Selama 32 tahun berkuasa nya Orde Baru ditengarai mengakibatkan terjadinya degradasi moral sampai ketitik nadir. Pendidikan karakter bangsa terabaikan, karena kekuasaan yang authoritarian dan represif.
Momentum pelaksanaan P4 yang seyogianya merupakan tonggak sejarah untuk lebih meningkatkan moralitas bangsa dan secara khusus diperuntukkan kepada para penyelenggara Negara, tidak lebih daripada penataran yang bersifat indoktrinatif. 38 butir Nilai-nilai Pancasila yang di dalamnya terurai patokan moral, etika dan sifat-sifat kemanusiaan yang berbudi luhur ternyata sulit di laksanakan, karena kondisi yang kurang valuable, atau karena tidak adanya ‘political will’ pemerintah.
Mengapa Nilai-nilai tersebut tidak di ‘break down’ ke pada’ kode etik’ para penegak hukum dan atau petugas pajak misalnya, sehingga’ makelar kasus’ yang marak di ketiga instansi penegak hukum (Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan) plus Kantor Pajak, kalis menjadi virus yang merusak sendi-sendi hukum itu sendiri?. Mengapa rekayasa hukum masih terjadi dan justru diperjual belikan dengan kasat mata? Kondisi tersebut diperparah karena minimnya sumber tokoh tauladan sebagai panutan masyarakat sekitar, dan ‘punahnya’ para pemimpin negeri yang amanah,kuat dan berani mengambil risiko sebesar apapun; untuk kejayaan Bangsa!
Barangkali fenomena ‘korupsi berjamaah’ telah lahir sebelum menjadi bom waktu, pasca reformasi. Cuma, kalau dahulu pemberantasan korupsi selalu gagal menjerat para koruptor Karena terjadi pembelaan korps secara massif, maka pada era reformasi pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) begitu efektif bekerja sehingga menjadi momok bagi calon-calon koruptor baru.
Sebuah tulisan menarik oleh Subhan SD, di harian Kompas 10/8 2010,menjadi sisi lain yang menyoroti gagalnya peran agama di dalam menanamkan kesadaran Ilahiah kepada manusia Indonesia yang seyogianya menjadi ujung tombak, ber-amar ma’ruf nahi mungkar.salam (a.m.a)
Apa yang bisa dikatakan ketika makin banyak pejabat Negara atau figure public negeri ini terbelit kasus korupsi atau asusila? Di mana moralitas bangsa ini? Padahal, Indonesia dibangun dengan fondasi agama yang kuat yang terukir dalam Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ada fakta yang kontradiktif dalam beberapa tahun belakangan ini. Ketika kegairahan beragama masyarakat menampakkan peningkatan drastic, antara lain dengan makin maraknya penguatan pemahaman beragama dan symbol-simbol keagamaan, pada saat yang sama justru semakin marak pula praktik korupsi dan perilaku bobrok di negeri ini.
Banyak pejabat termasuk aparat di tingkat bawah terjerat kasus korupsi dan suap. Korupsi seperti menjalar di dalam aliran darah bangsa Indonesia. Mereka yang diberi amanah mengelola negeri ini malah makin membenamkan diri dalam kubangan korupsi. Uang rakyat menjadi lumbung emas yang dikuras beramai-ramai. Tak mengherankan anggaran pembangunan dan belanja daerah (APBD) banyak yang tidak sampai kerakyat.
Maka, bukan rahasia lagi bahwa “orang-orang besar” kini terjerat korupsi , antara lain pejabat pemerintah, anggota DPR, aparat hukum (kejaksaan, kepolisian, pengacara); pengurus partai politik, hingga yang fenomenal adalah kasus pegawai pajak , Gayus HP Tambunan. Semua itu makin marak ketika genderang perang melawan korupsi dikumandangkan sejak reformasi sekitar 12 tahun silam.
Anehnya lagi, praktik-praktik yang tidak hanya merusak moral bangsa, tetapi juga memukul sendi-sendi ekonomi bangsa itu seakan menantang tanpa takut meskipun lembaga super body Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang kali menyeret para koruptor itu.
Informasi yang di sampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) seharusnya menjadi perhatian yang sangat serius. Contohnya, dalam dua tahun ini saja, gejala korupsi malah meningkat pada saat kita ramai-ramai menggebuki para koruptor.
Menurut ICW, pada semester I dari 1 januari hingga 30 juni 2009, perkara korupsi yang terbongkar ada 86 kasus dengan 217 tersangka dan kerugian Negara senilai Rp 1,17 triliun. Pada periode sama tahun 2010 perkara korupsi yang terungkap malah meningkat drastic menjadi 176 kasus. Nilai kerugian Negara mencapai 2,1 triliun dengan tersangka 441 orang.
Fakta-fakta di atas menunjukkan penegakan hukum belum mampu membuat efek jera. Akan tetapi – yang lebih penting – juga tak lepas dari hal yang sangat mendasar, yaitu moral bangsa. Praktik korupsi sesungguhnya menjatuhkan martabat sebagai manusia. Kalau saja masyarakat sekarang juga permisif terhadap praktik-praktik busuk itu, menunjukkan bahwa masyarakat juga sedang ‘sakit’. Lantas di mana pesan-pesan agama atau pesan ‘ketuhanan’ yang terpatri erat di sila pertama Pancasila?
Peran Agama
Padahal, Emile Durkheim saja mengatakan, agama bukan hanya system gagasan, melainkan juga system kekuatan, moral. Setiap agama memiliki ruang lingkup yang suci dan kotor. Batas antara suci dan kotor ini menimbulkan etika sosial dimasyarakat yang menghasilkan sanksi-sanksi. Apabila ada orang yang melintasi batas suci atau merusak tradisi suci, sanksinya adalah berupa hukuman. Dalam konteks ini, Durkheim menilai agama sebagai kaidah tertinggi di dalam masyarakat.
Betapa pentingnya agama dalam konteks tersebut juga diungkapkan Kuntowijoyo (1991). Pemahaman terhadap agama, dalam hal ini Islam, tidak sama dengan pemahaman barat. Islam bukanlah sisitem teokrasi, bukan pula cara berpikir yang didikte oleh teologi. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat merangkul semua ( all –embracing) bagi penataan system kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu, sebut Kuntowijoyo, tugas terbesar Islam sesungguhnya melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai itu.
Kalau saja sekarang ini bangsa ini makin terpuruk, itu karena factor ‘agama’ yang tak lagi menjadi pegangan. Pesan-pesan agama yang menyebarkan kebenaran, kebaikan, kejujuran dan kemuliaan, sesungguhnya telah jelas. Namun, banyak diantara kita yang tidak mampu atau bisa jadi keliru memahami pesan-pesan tersebut. Bila demikian, transformasi nilai-nilai pun telah gagal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar