Minggu, 06 Juni 2010

ISLAM DAN BARAT, BENTURAN YANG TAK KUNJUNG USAI (I dan II)

Kalam :

Pada saat saat kunjungan saya mengikuti rombongan Olympiade Mahasiswa ke Turki yang diprakarsai oleh Dikti( 2007), kami sempat sholat zuhur di bekas Gereja Sophia yang sedang di rehab untuk kesekian kalinya menjadi Mesjid ummat Islam hasil rampasan dari Raja Byzantium oleh tentara Ottoman.Di langit-langit Mesjid yang indah masih terpatri dengan mozaik indah Gambar Jesus, dengan tulisan 'Muhammad ' dan 'Allah' disebelahnya, menjadi symbol agama samawi di Dunia.
Pada Abad ke 7 M, agama Kristen merupakan agama resmi di Byzantium (Romawi Timur) yang salah satu negeri taklukkannya adalah Turki. Pada awal abad ke 7 itu juga Byzantium mampu mengalahkan Persia, dan pada saat bersamaan berkembangnya Islam di jazirah arab, justru Tentara Islam mengalahkan Byzantium dan sukses menguasai Asia, Syam, Palestina, Libanon, Jerusalem dan Mesir. Pada saat itu Khalifah Umar Bin Chattab merupakan Panglima Perang yang handal dan Berjaya.
Siasat untuk menghancurkan Islam sejak abad ke-7 Masehi, telah dimulai oleh Eropah, bermula dari sistem kepercayaan merambat ke bidang politik, dan kebudayaan. Benarkah Perang salib pada abad ke-12 M, tidak dimulai oleh orang Islam tetapi diprakarsai oleh Bani Suljug dan penguasa Byzantium? Bukankah motif awal dari konflik tersebut hanya semata-mata ingin memperluas wilayah dan kepentingan ekonomi?
Tulisan Prof Dr Abdul Hadi W.M guru besar Filsafat di Universitas Paramadina Jakarta, saya copy paste dibawah ini karena sarat dengan informasi berharga sebagai akar permasalahan terjadinya konflik yang berkepanjangan antara Negara-negara Arab dengan Eropah dan Amerika. Akankah kaum orientalis bisa merubah pikirannya yang 'keruh', terhadap eksistensi Islam? Pada abad ke-20 ini, Bukankah Obama sedikit banyaknya telah mengendurkan tekanan-tekanan politiknya terhadap perkembangan konflik Palestina – Israel? Salam (a.m.a) 



Islam dan Barat, atau Barat dan Islam adalah kisah benturan budaya dan peradaban yang panjang serta nyaris membosankan. Sejak 1300 tahun yang lalu, Eropa atau Barat terus menerus memandang Islam sebagai ancaman terbesar bagi kebudayaan dan peradaban mereka. Awalnya berkaitan dengan perbedaan sistem kepercayaan mereka. Baru kemudian merembet ke bidang politik, eknomi, kebudayaan dan militer. Sejak itu Eropa menyusun berbagai siasat untuk menghancurkan dan memporakporandakan Islam. Untuk memahami pergaduhan ini, kita dituntut menelusuri akar dan perjalanan sejarahnya. Yaitu sejak agama Islam muncul dan berkembang pesat pada abad ke-7 M.

Bersamaan dengan berkembanganya Islam di Jazirah Arab itu, Byzantium (Romawi Timur) baru saja mengalahkan Persia, saingan beratnya selama berabad-abad di medan perang Ninive, Iraq, sebuah wilayah subur di Timur Tengah dan strategis karena merupakan pintu gerbang masuk ke daratan Asia. Kemenangan di Ninive sangat penting bagi Byzantium untuk memuluskan ekspansinya ke Asia dan membuka jalur perdagangannya dengan negeri-negeri Timur, khususnya India dan Cina. Hambatan terbesar bagi Byzantium adalah kemaharajaan Persia yang sejak abad ke-2 SM telah tampil sebagai adikuasa baru di Asia.

Pada abad ke-7 itu pula agama Kristen telah mantap dan mapan sebagai agama resmi dari kekaisaran Byzantium. Doktrin Trinitas telah ditetapkan sebagai satu-satunya ajaran resmi dari agama Kristen dan pantang digugat. Madzab-madzab Kristen lain seperti Yaakibbah (Jacobian) dan Nasaritah (Nestoria) dianggap aliran sesat dan menyimpang, khususnya karena tidak mengakui ketuhanan Yesus. Pada akhir abad ke-6 M, kaisar Yustianus aliran-aliran yang menolak doktrin trinitas itu dilarang di seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaan Byzantium. Para pemimpin dan cendikiawan mereka diusir dari Konstantinopel, ibukota Byzantium.

Tidak lama setelah kemenangan tentara Byzantium di Nnive itu, pasukan kaum Muslimin menyapu bersih kemaharajaan Persia dan wilayah-wilayah yang dikuasai Byzantium seperti Syam (Syria), Palestina, Lbanon, Mesir, Yerusalem, Iraq dan Yaman. Wilayah-wilayah yang direbut kaum Muslimin ini sebagian merupakan wilayah bangsa Arab yang secara bergantian diduduki Byzantium dan Persia. Ninive merupakan ibukota kerajaan Hira. Pada tahun 590 M wilayah inii direbut penguasa Dinastii Ghazzan yang meerintah di Palestina dan Yordania. Kerajaan Ghazzan adalah negara vasal dari kekaisaran Byzantium. Akibat penaklukan itu, orang-orang Arab yang merupakan penduduk Hira, banyak yang mengungsi ke Jazirah Arab dan tinggal di Madinah.

Menjelang awal abad ke-7 M, Persia kembali merebut Hira. Byzantium kembali menyerang wilayah ini. Demikian pada tahun 614 M  tentara Byzantium dapat  memukul mundur tentara Persia.  Raja Hira melarikan diri ke Jazirah Arab.
Pada tahun 631 M khalifah Abu Bakar Sidiq mengirim misi dagang dan dakwah ke Hira, tetapi rombongan dari Madinah itu dibantai habis oleh penguasa Byzantium. Atas desakan penduduk Madinah yang berasal dari Hira, pasukan kaum Muslimin menyerbu Hira dan mengusir tentara Byzantium dari tanah air mareka.

Kemenangan kaum Muslimin ini disambut gembira di wilayah-wilayah Arab yang dikuasai Byzantium seperti Syam, Palestina, Libanon, Yerusalem dan Mesir. Para penganut madzah Nasaritah dan Yaakibah yang telah lama ditindas oleh penguasa Byzantium, meminta bantuan kaum Muslimin untuk membebaskan negeri mereka dari penjajahan Romawi dan Kristen Barat. Permintaan ini dipenuhi oleh khalifah Umar bin Khattab (634-644 M). Dalam peperangannya melawan pasukan pendudukan Byzantium itu memperoleh kemenangan yang gilang gemilang sehingga Syam, Palestina, Libanon dan Mesir jatuh ke tangan kaum Muslimin.

Semenjak itulah Eropa benar-benar menganggap bahwa Islam merupakan ancaman besar bagi kebudayaan dan peradaban mereka. Telah dikatakan bahwa anggapan ini berakar dalam perbedaan yang menyolok antara aqidah dan doktrin Kristen Eropa dengan aqidah dan doktrin Islam. Karena aqidah dan doktrin yang diajarkan Islam bertentangan dengan aqidah dan doktrin Trinitas Kristen, lahirnya agama Islam menanam perasaan benci yang mendalam dalam hati mereka. Betapa tidak. Doktrin Trinitas yang mereka agungkan digugat oleh ajaran Tauhid dari Islam. Yesus yang mereka yakini sebagai putra Tuhan, dipandang hanya sebagai nabi seperti halnya nabi lain sebelum Nabi Muhammad s.a.w. Islam juga menolak anggapan bahwa yang wafat di palang salib adalah Yesus, melainkan orang lain yang mirip Isa Almasih.
Lebih jauh orang Islam yakin bahwa Injil dalam bahasa latin yang ada ditangan orang Kristen bukan Injil asli yang diwahyukan kepada Nabi Isa dalam bahasa suryani (Syiria kuno). Memang seperti orang Kristen, Islam percaya pada hari kebangkitan,serta adanya dosa dan neraka. Tetapi orang Kristen mengecam keyakinan bahwa mereka yang masuk sorga mendapat pahala berupa kesenangan sensual. Maka lahirlah anggapan di kalangan orang Kristen Byzantium /Eropa bahwa orang Islam patuh pada ajaran agama dan berjuang membela ajaran agama mereka disebabkan pamrih sensual dan seksual. Kebencian bertambah-tambah karena dalam waktu relatif wilayah-wilayah Byzantium direbut oleh kaum Muslimin..

Persoalan-persoalan tersebut ditambah lagi dengan kenyataan bahwa akhir abad ke-8 M, setelah berhasil menguasai Andalusia dan semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal sekarang), pasukan kaum Muslimin berhasil menerobos wilayah Perancis, salah satu jantung utama peradaban Kristen pada masa itu. Sembilan abad kemudian pada abad ke-16 dan 17 M, peristiwa serupa terulang lagi. Pasukan Turki Usmani memporak-porandakan Eropa yang selama satu milenium membangun peradaban dan kebudayaan dengan tenang, tanpa gangguan yang berarti dari luar benua itu. Bahkan pada abad ke-18 dan 19 M, ketika kekuasaan kolonial Eropa (Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Perancis) telah mencengkram banyak negeri dunia termasuk wilayah kaum Muslimin yang luas, sekali lagi pasukan Turki Usmani yang perkasa menusuk jantung Eropa dan memporak-porandakan kota-kota mereka. Mereka hampir saja menguasai Hongaria dan Austria, pintu masuk utama ke Eropa Barat dan Skandinavia.

Kenyataan ini semakin memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama pedang yang disebarkan melalui peperangan dan tindakan kekerasan, dan karenanya merupakan ancaman besar bagi peradaban Eropa. Untuk membendungnya merupakan kewajiban bangsa Eropa, sebab kalau dibiarkan tatanan dunia akan porak poranda disebabkan hadirnya agama yang lahir di padang pasir Arabia yang tandus itu. Namun Barat lupa bahwa lebih sepuluh abad sejak tahun 600 SM hingga abad ke-7 M saat lahirnya agama Islam, tidak henti-hentinya kemaharajaan Romawi dan Macedonia mengobrak-abrik wilayah yang dihuni orang-orang Semit dan Persia, yang nantinya akan berbondong-bondong memeluk agama Islam. Mereka lupa bahwa kerajaan-kerajaan nenek moyang bangsa Arab seperti Hira, Petra, Himyar, Palestina dan lain-lain telah berulang kali diserbu dan menjadi ajang rebutan kekaisaran Romawi dan Persia.

Selama beberapa abad pula orang Arab hidup di bawah penjajahan bangsa Romawi. Orang Arab baru memperoleh kesempatan merebut kembali wilayah nenekmoyang mereka setelah datangnya agama Islam. Itulah sebabnya, bagi bangsa Arab agama Islam dipandang sebagai agama yang membebaskan dan menyelamatkan, serta dapat mempersatukan mereka. Jadi pandangan mereka sangat berbeda dari pandangan orang Eropa yang menetapkan Islam sebagai sumber bencana dan malapetaka.

Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad (1096-1270 M) dalam enam gelombang, menambah parah kebencian orang Eropa terhadap Islam, dan sebaliknya orang Islam terhadap Eropa Kristen. Orang Eropa jengkel karena tidak memperoleh kemenangan yang diharapkan dari peperangan yang lama itu dan tidak pula berhasil merebut Yerusalem tempat salib suci disimpan . Ketika itu kekuasaan Bani Saljug di wilayah Iraq, Iran dan sebagian Asia Tengah sedang mencapai puncaknya. Pada akhir abad ke-11 M Armenia, yang merupakan wilayah paling timur dari kekaisaran Byzantium ditaklukkan oleh pasukan Saljug. Perang dahsyat berkobar pada tahu 1071 di Manzicert, dekat perbatasan Armenia dan Anatolia. Tentara Byzantium mengalami kekalahan telak. Hasrat Byzantium untuk membalas kekalahannya itu berubah menjadi perang agama.

Dalam Encyclopaedia of World History (1956:255) William K. Langer menggambarkan sebab-sebab timbulnya Perang Salib I (1906-1099). Menurut Langer perang ini bermula dari permintaan bantuan pasukan dari kaisar Byzantium kepada Paus Gregorius VII. Setelah bala bantuan datang dari berbagai negara Eropa, berupa 300.000 tentara reguler, Paus Gregorius VII mengubah bantuan militer menjadi Perang Suci (Perang Salib) melawan tentara Islam yang dianggapnya kafir. Hasrat Byzantium untuk berperang ditambah lagi dengan berita-berita buruk yang disebarkan para peziarah Kristen yang berkunjung ke Yerusalem. Setelah mereka kembali ke kampung halamannya, mereka menebar issue bahwa orang Kristen di Yerusalem dan Palestina banyak yang dianiaya dan disiksa, serta wanita-wanita mereka diperkosa oleh tentara Saljug. Ini menimbulkan amarah kasir Byzantium di Kontantinopel. Berita pun segera tersebar ke seluruh daratan Eropa.

Ketika itu sedang terjadi pula pergolakan internal dalam tubuh gereja Katholik. Gereja Romawi dan Gereja Yunani Ortodoks saling bersaing merebut kepemimpinan umat Kristen. Paus Gregorius VII berkeinginan menjadikan Perang Salib itu sebagai upaya menyatukan Dunia Kristen. Pada saat Perang Salib sedang digodog, Paus Gregorius VII diganti oleh Paus Victor II dan Victor II diganti pula oleh Paus Urbanus II (1088-1099). Ketika Paus Urbanus II dinobatkan muncul pula Paus tandingan berkedudukan di Auvergne, Perancis, yaitu Paus Clement III (1084-1100). Kaisar Alexius dari Byzantium selain meminta bantuan Paus di Roma, juga menghimbau seluruh umat Nasrani di Eropa untuk membantu rencana dengan tentara salib, sebagai balas jasanya akan dilimpahi perangnya. Dalam imbauannya Kaisar Byzantium memnjanjikan bahwa barang siapa berani bergabung kekayaan dan memperoleh wanita-wanita Yunani yang cantik jelita.

Perang Salib tambah berkobar disebabkan khotbah keliling yang dilakukan seorang rahib bernama Peter the Hermit. Menurut sang rahib barang siapa yang ikut berperang membela kehormata agama Kristen akan mendapat pengampunan dosa, walaupun dahulunya ia seorang penyamun dan penjahat. Demikianlah tentara Salib berangkat ke medan perang pada bulan Agustus 1095 dan pada permulaan tahun 1096 perang pun berkobar. Meskipun tentara Salib mengalami kekalahan di Anatolia dan Armenia, mereka berhasil menguasai Yerusalem selama beberapa tahun.

Fakta-fakta yang telah dikemukakan cukup memberi gambaran bahwa sejak awal orang Eropa atau Barat memerlihatkan sikap bermusuhan terhadap Islam, baik Islam sebagai agama ataupun Islam sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki kebudayaan dan peradaban berbeda dari mereka. Selama beberapa abad kekaisaran Byzantium di Konstantinopel berhasil membangun tembok tinggi yang memisahkan secara tegas antara dunia Islam di Timur dan dunia Kristen di Barat. Kesalahpahaman Eropa terhadap Islam adalah buah yaang dihasilkan oleh pembangunan tembok pemisah antara dua peradaban ini. Sumber-sumber Byzantium yang memandang Islam sangat buruk dalam semua aspek dari ajaran agamanya dijadikan kacamata Barat dalam memandang dan menyikapi Islam.

Dikatakan misalnya bahwa agama Islam tidak lebih dari aliran sesat dan bentuk kermutadan yang timbul dari agama Kristen. Dengan kata lain, Islam adalah ajaran Kristen yang menyimpang. Muhammad adalah nabi palsu, yang memperoleh pengetahuan agama dari seorang pendeta Kristen bernama Bahira. Kitab suci al-Qur`an pula dianggap sebagai kitab yang dibawa di atas tanduk lembu putih. Lebih jauh dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah tukang sihir yang berhasil meyakinkan orang banyak bahwa dia memperoleh wahyu dari Tuhan setelah melakukan ritual yang menjijikkan, yaitu melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita di luar nikah.

Namun demikian pada abad ke-12, seusai Perang Salib I, keinginan mengetahui ajaran Islam secara lebih benar mulai muncul di kalangan terpelajar Eropa. Al-Qur'an mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, begitu pula karya-karya penulis Muslim Arab dan Persia. Terjemahan al-Qur'an pertama dalam bahasa Latin ditulis oleh seorang sarjana Inggris Robert dri Ketton pada tahun 1143 M. Kemudian pada abad ke-13 dan 14 M , upaya memahami ajaran Islam ditumpukan pada dua hal; Pertama, mencari kemiripan ajaran al-Qur'an dengan Bibel; kedua, menyusun alasan-alasan logis untuk mengecam Nabi Muhammad s.a.w. sebagai nabi palsu. Mereka berpendapat bahwa seseorang yang tidak memiliki mukjizat seperti Isa Almasih tidak layak mengaku diri sebagai Nabi dan Rasul Tuhan. Dua hal inilah yang menjadi target utama serangan pemuka agama Kristen terhadap kaum Muslimin dan agama Islam.

Menurut mereka orang Islam terdorong melakukan jihad karena dua hal. Pertama, ingin membetulkan ajaran Kristen yang salah dan menyimpang dari tradisi monotheisme Ibrahim dan memperoleh pengakuan terhadap kenabian Muhammad. Mereka lupa bahwa Perang Salib, yang oleh mereka dipandang sebagai perang agama Kristen melawan kekafiran Islam, tidak dimulai oleh orang Islam. Apa yang dilakukan oleh Bani Saljug dan penguasa Byzantium sebelum Perang Salib meletus, semata-mata perang memperebutkan wilayah demi kekuasaan politik dan sumber-sumber ekonomi. Adalah penguasa-penguasa Kristen Eropa dan penguasa gereja yang pertama kali menyebut Perang Salib sebagai perang agama, perang antar budaya dan peradaban. Orang Islam tidak pernah melihat perang di Armenia itu sebagai perang agama.

Kecaman lain yang ditujukan kepada Islam ialah berkenaan dengan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad s.a.w. Tetapi mereka lupa bahwa Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Sulaiman dan lain-lain mempunyai istri lebih dari satu, tetapi tidak membuat mereka berkeinginan untuk mengecam nabi-nabi ini. Mereka juga lupa bahwa dalam Perjanjian Lama (Old Testatamen) Nabi Luth dilukiskan berhubungan seksual dengan putrinya sendiri, karena ketika itu penduduk Sodom dan Gomorra hampir musnah. Gambar kemurtadan Islam dapat dilihat dalam Divina Comedia (Komedi Ketuhanan) karangan Dante, pengarang Italia yang masyhur pada abad ke-13 M. Dalam bukunya itu Nabi Muhammad digambarkan sebagai penghuni neraka yang paling rendah dan mendapatkan siksaan berat karena dosa-dosanya mengajarkan aliran sesat. Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan bahkan Sultan Saladin pahlawan Perang Salib, dilukiskan mendapat hukuman ringan dari Tuhan.
Pada zaman Renaissan dan Reformasi (abad ke-15 – 16 M) pandangan Eropa terhadap Islam tidak berubah, padahal sikap dan pandangan mereks terhadap gereja, khususnya Gereja Katholik, semakin kritis. Polydare Virgil, ahli sejarah abad ke-15, mengulang pandangan Kristen abad pertengahan ketika menggambarkan Nabi Muhamad. Nabi dikatakannya sebagai tukang sihir, yang mendpat pelajaran agama dari pendeta Kristen dan ajaran sesatnya disebarkan melalui kekerasan dan janji-janji tentang kenikmatan seksual di sorga yang akan diperoleh jika seseoang berjuang di jalan Tuhan. Ensiklopedi yang disusun oleh Bartolomeus d'Hesbelot, Bibliothque Orientale, memulai entrinya dengan kalimat-kalimat serupa. Bahkan Edward Gibbon (abad ke-18) yang mengagumi Nabi Muhammad dalam bukunya The Decline and Fall of Roman Empire, merasa ogah untuk membenarkan risalah ketuhanan yang disampaikan Nabi Muhammad s.a.w.

Martin Luther, pendiri Protestanisme bersama-sama dengan Calvin dan Zwingli, menyamakan kemurtadan Muhammad dengan penyimpangan yang dilakukan oleh Gereja Katholik Romawi terhadap ajaran Nabi Isa a.s. Dalam sebuah dramanya berjudul La Fanatisme, ou Mahomet le prophete, Voltaire (akhir abad ke-18 M) menggambarkan bahwa ketika Nabi Muhammad akan wafat, beliau mewasiatkan kepada para penggantinya (khalifah) agar kejahatan-kejahatan yang dilakukan beliau dirahasiakan agar tidak merusak keimanan kaum Muslimin.
Pada permulaan abad ke-18, memasuki zaman Aufklarung (Pencerahan) sebenarnya sejumlah sarjana Eropa sedang sibuk membangun dasar-dasar pemahaman yang lebih luas tentang Islam dan kebudayaan Timur. Ketika itu pamor agama Kristen mulai luntur. Tetapi prasangka-prasangka yang dibangun oleh Kristen Byzantium belum bisa dikikis dalam jiwa manusia Eropa yang mulai sekular. Bahkan walaupun sejumlah sarjana dan pemuka masyarakat bersimpati pada kebudayaan lain, termasuk kebudayaan Islam, namun pemahaman mereka tentang segala hal masih tetap terkungkung oleh Eropanisme.
Khusus mengenai Islam, bertahannya prasangka lama itu antara lain disebabkan oleh ketakutan mereka terhadap ancaman tentara Usmani Turki, yang pada abad ke-18 M memang sangat kuat. Baru pada akhir abad ke-18 orang Eropa mulai yakin bahwa mereka dapat melakukan hubungan produktif dengan dunia Islam, bahkan dapat mengalahkan dan menguasai mereka. Perubahan sikap itu terjadi karena dua hal: Pertama, pada tahun 1798 secara dramatis Perancis menaklukkan Mesir tanpa mengalami banyak kesukaran. Untuk merebut hati orang Islam, Napoleon menggunakan jargon-jargon yang diambil dari ajaran Islam.
Kedua, setahun kemudian, 1799 pasukan Inggris memenangkan pertempuran di Mysore India melawan tentara Dinasti Mughal. Tidak lama kemudian pada permulaan abad ke-19 Rusia menaklukkan negeri-negeri kaum Muslimin di Kaukasus dan wilayah Asia Tengah yang lain. Belanda berhasil mengatasi perang anti-kolonial yang ditujukan kepadanya di pulau Jawa dan Sumatra, khususnya Perang Diponegoro di Jawa Tengah dan Perang Padri atau Imam Bonjol di Sumatra. Perang anti-kolonial ketiga yang paling berat dihadapi Belanda setelah Perang Diponegoro dan Padri, ialah Perang Aceh. Perang Aceh dipicu antara lain oleh seruan 'jihad' melawan kolonial oleh Syekh Abdul Samad al-Falimbangi.

Ketika itu sebenarnya orang Eropa telah mulai bebas dari kungkungan pandangan gereja dan agama Kristen, dan pemahaman terhadap Islam beserta kebudayaan dan peradabannya menjadi lebih mungkin. Apalagi setelah berkembangnya pemikiran humanisme Tetapi justru pada masa yang penuh peluang itulah, tumbuh dan berkembang orientalisme – suatu bangunan ilmu pengetahuan tentang dunia Timur, khususnya Islam, yang dirancang mengikuti metode dan kepentingan Barat. Setelah orientalisme berkembang inilah kampanye misionaris menentang Islam kian menjadi-jadi. Bersama-sama penguasa kolonial mereka berusaha melucuti kekuatan umat Islam secara politik, ekonomi, militer, budaya dan intelektual.

Di Hindia Belanda tokoh utama orientalisme yang berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah kolonial mengenai Islam ialah Snouck Hurgronje. Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan Padri, kaum orientalis membuat konstruksi ilmu yang akan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan modern, terutama untuk kaum terpelajar Indonesia. Dalam konstruksi ilmu tersebut, Islam – kebudayaan, peradaban, sejarah dan agamanya – ditempatkan sebagai outsider dan dipandang sebagai sesuatu yang asing dalam sejarah kebudayaan bangsa Indonesia (Tauqik Abdullah 1997). Sementara itu citra Islam yang buruk terus menerus dipropagandakan ke khalayak masyarakat luas.

Salah satu buku penting yang berpengaruh dalam memberikan citra negatif tentang ialah buku Sir berhasil William Muir A Life of Muhammad, terbit di Bombay pada tahun 1851. Ketika buku ini terbit, pemerintah kolonial Inggeris sedang gencar menggalakkan missi dan zending Kristen. Yesus Kristus atau Isa Almasih diberi gambaran sebagai manusia superstar sedangkan Nabi Muhammad adalah utusan setan. Para missionaris tidak bosan-bosannya mengutip bagian dari buku William Muir ini dalam menyebarkan agama Kristen di kalangan orang-orang India yang beragama Hindu dan Islam. Dalam buku itu Nabi Muhammad disebut Mahound (roh jahat) yang menyebarkan agama melalui kekerasan dan kegiatan seksual. Bandingkan gambaran dalam buku Muir ini dengan gambaran dalam buku Salman Rushdi yang menghebohkan pada akhir 1980an The Satanic Verses.

Gambaran bahwa Islam merupakan agama kekerasan dan menghalalkan kebebasan seks, semakin kuat menghunjam benak bangsa Eropa pada abad ke-19. Akar penyebabnya ialah kenyataan bahwa pemerintah kolonial Eropa menghadapi sejumlah perlawanan sengit dari para ulama dan pemimpin tariqat sufi sebelum menaklukkan negeri Islam. Perlawanan kaum Muslimin berlangsung sengit sejak abad ke-18 hingga abad ke-20 M, khususnya di Aljazair, Lybia, Iraq, Iran, India, Afghanistan dan Indonesia. Dalam perangnya menentang kehadiran kolonialisme Eropa itu kaum Muslimin mengusung issu jihad melawan kekuasaan raja kafir. Itu tidak keliru, karena penjajahan bukan hanya menghancurkan kehidupan ekonomi dan kedaulatan politik kaum Muslimin, tetapi juga menghancurkan sendi-sendi kebudayaan dan kehidupan agama.

Pangeran Diponegoro diceritakan pernah mengatakan kepada utusan pemerintah Belanda yang menawarkan perdamaian kepadanya, "Jika orang Belanda mau memeluk agama Islam, kami tidak akan melakukan perlawanan dan akan menyambut anda dengan tangan terbuka." Ucapan serupa pernah dikemukakan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dari Aceh kepada kepala perwakilan dagang VOC. Iskandar Muda menawarkan orang Belanda memeluk agama Islam dan dengan demikian akan leluasa melakukan aktivitas perdagangan di Sumatra tanpa gangguan yang berarti. Ini menunjukkan bahwa motif perlawanan terhadap kolonialisme bukan sekedar masalah politik dan ekonomi.

Dalam bukunya yang telah disebutkan William Muir mengatakan, "Pedang Muhammad dan al-Qur'an adalah musuh paling berbahaya bagi Peradaban, Kebebasan dan Kebenaran yang dijunjung tinggi oleh dunia yang beradab!" Kurang lebih seperti inilah pemahaman tentang Islam yang hidup dalam jiwa dan pikiran para pemimpin Eropa, sebelum dan sesudah Perang Dunia II, dari zaman Napoleon sampai zaman Bush dan Tonny Blayr.

Gambaran tentang Islam sebagai agama kekerasan dan menghalalkan kekebasan seks dapat dilihat dalam banyak buku karangan sarjana dan pengarang Eropa abad ke-19 M. Misalnya dalam novel Gustave Falubert, novelis Perancis abad ke-19 dan buku Erdward Lane, seorang sarjana Inggris. Gambaran dan pemahaman serupa juga dapat dilihat dalam sajak "Hari Terakhir Olanda di Tanah Jawa" karangan Multatuli, novelis Belanda abad ke-19 yang masyhur karena novelnya Max Havelaar.
Dalam sajak ini Multatuli mengatasnamakan dirinya sebagai Sentot Alibasya, panglima perang tentara Diponegoro. Dikatakan misalnya bahwa, tentara Muslim Jawa tidak akan pernah puas jika hanya memperoleh kemenangan di medan perang. Mereka baru akan puas jika dapat menggauli noni-noni Belanda yang cantik dan montok setelah memenangkan pertempuran di medan perang. Pada bagian akhir sajak itu dikatakan, bahwa perang anti-kolonial tidak akan dihentikan sebelum, "Orang Jawa berlutut di depan Muhammad, dan dibebaskan bangsa yang terlembut, dari cengkraman anjing-anjing Kristen."

Memang selama dua abad ini tidak sedikit sarjana Barat yang berusaha memberikan pemahaman yang simpatik terhadap agama Islam dan kaum Muslimin. Itu terjadi sejak Goethe hingga Esposito. Konsili Vatikan yang kedua beberapa dasawarsa yang lalu, menyerukan pula agar umat Kristiani lebih meningkatkan toleransinya kepada kaum Muslimin, karena agama yang mereka anut adalah agama monotheis seperti agama Kristen. Tetapi sejauh mana seruan itu dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah Barat yang hegemonik, tidak seorang pun tahu. Begitu pula sejauh mana pengaruh pandangan para orientalis yang simpatik terhadap Islam dapat mengubah pikiran dan jiwa orang Eropa dan Amerika yang telah keruh, tidak seorang di antara kita dapat menjawabnya.

 
CATATAN :
1. G.H. Jansen (1979) dalam bukunya Militant Islam mengatakan bahwa konfrontasi Islam dan Kristen/Barat dimulai dari bidang agama dan spiritual. Penulis Kristen selalu menggunakan argumen licik terutama berkaitan dengan pribadi Nabi Muhammad s.a.w. Kemudian gambaran ini diperbaiki sedikit. Orang Islam digambarkan sebagai pemalas, apa dia Muslim Turki, Arab, Melayu atau India. Selain pemalas orang Islam digambarkan egosentrik dan senang seks. Sebetulnya banyak hal-hal baik dari Islam mereka ketahui, tetapi sengaja ditutup-tutupi.

 
2. Misionaris Kristen mengeluh orang Islam enggan diajak berdebat dan berdialog menyangkut kepercayaan agama mereka. Diam itu emas dan tidak mudah terpenting adalah senjata orang Islam sampai abad ke-17 M. Kegiatan misionaris semakin menonjol setelah Napoleon menaklukkan Mesir. Kegiatan missi dan zending Kristen pada abad ke-19 mempunyai hubungan erat dengan perluasan kekuasaan dari kaum penjajah. Karena mereka menjumpai perlawanan sengit dari orang Islam. Karena membiarkan dirinya menjadi alasan kekuasaan kolonial inilah orang Islam memandang mereka sebagai musuh.

 
3. Walau missi mereka gagal pada abad ke-18 M, tetapi pada pada abad ke-19 mereka yakin berhasil. Dugaan ini meleset. Orang Islam yang telah disekulerkan seperti di Indonesia dan mendapat pendidikan Barat justru menentang kolonialisme. Ini membuat penguasa Barat semakin jengkel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar