Kamis, 12 Agustus 2010

Revisitasi Pancasila



 

Kalam ;

Jelang 65 tahun Kemerdekaan Indonesia Pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekwen ternyata tidak terlaksana secara baik. Konsistensi Negara agar taat asas melaksanakan rumusan sila-sila Pancasila terasa jauh panggang dari api, konon pula melaksanakan Pancasila sebagai Ideologi negara, falsafah hidup, Weltanschauung, maupun Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Bukankah di dalam buku Lahirnya Pancasila tgl 1 Juni 1945 telah sangat jelas diuraikan mengenai usulan-usulan Pancasila sebagai cerminan dari dinamika berpikir yang bersifat umum kompromi, umum kolektif(empiris) dan umum abstrak(spekulatif)?
Khusus yang terakhir ini, bukan pulakah Guru besar Ilmu Filsafat UGM, Prof. Dr. Mr.Drs Notonagoro di dalam bukunya, Pancasila dasar Falsafah Negara menjelaskan bahwa susunan Pancasila adalah hierarchis dan mempunyai bentuk pyramidal? Bahwa urut-urutan kelima sila merupakan sila pertama merupakan inti isi yang menunjukkan tingkat dalam luas isinya sedangkan sila lainnya merupakan pengkhususan sila-sila dimukanya.
Oleh sebab itulah Prof Notonagoro berkesimpulan bahwa sila-sila Pancasila merupakan kesatuan yang bulat sebagai dasar kerohanian Negara sekaligus dasar tujuan Negara. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan basis dari Kemanusiaan, Persatuan Indonesia(Kebangsaan),Kerakyatan dan Keadilan sosial. Sebaliknya, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang Berkemanusiaan, Berpersatuan (Berkebangsaan), Berkerakyatan dan Berkeadilan sosial, demikian seterusnya, hingga tiap sila di dalamnya mengandung sila lainnya.
Rasanya Negara tidak terlalu sulit untuk meng-implementasikan Pancasila sebagai dasar Negara maupun Pancasila sebagai dasar tujuan Negara sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.Akan tetapi adakah Political Will dari Pemerintah?
Tulisan Prof Dr Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah UIN Jakarta di Harian Kompas Selasa, 10 Agustus 2010, sangat menarik untuk disimak tentang perlunya Rejuvenasi Dan Revitalisasi Pancasila. Salam (a.m.a).
Revisitasi atau mengunjungi kembali Pancasila, bagi saya, selalu menyenangkan sekaligus menantang sebab saya pernah menggagas urgensi rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila dalam transisi dan konsolidasi demokrasi Indonesia yang mendapat pengayaan penting dari berbagai kalangan public, khususnya tajuk rencana "Kompas" edisi 9, 11, dan 12 juni 2004.
Saya pun menulis tanggapan dalam Kompas 17 juni 2004. Sejak itu, berbagai kalangan baik di dalam maupun di luarnegeri sering mengundang saya mengelaborasi ihwal gagasan rejuvenasi Pancasila.
Namun dalam revitalisasi Pancasila kali ini, setelah tahun-tahun terus berlalu, revitalisasi dan reyuvenasi Pancasila tetap belum memenuhi harapan. Pancasila sebagai basis ideologis dan garis haluan bersama Negara- bangsa Indonesia yang plural dan multicultural masih tetap marjinal dalam diskursus kehidupan Nasional. Padahal, sepanjang waktu itu, dalam berbagai forum, saya mencoba mengajak para pemangku kepentingan menggalang momentum bagi revitalisasi dan reyuvenasi Pancasila.
Tiga faktor
Kenyataan yang tak menggembirakan ini terkait erat dengan masih bertahannya tiga factor yang membuat Pancasila tetap masih marjinal dalam hiru biru perkembangan politik Indonesia.
Pertama, dalam ingatan bersama banyak kalangan, Pancasila masih dipandang tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang pernah menjadikan Pancasila sebagai alat politik mempertahankan status quo kekuasaan. Rezim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang diindoktrinasikan melalui Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4).
Kedua, Liberalisasi Politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ. Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi yang memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideology lain, khususnya yang berbasiskan agama.
Ketiga, desentralisasi dan otonomi daerah yang sedikit banyak memperkuat semangat kedaerahan , berbau nasionalisme lokal yang tumpang tindih dengan etnonasionalisme dan bahkan sentiment agama.
Tetap kurangnya perhatian public terhadap Pancasila cukup mencemaskan; lampu kuning jika kitya ingin Indonesia yang tetap terintegrasi. Padahal, Pancasila sebagai dasar Negara dan garis haluan bersama dalam kehidupan Negara – bangsa Indonesia merupakan aktualisasi tekad bersama segenap warga untuk tetap bersatu ditengah berbagai keragaman. Pancasila sebagai kerangka dan dasar ideologis Negara-bangsa Indonesia merupakan sebuah deconfessional
ideology, ideology yang tidak berbasis agama manapun. Khususnya dengan sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, Pancasila adalah sebuah ideology yang sesuai dan bersahabat dengan agama.
Sebagai deconfessional ideology, Mark juergensmeyer, guru besar radikalisme agama UC Santa Barbara, dalam percakapan dengan saya, pernah menyatakan bahwa Pancasila adalah rahmat terselubung bagi bangsa Indonesia sebab Pancasila adalah religiously friendly ideology yang membuat tidak ada alasan yang valid untuk mengganti Pancasila dengan ideology lainnya. Berbagai upaya mengganti Pancasila dengan ideology lain – khususnya berbasis agama - tidak bakal mendapat dukungan mayoritas terbesar umat beragama Indonesia dan, karena itu, bakal gagal.
Pada hemat saya, Pancasila telah terbukti sebagai garis haluan bersama ideologis Negara- bangsa Indonesia yang paling feasible dan sebab itu lebih viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan dimasa datang. Saya tetap tidak melihat adanya alternative garis haluan bersama ideologis lain, yang tidak hanya akseptabel bagi warga bangsa, tetapi juga dapat terus hidup dalam perjalanan Negara-bangsa Indonesia kedepan.
Pendorong usaha
Meski masih terdapat disparitas dan diskrepansi antara cita ideal Pancasila dan realitas kehidupan Negara-bangsa, ini semestinya tidak mengurangi pentingnya Pancasila. Adanya disparitas dan diskrepansi itu semestinya sebagai pendorong usaha lebih keras lagi untuk terus mengaktualkan semangat, prinsip, dan nilai-nilai Pancasila.
Karena posisi Pancasila yang krusial itu, saya tetap melihat urgensi rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila. Jika tidak, ideology-ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama, dapat terus memunculkan diri sebagai alternative. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya memasarkan ideology berbasis agama masih tetap merupakan salah satu tendensi yang terlihat jelas dalam dinamika politik Indonesia pasca-Soeharto sampai sekarang.
Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan kembali menjadikan Pancasila sebagai diskursus. Dengan menjadi wacana public, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru. Langkah ini merupakan tahap awal krusial untuk revitalisasi Pancasila sebagai ideology terbuka yang dapat dimaknai secara terus menerus sehingga tetap relevan dan fungsional bagi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia.
Revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral para pemimpin bangsa dalam berbagai tingkatan, baik pemimpin formal maupun informal. Kegagalan membawa Pancasila kedalam wacana dan kesadaran public dapat berujung pada tragedy Negara-bangsa Indonesia.

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar