Kalam.
Sungguh, judul di atas sangat menyentak sanubari kita, betapa rawannya posisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditengah-tengah perubahan yang tidak berujung setelah terjadi Reformasi jatuhnya Rejim penguasa Orde baru yang otoritarian dan koruptif selama 32 tahun menguasai negeri ini.
Pancasila yang pada waktu itu telah menjadi satu-satunya Ideologi Bangsa, Filsafat Negara dan merupakan Pandangan hidup Bangsa, kini terlupakan dan ditinggalkan beramai-ramai baik oleh Negara maupun Partai Politik yang dengan buta hati menutup pedoman perilaku ber Negara dan bermasyarakat, menjadi anomaly ! Padahal, salah satu tujuan Pancasila sebagai ideology Negara adalah untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia itu sendiri seperti yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, pada alinea keempat- - dimana Ideologi Pancasila juga merupakan Azas kerohanian untuk mewujudkan Pandangan hidup, pedoman hidup dan pegangan hidup masyarakat Indonesia - - (Notonagoro).
Coba bayangkan, pergeseran model korupsi antara Orde Baru dan masa reformasi sekarang. Kalau dahulu dikuasai oleh kroni dan keluarga Soeharto, maka sekarang lebih massif, sampai-sampai setiap Bupati , Gubernur maupun Menteri dan pejabat negeri serta jajaran penegak hukum ikut rame-rame tanpa risi dan malu sedikitpun ikut banca’an menguras dan menggerogoti uang Negara. Mereka seolah tidak takut kena hukuman, karena antara sisa hukuman dan keuntungan hasil hasil korupsi masih berlimpah, malah lamanya hukuman masih bisa di-negosiasikan melalui makelar hukum yang merupakan mafia di institusi penegakan hukum.
Selain kasus Gayus misalnya, Seorang pejabat pajak lainnya ditemukan mentransver uang sebesar 1 triliun ke- rekening istri dan kedua putrinya, jelas-jelas tidak diketahui asal usulnya. Mengapa pola tingkah laku yang bermartabat dan bermoral tidak tertanam pada sanubari insane Indonesia?apakah karena minimnya sosialisasi nilai-nilai Pancasila baik secara lisan maupun tertulis tidak tercermin di dalam kode etik Institusi? serta lemahnya pemahaman agama serta pengamalannya?Mengapa pelaksanaan Pancasila secara murni dan kosekwen dilupakan?Atau, apakah penindakan hukum terlalu ringan hingga tidak menimbulkan efek jera?Rusaknya tatanan hukum dan hancurnya moral para penyelenggara Negara akan membawa Negara bangsa ini kepada kehancuran peradaban yang tak terperikan.
Dari kasus mafia pajak Gayus di Pengadilan Jaksel 19 oktober membuka borok kejaksaan yang membeli surat rencana tuntutan (Rentut) dua lembar seharga 1 milyar. Transaksi ini dilakukan untuk mengetahui berapa tuntutan jaksa yang diarahkan kedirinya. Dan ternyata persis setelah tuntutan dibacakan sesuai dengan permintaan Gayus Tambunan, Rentut tersebut ditandatangani oleh Pohan Lasphy Direktur Penuntutan Pidana Umum, Kejagung, serta Jampidum Hamzah Tanja, jatuhlah hukuman 1 tahun hukuman percobaan Apalagi yang kita banggakan di Negara Pancasila yang konon menjunjung tinggi supremasi hukum tetapii manusia dibalik the man behind the gun, cacat moral?
Sebagai Ideologi Negara, seyogianya Pancasila merupakan dasar dalam kehidupan berbangsa. Juga merupakan sumber dari segala sumber hukum yang menjadikan tertib hukum untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasional. Didalam implementasi Pancasila sebagaii pembangunan pendidikan, ternyata BHP dianulir oleh Mahkamah Konstitusi karena dibelokkan kearah liberalisasi pendidikan. Di dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi seyogianya system perekonomian Pancasila yang berbasis pasal 33 harus sepenuhnya menjadi landasan filosofisnya di dalam pelaksanaannya kenyataannya diterapkan sebagai liberalism, kapitalisme bahkan neo liberalism yang mendewakan pasar bebas, pertumbuhan dan individualism.
Pancasila sebagai basis pembangunan politik dan hukum pun masih banyak menyisakan exercise yang harus disesuaikan untuk kemaslahatan dan tertib sosial masyarakat bangsa. Di dalam konstitusi dinyatakan system ketatanegaan adalah Presidential cabinet, ternyata pelaksanaannya adalah system parlementer. Seyogianya pelaksanaan kedaulatan rakyat oleh DPR dijalankan secara musyawarah dan mufakat di dalam perwakilan, malah diselewengkan dengan membentuk badan Sekretariat gabungan koalisi, yang berada di luar parlemen. Sila ke-dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab ternyata diterima oleh masyarakat sebagai sinyal kosong, ditengah maraknya perang suku, kelompok dan Gangster dengan terjadinya berbagai tindakan anarkhisme. Bukankah semua fenomena ini menunjukkan tidak konsistennya para pemimpin, terhadap komitmen bernegara? malah secara tegas dapat dikatakan, bahwa telah terjadi manipulasi, pembiaran dan penyelewengan terhadap ideology Pancasila.
Kita kembali kepada sejarah, bukankah Pancasila dalam perspektif Negara kesatuan merupakan wujud consensus nasional karena telah disepakati oleh para pendiri Negara di dalam sidang-sidang BPUPKI?Bukankah pada sidang pertama BPUPKI tgl 29 mei sd 1 juli 1945- - tgl 1 juni, Bung Karno pertama kali berpidato tentang Pancasila?. . .”Saudara-saudara! dasar Negara telah saya sebutkan, lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? bukan! Nama Panca dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar…..namanya bukan Panca dharma, tetapi ….saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa ….namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi”.(dalam 20 tahun Indonesia Merdeka, Deppen RI 1965).
Kedalaman kajian kelima sila dari Pancasila sebagai rumus I, yang dikemukakan oleh Soekarno sebenarnya telah melalui perenungan yang mendalam yang mungkin belum tersosialisasi secara umum; pertama, kebangsaan Indonesia, mufakat dan demokrasi sama dengan marhaenisme, juga sama dengan nasionalisme San Mincu I milik Dr. Sun Yatsen (mintsu,min chuan, min sheng/nasionalisme, demokrasi dan sosialisme) - - termasuk kesejahteraan umum dan keadilan sosial, Kedua, Internasionalime atau Perikemanusiaan sama denganInternasionalisme (kosmopolitanisme) milik A. Baars. Ketiga, Prinsip ketuhanan diambil dari pendapat-pendapat para pemimpin Islam yang berbicara terlebih dahulu.
Kalaulah benang merah lahirnya Pancasila sebagai Ideologi Negara yang pada tgl 22 juni 1945 di syahkan oleh Panitia Sembilan, sebagai Piagam Jakarta dimana Pancasila berubah menjadi rumus ke II, maka pada tgl 18 agustus 1945 berubah lagi dengan rumus ke III, dengan menghilangkan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tgl 18 agustus 1945 PPKI berhasil menetapkan Pembukaan UUD 1945 sekaligus dengan UUD 1945, serta memilih Presiden dan WakilPresiden untuk pertamakalinya setelah Proklamsi kemerdekaan 17 agustus 1945.
Mungkinkah perubahan esensial dari rumus Pancasila yang termaktub di dalam Piagam Jakarta yang diterima oleh sidang BPUPKI tgl 17 juli 1945 menjadi rumus Pancasila oleh PPKI yang ke III, dianggap tidak legitimate? Semoga ini bukan sebagai alasan pemicu hilangnya Roh Pancasila karena antara golongan nasionalis dan agama seolah-olah “tertanam bibit ketidak ikhlasan” menerima Pancasila sebagai Ideologi negara. Semoga Kebesaran jiwa dan kenegarawanan tokoh Islam masa lalu dan masa kini tetap konsisten karena sangat berpengaruh menjaga dan memelihara momentum kesejarahan ini, sampai akhir zaman.
Hal lainnya yang merupakan dinamika rumusan Pancasila walaupun pada Mukaddimah UU Dasar sementara RIS rumusan IV dan V Pancasila masih berubah secara redaksional, dan sampai kepada Pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945, Pancasila yang lahir tgl 1 Juni tersebut ternyata masih di interpretasikan oleh Soekarno sebagai Tri sila dan Eka Sila(gotong royong).
Barulah pada perjalanan selanjutnya Pengertian Pancasila sebagai dasar Negara yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945, sebagaimana tertuang di dalam memorandum DPR-GR 9 juni 1966 dan Oleh TAP MPR no IX/MPR/1978 menegaskan bahwa kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Dari sejarah panjang lahirnya Pancasila dapatlah di simpulkan ; pertama, bahwa penetapan Pancasila yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945 oleh PPKI tgl 18 agustus 1945, merupakan perwujudan dan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang merdeka. Kedua Negara Indonesia adalah Negara Pancasila\; Negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakan semua perundang-undangan yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila.
Semoga tumbuh kesadaran baru tentang Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa, ideology, pegangan hidup. Eksintensi Pancasila harus tetap di pertahankan, sesuai dengan Inpres no. 12, th 1968 bahwa pengucapan, penulisan dan rumusan Pancasila sebagai dasar Negara RI nyang syah dan benar adalah sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
Pada Seminar Pancasila di Yoyakarta menjelaskan bahwa Pancasila merupakan kesatuan organis dimana antara sila yang satu dan sila lainnya saling mengkualifikasi secara hirarkis pyramidal, dan berporos kepada sila pertama yaitu ketuhanan Yang maha Esa. Seandainya terlahir sebuah strategi yang direncanakan secara komprehensif yang mengintegrasikan resources dan kapabilitas bagaimana meraih tujuan kemakmuran dan keadilan sosial dengan basis Pancasila, maka kiranya bangsa ini tidak perlu belajar kenegara tetangga maupun latin, untuk menjadi Negara sukses.
Laporan wartawan Kompas terbitan senin 18 oktober 2010, sesuai judul di atas menarik untuk direnungkan seperti saya copy di bawah ini, semoga menjadi inspirasi adanya perubahan persepsi dan aksi sebagai jawaban adanya rongga kosong yang mengisi perjalanan bangsa selama 12 tahun pasca reformasi, beku tanpa makna ideology. (a.m.a)
Aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, baik pada tataran kebangsaan, Negara maupun masyarakat, sangat mendesak. Kalau Pancasila tidak segera dikembalikan sebagai roh bangsa Indonesia dikhawatirkan akan muncul ideology alternative yang akan dijadikan landasan perjuangan dan pembenaran bagi gerakan – gerakan radikal.
Hal itu diungkapkan pengamat politik dari CSIS, J. Kristiadi, dalam diskusi berpikir ulang tentang “Bhineka Tunggal Ika melalui Gadget” yang digelar Institute for multicultalism and Pluralism Studies, sabtu (16/10) di Yogyakarta. Hadir sebagai pemakalah dalam diskusi ini pengamat politik Yudi Latif dan Seno Gumira Ajidarma.
Dalam makalahnya Kristiadi mengungkapkan, tiadanya ideology yang memberikan arah perubahan politik dikhawatirkan memunculkan gerakan-gerakan radikal, baik yang bersumber dari rasa frustasi masyarakat dalam menghadapi ketidak pastian hidup maupun akibat dari manipulasi dari sentiment primordial. “Gerakan-gerakan radikal radikal semacam ini tentu sangat berbahaya karena mengancam kebhineka tunggalika-an serta memutar kembali proses demokratisasi kepada situasi yang mendorong munculnya kekuatan yang otoritarian maupun memicu anarki sosial yang tidak berkesudahan” paparnya.
Tidak mustahil, kalau Pancasila tidak segera kembali sebagai roh bangsa Indonesia, dikhawatirkan akan muncul ideology alternative yang akan dijadikan landasan perjuangan dan pembenaran bagi gerakan-gerakan radikal.
Pemersatu
Yudi mengungkapkan, perbedaan-perbedaan akan berjalan damai apabila Negara bisa menjadi pelindung bagi semua pihak dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu, termasuk hak beribadah. Apabila Negara tidak mampu, akan memunculkan eksklusivisme dan fundamentalisme. “Negara bisa menjadi pemersatu dan pemecah belah” ungkapnya (RWN).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar