Kalam ;
Ekonomi kerakyatan yang berbasis pasal 33 UUD 1945, gagal diwujudkan oleh Negara malah salah satu plesetan yang sangat memprihatinkan untuk dikaji adalah penambahan satu ayat yaitu untuk kembali merumuskan system perekonomian nasional.
Penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 secara konsisten dan konsekwen ternyata semakin melebar dan semua itu di biarkan oleh DPR dan DPD seolah2 tidak ada control yang objektif, semuanya berjalan ‘sangat liar’ karena mekanisme penggalian informasi atau aspirasi rakyat melalui Ormas maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya tidak berjalan sebagaimana layaknya. Partai politik melakukan amandemen sesuai dengan kesepakatan sumir, apalagi mereka bekerja didampingi oleh Tim ahli dari Negara super power.
Semoga tulisan A. Prasetyantoko di harian Kompas rabu 14 juli 2010 yang di copy paste ke Blog ini, dapat memberi pencerahan tentang minimnya peran Negara di dalam mengendalikan dan merencanakan system perekonomian Nasional yang sangat pragmatis bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang asli.salam (a.m.a)
Hari-hari ini terjadi kegalauan tentang makin absennya peran Negara dalam perekonomian. Dalam sebuah sarasehan yang diprakarsai harian Kompas, para ekonom senior sekaligus mantan pejabat bidang ekonomi di negeri ini menunjukkan keprihatinan yang seragam tentang ketidak hadiran Negara dalam ekonomi.
Perekonomian bergerak seturut dinamika yang berkembang saat itu. Semuanya serba pragmatis dan kebijakan pun kebanyakan disusun hanya untuk kepentingan jangka pendek. Sementara perekonomian jangka panjang tampak begitu sumir. Tentu fakta ini bukanlah maksud dari amandemen UUD 1945, pasal 33 yang memasukkan ‘ideologi’ efesiensi dan efektifitas berbasis hukum pasar. Ekonomi pasar tidak serta merta meninggalkan peran Negara.
Tak sulit menunjukkan absennya peran Negara dalam perekonomian . Mulai dari berlarut-larutnya persoalan daya saing hingga ke soal tabung gas. Bahkan, komentar ekstrem yang sinis mengatakan, kini Negara justru menjadi bagian dari masalah.
Daya Saing
Potret daya saing kita cukup menyedihkan. Laporan daya saing Global, Global Competitiveness Index (GCI) 2009-2010, menempatkan kita pada peringkat ke-54.Sementara Malaysia 24, Thailand 36, dan China 29. Buruknya infrastruktur merupakan merupakan penyebab penting, terutama kondisi jalan dan pelabuhan. Dua hal inilah yang membuat index kemudahan melakukan perdagangan 2009 berada di posisi ke-62, jauh dibawah Malaysia (28) dan Thailand (50). Sementara Logistic Performance Index (LPI) 2010 menempatkan Indonesia di peringkat ke-75,bahkan dibawah Vietnam (53) dan Kamboja (72).
Jika ditelisik lebih dalam, criteria penilaian masing-masing survey terlihat dengan pasti selain buruknya infrastruktur fisik juga tercermin kegagalan birokrasi menopang kegiatan ekonomi. Dalam dua hal tersebut semestinya Negara benar-benar “hadir”.
Gambaran ini menunjukkan perekonomian kita masih belum beranjak dari karakteristik perekonomian yang menggantungkan pada sumber daya alam sekaligus kegagalan masuk dalam fase ekonomi produktif yang mengedepankan efisiensi. Dengan kata lain, terjadinya kegagalan kebijakan industrial secara keseluruhan.
Padahal, Indonesia pasca krisis financial global 2007-2008 dianggap sebagai salah satu calon kekuatan ekonomi dunia. Potensi perekonomian Indonesia diakui oleh para analis asing. Morgan Stanley menyejajarkan Indonesia dengan Brazil-Rusia-India-China BRIC).
Sementara itu, CLSA sebuah Bank Investasi , menyandingkan Indonesia dengan China dan India (Chindonesia). Karena itu, arus modal jangka pendek dalam investasi portofolio mengalir deras ke Indonesia justru pada saat di Eropa sedang terjadi ancaman krisis, setelah dipicu oleh kasus Junani.
Realistis
Ditengah-tengah optimism itu, kita harus realistis bahwa saat ini perekonomian kita memiliki beberapa kelemaham pokok. Pertama, sector-sektor yang memiliki tenaga kerja banyak, seperti manufaktur, pertanian dan pertambangan, justru mengalami stagnasi yang akut. Akibatnya jikan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi, tidak serta merta penyerapan tenaga kerja akan terjadi secara signifikan . Kedua, postur ekspor kita masih terlalu didominasi oleh dua komoditas primer yang sebenarnya sangat kita butuhkan di dalam negeri, yaitu batubara dab minyak sawit mentah.
Perekonomian yang terlalu bertumpu pada ekspor komoditas primer sekaligus menunjukkan bahwa sector industrinya tidak berkembang. Itulah mengapa kekayaan sumber daya sering menjadi kutukan. Tentu bukan kelimpahan sumber daya itu sendiri biang keladinya, melainkan cara kita mengelola.
Peran Negara
Cara kita mengelola sumber daya adalah sebuah bentuk kehadiran Negara dalam perekonomian. Kegagalan menciptakan nilai tambah yang tinggi dari sumber daya yang dimiliki adalah sesat kebijakan. Pada titik ini, harus diakui, perekonomian kita berada pada face yang krusial dan mengkhawatirkan dalam jangka panjang.
Redefinisi peran Negara setidaknya perlu dilakukan dalam tiga tingkatan sekaligus. Level pertama terkait dengan konstruksi perundang-undangan yang menunjukkan koherensi UUD dengan berbagai undang-undangan turunannya, termasuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Apakah undang-undang migas, UU Mineral dan Batubara, UU Penanaman Modal Asing. PP tentang Ritel dan sebagainya merupakan terjemahan dari UUD 1945?
Harus jujur diakui, makin hari penyimpangan terhadap UUD 1945 semakin lebar. Ada persoalan dengan visi ekonomi yang mungkin sekali akibat efek dari pudarnya visi kita dalam berbangsa. Mau dibawa kemana ekonomi (bangsa) ini dalam jangka panjang?
Level kedua merujuk pada konstruksi kebijakan yang mengatur secara teknis sektor-sektor perekonomian serta keterkaitannya dalam sebuah totalitas kebijakan pemerintah. Tampak sekali pada hari ini, kebijakan industry kita makin tak terarah. Daya saing yang terus menurun, dukungan infrastruktur dan birokrasi yang tidak memadai, tidak adanya kewajiban pasokan domestic bagi sumber daya energy, dan sebagainya. Hanya simtom-simtom yang menunjukkan betapa sakitnya perekonomian kita. Ekonomi kita telah bergerak dengan liar mengikuti kesempatan pragmatis jangka pendek.
Level ketiga adalah implementasi. Meski sudah ada Unit Kerja Presiden untuk percepatan Program Reformasi (UPK3R) dibawah Kuntoro Mangku Subroto tetap saja tumpang tindih dan koordinasi diantara Departemen menjadi persoalan serius. Pada dasarnya kita belum secara serius melakukan penataan dalam sebuah program reformasi birokrasi yang terencana dengan baik.
Disabotase
Menghadapi dinamika perubahan zaman yang rutin terjadi, roh dan tulang punggung perekonomian tidak boleh lepas dari visi besar tentang kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Apalagi, jangan sampai visi besar tersebut tersandera oleh kepentingan para pemilik modal yang rakus dan tamak mengeruk kekayaan negeri ini demi pundi – pundi pribadinya.
Pernyataan Sri Mulyani Indrawati saat meninggalkan Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu perlu mendapat perhatian, “demokrasi di Indonesia telah disabotase oleh kepentingan pemilik modal”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar