Jumat, 07 Juni 2013

Kabinet Tape


 

Dalam filsafat jawa Suryo Mentraman, prinsip hidup mulur mungkret (luwes,lentur seperti karet) memiliki nilai positif dan keistimewaan bahkan dianggap menjadi salah satu ciri jati diri orang jawa. Namun, dalam pergaulan masa kini, prinsip hidup itu mendapat tambahan makna negative sebagai sikap hidup yang tidak tegas, plin plan dan lembek.

    Mungkin makna terakhir itu pula yang dapat kita sematkan pada Presiden SBY dan kabinetnya, setidaknya dalam soal subsidi kenaikan harga BBM. Mulur mungkret ! Masyarakat pun menderita karena ketidak jelasan itu. Presiden yang sebenarnya oleh UU memiliki kewenangan itu, bahkan di dorong oleh Parlemen, malah justru menampik wewenangnya dan justru balik melempar bola ke DPR.

    Sebagai striker, bola yang sudah di depan gawang - - berlagak tiki taka - - malah di kembalikan ke pemain tengah. Lalu gol nya kapan? Tak terciptanya gol-gol dalam proyeksi, tujuan serta misi Negara dan bangsa saat ini - - terutama untuk kesejahteraan dan masa depan rakyat - - oleh banyak kalangan dianggap akibat (kelemahan) SBY ; peragu, tidak tough, dengan karakter yang lembek seperti tape.

    Karakter kabinet seperti yang tergambar di atas akhirnya melahirkan pemimpin pemimpin yang berprofil seperti tape; bermula dari singkong yang keras lalu lunak dalam keragian, dari UU yang tegas menjadi lunak dalam kebijakan,praksis, bahkan dirinya sendiri. Mudah mengasihani diri sendiri dan menebar iba kepada publikuntuk profit simpati. Itulah yang diperlihatkan SBY saat dahulu ia memamerkan ancaman teroris yang "konon" mengarah padanya. Entah jika ia hidup seperti Presiden Soekarno yang lebih dari 50 kali - - atau Yasser Arafat yanglebih dari 100 kali - - mendapat ancaman pembunuhan.

    Situasi serupa terjadi pada heboh ujian nasional. Mendikbud M.Nuh, dalam sebuah laporan media massa terkemuka seperti mengadu dan memelas kepada bosnya SBY ; "sudah seminggu ini saya tidur Cuma tiga jam sehari"

    Sang Presiden merespons keluhan anak buahnya itu dengan gaya khas nya "adik baru sekali ini saya sudah delapan tahun" Lho, mengapa Ia dulu ngotot ikut rebutan jadi Presiden?

    Saya kira profil atau karakter pemimpin seperti ini jadi acuan mereka yang dipimpin. Di mana-mana! Yang penting, menjadi pejabat public itu sukses berkelit dari kesalahan , tidak jeblok banget rapornya. Prestasi sedikit di promo habis habisan. Pengorbanan diri di besar besarkan, pragmatisme murahan jadi pedoman.

    Itulah yangh menggejala belakangan ini, ketika masa jabatan tak banyak bulan lagi. Sementara harapan kedepan masih kuat Ia gantungkan. Retorika yang dahulu adalah seni keindahan bahasa dan adekuasi argumen kini tinggal busa dari sebuah opera politik murahan.


 

Gagal manfaatkan momentum

    Saya kira potret mediokratik cabinet "tape" kita di atas berkolerasi dengan penurunan peringkat yang di buat standartd & poor"s (S&P). Juga kritik dari lembaga pemeringkat lainnya , Moody"s Investors Services (MIS), yang diributkan kalangan pejabat dan elite ekonomi akhir-akhir ini. Betapapun, sebenarnya kita bisa tak peduli dengan peringkat peringkat tendensius S&P dan MIS itu. Kritik yang mereka namun tetap bisa direnungkan secara positif. Terutama, mengapa pemerintahan SBY dianggap gagal memanfaatkan momentum, antara lain sikap mulur mungkretnya dalam persoalan subsidi BBM.

    Kecepatan pembangunan, katakanlah dalam laju pertumbuhan rata-rata 6 persen dalam lima tahun belakangan gagal dimanfaatkan untuk terciptanya semacam lompatan atau percepatan yang mampu mengakselerasi pembangunan ketingkat tinggi seperti Korea Selatan pada 1970-an, Malaysia dan China pada 1980-an, lalu India pada 1990-an. Mereka dianggap sukses memanfaatkan momentum itu untuk mencapai posisi keekonomian yang dihargai dunia belakangan ini.

    Posisi itu dalam standard material global saat ini jadi dasar eksistensi sebuah bangsa atau Negara. Ia memberi pengaruh hampir di semua sector dan dimensi kehidupan local dan global. Menguatnya pengaruh India, China, Brazil, Korea selatan hingga Afrika Selatan juga karena di hela oleh sukses itu. Dampaknya pun positif pada diplomasi internasional, peran regional, hingga soal olahraga dan kebudayaan.

    Bahkan India, seperti mendapat surplus tambahan saat AS tak mengganjal komunitas internasional untuk mengecam proyek pengembangan dan percobaan senjata nuklirnya. Setidaknya jika dibandingkan dengan Iran, yang berkali-kali tertimpa embargo. Termasuk peluang India, walau tipis untuk menjadi salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB, sebagaimana Jepang, Brazil, dan Afrika Selatan.

    Indonesia tentu, jangan dulu ber angan-angan memiliki senjata nuklir, apalagi menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, sebagaimana bursa para diplomatnya. Bukan hanya penolakan eksternal pasti datang membanjir, hambatan internal pun masih terlalu sesak untuk bisa di atasi.

    Indonesia dalam realitas komparatif di atas tercipta, antara lain, akibat dari "cabinet tape" yang lembek dan asam manis tadi. Kabinet yang males-malesan menjalankan misi dan program program kebijakannya. Sebab, memang tak ada sanksi yang keras dikenakan pada kegagalan, bahkan penyimpangan.

    Dari puncak kuasa hingga dataran bangsa, kita kian tidak menyadari betapa kita sesungguhnya telah sedikit demi sedikit meninggalkan, bahkan menghianati cita-cita dan dasar di mana republic ini didirikan. Apa yang dahulu lebih sekarang kurang. Yang dahulu unggul sekarang terbelakang, yang dahulu dipelajari orang kini kita yang belajar dari orang, dulu dikagumi, kini kita berduyun duyun mengagumi, dan apa yang dahulu kita banggakan, kini kita sesalkan. Dari pantai garam, singkong, bulu tangkis hingga sepakbola.


 


 

Krisis Mendasar

    Kini bukan hanya ketertinggalan, sebenarnya kita sudah mencapai tahap yang kritis dari perkembangan. Bukan hanya karena hukum yang terkebiri, politik yang terkotori, atau bisnis yang padat korupsi, tapi juga pada soal pendidikan, lingkungan dan energy yang sudah lampu merah tanpa kita sadari. Laporan khusus Kompas
tentang energy 3 mei 2013, antara lain menggambarkan situasi itu.

    Ada semacam pembiaran menurut laporan itu, bahkan justru penciptaan regulasi yang secara licin melegalkan permainan licik dari para pemain atau oligarki politik-bisnis lama (mereka yang sudah
bermain sejak awal orde baru)
untuk mengisap energy
dan mineral dalam darah bangsa ini. Permainan yang membuat kondisi bisnis energy kita - - dengan porsinya yang signifikan
dalam ekspor, hampir 50 persen - - kini semakin tertekan, dan memberi kita contoh terbaik bagaimana tidak ada kedaulatan pada diri kita sendiri

    Semua persoalan di atas tentu saja tidak bisa diselesaikan oleh cabinet lembek dan medioker di atas. Pelajaran dari berbagai Negara memperlihatkan, bahwa Eropa yang begitu tangguh model dan system politik maupun pemerintahannya mengalami banyak guncangan. Bonus geografis, demografis, hingga kebudayaan yang kita miliki tidak mungkin dapat di maksimalkan oleh para pejuang yang Cuma cari senang bukan cari menang.

    Karena itu cukuplah sudah pemerintahan yang "Cuma manis dibibir ini" yang sibuk menggali puji-puji luar negeri tapi lupa membawa diri. Kita membutuhkan pemimpin yang kuat, bervisi dan berani ambil resiko. Mumpung masih ada waktu menjelang Pemilu 2014, seluruh bangsa harus siap dengan munculnya calon pemimpin baru, yang bersih, jujur, terbuka, dan tidak mengasihani diri. (Radhar Panca Dahana, Kompas 27 mei 2013).

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar