Kamis, 22 Agustus 2013

Mengubah Strategi Pembangunan


 


 

Semakin membesarnya deficit neraca pembayaran luar negeri - - sebagai akibat penurunan nilai eksport kiriman (remittances) dari tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri serta pelarian modal asing - - menegaskan semakin mendesaknya Indonesia segera mengubah strategi pembangunan ekonominya dan memperkuat kelembagaannya.

Nilai tukar rupiah yang merosot secara drastic selama tiga bulan terakhir tidak akan dapat di rem hanya dengan kebijakan Bank Indonesia menggunakan cadangan devisanya yang sudah semakin menipis dan menaikkan tingkat suku bunga yang semakin meningkatkan biaya produksi dunia usaha. Kemampuan BI dan pemerintah membeli kembali SBI dan SUN juga terbatas. Demikian pula dengan kemampuan menambah utang.

Bunga SUN rupiah jangka waktu 30 tahun sudah naik menjadi 8,75 persen dan SUN dalam dollar AS menjadi 6,91 persen. Krisis ekonimi global yang tengah berlangsung sejal tahun 2008 menunjukkan bahwa strategi yang digunakan selama 30 tahun terakhir tidak dapat dipertahankan lagi. Strategi tersebut mengandalkan eksport bahan mentah ( hasil tambang pertanian, dan perikanan). Mengirim TKI yang tidak punya keahlian serta pendidikan ke mancanegara serta industrialisasi yang terutama berorientasi pada pemenuhan pasar dalam negeri (inward looking strategy).

Di masa lalu, penyebab kenaikan nilai komoditas eksport primer Indonesia terutama adalah pesatnya pertumbuhan ekonomi China yang rata rata 9-10, persen setiap tahun sejak Deng Xioping melakukan liberalisasi perekonomiannya pada tahun 1978 dan mengundang pemasukan modal swasta asing ke negerinya. Pertumnuhan ekonomi India menysul China sejak Negara itu melakukan deregulasi pada awal 1990-an.

Kedua Negara itu menjalankan stratgi pembangunan yang berorientasi pada eksport (eksport –Ied strategy atau out ward looking strategy). Selain digerakkan eksport ekonomi kedua Negara itu juga digerakkan investasi yang rata rata mencapai 40 persen dari produk domestic bruto (PDB)nya. Industrialisasi, mekanisasi, motorisasi ataupun pembangunan gedung serta infrastruktur di kedua Negara tersebut memerlukan segala jenis tambang dan pertanian sehingga menungkatkan jumlah permintaan beserta tingkat harganya.

China mengeksport hasil pertanian dan industri manufaktur sedangkan India mengutamakan eksport jasa jasa seperti program computer maupun pemrosesan data. Penduduk kedua Negara itu yang semakin makmur menuntut kwalitas makanan yang lebih baik termasuk hasil laut ataupun minyak goreng dari Imdonesia.

Sewaktu krisis keuangan global berlangsung 2008 – 2009, China dan India luput dari resesi karena mengintroduksi stimulus fiscal besar besaran untuk membangun infrastruktut, perumahan dan perkantoran. Pemerintah pemerintah daerah di China meminjam kredit bank untuk membangun sejumlah proyek jangka panjang dengan agunan tanah miliknya. Dewasa ini strategi seperti itu tidak dapat lagi di ulang karena ternyata banyak dari investasi tersebut tidak menyumbang pada peningkatan nilai tambah dan hanya menimbulkan pemborosan. Kelambatan pelunasan kreditnya telah menimbulkan krisis likwiditas dan meningkat rasio kredit bermasalah di bank bank China.

Orientasi Eksport

    Untuk meningkatkan kembali orientasi eksport, tingkat laju pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja, Indonesia perlu menerapkan strategi pembangunan yang berorientasi pada eksport. (eksport Ied strategy) atapun berorientasi keluar (out ward-looking strategy) dab mengolah sumber daya alam (resource based strategy). Melalui perubahan strategi pembangunan itu, Indobesia pub akan ikut bergabung dalam jaringan produksi global (global supply chains atau International production net works/IPN) yang telah berlangsung sejak 1980-an.

    IPN memanfaatkan spesialisasi vertical yang terjadi di pasar global. IPN membagi tahap produksi antar Negara dan setiap tahap produksi merupakan produksi suku cadang maupun komponen atau perakitan komponen untuk tahap produksi selanjutnya hingga menghasilkan barang jadi. Lihatlah barang elekteronik atau mobil merk apa saja, suku cadang dan komponennya adalah buatan sejumlah pabrik di sejumlah Negara dan kemudian di rakit menjadi barang jadi. Berbeda dengan pertambangan yang bersifat padat modal, Produksu suku cadang dan komponen barang barang industry manufaktur, beserta perakitannya, adalah bersifat padat karya dan tidak memerlukan keahlian tingkat tinggi. Dengan terciptanya lapangan kerja dikampung halaman sendiri, akan mengurangi eksport TKI ke mancanegara.

    Ada dua model IPN, yakni model laba laba dan ular. Model pertama menggabungkan suku cadang yang diproduksi di sejumlah Negara untuk menghasilkan produk jadi atau komponen yang diperlukan pada tahap produksi berikutnya.

    Dalam model kedua, urutan tahap produksi bergerak menurut garis lurus dari awal hingga akhir dan setiap tahap produksi tersebut menghasilkan nilai tambah.Kedua model IPS tersebut mengandung offsharing cost, yakni biaya transportasi suku cadang dan komponen satu ke lain lokasi produksi yang mungkin berada di Negara yang berbeda. Dengan demikian cukup tinggi impor Negara Negara yang masuk dalam IPN akan bahan baku, suku cadang dan komponen produksi.

Mengubah Kebijakan

    Untuk dapat ikut dalam IPN Indonesia perlu mengubah berbagai kebijakannya. Kebijakan yang pertama adalah menraik lebih banyak pemasukan modal swasta asing. Dalam IPN perusahaan multinasional memproduksi barang dab jasa bukan saja untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, melainkan juga untuk di eksport ke pasar dunia. Kedua, untuk menekan offshoring cost diperlikan infrastruktur yan andal, termasuk listrtik, pelabuhan laut dan udara, telpon serta Wi-Fi, terutama di daerah Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) serta pulau Jawa yang berpenduduk padat.

    Untuk membangun infrastruktur penerimaan pahak harus ditingkatkan dan rasio penerimaan yang amat rendah, sebesar 13 persen dari PDB dewasa ini. Jika perlu meningkatkan pinjaman daru luar negeri untuk membangun infrastruktur tersebut.

    Ketiga, mengoreksi UU tenaga kerja yang menyulitkan untuk memberhentikan tenaga kerja dan mewajibkan pembayaran pesangon yang sangat mahal. Keempat, memudahkan eksport dan import suku cadang dan komponen yang diperlukan dalam perakitan IPN untuk menekan offshoring cost.

    Kelima, memperbaiki iklim usaha mulai dari kemudahan perizinan hingga persaingan usaha yang dapat menjamin agar pemenang tender adalah perusahaan yang paling efisien dan bukan yang punya koneksi ataupun menyogok seperti kontraktor proyek Hambalang, obat atau persoalan kesehatan Kementerian Kesehatan, maupun pengadaan blanko STNK dan BPKB Korlantas.

    Keenam, menjaga agar kurs devisa jangan menguat sehingga dapat memberikan insentif pada eksportir. Di dalam negeri kurs rupiah yang menguat akan memberikan insentif bagi pembangunan sector ekonomi yang kurang efisien karena tidak diperdagangkan ke luar negeri, seperti pusat perbelanjaan, lapangan golf, maupun perumahan.

    Ketujuh, memperbaiki system hukum agar dapat melindungi hak milik individu dan mengurangi biaya transaksi pasar. Perlu dihentikan korupsi yang semakin marak disemua tingkatan dan cabang pemerintahan: eksekutif, legeslatif dan yudikatif. Karena system hukum kurang dapat dipercaya, orang beralih pada preman dan penagih utang untuk menagih utang. Kedelapan, aturan perlu diterapkan secara tegas untuk mencegah kegagalan pasar (market failures) seperti kasus bantuan Likwiditas Bank Indonesia (1997) Bank Bali (1999), maupun Bank Century (2008).

    Kesembilan, efisienci, produktivitas, dan daya saing BUMN perlu ditingkatkan agar mampu bersaing dengan BUMN Singapira dan Malaysia di pasar internasional. Hanya dengan demikian dapat dicegah kegagalan sector Negara (public sector failures) dab korporatisasi BUMN dan BUMD dapat dijadikan sebagai motor penggerak baru pertumbuhan ekonomi dan bukan hanya sehadar beban Negara. Peningkatan efisiensi Bank Bank Negara dan bank pembangunan daerah (BPD) akan menurunkan Net interest margin (NIM) yakni perbedaab antara suku bunga kredit dan deposito bank. Dewasa ini NIM bank bank BUMN dan BPD adalah tertinggi di ASEAN maupun di dalam negeri kecuali bank non devisa.

    Kesepuluh, melatuh dan membantu petani pengrajin dan UKM agar mampu masuk pasar global setidaknya pasar Negara Negara yang telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan kita. Kenapa sayir dan buah Indonesia tidak bisa masuk pasar Singapura dan Malaysia?

    Kesebelas, membangun kembali Bank Tabungan Pos untuk memobilisasi kembali tabungan masyarakat agar menyerap SUN rupiah yang diperdagangkan di pasar dalam negeri dan mengurangi kepemilikan asing yang dewasa ini mencapai 34 persen. Terlalu besarnya porsi kepemilikan asing pada surat surat berharga Indonesia menyebabkan kerawanan tingkat harganya maupun nilai tukar rupiah terhadap lalulintas modal jangka pendek.

    Kedua belas, mengolah lebih banyak hasil perkebunan Indonesia di dalam negeri seperti minyak kelapa sawit.

    Pemerintah sekarang ini terlena pada tingkat laju pertumbuhan ekonomi yang relative tinggi (5-6 persen setahun) akibat tingginya harga komoditas primer, besarnya kiriman TKI yang bekerja di luar negeri serta pemasukan modal asing jangka pendek. Akibatnya pemerintah sekarang ini bukan saja tidak melakukan refoemasi penting untuk memperkuat fondasi social ekonomi nasional selama dua kali jabatannya, melainlkan semakin membuatnya semakin kropos. Dilain puhak tidak satupun diantara calom presiden mendatang yang punya program tentang bagaimana caranya membawa Indonesia keluar dari perangkap tingkat pendapatan menengah rendah (low middle income trap) dewasa ini. ( Kompas, 25 juli 2013, Anwar Nasution, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI).


Sabtu, 03 Agustus 2013

Utang yang Memiskinkan


 


 

    Utang Pemerintah Indonesia pertengahan tahun 2013 menumpuk hingga Rp 2023 Triliun, itu berarti rata-rata satu warga Negara Indonesia menanggung utang Rp 8,5 juta. Dampaknya rakyat semakin miskin.

    Pada 2013, misalnya, pemerintah berencana membayar cicilan pokok dan bunga Rp 299,078 Triliun, 17,5 persen dari total belanja Negara pada APBN perubahan 2013 (Rp 1.726,2 triliun). Pada 2013 total anggaran kemiskinan Rp 115,5 triliun, hanya 6,7 persen dari total belanja Negara. Politik angaran pemerintah kontras memilih menyubsidi orang kaya pemilik surat berharga Negara daripada menyubsidi BBM untuk rakyat miskin.

    Utang luar negeri secara bilateral banyak berasal dari Jepang, rata-rata Rp259,64 triliun pertahun, 38,3 persen dari total utang pertahun. Utang dari hubungan multilateral yang berasal dari Bank dunia, menurut data dari Dirjen Pengelola Utang, per Mei 2013 sekitar Rp.122 triliun, 21 persen dari total utang Bank Pembangunan Asia per Mei 2013 menyumbang Rp 95,77 triliun,16 persen dari total utang luar negeri. Data itu belum termasuk Surat Berharga Negara (SBN) dan valas.

    Jika demikian halnya, mimpi rezim pemerintahan yang anti utang Luar negeri pipis sudah. Setelah Soeharto, sepertinya warisan utang menggunung menjadi tradisi peninggalan dosa rezim untuk anak cucunya.

    Dengan beban utang yang kian besar setiap tahun, dan tak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, APBN dikhawatirkan jebol dan Negara bangkrut. Total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam negeri dan luar negeri saja (2005 – 2012); Rp 1.584, 88 triliun.

    Selain menyedot uang Negara dalam jumlah besar, dana asing berbentuk utang dan hibah luar negeri juga membuat intervensi mendalam terhadap kebijakan ekonomi. Sejumlah kebijakan dan puluhan UU yang merugikan kepentingan nasional adalah produk tak langsung dana asing itu, antara lain UU no 22/2001 Migas yang belum di revisi, UU no 7/ 2004 Sumber daya air, UU no 30/2007 Energi, UU no 25/2007 Penanaman modal, UU no 9/2009 Badan Hukum pendidikan, 19/2003 BUMN, dan UU 27/2007 Pengelolaan Pesisir dan Pulau kecil.

    Beberapa UU itu secara jelas menjadikan kepentingan nasional sub ordinat dari kepentingan modal asing di Indonesia. Bahkan melalui UU Penanaman Modal, pihak asing dapat menguasai sector strategis di Indonesia hingga 95 persen. Perusahaan asing juga mendapat fasilitas dan hak yang sama dengan perusahaan dalam negeri.

    Mengapa pemerintah mengingkari fakta itu dan terus menambah utang luar negeri dan dalam negeri? Setidaknya empat argumentasi yang selalu digembar gemborkan setiap tahun.

    Pertama, utang pemerintah diperlukan untuk membiayai deficit APBN. Kedua, meskipun nominal meningkat, rasio terhadap PDB dalam posisi aman. Ketiga, utang pemerintah diarahkan untuk mendapatkan pembiayaan public dengan biaya dan resiko rendah dan jangka panjang. Keempat, pengelolaan fiscal dan utang semakin baik.

Menyesatkan

    Argumentasi pemerintah itu jika tidak diperbaiki, menyesatkan. Ada indikasi, deficit APBN semakin menggelembung tiap tahun. Neraca yang deficit hanya ditindak lanjuti dengan solusi intant. Utang bukan menaikkan pendapatan Negara dari usaha asing dan sumber daya alam kita.

    Terkait rasio dengan PDB, melihat dari kacamata itu tampak manis; rasio pinjaman, SBN, dan PDB setiap tahun menurun. Hingga 2013 hanya berkisar 16,6 persen hingga 23,1 persen. Bahkan pada 2012, Indonesia dalam rasio utang dengan PDB lebih baik dari Negara yang mengalami krisis, seperti Italia (127 persen), Jerman (82 persen) Jepang (237 persen), atau AS (106,5 persen).

    Rasio PDB adalah total produksi dalam negeri beserta asing. Nah, bagaimana dengan rasio produk nasional bruto? Tentu hasilnya akan beda terkait produksi dalam negeri tanpa asing.

    Alih alih dengan argumen resiko rendah dan jangka panjang, hantu jatuh tempo utang, justru makin mengancam. Obligasi rekap BLBI jatuh tempo pada 2033 dengan nilai Rp 127 triliun. Ini mengerikan. Perampokan oleh pengusaha hitam tetapi beban utangnya dibiayai Negara.

    Jika terus dibiarkan, utang pemerintah akan menjadi bom waktu ekonomi Indonesia dan mempernganga jurang antara pemodal dan rakyat miskin. Langkah lebih radikal barangkali perlu dipikirkan oleh pemerintahan SBY: moratorium utang pemerintah. Meski bukan ide baru, moratorium utang khususnya dalam negeri, ini cukup realistis. Karena mayoritas utang dalam negeri sekitar 64 persen dari total utang. Utang dalam negeri itu dinikmati Bank pemerintah atau swasta. Pemerintah mudah mengambil sikap tegas.

    DPR sebagai pengawas pemerintah yang tak pernah dilibatkan dalam membahas utang, harus mengambil langkah politik yang tegas untuk menghentikan utang dan mendesak pemerintah untuk tidak meneruskan obligasi rekap yang hanya menguntungkan pengusaha nakal Orde baru yang saat ini terus menyusu kepada Negara. (diambil dari Kompas 13 juli 2013, penulis Apung Widadi, peneliti politik anggaran di Indonesia Budget Centre)