Sabtu, 01 Juni 2013

Manajemen Partai Bodrek


 

"Pelatihan belum jamin integritas" begitu judul berita di Kompas, 8 Mei 2013. Partai politik telah menangkap bahwa benar integritas telah menjadi penentu pilihan masyarakat. Namun bisakah integritas dibangun dalam manajemen partai "pasukan bodrek"?

    Ini tak ada hubungannya sama sekali dengan nama merk, tetapi istilah populer yang sudah banyak disebut masyarakat dan kalangan pers sejak tahun 1980-an. Istilah ini diberikan kepada kelompok wartawan yang biasa berkumpul di kantor-kantor Humas Pemerintah, seminar atau konferensi pers, yang mereka tahu ada "amplopnya" . Mereka ada karena ada yang memberikan sesuatu.

    Lambat laun, aksi mereka meresahkan. Selain bergerombol dan tidak malu meminta, sebagian dari mereka ada yang bekerja di Surat kabar tertentu. Berita yang ditulis bukan lagi suatu kebenaran, melainkan direkayasa untuk mendapatkan amplop amplop lain yang lebih besar. Di era media social, sebagian dari mereka pun membuat akun-akun anonym yang bisa "menyetir" kebenaran.

    Waktu berjalan, perilaku bodrek pun menyebar, memasuki relung-relung ruang demokrasi. Kini, perilaku serupa terbentuk di hampir semua parpol dengan cara-cara yang sama.

Amplop adalah tujuan

    Bila hari ini kita bisa membedakan
dua jenis surat kabar Koran berintegritas dan dan Koran bodrek, tentu bukan karena pelatihan. Harian Kompas adalah contoh yang pertama. Integritasnya dibentuk, di desain dengan penuh kesadaran bahwa tanpa integritas "kata" yang ditulis kehilangan makna. Maka, ada aturan wartawan dilarang mengutip dalam bentuk apapun yang dijalankan dengan sanksi tegas.

    Wartawan diberi gaji yang layak, dibentuk menjadi sosok bermartabat, cerdas dan kritis. Di dalam, mereka dibentuk dengan tata nilai kuat. Lebih dari segalanya, harian berintegritas hanya merekrut pegawai-pegawai yang punya integritas sama, bukan yang sudah pandai dalam bentuk apapun. Bukan yang bermulut besar pandai cari uang, dan punya sahabat di mana-mana. Hanya ditangan orang berintegritas, pilar demokrasi mampu berdiri tegak.

    Lain lagi Koran bodrek. Menurut teman teman saya yang menjadi pasukan bodrek, mereka memang tidak digaji. Mereka hanya datang ke pemilik Koran, diberi kartu Pers, lalu dibiarkan mencari makan sendiri. Wajar kalau mereka berprinsip, amplop itu hak !

    Tidak ada seleksi siapa yang bisa bergabung, tak ada aturan yang melarang mengutip amplop, tak ada gaji, tak ada tata nilai yang mengikat. Bisa anda bayangkan apa judul dan isi beritanya, dan bagaimana masa depannya.

    Sekarang mari kita lihat isi hampir semua parpol. Hanya mereka yang lolos sebagai anggota legeslatif atau terpilih oleh rakyat sebagai pejabat public yang menerima gaji dari Negara. Dari uang itu mereka kena "wajib" setor sebagian ke Partai. Namun, untuk terpilih menjadi calon anggota legeslatif, calon bupati, calon walikota, semua butuh biaya.

    Ada Partai yang mengistilahkan infak, uang mahar, tanda jadi, uang kontrak dan seterusnya. Partai punya kecenderungan untuk tidak menguji. Politisi politisi partai, dibiarkan mencari uang dengan cara masing-masing. Ada yang cerdik bermain system cel, berpura pura tidak kenal dengan para operator pencari uang di lapangan. Bila tertangkap tangan, operator dianggap sel busuk, lalu dibiarkan "mati sendiri".

    Ada pula yang mencari proyek dengan menyisir semua anggaran APBN dan menugaskan anggota-anggotanya menekan di gedung parlemen. Begitu Menterinya goyah, operator-operator kain segera menggeruduk . Rakyat mengeluh, "katanya ekonomi membaik, tetapi proyek-proyek pemerintah koq sulit di dapat?"

    Operator lain bermain di sector – sector yang se akan-akan tidak ada uangnya. Apakah itu Pertahanan Keamanan, atau Penegakan hukum, semua bisa di atur, dari pemilihan pejabat public sampai mengegolkan kerabat.

Semua boleh

    Parlemen kita tidak melarang politisi melakukan keadaan yang memicu konflik kepentingan. Mereka boleh punya usaha apa saja, tidak ada aturan usaha usaha mana yang boleh atau tidak boleh. Apa yang di ucapkan di gedung Parlemen, bahkan di depan camera Televisi, dengan bisnis yang ditekuni pun sama saja. Semua adalah soal kepentingan. Dari situlah sumbangan-sumbangan operasional Partai berawal, langsung maupun tidak langsung.

    Jadi, tidak ada seleksi manusia berdasarkan criteria integritas. Tidak ada larangan menerima amplop atau mencari usaha yang bertentangan dengan kepentingan public. Tidak ada sanksi tegas. Tidak ada gaji khusus untuk pengurus. Tidak ada tata nilai yang dikawal tegas. Lalu hanya dengan pelatihan, partai ingin membangun integritas?

Partai berintegritas

    Partai berintegritas harus dimulai dari para pendiri atau pimpinannya yang berkomitmen bukan untuk memperkaya diri atau melindungi kepentingan usahanya. Partai itu harus tegas menentukan dari mana mendapatkan biaya operasional dan menyajikannya secara terbuka.

    Benar, partaipolitik adalah "massa" yang sebesar besarnya. Namun, UU no 2 tahun 1999 tentang Parpol menyebutkan, anggota Parpol adalah warga Negara Republik Indonesia yang "memenuhi ketentuan yang ditetapkan partai politik" (ayat 1c). Jadi, kehormatan seperti apa yang diharapkan para politisi dari masyarakat kalau semua hanya money talk?.

    Belajar dari kelompok wartawan bodrek, saya hanya bisa mengatakan, tidaK ada respek, integritas, martabat, bahkan kebenaran dalam politik dengan manajemen bodrek. Maka, pilihannya Cuma ini; berubah, atau mati ( Rhenald Kasali, guru besar UI, Kompas 23 mei 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar