Minggu, 15 Agustus 2010

Gagalnya Transformasi Nilai-Nilai


Kalam ;

     Selama 32 tahun berkuasa nya Orde Baru ditengarai mengakibatkan terjadinya degradasi  moral  sampai ketitik nadir. Pendidikan karakter bangsa  terabaikan, karena kekuasaan yang authoritarian dan represif.
     Momentum  pelaksanaan P4 yang seyogianya merupakan tonggak sejarah untuk lebih meningkatkan moralitas  bangsa  dan secara khusus  diperuntukkan  kepada para penyelenggara Negara,  tidak lebih daripada penataran yang  bersifat indoktrinatif. 38 butir Nilai-nilai Pancasila yang di dalamnya terurai patokan moral, etika dan sifat-sifat kemanusiaan  yang berbudi luhur ternyata  sulit di laksanakan, karena kondisi yang kurang valuable, atau karena tidak adanya  ‘political will’ pemerintah.
     Mengapa Nilai-nilai tersebut tidak di ‘break down’ ke pada’ kode etik’ para penegak hukum dan atau  petugas pajak  misalnya, sehingga’ makelar kasus’ yang marak  di ketiga instansi penegak hukum (Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan) plus Kantor Pajak, kalis  menjadi virus yang merusak sendi-sendi hukum itu sendiri?. Mengapa rekayasa hukum masih terjadi dan justru diperjual belikan dengan kasat mata?  Kondisi tersebut diperparah karena minimnya sumber  tokoh tauladan  sebagai  panutan masyarakat sekitar, dan ‘punahnya’ para pemimpin negeri yang  amanah,kuat dan berani  mengambil risiko sebesar apapun; untuk kejayaan Bangsa!
     Barangkali  fenomena ‘korupsi berjamaah’ telah lahir sebelum menjadi bom waktu,  pasca reformasi. Cuma, kalau dahulu pemberantasan korupsi selalu gagal menjerat  para koruptor Karena terjadi pembelaan korps secara massif, maka pada era reformasi pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) begitu efektif  bekerja sehingga menjadi momok bagi calon-calon koruptor baru.
     Sebuah tulisan menarik oleh Subhan SD, di harian Kompas 10/8 2010,menjadi sisi lain  yang menyoroti gagalnya peran agama di dalam menanamkan kesadaran Ilahiah kepada manusia Indonesia  yang seyogianya menjadi ujung tombak, ber-amar ma’ruf nahi mungkar.salam (a.m.a)
     Apa yang bisa dikatakan ketika makin banyak  pejabat Negara atau figure public negeri ini terbelit kasus korupsi atau asusila? Di mana moralitas bangsa ini? Padahal, Indonesia dibangun dengan fondasi agama yang kuat yang terukir dalam Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa.
     Ada fakta yang kontradiktif  dalam beberapa tahun belakangan ini. Ketika kegairahan beragama masyarakat menampakkan peningkatan drastic, antara lain  dengan makin maraknya penguatan  pemahaman beragama dan symbol-simbol keagamaan, pada saat yang sama justru semakin marak pula praktik korupsi  dan perilaku bobrok di negeri ini.
     Banyak  pejabat termasuk aparat  di tingkat bawah  terjerat kasus korupsi  dan suap.  Korupsi seperti  menjalar  di dalam aliran darah bangsa Indonesia. Mereka yang diberi amanah mengelola negeri ini  malah makin membenamkan  diri dalam kubangan korupsi. Uang rakyat menjadi lumbung emas   yang dikuras beramai-ramai. Tak mengherankan anggaran pembangunan  dan belanja daerah (APBD) banyak yang tidak sampai kerakyat.
     Maka, bukan rahasia lagi  bahwa “orang-orang besar” kini terjerat korupsi , antara lain pejabat pemerintah, anggota DPR, aparat hukum (kejaksaan, kepolisian, pengacara); pengurus partai politik, hingga yang fenomenal adalah  kasus pegawai pajak , Gayus HP Tambunan. Semua itu makin marak ketika genderang perang  melawan korupsi dikumandangkan  sejak reformasi sekitar 12 tahun silam.
     Anehnya lagi, praktik-praktik  yang tidak hanya merusak moral bangsa, tetapi juga memukul sendi-sendi ekonomi bangsa itu seakan menantang tanpa takut meskipun lembaga super body  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang kali menyeret para koruptor itu.
     Informasi yang di sampaikan  Indonesia Corruption Watch  (ICW) seharusnya menjadi perhatian yang sangat serius. Contohnya, dalam dua tahun ini saja, gejala korupsi malah meningkat  pada  saat kita ramai-ramai menggebuki para koruptor.
     Menurut ICW, pada semester I dari 1 januari hingga 30 juni 2009, perkara korupsi yang terbongkar ada 86 kasus dengan 217 tersangka dan kerugian Negara senilai Rp 1,17 triliun. Pada periode sama tahun 2010 perkara korupsi yang terungkap malah meningkat drastic menjadi 176 kasus. Nilai kerugian Negara mencapai 2,1 triliun dengan tersangka 441 orang.
     Fakta-fakta di atas menunjukkan penegakan  hukum belum mampu membuat efek jera. Akan tetapi – yang lebih  penting – juga tak lepas dari hal  yang sangat mendasar,  yaitu moral bangsa.  Praktik korupsi  sesungguhnya menjatuhkan martabat sebagai manusia. Kalau saja masyarakat sekarang juga permisif terhadap praktik-praktik busuk itu, menunjukkan bahwa masyarakat  juga sedang ‘sakit’. Lantas di mana pesan-pesan  agama atau pesan ‘ketuhanan’ yang terpatri erat di sila pertama Pancasila?

Peran Agama
     Padahal, Emile Durkheim saja mengatakan, agama bukan hanya system gagasan, melainkan juga  system kekuatan, moral.  Setiap agama memiliki ruang lingkup yang suci dan kotor. Batas antara suci dan kotor ini  menimbulkan etika sosial dimasyarakat yang menghasilkan  sanksi-sanksi. Apabila ada orang yang melintasi batas suci atau merusak  tradisi suci,  sanksinya adalah berupa hukuman. Dalam konteks ini,  Durkheim menilai agama  sebagai  kaidah  tertinggi  di dalam masyarakat.
     Betapa pentingnya agama dalam konteks tersebut juga diungkapkan  Kuntowijoyo (1991). Pemahaman terhadap agama, dalam hal ini Islam, tidak sama dengan pemahaman barat.  Islam bukanlah sisitem teokrasi, bukan pula cara berpikir  yang didikte oleh teologi. Nilai-nilai Islam pada dasarnya  bersifat merangkul  semua ( all –embracing) bagi penataan system kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu, sebut Kuntowijoyo, tugas terbesar Islam sesungguhnya melakukan transformasi  sosial dan budaya  dengan nilai-nilai itu.
     Kalau saja sekarang ini bangsa ini  makin terpuruk, itu karena factor ‘agama’  yang tak lagi menjadi pegangan. Pesan-pesan agama yang menyebarkan kebenaran, kebaikan, kejujuran dan kemuliaan, sesungguhnya telah jelas.  Namun, banyak  diantara kita yang tidak mampu atau bisa jadi keliru memahami pesan-pesan tersebut. Bila demikian, transformasi nilai-nilai pun  telah gagal.























   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar