativus: DEUS), singularis, masculinum
Terjemahannya:
"Do not listen to those who are accustomed to teach (claim), 'The voice of the people is the voice of God', because the tumult of the masses is always close to insanity." [Cohen, J.M. & Cohen M.J, 1960 Penguin Dictionary]
Bahasa Indonesia:
"Jangan dengarkan orang-orang yang biasa mengajarkan (mengklaim) bahwa "Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, karena gegap gempitanya (ANUT GRUBYUG) massa selalu dekat dengan kegilaan."
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa Vox Populi = Vox Dei, sejauh tidak ada rekayasa penggiiringan suara massa dan bila setiap pribadi dari massa itu dekat dengan Tuhan nya. (baca ; orang beriman, menyuarakan sebaik-baik ajaran agama).
Menyuarakan sebaik-baik ajaran agama tanpa kebohongan, berarti apa yang dilakukan termasuk hak bersuara dan menyatakan pendapat, sungguh tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan dari semua agama. Pribadi yang menjadi unsur massa merupakan 'instrumentum coniunctum' yakni alat yang dipakai tuhan dan selalu terhubung dengan Tuhan - tidak 'mbalela' atau berpaling dariNya.
Menarik, kalau setelah satu abad dihubungkan dengan revolusi Perancis yang memekikkan liberte, egalite, fraternite di dalam "Declaration des droits I home et du citoyen" - - pernyataan Hak Azasi Manusia dan hak warga negara Perancis- - menjadi solusi atas chaos terbunuhnya Louis ke XVI yang dipenggal melalui 'guilotine' dan istrinya Maria Antoinette. Revolusi rakyat yang menentang penguasa yang dholim dan tidak adil yang semula digerakkan oleh para bangsawan, Saudagar dan Gereja akhirnya memakan 'anak'nya sendiri yaitu para pejuang dan pemikir seperti Montesque, di bunuh. Ini bukti 'paradoks' sejarah.
kembali kepada 'Suara Rakyat' yang diilhami oleh 'suara Tuhan' (baca; ajaran agama), kondisi yang harus ada untuk bersuara juga harus bebas-- tanpa tekanan. jangan pernah terjadi lagi situasi dimana para intelektual ikut berkhianat (cf: Julien Benda's "La trahison de Clercs" dan studi kasusnya Pettigrew- dimana orang jelas tahu bahwa GARIS ITU PENDEK tapi dibalik menjadi GARIS ITU PANJANG karena ewuh pekewuh dan vested interest). Pettigrew juga menemukan bahwa banyak orang yang jadi bebek dan tidak berani jadi elang dengan mengatakan bahwa GARIS ITU LURUS walaupun sebenarnya BENGKOK.

Oleh karena itu para petinggi di negara ini harus berani jadi elang yang memberi teladan dan tidak hanya jadi bebek. (cf: amar ma'ruf nahi mungkar)
AQUILA NON GENERAT COLUMBAM (An eagle does't breed a dove).