Minggu, 06 Juni 2010

ISLAM DAN BARAT, BENTURAN YANG TAK KUNJUNG USAI (I dan II)

Kalam :

Pada saat saat kunjungan saya mengikuti rombongan Olympiade Mahasiswa ke Turki yang diprakarsai oleh Dikti( 2007), kami sempat sholat zuhur di bekas Gereja Sophia yang sedang di rehab untuk kesekian kalinya menjadi Mesjid ummat Islam hasil rampasan dari Raja Byzantium oleh tentara Ottoman.Di langit-langit Mesjid yang indah masih terpatri dengan mozaik indah Gambar Jesus, dengan tulisan 'Muhammad ' dan 'Allah' disebelahnya, menjadi symbol agama samawi di Dunia.
Pada Abad ke 7 M, agama Kristen merupakan agama resmi di Byzantium (Romawi Timur) yang salah satu negeri taklukkannya adalah Turki. Pada awal abad ke 7 itu juga Byzantium mampu mengalahkan Persia, dan pada saat bersamaan berkembangnya Islam di jazirah arab, justru Tentara Islam mengalahkan Byzantium dan sukses menguasai Asia, Syam, Palestina, Libanon, Jerusalem dan Mesir. Pada saat itu Khalifah Umar Bin Chattab merupakan Panglima Perang yang handal dan Berjaya.
Siasat untuk menghancurkan Islam sejak abad ke-7 Masehi, telah dimulai oleh Eropah, bermula dari sistem kepercayaan merambat ke bidang politik, dan kebudayaan. Benarkah Perang salib pada abad ke-12 M, tidak dimulai oleh orang Islam tetapi diprakarsai oleh Bani Suljug dan penguasa Byzantium? Bukankah motif awal dari konflik tersebut hanya semata-mata ingin memperluas wilayah dan kepentingan ekonomi?
Tulisan Prof Dr Abdul Hadi W.M guru besar Filsafat di Universitas Paramadina Jakarta, saya copy paste dibawah ini karena sarat dengan informasi berharga sebagai akar permasalahan terjadinya konflik yang berkepanjangan antara Negara-negara Arab dengan Eropah dan Amerika. Akankah kaum orientalis bisa merubah pikirannya yang 'keruh', terhadap eksistensi Islam? Pada abad ke-20 ini, Bukankah Obama sedikit banyaknya telah mengendurkan tekanan-tekanan politiknya terhadap perkembangan konflik Palestina – Israel? Salam (a.m.a) 



Islam dan Barat, atau Barat dan Islam adalah kisah benturan budaya dan peradaban yang panjang serta nyaris membosankan. Sejak 1300 tahun yang lalu, Eropa atau Barat terus menerus memandang Islam sebagai ancaman terbesar bagi kebudayaan dan peradaban mereka. Awalnya berkaitan dengan perbedaan sistem kepercayaan mereka. Baru kemudian merembet ke bidang politik, eknomi, kebudayaan dan militer. Sejak itu Eropa menyusun berbagai siasat untuk menghancurkan dan memporakporandakan Islam. Untuk memahami pergaduhan ini, kita dituntut menelusuri akar dan perjalanan sejarahnya. Yaitu sejak agama Islam muncul dan berkembang pesat pada abad ke-7 M.

Bersamaan dengan berkembanganya Islam di Jazirah Arab itu, Byzantium (Romawi Timur) baru saja mengalahkan Persia, saingan beratnya selama berabad-abad di medan perang Ninive, Iraq, sebuah wilayah subur di Timur Tengah dan strategis karena merupakan pintu gerbang masuk ke daratan Asia. Kemenangan di Ninive sangat penting bagi Byzantium untuk memuluskan ekspansinya ke Asia dan membuka jalur perdagangannya dengan negeri-negeri Timur, khususnya India dan Cina. Hambatan terbesar bagi Byzantium adalah kemaharajaan Persia yang sejak abad ke-2 SM telah tampil sebagai adikuasa baru di Asia.

Pada abad ke-7 itu pula agama Kristen telah mantap dan mapan sebagai agama resmi dari kekaisaran Byzantium. Doktrin Trinitas telah ditetapkan sebagai satu-satunya ajaran resmi dari agama Kristen dan pantang digugat. Madzab-madzab Kristen lain seperti Yaakibbah (Jacobian) dan Nasaritah (Nestoria) dianggap aliran sesat dan menyimpang, khususnya karena tidak mengakui ketuhanan Yesus. Pada akhir abad ke-6 M, kaisar Yustianus aliran-aliran yang menolak doktrin trinitas itu dilarang di seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaan Byzantium. Para pemimpin dan cendikiawan mereka diusir dari Konstantinopel, ibukota Byzantium.

Tidak lama setelah kemenangan tentara Byzantium di Nnive itu, pasukan kaum Muslimin menyapu bersih kemaharajaan Persia dan wilayah-wilayah yang dikuasai Byzantium seperti Syam (Syria), Palestina, Lbanon, Mesir, Yerusalem, Iraq dan Yaman. Wilayah-wilayah yang direbut kaum Muslimin ini sebagian merupakan wilayah bangsa Arab yang secara bergantian diduduki Byzantium dan Persia. Ninive merupakan ibukota kerajaan Hira. Pada tahun 590 M wilayah inii direbut penguasa Dinastii Ghazzan yang meerintah di Palestina dan Yordania. Kerajaan Ghazzan adalah negara vasal dari kekaisaran Byzantium. Akibat penaklukan itu, orang-orang Arab yang merupakan penduduk Hira, banyak yang mengungsi ke Jazirah Arab dan tinggal di Madinah.

Menjelang awal abad ke-7 M, Persia kembali merebut Hira. Byzantium kembali menyerang wilayah ini. Demikian pada tahun 614 M  tentara Byzantium dapat  memukul mundur tentara Persia.  Raja Hira melarikan diri ke Jazirah Arab.
Pada tahun 631 M khalifah Abu Bakar Sidiq mengirim misi dagang dan dakwah ke Hira, tetapi rombongan dari Madinah itu dibantai habis oleh penguasa Byzantium. Atas desakan penduduk Madinah yang berasal dari Hira, pasukan kaum Muslimin menyerbu Hira dan mengusir tentara Byzantium dari tanah air mareka.

Kemenangan kaum Muslimin ini disambut gembira di wilayah-wilayah Arab yang dikuasai Byzantium seperti Syam, Palestina, Libanon, Yerusalem dan Mesir. Para penganut madzah Nasaritah dan Yaakibah yang telah lama ditindas oleh penguasa Byzantium, meminta bantuan kaum Muslimin untuk membebaskan negeri mereka dari penjajahan Romawi dan Kristen Barat. Permintaan ini dipenuhi oleh khalifah Umar bin Khattab (634-644 M). Dalam peperangannya melawan pasukan pendudukan Byzantium itu memperoleh kemenangan yang gilang gemilang sehingga Syam, Palestina, Libanon dan Mesir jatuh ke tangan kaum Muslimin.

Semenjak itulah Eropa benar-benar menganggap bahwa Islam merupakan ancaman besar bagi kebudayaan dan peradaban mereka. Telah dikatakan bahwa anggapan ini berakar dalam perbedaan yang menyolok antara aqidah dan doktrin Kristen Eropa dengan aqidah dan doktrin Islam. Karena aqidah dan doktrin yang diajarkan Islam bertentangan dengan aqidah dan doktrin Trinitas Kristen, lahirnya agama Islam menanam perasaan benci yang mendalam dalam hati mereka. Betapa tidak. Doktrin Trinitas yang mereka agungkan digugat oleh ajaran Tauhid dari Islam. Yesus yang mereka yakini sebagai putra Tuhan, dipandang hanya sebagai nabi seperti halnya nabi lain sebelum Nabi Muhammad s.a.w. Islam juga menolak anggapan bahwa yang wafat di palang salib adalah Yesus, melainkan orang lain yang mirip Isa Almasih.
Lebih jauh orang Islam yakin bahwa Injil dalam bahasa latin yang ada ditangan orang Kristen bukan Injil asli yang diwahyukan kepada Nabi Isa dalam bahasa suryani (Syiria kuno). Memang seperti orang Kristen, Islam percaya pada hari kebangkitan,serta adanya dosa dan neraka. Tetapi orang Kristen mengecam keyakinan bahwa mereka yang masuk sorga mendapat pahala berupa kesenangan sensual. Maka lahirlah anggapan di kalangan orang Kristen Byzantium /Eropa bahwa orang Islam patuh pada ajaran agama dan berjuang membela ajaran agama mereka disebabkan pamrih sensual dan seksual. Kebencian bertambah-tambah karena dalam waktu relatif wilayah-wilayah Byzantium direbut oleh kaum Muslimin..

Persoalan-persoalan tersebut ditambah lagi dengan kenyataan bahwa akhir abad ke-8 M, setelah berhasil menguasai Andalusia dan semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal sekarang), pasukan kaum Muslimin berhasil menerobos wilayah Perancis, salah satu jantung utama peradaban Kristen pada masa itu. Sembilan abad kemudian pada abad ke-16 dan 17 M, peristiwa serupa terulang lagi. Pasukan Turki Usmani memporak-porandakan Eropa yang selama satu milenium membangun peradaban dan kebudayaan dengan tenang, tanpa gangguan yang berarti dari luar benua itu. Bahkan pada abad ke-18 dan 19 M, ketika kekuasaan kolonial Eropa (Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Perancis) telah mencengkram banyak negeri dunia termasuk wilayah kaum Muslimin yang luas, sekali lagi pasukan Turki Usmani yang perkasa menusuk jantung Eropa dan memporak-porandakan kota-kota mereka. Mereka hampir saja menguasai Hongaria dan Austria, pintu masuk utama ke Eropa Barat dan Skandinavia.

Kenyataan ini semakin memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama pedang yang disebarkan melalui peperangan dan tindakan kekerasan, dan karenanya merupakan ancaman besar bagi peradaban Eropa. Untuk membendungnya merupakan kewajiban bangsa Eropa, sebab kalau dibiarkan tatanan dunia akan porak poranda disebabkan hadirnya agama yang lahir di padang pasir Arabia yang tandus itu. Namun Barat lupa bahwa lebih sepuluh abad sejak tahun 600 SM hingga abad ke-7 M saat lahirnya agama Islam, tidak henti-hentinya kemaharajaan Romawi dan Macedonia mengobrak-abrik wilayah yang dihuni orang-orang Semit dan Persia, yang nantinya akan berbondong-bondong memeluk agama Islam. Mereka lupa bahwa kerajaan-kerajaan nenek moyang bangsa Arab seperti Hira, Petra, Himyar, Palestina dan lain-lain telah berulang kali diserbu dan menjadi ajang rebutan kekaisaran Romawi dan Persia.

Selama beberapa abad pula orang Arab hidup di bawah penjajahan bangsa Romawi. Orang Arab baru memperoleh kesempatan merebut kembali wilayah nenekmoyang mereka setelah datangnya agama Islam. Itulah sebabnya, bagi bangsa Arab agama Islam dipandang sebagai agama yang membebaskan dan menyelamatkan, serta dapat mempersatukan mereka. Jadi pandangan mereka sangat berbeda dari pandangan orang Eropa yang menetapkan Islam sebagai sumber bencana dan malapetaka.

Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad (1096-1270 M) dalam enam gelombang, menambah parah kebencian orang Eropa terhadap Islam, dan sebaliknya orang Islam terhadap Eropa Kristen. Orang Eropa jengkel karena tidak memperoleh kemenangan yang diharapkan dari peperangan yang lama itu dan tidak pula berhasil merebut Yerusalem tempat salib suci disimpan . Ketika itu kekuasaan Bani Saljug di wilayah Iraq, Iran dan sebagian Asia Tengah sedang mencapai puncaknya. Pada akhir abad ke-11 M Armenia, yang merupakan wilayah paling timur dari kekaisaran Byzantium ditaklukkan oleh pasukan Saljug. Perang dahsyat berkobar pada tahu 1071 di Manzicert, dekat perbatasan Armenia dan Anatolia. Tentara Byzantium mengalami kekalahan telak. Hasrat Byzantium untuk membalas kekalahannya itu berubah menjadi perang agama.

Dalam Encyclopaedia of World History (1956:255) William K. Langer menggambarkan sebab-sebab timbulnya Perang Salib I (1906-1099). Menurut Langer perang ini bermula dari permintaan bantuan pasukan dari kaisar Byzantium kepada Paus Gregorius VII. Setelah bala bantuan datang dari berbagai negara Eropa, berupa 300.000 tentara reguler, Paus Gregorius VII mengubah bantuan militer menjadi Perang Suci (Perang Salib) melawan tentara Islam yang dianggapnya kafir. Hasrat Byzantium untuk berperang ditambah lagi dengan berita-berita buruk yang disebarkan para peziarah Kristen yang berkunjung ke Yerusalem. Setelah mereka kembali ke kampung halamannya, mereka menebar issue bahwa orang Kristen di Yerusalem dan Palestina banyak yang dianiaya dan disiksa, serta wanita-wanita mereka diperkosa oleh tentara Saljug. Ini menimbulkan amarah kasir Byzantium di Kontantinopel. Berita pun segera tersebar ke seluruh daratan Eropa.

Ketika itu sedang terjadi pula pergolakan internal dalam tubuh gereja Katholik. Gereja Romawi dan Gereja Yunani Ortodoks saling bersaing merebut kepemimpinan umat Kristen. Paus Gregorius VII berkeinginan menjadikan Perang Salib itu sebagai upaya menyatukan Dunia Kristen. Pada saat Perang Salib sedang digodog, Paus Gregorius VII diganti oleh Paus Victor II dan Victor II diganti pula oleh Paus Urbanus II (1088-1099). Ketika Paus Urbanus II dinobatkan muncul pula Paus tandingan berkedudukan di Auvergne, Perancis, yaitu Paus Clement III (1084-1100). Kaisar Alexius dari Byzantium selain meminta bantuan Paus di Roma, juga menghimbau seluruh umat Nasrani di Eropa untuk membantu rencana dengan tentara salib, sebagai balas jasanya akan dilimpahi perangnya. Dalam imbauannya Kaisar Byzantium memnjanjikan bahwa barang siapa berani bergabung kekayaan dan memperoleh wanita-wanita Yunani yang cantik jelita.

Perang Salib tambah berkobar disebabkan khotbah keliling yang dilakukan seorang rahib bernama Peter the Hermit. Menurut sang rahib barang siapa yang ikut berperang membela kehormata agama Kristen akan mendapat pengampunan dosa, walaupun dahulunya ia seorang penyamun dan penjahat. Demikianlah tentara Salib berangkat ke medan perang pada bulan Agustus 1095 dan pada permulaan tahun 1096 perang pun berkobar. Meskipun tentara Salib mengalami kekalahan di Anatolia dan Armenia, mereka berhasil menguasai Yerusalem selama beberapa tahun.

Fakta-fakta yang telah dikemukakan cukup memberi gambaran bahwa sejak awal orang Eropa atau Barat memerlihatkan sikap bermusuhan terhadap Islam, baik Islam sebagai agama ataupun Islam sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki kebudayaan dan peradaban berbeda dari mereka. Selama beberapa abad kekaisaran Byzantium di Konstantinopel berhasil membangun tembok tinggi yang memisahkan secara tegas antara dunia Islam di Timur dan dunia Kristen di Barat. Kesalahpahaman Eropa terhadap Islam adalah buah yaang dihasilkan oleh pembangunan tembok pemisah antara dua peradaban ini. Sumber-sumber Byzantium yang memandang Islam sangat buruk dalam semua aspek dari ajaran agamanya dijadikan kacamata Barat dalam memandang dan menyikapi Islam.

Dikatakan misalnya bahwa agama Islam tidak lebih dari aliran sesat dan bentuk kermutadan yang timbul dari agama Kristen. Dengan kata lain, Islam adalah ajaran Kristen yang menyimpang. Muhammad adalah nabi palsu, yang memperoleh pengetahuan agama dari seorang pendeta Kristen bernama Bahira. Kitab suci al-Qur`an pula dianggap sebagai kitab yang dibawa di atas tanduk lembu putih. Lebih jauh dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah tukang sihir yang berhasil meyakinkan orang banyak bahwa dia memperoleh wahyu dari Tuhan setelah melakukan ritual yang menjijikkan, yaitu melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita di luar nikah.

Namun demikian pada abad ke-12, seusai Perang Salib I, keinginan mengetahui ajaran Islam secara lebih benar mulai muncul di kalangan terpelajar Eropa. Al-Qur'an mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, begitu pula karya-karya penulis Muslim Arab dan Persia. Terjemahan al-Qur'an pertama dalam bahasa Latin ditulis oleh seorang sarjana Inggris Robert dri Ketton pada tahun 1143 M. Kemudian pada abad ke-13 dan 14 M , upaya memahami ajaran Islam ditumpukan pada dua hal; Pertama, mencari kemiripan ajaran al-Qur'an dengan Bibel; kedua, menyusun alasan-alasan logis untuk mengecam Nabi Muhammad s.a.w. sebagai nabi palsu. Mereka berpendapat bahwa seseorang yang tidak memiliki mukjizat seperti Isa Almasih tidak layak mengaku diri sebagai Nabi dan Rasul Tuhan. Dua hal inilah yang menjadi target utama serangan pemuka agama Kristen terhadap kaum Muslimin dan agama Islam.

Menurut mereka orang Islam terdorong melakukan jihad karena dua hal. Pertama, ingin membetulkan ajaran Kristen yang salah dan menyimpang dari tradisi monotheisme Ibrahim dan memperoleh pengakuan terhadap kenabian Muhammad. Mereka lupa bahwa Perang Salib, yang oleh mereka dipandang sebagai perang agama Kristen melawan kekafiran Islam, tidak dimulai oleh orang Islam. Apa yang dilakukan oleh Bani Saljug dan penguasa Byzantium sebelum Perang Salib meletus, semata-mata perang memperebutkan wilayah demi kekuasaan politik dan sumber-sumber ekonomi. Adalah penguasa-penguasa Kristen Eropa dan penguasa gereja yang pertama kali menyebut Perang Salib sebagai perang agama, perang antar budaya dan peradaban. Orang Islam tidak pernah melihat perang di Armenia itu sebagai perang agama.

Kecaman lain yang ditujukan kepada Islam ialah berkenaan dengan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad s.a.w. Tetapi mereka lupa bahwa Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Sulaiman dan lain-lain mempunyai istri lebih dari satu, tetapi tidak membuat mereka berkeinginan untuk mengecam nabi-nabi ini. Mereka juga lupa bahwa dalam Perjanjian Lama (Old Testatamen) Nabi Luth dilukiskan berhubungan seksual dengan putrinya sendiri, karena ketika itu penduduk Sodom dan Gomorra hampir musnah. Gambar kemurtadan Islam dapat dilihat dalam Divina Comedia (Komedi Ketuhanan) karangan Dante, pengarang Italia yang masyhur pada abad ke-13 M. Dalam bukunya itu Nabi Muhammad digambarkan sebagai penghuni neraka yang paling rendah dan mendapatkan siksaan berat karena dosa-dosanya mengajarkan aliran sesat. Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan bahkan Sultan Saladin pahlawan Perang Salib, dilukiskan mendapat hukuman ringan dari Tuhan.
Pada zaman Renaissan dan Reformasi (abad ke-15 – 16 M) pandangan Eropa terhadap Islam tidak berubah, padahal sikap dan pandangan mereks terhadap gereja, khususnya Gereja Katholik, semakin kritis. Polydare Virgil, ahli sejarah abad ke-15, mengulang pandangan Kristen abad pertengahan ketika menggambarkan Nabi Muhamad. Nabi dikatakannya sebagai tukang sihir, yang mendpat pelajaran agama dari pendeta Kristen dan ajaran sesatnya disebarkan melalui kekerasan dan janji-janji tentang kenikmatan seksual di sorga yang akan diperoleh jika seseoang berjuang di jalan Tuhan. Ensiklopedi yang disusun oleh Bartolomeus d'Hesbelot, Bibliothque Orientale, memulai entrinya dengan kalimat-kalimat serupa. Bahkan Edward Gibbon (abad ke-18) yang mengagumi Nabi Muhammad dalam bukunya The Decline and Fall of Roman Empire, merasa ogah untuk membenarkan risalah ketuhanan yang disampaikan Nabi Muhammad s.a.w.

Martin Luther, pendiri Protestanisme bersama-sama dengan Calvin dan Zwingli, menyamakan kemurtadan Muhammad dengan penyimpangan yang dilakukan oleh Gereja Katholik Romawi terhadap ajaran Nabi Isa a.s. Dalam sebuah dramanya berjudul La Fanatisme, ou Mahomet le prophete, Voltaire (akhir abad ke-18 M) menggambarkan bahwa ketika Nabi Muhammad akan wafat, beliau mewasiatkan kepada para penggantinya (khalifah) agar kejahatan-kejahatan yang dilakukan beliau dirahasiakan agar tidak merusak keimanan kaum Muslimin.
Pada permulaan abad ke-18, memasuki zaman Aufklarung (Pencerahan) sebenarnya sejumlah sarjana Eropa sedang sibuk membangun dasar-dasar pemahaman yang lebih luas tentang Islam dan kebudayaan Timur. Ketika itu pamor agama Kristen mulai luntur. Tetapi prasangka-prasangka yang dibangun oleh Kristen Byzantium belum bisa dikikis dalam jiwa manusia Eropa yang mulai sekular. Bahkan walaupun sejumlah sarjana dan pemuka masyarakat bersimpati pada kebudayaan lain, termasuk kebudayaan Islam, namun pemahaman mereka tentang segala hal masih tetap terkungkung oleh Eropanisme.
Khusus mengenai Islam, bertahannya prasangka lama itu antara lain disebabkan oleh ketakutan mereka terhadap ancaman tentara Usmani Turki, yang pada abad ke-18 M memang sangat kuat. Baru pada akhir abad ke-18 orang Eropa mulai yakin bahwa mereka dapat melakukan hubungan produktif dengan dunia Islam, bahkan dapat mengalahkan dan menguasai mereka. Perubahan sikap itu terjadi karena dua hal: Pertama, pada tahun 1798 secara dramatis Perancis menaklukkan Mesir tanpa mengalami banyak kesukaran. Untuk merebut hati orang Islam, Napoleon menggunakan jargon-jargon yang diambil dari ajaran Islam.
Kedua, setahun kemudian, 1799 pasukan Inggris memenangkan pertempuran di Mysore India melawan tentara Dinasti Mughal. Tidak lama kemudian pada permulaan abad ke-19 Rusia menaklukkan negeri-negeri kaum Muslimin di Kaukasus dan wilayah Asia Tengah yang lain. Belanda berhasil mengatasi perang anti-kolonial yang ditujukan kepadanya di pulau Jawa dan Sumatra, khususnya Perang Diponegoro di Jawa Tengah dan Perang Padri atau Imam Bonjol di Sumatra. Perang anti-kolonial ketiga yang paling berat dihadapi Belanda setelah Perang Diponegoro dan Padri, ialah Perang Aceh. Perang Aceh dipicu antara lain oleh seruan 'jihad' melawan kolonial oleh Syekh Abdul Samad al-Falimbangi.

Ketika itu sebenarnya orang Eropa telah mulai bebas dari kungkungan pandangan gereja dan agama Kristen, dan pemahaman terhadap Islam beserta kebudayaan dan peradabannya menjadi lebih mungkin. Apalagi setelah berkembangnya pemikiran humanisme Tetapi justru pada masa yang penuh peluang itulah, tumbuh dan berkembang orientalisme – suatu bangunan ilmu pengetahuan tentang dunia Timur, khususnya Islam, yang dirancang mengikuti metode dan kepentingan Barat. Setelah orientalisme berkembang inilah kampanye misionaris menentang Islam kian menjadi-jadi. Bersama-sama penguasa kolonial mereka berusaha melucuti kekuatan umat Islam secara politik, ekonomi, militer, budaya dan intelektual.

Di Hindia Belanda tokoh utama orientalisme yang berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah kolonial mengenai Islam ialah Snouck Hurgronje. Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan Padri, kaum orientalis membuat konstruksi ilmu yang akan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan modern, terutama untuk kaum terpelajar Indonesia. Dalam konstruksi ilmu tersebut, Islam – kebudayaan, peradaban, sejarah dan agamanya – ditempatkan sebagai outsider dan dipandang sebagai sesuatu yang asing dalam sejarah kebudayaan bangsa Indonesia (Tauqik Abdullah 1997). Sementara itu citra Islam yang buruk terus menerus dipropagandakan ke khalayak masyarakat luas.

Salah satu buku penting yang berpengaruh dalam memberikan citra negatif tentang ialah buku Sir berhasil William Muir A Life of Muhammad, terbit di Bombay pada tahun 1851. Ketika buku ini terbit, pemerintah kolonial Inggeris sedang gencar menggalakkan missi dan zending Kristen. Yesus Kristus atau Isa Almasih diberi gambaran sebagai manusia superstar sedangkan Nabi Muhammad adalah utusan setan. Para missionaris tidak bosan-bosannya mengutip bagian dari buku William Muir ini dalam menyebarkan agama Kristen di kalangan orang-orang India yang beragama Hindu dan Islam. Dalam buku itu Nabi Muhammad disebut Mahound (roh jahat) yang menyebarkan agama melalui kekerasan dan kegiatan seksual. Bandingkan gambaran dalam buku Muir ini dengan gambaran dalam buku Salman Rushdi yang menghebohkan pada akhir 1980an The Satanic Verses.

Gambaran bahwa Islam merupakan agama kekerasan dan menghalalkan kebebasan seks, semakin kuat menghunjam benak bangsa Eropa pada abad ke-19. Akar penyebabnya ialah kenyataan bahwa pemerintah kolonial Eropa menghadapi sejumlah perlawanan sengit dari para ulama dan pemimpin tariqat sufi sebelum menaklukkan negeri Islam. Perlawanan kaum Muslimin berlangsung sengit sejak abad ke-18 hingga abad ke-20 M, khususnya di Aljazair, Lybia, Iraq, Iran, India, Afghanistan dan Indonesia. Dalam perangnya menentang kehadiran kolonialisme Eropa itu kaum Muslimin mengusung issu jihad melawan kekuasaan raja kafir. Itu tidak keliru, karena penjajahan bukan hanya menghancurkan kehidupan ekonomi dan kedaulatan politik kaum Muslimin, tetapi juga menghancurkan sendi-sendi kebudayaan dan kehidupan agama.

Pangeran Diponegoro diceritakan pernah mengatakan kepada utusan pemerintah Belanda yang menawarkan perdamaian kepadanya, "Jika orang Belanda mau memeluk agama Islam, kami tidak akan melakukan perlawanan dan akan menyambut anda dengan tangan terbuka." Ucapan serupa pernah dikemukakan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dari Aceh kepada kepala perwakilan dagang VOC. Iskandar Muda menawarkan orang Belanda memeluk agama Islam dan dengan demikian akan leluasa melakukan aktivitas perdagangan di Sumatra tanpa gangguan yang berarti. Ini menunjukkan bahwa motif perlawanan terhadap kolonialisme bukan sekedar masalah politik dan ekonomi.

Dalam bukunya yang telah disebutkan William Muir mengatakan, "Pedang Muhammad dan al-Qur'an adalah musuh paling berbahaya bagi Peradaban, Kebebasan dan Kebenaran yang dijunjung tinggi oleh dunia yang beradab!" Kurang lebih seperti inilah pemahaman tentang Islam yang hidup dalam jiwa dan pikiran para pemimpin Eropa, sebelum dan sesudah Perang Dunia II, dari zaman Napoleon sampai zaman Bush dan Tonny Blayr.

Gambaran tentang Islam sebagai agama kekerasan dan menghalalkan kekebasan seks dapat dilihat dalam banyak buku karangan sarjana dan pengarang Eropa abad ke-19 M. Misalnya dalam novel Gustave Falubert, novelis Perancis abad ke-19 dan buku Erdward Lane, seorang sarjana Inggris. Gambaran dan pemahaman serupa juga dapat dilihat dalam sajak "Hari Terakhir Olanda di Tanah Jawa" karangan Multatuli, novelis Belanda abad ke-19 yang masyhur karena novelnya Max Havelaar.
Dalam sajak ini Multatuli mengatasnamakan dirinya sebagai Sentot Alibasya, panglima perang tentara Diponegoro. Dikatakan misalnya bahwa, tentara Muslim Jawa tidak akan pernah puas jika hanya memperoleh kemenangan di medan perang. Mereka baru akan puas jika dapat menggauli noni-noni Belanda yang cantik dan montok setelah memenangkan pertempuran di medan perang. Pada bagian akhir sajak itu dikatakan, bahwa perang anti-kolonial tidak akan dihentikan sebelum, "Orang Jawa berlutut di depan Muhammad, dan dibebaskan bangsa yang terlembut, dari cengkraman anjing-anjing Kristen."

Memang selama dua abad ini tidak sedikit sarjana Barat yang berusaha memberikan pemahaman yang simpatik terhadap agama Islam dan kaum Muslimin. Itu terjadi sejak Goethe hingga Esposito. Konsili Vatikan yang kedua beberapa dasawarsa yang lalu, menyerukan pula agar umat Kristiani lebih meningkatkan toleransinya kepada kaum Muslimin, karena agama yang mereka anut adalah agama monotheis seperti agama Kristen. Tetapi sejauh mana seruan itu dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah Barat yang hegemonik, tidak seorang pun tahu. Begitu pula sejauh mana pengaruh pandangan para orientalis yang simpatik terhadap Islam dapat mengubah pikiran dan jiwa orang Eropa dan Amerika yang telah keruh, tidak seorang di antara kita dapat menjawabnya.

 
CATATAN :
1. G.H. Jansen (1979) dalam bukunya Militant Islam mengatakan bahwa konfrontasi Islam dan Kristen/Barat dimulai dari bidang agama dan spiritual. Penulis Kristen selalu menggunakan argumen licik terutama berkaitan dengan pribadi Nabi Muhammad s.a.w. Kemudian gambaran ini diperbaiki sedikit. Orang Islam digambarkan sebagai pemalas, apa dia Muslim Turki, Arab, Melayu atau India. Selain pemalas orang Islam digambarkan egosentrik dan senang seks. Sebetulnya banyak hal-hal baik dari Islam mereka ketahui, tetapi sengaja ditutup-tutupi.

 
2. Misionaris Kristen mengeluh orang Islam enggan diajak berdebat dan berdialog menyangkut kepercayaan agama mereka. Diam itu emas dan tidak mudah terpenting adalah senjata orang Islam sampai abad ke-17 M. Kegiatan misionaris semakin menonjol setelah Napoleon menaklukkan Mesir. Kegiatan missi dan zending Kristen pada abad ke-19 mempunyai hubungan erat dengan perluasan kekuasaan dari kaum penjajah. Karena mereka menjumpai perlawanan sengit dari orang Islam. Karena membiarkan dirinya menjadi alasan kekuasaan kolonial inilah orang Islam memandang mereka sebagai musuh.

 
3. Walau missi mereka gagal pada abad ke-18 M, tetapi pada pada abad ke-19 mereka yakin berhasil. Dugaan ini meleset. Orang Islam yang telah disekulerkan seperti di Indonesia dan mendapat pendidikan Barat justru menentang kolonialisme. Ini membuat penguasa Barat semakin jengkel.

Kaum Muda dalam Kehidupan Politik


Oleh; Sarwono kusumaatmadja & amp; Abdul Muin Angkat



Kalam;
Kaum muda harus senantiasa di depan utk melakukan perubahan, sebelum melakukan perubahan di luar dirinya, seyogianya melakukan perubahan di dalam dirinya yaitu perubahan sikap mental. Setelah 65 tahun merdeka, dan 102 tahun kebangkitan nasional ternyata capaian keadilan sosial bagi seluruh bangsa belum tercapai. Apakah kegagalan ini karena lemahnya kepemimpinan, terlambatnya regenerasi dan lemahnya daya saing bangsa? Mengapa jenjang kepemimpinan di Negara tetangga Malaysia yang dimotori oleh UMNO, dan di Cina tampuk kekuasaan se level wakil Perdana Menteri bisa diraih oleh kaum muda? Adakah ketertutupan system politik ini ditengarai oleh kebijakan salah arah atau hegemoni 'kaum tua' yang dan tidak memberi peluang kepada 'kaum muda?

Kesadaran untuk melakukan perubahan ini harus dilakukan secepatnya dengan keberanian menentukan target, berani melangkah dan berani memperjuangkan aspirasi kaum muda, Siapa calon pemimpin yg berada di garda depan?

Semula tulisan ini terangkum di dalam Buku" Sketsa Politik Orde Baru"(1987), ditulis oleh Sarwono Kusumaatmadja, dan saya sendiri sebagai editornya, Diterbitkan oleh Penerbit Grafiti Pers Bandung. Saya merasa tulisan ini masih relevan untuk dibaca oleh kaum muda karena sarat akan pengalaman empiric tokoh sekaliber Sarwono Kusumaatmadja yang berlatar belakang aktivis pergerakan mahasiswa Bandung, dan pernah dua kali ditunjuk sebagai Menteri pada era Soeharto dan Gus Dur sebagai Presiden.Disana sini saya up date, disesuaikan dengan perkembangan.(a.m.a).


Apa yang dimaksud dengan "kawula muda" di dalam konteks politik? Jika yang dimaksud adalah mereka yang berusia di atas 18 tahun (usia dimana seseorang mulai mempunyai hak pilih), lantas di mana ambang batasnya? Apakah kita sepakat apabila pada usia 35 tahun kita ambil sebagai ambang batas teratas usia 'pemuda',sesuai dengan prasyarat untuk duduk sebagai pengurus KNPI? Atau kita batasi saja dengan batasan yang agak remang-remang dengan mengatakan bahwa 'kawula muda' atau kaum muda, adalah mereka yang mempunyai kesadaran akan lingkungan politiknya serta dibentuk oleh pengalamannya selama kurun waktu 20 tahun belakangan ini.

Dengan latar belakang tersebut, yang dimaksudkan dengan kaum muda, ialah orang-orang yang persepsi politiknya benar-benar dibentuk oleh Zamannya (pada masa Orde Baru ataupun pasca reformasi), Ini berarti bahwa setiap orang yang tidak mengalami ataupun mengamati sendiri secara langsung perikehidupan berbangsa sebelum tahun 1998, dianggap sebagai kaum muda.

Kesadaran politik umumnya dibentuk terlebih dahulu oleh kesadaran lingkungan dalam pengertian yang luas, yaitu ketika seseorang mulai memberikan perhatian atas hal-hal yang tidak langsung menyangkut dirinya. Hal ini muncul bermula dari keinginan membaca surat kabar mengikuti kejadian sehari-hari, mengamati opini-opini yang berkembang, memperhatikan percakapan orang tuanya, membaca literature diluar buku pelajaran, komik dan cerita silat. Berarti seseorang mulai berminat membaca karya-karya sastra, esei-esei politik, buku sejarah dan seterusnya.

Dengan demikian timbul pertanyaan, sejak usia berapa seseorang mulai menunjukkan minat pada hal-hal yang bersifat abstrak tadi? Tidak ada yang pasti. Akan tetapi menurut pengamatan kami, kecenderungan tersebut dimulai sejak usia 12 tahun, ketika seseorang duduk dikelas 1 SMP.

Oleh karena itu setiap orang yang pada tahun 1998(pasca reformasi), berusia 12 tahun, masih boleh dan berhak dikatakan sebagai pemuda. Ini berarti, batas moderat usia 'kawula muda' adalah 12 + 12 = 24 tahun, sedangkan seperti yang ditetapkan oleh DPP KNPI, usia teratas generasi muda adalah 35 tahun. (untuk mengadopsi pemikiran bahwa 'pemuda' di daerah lebih mapan dalam usia ini).

Dalam konteks bermasyarakat dan berbangsa,sebagian mereka yang berusia antara 18 sampai 35 tahun adalah generasi muda. Siapakah mereka itu? Sudah pasti heterogen. Dari segi pendidikan, mulai mereka yang putus sekolah sampai sarjana. Dari segi pekerjaan, mulai yang menganggur, setengah menganggur, pegawai negeri sipil, TNI/Polri, swasta, petani, nelayan, serikat sekerja dan seterusnya. Dari segi asal usul, terdiri dari orang kota, maupun desa bertebaran diseluruh pelosok Tanah Air.

Secara umum untuk memberikan opini terhadap kelompok usia ini, kita harus berhati-hati. Umpamanya untuk menjawab apakah benar kaum muda acuh tak acuh terhadap dunia politik? Jawaban yang pasti adalah bahwa ada diantara mereka yang berminat dan ada pula yang tidak berminat terhadap politik.

Namun demikian kaum muda Indonesia berada dalam satu kondisi sosio politis tertentu yang dibentuk oleh zamannya. Apabila dibandingkan dengan periode Orde baru, dimana konflik-konflik politik tidak terlalu tajam, maka pasca reformasi keadaannya terbalik seratus delapan puluh derajad. Sistem multi partai yang menyebabkan dinamika politik begitu bergelora dan pelaksanaan Pemilu yang demokratis, bebas dan terbuka menyebabkan terjadinya euphoria politik karena terlepas dari kungkungan 32 tahun masa pemerintahan orde baru yang authoritarian.

 
Budaya Politik dan peranan politik.

Dewasa ini, kaum muda yang mengalami gejolak politik pasca tumbangnya pemerintahan otoritarian Soeharto, mengalami goncangan budaya justru karena telah mendapatkan kebebasan menyatakan pendapat tanpa sensor penguasa. Oleh karena itu kendati pun kaum muda Indonesia merupakan kelompok yang heterogen, mereka adalah sama-sama produk zamannya. Dari sini dapat diperkirakan bahwa persepsi politik kaum muda serta prioritas masalah yang dihadapinya akan berbeda dengan generasi pendahulunya. 

Jika generasi 45 lebih mendahulukan misi persatuan dan kesatuan bangsa, karena selalu melihat adanya ancaman dibalik setiap gejolak politik yang tidak disukainya. Hal ini dapat dimengerti karena mereka dibesarkan dalam suatu suasana politik dimana persatuan dan kesatuan Bangsa dikala itu benar-benar terancam. Bukan sekali dua kali tetapi berkali-kali.

Pemikiran politik eksponen 66 juga diwarnai oleh gejala politik yang dominan pada saat itu, sehingga mereka mempunyai orientasi yang structural terhadap masalah politik. Dengan telah selesainya fase pergolakan ideology serta rampungnya pembenahan struktur politik, maka diperkirakan kaum muda akan banyak mempertanyakan relevansi antara system politik yang telah terbangun memberikan peluang partisipasi. Hal ini dikedepankan karena kaum muda amat memerlukan citra politik dan memerlukan adanya satu model politik tertentu. 

Jika citra serta model yang diperlukan dapat diperoleh dari kehidupan politik dewasa ini maka sebagian dari masalah partisipasi sudah terpecahkan. Kalau melihat prospek kehidupan multi partai dimana setiap orang berpeluang menjadi calon legeslatif (caleg) maka terutama para perempuan sangat di minati oleh partai politik untuk mengisi 20 % kebutuhan untuk merekrut setiap calon legeslatif, apalagi yang telah memenuhi persyaratan minimal Strata S1. Tetapi mengapa kualitas Calon legeslatif yang konon merupakan ujung tombak kader suatu partai politik, tidak lahir secara otomatis dari kesungguhan menyelenggarakan kaderisasi yang intensif? Mengapa kemunculan seorang calon politisi atau pemimpin bangsa tidak dilahirkan oleh proses kaderisasi yang kuat oleh partai politik? 

Lemah nya system kaderisasi partai politik akan berakibat kepada lemahnya kepemimpinan nasional. Terlihat dari betapa banyaknya para artis yang di rekrut menjadi calon legeslatif dan ikut di dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), semata-mata karena popularitas nya saja. Bukankah ini akan mengorbankan kepentingan bangsa dan Negara?

Kaum muda dewasa ini mempunyai peran masa depan yang penting sekali, karena implementasi Pancasila sebagai Ideologi Bangsa harus dimulai sehingga nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya menjadi patokan dasar yang mau tidak mau menjadi flatform pendidikan politik di Indonesia. Dengan demikian kita tidak perlu risau akan peluang kaum muda dalam dunia politik karena secara alamiah peluang itu datang secara otomatis seiring dengan proses regenerasi. 

Bukti otentik yang baru saja kita alami adalah ketika Anas Urbaningrum (41 tahun), memenangkan pertarungan dramatis dua putaran atas pesaingnya Marzuki dengan Andi Malarangngeng untuk jabatan Ketua umum Partai Demokrat. Coba bandingkan usia Ketua Umum Partai Golkar dan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan serta ketua umum Partai Hanura. Apakah ini pertanda telah dimulainya era baru munculnya pemimpin muda yang berkarakter, ditengah oase keringnya nilai-nilai moral dikalangan politisi ditanah air produk politik Orde baru, serta masa transisi pasca reformasi yang kehilangan tokoh idola dan ketauladanan? Mengapa pembangunan nation and character building yang seharusnya menjadi tonggak terpenting mengawal penyelenggaraan Negara terlupakan?

Seorang pemimpin Pemimpin Trasformasional bukan hanya memberikan inspirasi dan memotivasi pengikut untuk mencapai hasil yang lebih besar, akan tetapi mampu merubah nilai-nilai dasar melalui pemberdayaan (Gibson dkk). Dilain pihak seorang Pemimpim Trasformasional harus mampu memberikan stimulasi intlektual, menghargai ide-ide kreatif dan inovatif dalam perkembangan regenerasi kepemimpinan organisasi (Mujiasih & Hadi Sutrisno). 

Oleh sebab itu pemimpin dituntut tanggung jawabnya untuk membentuk Budaya Organisasi yang menjadi 'trade mark' untuk memperlancar berjalannya rotasi dan pergantian kepemimpinan baik di dalam Partai politik maupun di dalam momentum keberlanjutan sebuah organisasi. Dan itu telah dilakukan oleh Partai Demokrat, sebagai partai pembaharu yang digandrungi oleh kaum muda.

Satu hal yang membedakan peluang kaum muda dewasa ini, dengan peluang generasi pendahulunya adalah bahwa dimasa kini dan mendatang, peluang partisipasi tidak akan datang sebagai akibat konflik politik yang tajam. Dimasa mendatang  peluang akan muncul secara gradual dan akan merupakan bagian yang integral dari sitem itu sendiri. Oleh karena itu lahirnya generasi-generasi politik seperti generasi 28, 45, dan 66, kemungkinan tidak akan terjadi lagi. 

Dalam pengertian ini, tidak mungkin terjadi adanya kelompok muda yang hadir sebagai kenyataan sosiologis yang utuh, yang kemudian menjadi kelompok penekan yang menyebabkan perubahan-perubahan besar baik dalam pola pikir maupun dalam struktur politik. Berarti pula, kalaupun ada perubahan dimasa yang akan datang, perubahan itu terjadi karena dinamika dan desakan dari dalam suatu system dan bukan dari luar. 

Perkiraan ini berdasarkan asumsi bahwa stabilitas politik yang telah lama kita nikmati ini adalah sesuatu yang akan kita korbankan begitu saja. Stabilitas politik yang dinamis tentunya memberikan peluang-peluang bagi perubahan yang diperlukan. Oleh sebab itu perubahan yang diakomodir dapat di integrasikan di dalam perubahan gradual yang kwalitatif di dalam system itu sendiri.

Sebagaimana wajah kaum muda sendiri yang beranekaragam , maka wadah partisipasi kaum muda juga beragam. Masih terdapat organisasi kaum muda yang merupakan organisasi peninggalan dari zaman dahulu. Ketika kaum muda diorganisir secara besar-besaran untuk menjadi ujung tombak dari partai-partai politik. Dewasa ini, mereka dalam proses penyesuaian identitas. Karena apa yang di cita-citakan oleh partai politik tidak terwujud, sedangkan untuk partisipasi yang baru dan efektif belum ditemukan. 

Gejala menarik yang terjadi sekarang adalah pengelompokan diluar itu semua, yaitu organisasi yang dibentuk atas prakarsa sendiri, baik yang bersifat profesi, kelompok minat, maupun klompok studi yang pada umumnya bersifat lokal dan terbatas. Yang terakhir ini sering disebut dengan predikat umum sebagai sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dimana potensi dan peranannya mulai di akui oleh masyarakat. 

Gejala ini positip karena menandakan bahwa kaum muda mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mendefinisikan peranan dan fungsinya sendiri dan tidak menggantungkan dirinya dari bentuk-bentuk yang tersedia dan yang peran serta fungsinya sudah diatur oleh pihak-pihak kaum muda itu sendiri. Gejala inilah yang tidak bisa membenarkan begitu saja pendapat bahwa kaum muda sekarang sudah apatis.

Pengelompokan kaum muda yang digambarkan diatas sepintas lalu tidak mempunyai fungsi politik yang langsung. Namun, mereka jika tidak diorganisir dengan efektif bisa saja mempunyai pengaruh politik dalam arti bahwa aspirasi yang dibawakannya diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada. Dan oleh sebab itu tokoh-tokohnya direkrut untuk tampil dalam gelanggang politik. 

Secara terbatas, memang gejala inilah yang terjadi. Namun, yang tampak dipermukaan adalah bahwa peran yang didapat kaum muda dalam dunia politik lebih disebabkan adanya 'pemberian' peran, dan bukan oleh karena peran kaum muda tersebut dianggap amat penting. Hal ini disebabkan karena secara sosio politis kehadiran kaum muda di dalam berbagai pengkotakan, baik yang fungsional, yang politis maupun yang tidak terorganisir dalam bentuk apapun, dengan kepentingan-kepentingan maupun aspirasi yang tidak mempunyai bentuk yang spesifik. Oleh karena itu 'politik generasi muda' tidak tampak sosoknya dewasa ini sebagai suatu gejala yang dominan.

Apakah ini merupakan tanda lonceng kematian kaum muda di dunia politik? Sama sekali tidak. Secara potensial, peranan kaum muda memang ada, namun tidak sebagai gejala sosio-politis tersendiri. Potensi kaum muda terserap dan membaur dalam keseluruhan interaksi politik yang ada, sedangkan peran yang dominan dalam seluruh interaksi ini tidak dapat ditakar sebagai peran 'generasi tua' versus 'generasi muda' sebab dinamika kelompok dalam dunia politik di Indonesia bukanlah dinamika antar generasi. 

Kendatipun demikian, kaum muda mempunyai potensi peranan yang strategis karena proses alam akan menempatkan kekuasaan politik masa depan ditangan kaum muda dewasa ini, bukan sebagai akibat dari 'politik generasi muda' namun sebagai bagian dari kenyataan bahwa peranan kaum muda terserap dan membaur dalam dinamika politik yang ada seperti tersebut diatas - - dalam interaksi yang terjadi sehari-hari. Oleh karena itu kesadaran yang berlebihan atas istilah-istilah yang kabur seperti 'generasi muda', 'kawula muda', dan seterusnya tidaklah banyak gunanya.

Dalam konteks politik dewasa ini, aktualisasi diri secara mandiri dan pribadi serta kesediaan untuk terjun mengambil bagian dalam proses politik adalah lebih berguna. Kesempatan untuk tampil dan berpartisipasi jelas ada. Namun perlu disadari bahwa kesempatan dan partisipasi tersebut tidak dapat diraih hanya dengan mengandalkan predikat kemudaan seseorang. 

Perlu diingat bahwa gembar-gembor mengenai peranan generasi muda terkadang hanya sekedar retorika politik yang substansinya kecil. Jika kita terjebak dalam retorika tersebut dan mengharapkan adanya pengakuan terhadap peranan kaum muda sebagai peranan yang spesifik, tentunya kita layak kecewa. Karena peranan dalam porsi 'generasi muda' hanya diberikan secara terbatas. Justru diluar itu, potensi peranan sebenarnya banyak sekali. Batasnya hanyalah kemampuan dan kreativitas seseorang. 

Tentunya dengan kesadaran bahwa ada batas-batas yang harus dihormati jika kita menginginkan peranan kita mendapat pengakuan yang semestinya. Ambillah sebagai misal peran politik. Jika kita melihat peran politik sebagai sesuatu yang hanya dapat dilakukan dalam pengertian yang formal, maka memang potensi peranan tersebut kecil. 

Namun jika kita keluar dari pengertian formal tersebut serta memasuki dunia politik dalam pengertian yang substantive, maka kelihatan potensi peranan yang besar. Disana-sini peranan yang substantive dalam pengertian ini sudah diambil dan di-aktualisasikan oleh kaum muda. Namun dalam banyak kasus, mereka tidak dibebani dengan kesadaran yang berlebih sebagai 'generasi muda'. Mereka lebih melihat diri mereka sebagai manusia yang mendapatkan atau menciptakan kesempatan serta menggunakan kesempatan tersebut.

Dapatlah disimpulkan bahwa secara umum tidak ada jenjang yang khusus bagi kaum muda. Kalaupun ada, jenjang itu hanya diberikan kepada sedikit orang saja, sekedar untuk membenarkan retorika mengenai peranan Generasi Muda. Jenjang karir politik adalah jenjang yang tidak bisa diukur dengan ukuran-ukuran serba pasti. Politik, sesuai dengan salah satu definisinya, adalah seni dalam mewujudkan kemungkinan-kemungkinan, atau seni untuk berbuat dalam kemungkinan-kemungkinan yang ada. 

Oleh karena itu tidak terdapat pola yang pasti dalam penjenjangan politik. Inti dari peranan yang didapatkan seseorang dalam politik adalah pengakuan. Dan pengakuan bisa datang dengan berbagai bentuk, yang masuk akal maupun yang tidak masuk akal. Suka atau tidak, itulah politik apapun sistemnya.


Persyaratan dalam dunia Politik.

Syarat terpenting adalah kemauan. Politik adalah panggilan hidup, yang dapat dijalani oleh semua orang. Kalau niat dan kemauan sudah ada, tentunya harus diikuti dengan persiapan. Kalau hanya sekedar menjadi aktifis, tentunya persiapannya tidak terlau rumit. Karena bagi seorang aktifis, yang perlu adalah adanya kegiatan. 

Arah dan isi kegiatan tidak terlalu penting. Untuk ini yang penting adalah kompetensi teknis yaitu harus mampu menjadi organisator yang baik. Tetapi harus diingat bahwa politik dalam tingkatan yang tinggi adalah kegiatan untuk melaksanakan suatu idealism. Oleh karena itu pembentukan gagasan adalah penting. Gagasan politik pada dasarnya adalah gagasan ideology, dan pemahaman Pancasila sebagai Ideologi maupun 'way of life' bangsa Indonesia harus disosialisasikan dan dilaksanakan 'in concreto' oleh para pemimpin Bangsa. 

Disamping itu politik adalah kegiatan yang menyangkut hubungan antar manusia. Dengan demikian 'mengenal manusia' sebagai insane politik (Zoon politicon), baik dalam domain sosio- antropologis maupun sosio- psikologis, adalah juga merupakan hal penting dari politik. Faktor bakat atau kecenderungan alami untuk berpolitik adalah juga factor yang membantu ditambah dengan adanya 'kehausan intlektual' yaitu harus merasa ingin belajar, ingin tahu, dan selanjutnya ingin mencari jawaban terhadap masalah-masalah kemanusiaan. 

Oleh karena itu dasar-dasar berpikir rasional, kritis dan selalu menggunakan logika berpikir efektif akan menjadi basis yang kuat bagi seorang pemimpin masa depan. Disamping itu untuk memperkaya visi , diperlukan pengetahuan filsafati, pendalaman sejarah serta pengetahuan umum lainnya.

Seorang politisi bukanlah seorang spesialis dan karena itu harus selalu berusaha memperluas cakrawala pandangannya. Demikian juga seorang politisi bukanlah seorang cendekiawan murni, sehingga dalam rangka merumuskan dan memperjuangkan gagasannya, maka Ia harus pandai berbuat atau mengolah hasil secara berhasil guna dan tepat guna, yaitu tepat waktu (sesuai dengan momentum psikologis), tepat ruang, dan tepat konteks. Inilah yang disebut feeling dalam politik.

Politik bukanlah kegiatan untuk mencari makan. Seorang politisi yang ingin melindungi integritas politiknya harus selalu membuka peluang untuk dapat menjamin kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu secara ideal, seorang politisi harus mempunyai minat lain yang non politik, sehingga ketergantungan hidupnya dari politik tidaklah mutlak. Hal ini adalah penting, karena di dalam politik kita tidak bisa mencari jaminan pribadi. 

Fenomena yang terjadi pasca reformasi bahwa bahwa korupsi berjamaah diperkenalkan pertama kali oleh para anggota DPRD Sumatera barat, yang rame-rame memakai uang rakyat untuk kepentingan pribadi yang dipergunakan secara konsumtif. Hal ini juga ditiru oleh daerah-daerah lain dengan membuat Peraturan Daerah tertentu dan dengan berkolaborasi dengan Pejabat daerah setempat mempergunakan Rencana Anggaran dan Pendapatan Daerah menjadi ajang kolusi dan korupsi yang bertentangan dengan Undang-Undang dan sangat merusak sendi-sendi moralitas para penyelenggara Negara. 

Ditingkat Pusat, anggota DPR-RI sebagai representasi politisi asal Partai Politik yang mengaku sebagai wakil rakyat yang terhormat, gelap mata bersekongkol dengan para investor guna membangun fasilitas umum di daerah dengan melakukan transaksi dibawah tangan untuk meng-goalkan suatu kebijakan anggaran yang diputuskan oleh DPR meloloskan Projek tertentu. Hal lainnya yang berupa penerimaan gratifikasi adalah memberikan suara terhadap pemilihan pejabat Bank Indonesia dengan imbalan tertentu kepada masing-masing fraksi di DPR.

Di dalam kehidupan politik, selalu ada factor X, mungkin nasib yang menyebabkan seseorang tidak dapat diduga akan kemana perkembangannya kelak. Oleh karena itu politik bukanlah pekerjaan bagi orang yang tergantung dari keteraturan dan kepastian semata-mata.
Semua hal yang dikemukakan diatas adalah sesuatu yang ideal. Dalam kenyataannya tidak semua pelaku politik memenuhi syarat seperti yang diharapkan karena dalam prakteknya sehari-hari dunia politik tidak terlalu sering menampilkan sosok yang ideal. 

Dua belas tahun Pasca reformasi, masih banyak anggota DPR yang mempunyai kebiasaan 3 D (duduk, dengar, diam), mereka tidak peduli dengan dinamika politik yang ada, yang terpenting mereka terpilih sebagai anggota DPR dengan melakukan segala cara, dan mereka memanfaatkan kedudukannya untuk melakukan praktek-praktek bisnis, ataupun kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan fungsi legeslasi, control dan penetapan anggaran. Maka tidak jarang kalau pada saat sidang-sidang penting di DPR, kursi palemen kosong. Dimana tanggung jawab dan kredibilitas para politisi? Apakah mereka hanya ingin memerankan personifikasi kaum feodal dengan label demokrasi ?

Karena pada akhirnya politik amat berhubungan dengan kekuasaan, dengan power. Berarti politik adalah seni untuk mewujudkan hal-hal yang mungkin. Akan tetapi sebagai orang muda, tentunya harus berangkat dari idealism. Realitas di atas harus dihindari sebagai wujud tanggung jawab bernegara, berbangsa dan untuk memberikan pengabdian terbaik bagi kemajuan negeri ini. Kejarlah cita-citamu setinggi langit, selagi kesempatan masih terbuka.