Kamis, 19 Agustus 2010

Kembali ke Persoalan Dasar


Kalam ;
Mengapa para pemimpin kita tidak taat konstitusi?Apakah mereka sebagai penerus generasi tidak pernah membaca Sejarah Perjoangan Bangsa di mulai dari Kebangkitan Nasional 1908, 1928, 1945, Perang Kemerdekaan, 1955, 1959, 1965, Orde baru sampai dengan 1998 pasca reformasi?

Betapa sulit, dalam, dan luasnya pembahasan yang berbasis ilmu pengetahuan di dalam Seminar Pancasila yang di Pidatokan oleh Prof. Mr.Drs. Notonagoro (17 Februai 1959)yang menjelaskan secara ilmiah tempat dan kedudukan Pancasila di dalam ketatanegaraan Indonesia sungguh meng-inspirasi sidang-sidang Konstituante - -dengan jalan "musyawarah"dapat menyelesaikan - - tugas konstitusionalnya kembali ke-UUD 1945. 

Coba simak, betapa rumitnya persoalan mengenai posisi 2(dua) Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum di dalam Pemboekaan Oendang-oendang Dasar 1945 dan Pancasila yang tercantum di dalam Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara (yang di umumkan oleh Republik Indonesia Serikat), dari perdebatan proses pergantian UUDS kearah UUD yang tetap. Betapa komprehensifnya setiap pembahasan Prinsip-prinsip ketatanegaraan, tetapi sampai pada implementasi justru rezim penyelenggara Negara pasca Orde Baru tidak konsisten dan tidak kreatif melaksanakannya secara konsekwen.

Bandingkan sidang-sidang DPR yang telah menghasilan sekitar 72 UU tapi di bantu oleh Konsultan asing dari negara adi daya, yang tentunya secara politis berkepentingan untuk memperjuangkan misi politik, ekonomi secara terselubung di dalam pasal-pasalnya?Itu pulalah yang terjadi di dalam setiap amandemen yang telah dilakukan sehingga arah dari pembangunan bangsa yang bersumber dari Pancasila yang menjadi sumber dari segala sumber hukum, menjadi lemah di dalam pelaksanaannya.

Secara khusus tulisan Sri- Edi Swasono di dalam Kompas 12/8 saya tampilkan di Blog ini karena sangat relevan dan berhubungan dengan pandangan, bahwa terseok-seoknya perjalanan bangsa ini, karena pengertian Demokrasi Ekonomi telah dihilangkan dan sama sekali tidak tercantum di dalam Penjelasan UUD yang telah di amandir. Ruh daripada perekonomian yang berdasarkan kekeluargaan dan berbasis kerakyatan telah diselewengkan secara sistematis kepada pemujaan individualism, liberalisme dan kapitalisme. Dengan kata lain, Justru isme dan Pasar bebas yang gagal di Amerika, di era Reformasi ini, di negeri tercinta, di dewakan secara menakjubkan. Mengapa ini dapat terjadi? (a.m.a)

 
Para pendiri bangsa kita sejak pra kemerdekaan telah menegaskan penolakan nya terhadap liberalism dan individualism yang menjadi roh kapitalisme. Kapitalisme selanjutnya berkembang menjadi imperialism.

Mari kita perhatikan secarik catatan perjuangan Soekarno dan Hatta menentang penjajahan. Soekarno menggugat di Pengadilan Bandung pada tahun 1930. Pledoinya berjudul "Indonesia Klaagt-Aan" menegaskan bahwa "…Imperialisme berbuahkan 'negeri-negeri mandat', 'daerah pengaruh'… yang di dalam sifatnya 'menaklukkan negeri orang lain', membuahkan negeri jajahan… syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu ialah Kemerdekaan Nasional…"

Dua tahun sebelumnya Hatta menudung Pengadilan Denhaag pada tahun 1928 dalam Pledoinya "Indonesia Vrij". Disitu Hatta menegaskan , "…lebih baik Indonesia tenggelam kedasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…"

Pada sidang BPUPKI 15 juli 1945, Soekarno-Hatta sama-sama menyatakan bahwa Negara Indonesia didirikan berdasar rasa bersama. Dari situlah paham bernegara berdasarkan "kebersamaan dan asas kekeluargaan" digariskan dalam konstitusi.

Dasar Sistem Ekonomi

Paham kebersamaan dan asas kekeluargaan dimunculkan Hatta sebagai dasar system ekonomi Indonesia ke dalam UUD 1945 dengan istilah demokrasi ekonomi. Memang Hatta pada edisi pertama majalah perjuangan Daulat Ra'jat(20/9/1931) menyatakan, "… Bagi kita, rak'jat itoe yang oetama, ra'jat oemoem yang mempoenjai kedaoelatan, kekoeasaan (souvereiniteit). Karena ra'jat itu di djantoeng- hati Bangsa. Dan ra'jat itoelah yang mendjadi oekoeran tinggi rendah deradjat kita. Dengan ra'jat itoe kita akan naik dan dengan ra'jat kita akan toeroen. Hidoep ataoe matinya Indonesia Merdeka, semoeanya itoe bergantoeng kepada semangat ra'jat. Pengandjoer-pengandjoer dan golongan kaoem ter-pe- ladjar baroe ada berarti, kaloe dibelakngnya ada ra'jat jang sadar dan insjaf akan kedaoelatan dirinja…"

Artinya, Hatta memosisikan rakyat sebagai sentral-substansial, "takhta adalah milik rakyat". Dari sini lahirlah konsepsi tentang demokrasi ekonomi dengan makna utama "kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang-seorang", tersurat dalam Penjelasan UUD 1945 (asli). Penjelasan UUD 1945 ini kemudian dihilangkan melalui amandemen UUD 1945. Namun penjelasan untuk pasal 33 UUD 1945 (Demokrasi Ekonomi) sebagai referensi dan interpretasi otentik tetap berlaku.

Maria Soeprapto yang sekarang Hakim Mahkamah Konstitusi juga telah menyatakan (2005) bahwa "… bagi pasal-pasal yang belum diubah tentunya penjelasan pasal-pasal tersebut masih berlaku dan sesuai dengan makna dan rumusan dalam pasal-pasalnya, misalnya penjelasan pasal 4, pasal 22, dan pasal 33 ayat (1),(2),(3) …"

Para pendiri bangsa menempatkan paham colonial liberalistic yang berasas per orangan pada posisi temporer dan menggantinya dengan paham kebersamaan dan asas kekeluargaan yang diberi posisi permanen melalui pasa II Aturan Peralihan UUD 1945. Artinya, pembangunan haruslah demi kemakmuran rakyat untuk mencapai societal welfare and happiness, tidak boleh menjadi proses dehumanisasi kapitalistik.

Diskursus mengenai liberalism-individualisme versus kebersamaan dan asas kekeluargaan mungkin tak lagi menarik bagi kalangan ekonom kita saat ini. Namun, kiranya perlu kita ungkap untuk merespons sarasehan ekonomi yang baru-baru ini diadakan. Dipandu oleh Prof. Soebroto dan dibuka oleh Jacob oetama (Kompas 6/7), sarasehan itu menyimpulkan "arah ekonomi merisaukan" dan "ruh pembangunan untuk rakyat hilang".

Jangan direduksi

UUD 1945 yang mendudukkan posisi rakyat sebagai sentral-substansial ini, hendaknya tidak direduksi menjadi marginal-residual sehingga daulat rakyat tersisih oleh daulat pasar (baca; daulat capital), tetapi tetap berorientasi pada kepentingan rakyat dan tidak memosisikan capital sebagai yang primus.

Kita menyaksikan bahwa ekonomi pasar telah gagal mengurangi kemiskinan rakyat dan gagal mengakhiri pengangguran berkelanjutan. Berkat daulat pasar, pembangunan makin terlihat menggusur orang miskin dan tidak menggusur kemiskinan.Pembangunan makin tampak merupakan sekedar pembangunan di Indonesia, bukan pembangunan Indonesia. Ini jauh dari cita-cita menjadi Tuan di Negeri Sendiri . Bisa-bisa rakyat menjadi penonton dan kembali menjadi kuli di negeri sendiri. Retorika ini diteriakkan makin santer!

Benarlah Hendri Saparini (Kompas, 7/7); Kita secepatnya kembali ke Pancasila dan UUD 1945, kembali ke roh ekonomi konstitusi. Presiden SBY dalam Pidato Kenegaraan 14 agustus 2009 di DPR menegaskan bahwa "kita tidak boleh terjerat, menyerah, dan tersandera oleh kapitalisme global yang fundamental". Di depan DPD 19 agustus 2009 Presiden SBY menyatakan pula; "trickle down
effect (yang kapitalistik) telah gagal menciptakan kemakmuran untuk semua". Ini berarti Presiden
memberi harapan datangnya masa besar atau de grosse moment.
 
Peraih Nobel Ekonomi 1970 Paul Samuelson selaku pembaku istilah dan pengertian ekonomi membuat ekonom seluruh dunia bisa saling bicara dalam bahasa ekonomi yang sama. Bukunya, Economics, merupakan buku induk pengajaran ilmu ekonomi. Pengajaran Ekonomi di Indonesia terpaku pada buku induk dan buku teks lain ala Samuelson.

Dalam buku Samuelson edisi pertama (1948) sampai edisi ke-18 (2005) tak ditemukan satu pun perkataan cooperation (kerjasama). Artinya, sejak awal pengajaran Ilmu ekonomi, mahasiswa kita hanya ter-ekspos oleh ekonomi persaingan yang menjadi dasar liberalism ekonomi dan kapitalisme. Ekonomi kerjasama tak dikenal dalam buku induk Ilmu Ekonomi yang diajarkan di kampus kita. Akibatnya kerangka pikir mereka terkapsul oleh ekonomi persaingan, diasingkan dari ekonomi kerjasama dan kebersamaan.

Hal ini memudahkan para lulusan menerima liberalism dan kapitalisme, mewajarkan persaingan bebas dan saling rebut yang menjauhkan kerukunan. Pembangunan tak boleh dilihat dari sekadar meningkatnya GNP atau nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial –kultural, yang memuliakan rakyat, mewujudkan keadilan sosial , dan meningkatkan rasa kebersamaan kohesif dalam kehidupan bermasyarakat.

Saya ikut membenarkan kesimpulan sarasehan ekonomi Kompas; "ruh pembangunan untuk rakyat telah hilang". Bahkan Michael Hudson (2003) menegaskan bahwa imperialism berkembang jadi superimperialisme seperti sekarang dengan segala model hegemoni ekonomi serba canggih. Kita tak boleh lengah. Diperlukan kepemimpinan nasional yang tangguh dan taat konstitusi.

 

1 komentar:

  1. sedih aku melihat negara indonesia ini ktnya negara kita negara kaya tpi koq rakyatnya masih bnyak yg melarat, saya rasa penyebab itu semua karena SDM manusianya yg kurang, coba aja dari dulu pendidikan gratis, saya rasa negara kita ngk terpuruk seperti ini...

    BalasHapus