Senin, 01 Juli 2013

Re evaluasi Kontrak Karya


 

Sejak tahun 1967, pemerintah Orde Baru melihat investasi asing sebagai jalan keluar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini tampak dalam Undang Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 tahun 1967 yang memberikan jalan bagi masuknya investasi asing di pertambangan. (pasal 8 UU no 11 /1967). Tak lama berselang muncul UU no 11/1967 tentang pertambangan , yang makin memuluskan investasi asing.

    Implikasinya adalah dimulainya system kontrak dalam eksploitasi dalam mineral. Sistem kontrak mengakibatkan Indonesia dan perusahaan berkedudukan sejajar. Negara pun kehilangan kekuasaan administrative mengatur perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia.

Tidak cermat

    Pada generasi awal, ketidak cermatan membuat kontrak menyebabkan pemerintah memberikan begitu saja wilayah yang mencakup tiga propinsi di Sulawesi kepada PT Inco. Begitu pula untuk PT Freeport Indonesia (FI) di Papua Barat. Selain mendapatkan wilayah yang luas, salah satu klausul kontrak juga menyebutkan bahwa FI berhak memindahkan penduduk di areal kontrak karya (KK) mereka. Suatu kontrak yang jelas melanggar hak azasi penduduk Papua Barat.

    Kalaupun kemudian ada perbaikan KK, itu itu hanya pembatasan wilayah KK seluas 62.500 hektar dalam KK generasi 6 dan perbaikan pendapatan Indonesia dari royalty sebesar 4 persen sejak KK generasi ke empat.

    Sampai kini, model KK tak pernah diuji keandalannya dari sudut pandang ekonomi, apalagi dari aspek social budaya, hak adat dan lainnya. Padahal tanah penduduk di sekitar pertambangan banyak diambil perusahaan dan sumber-sumber kehidupan mereka dihancurkan. Hal ini akibat tidak adanya perlindungan dari pemerintah. Sistem KK yang berlaku saat ini, sangat merugikan Negara dan memberikan hak mutlak kepada kepada perusahaan tambang asing untuk mengeruk kekayaan alam kita.

    Di tengah kondisi kritis hutan Indonesia, - - dengan deforestasi lebih dari 3,5 juta hektar per tahun - - pemerintah pada zaman Presiden Megawati bahkan mengeluarkan Perpu yang bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Perpu tersebut seolah olah memberikan justifikasi terhadap beroperasinya 150 perusahaan pertambangan di kawasan hutan lindung.

    Hasil analisis dari sejumlah dokumen investasi pertambangan dan perjanjian internasional, terdapat tiga instrument legal yang memberikan hak terbatas kepada operator pertambangan asing untuk mengajukan arbitrase kepada pemerintah Indonesia. Yakni, klausa dalam KK mereka, UU Penanaman modal, dan pasal pasal arbitrase yang terkandung dalam Bilateral Indonesia Treaties (BITs) dan/atau Multilateral Invesment Treaties (MITs) yang dibuat pemerintah Indonesia dengan Negara "asal" masing masing operator pertambangan asing.

    Meski demikian, operator pertambangan asing tidak dapat menuntut berdasarkan ketiga argument di atas karena operator asing tidak dapat menuntut arbitrase berdasarkan klausa arbitrase di KK atas adanya aturan hukum diluar kontrak karya yang bersangkutan. Arbitrase hanya dapat dilakukan jika terdapat pelanggaran terhadap pasal pasal dalam KK yang bersangkutan.

    Selain itu, setiap KK yang ditandatangani sejak 1974 memuat pernyataan yang persis atau serupa dengan pernyataan dibawah ini yang ditujukan kepada operator pertambangan: "operasi operasi (yang dilakukan oleh operator pertambangan) harus sesuai dengan hukum dan peraturan per undangan mengenai perlindungan lingkungan hidup" Pasal ini diterima oleh operator pertambangan asing di mana mereka diwajibkan secara terus menerus agar operasinya memenuhi semua hukum dan peraturan perundangan mengenai lingkungan hidup.


 

Jaminan Kompensasi

    Semua BIT dan MIT di mana Indonesia menjadi pihaknya menjamin agar pemerintah Indinesia memberikan kompensasi kepada investor asing jika pemerintah Indonesia mengambil tindakan "setara dengan" , "berbobot sama dengan" atau "memberikan dampak yang sama dengan" penghilangan hak.

    Operator tambang asing tidak akan berhasil mengklaim berdasarkan MIT atau BIT yang menjamin adanya kompensasi bagi penghilangan hak secara tidak langsung karena pelarangan penambangan terbuka di hutan lindung tidak dapat dianggap sebagai penghilangan secara tidak langsung hak investasi mereka.

    Dalam banyak kasus, hak hak operator tambang asing untuk beroperasi akan selalu kena aturan lingkungan dan social yang diberlakukan pemerintah Indonesia demi kepentingan public termasuk larangan penambangan terbuka di hutan lindung. Operator tambang asing tak dapat mengklaim mereka terkena efek negative ketika pemerintah memberlakukan pelarangan pertambangan terbuka di hutan lindung.

    Sebagaimana di bahas di atas, setiap KK yang ditandatangani sejak pertengahan 1970-an memuat pasal pasal yang mengharuskan operator tambang asing mengoperasikan tambangnya sesuai hukum dan peraturan lingkungan yang berlaku. Ini berarti KK mewajibkan operator tambang asing menambang dengan cara cara yang sesuai dengan hukum dan peraturan di Indonesia.

    Karena itu ketika DPR memberlakukan pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan, DPR tidak menghilangkan hak hak yang telah diberikan kepada operator tambang asing berdasarkan KK.


 

Wewenang Pemerintah

Dalam pasal 38 ayat(4) UU Kehutanan, operator tambang asing juga tak dapat mengajukan arbitrase dengan klaim bahwa pemerintah Indonesia melanggar BIT dan/atau MIT yang menjamin adanya perlakuan sama dan setara karena pelarangan tersebut dalam lingkup dan wewenang pemerintah Indonesia. Dikeluarkannya Perpu no I/2004 yang akan ditindak lanjuti dengan Keppres yang akan memberikan izin kepada 13 perusahaan untuk menambang (secara terbuka) di hutan lindung justru akan membuka peluang bagi tuntutan arbitrase terhadap pemerintah karena pemerintah tidak memberikan perlakuan yang sama kepada perusahaan tambang lain (total 158 perusahaan menuntut penambangan terbuka di hutan lindung). Akan timbul pertanyaan mengapa hanya 13 saja yang diizinkan.

    Dikeluarkannya Perpu no I/2004 adalah akibat ancaman operator pertambangan asing yang didukung penuh pemerintah mereka. Sungguh sangat tidak patut; Suatu bangsa berdaulat mau begiru saja tunduk pada ancaman entitas asing yang mau ikut campur urusan domestic suatu Negara, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak.

    Pemerintah Indonesia seharusnya tak membiarkan ketidak patutan operator tambang asing mempengaruhi kebijakan domestik pemerintah Indonesia melalui ancaman arbitrase, apakagi mereka tak berhak mengajukan. Mereka tidak memiliki hak khusus yang membolehkan mereka begitu saja mengancam untuk membangkrutkan pemerintah Indonesia jika kepentingan mereka tidak diutamakan.

    Fakta bahwa operator tambang asing tidak juga mengajukan gugatan walaupun sudah hampir lima tahun larangan penambangan terbuka dihutan lindung diberlakukan menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sangat paham bahwa mereka tidak berpeluang berhasil di arbitrase.


 

Indonesia rugi

Kontrak karya Indonesia dengan Freeport hanya memberikan keuntungan 2 persen. Dampak terhadap berlangsungnya kegiatan eksplorasi Freeport di Papua, antara lain telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan marjinalisasi hak hak rakyat Papua, termasuk kesewenang- wenangan angkatan bersenjata yang disewa perusahaan raksasa itu terhadap rakyat.

    Menurut pengamat pertambangan Kurtubi, kontrak karya menjadi batu sandungan utama mengingat model tersebut menjadikan Negara dalam posisi lebih lemah dibandingkan dengan korporat. Model ini di dunia perminyakan juga sudah tidak dipakai lagi sejak 1960-an. Model kontrak karya berkonsekwensi kekayaan alam hilang dan royalty yang diperoleh Negara hanya 2 persen, Karena itu Kurtubi mengusulkan kontrak karya dicabut.

    Beberapa kalangan berpendapat, ketidak beranian pemerintah menyetop model kontrak karya akan membuat Indonesia semakin miskin. Belum lagi dampak social ekonomi termasuk muncul nya berbagai penyakit dimasyarakat dilingkungan pertambangan. Kekayaan alam yang di eksplorasi pun seringkali tidak di ketahui persisnya karena control yang lemah. Pemerintah sering percaya dengan apa yang dilaporkan oleh perusahaan.

    Dalam kaitan tersebut, sementara kalangan berpendapat bahwa diperlukan keberanian para pemimpin Negara untuk menghentikan model kontrak karya. Kontrak karya bukanlah sesuatu yang suci tak dapat diubah lagi sehingga dalam kaitan ini Presiden sebagai kepala Negara dan pemerintahan bisa meng evaluasi kembali semua kontrak karya di Indonesia. Semoga. (Marulak Pardede, ahli peneliti utama bidang Hukum pada BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI, kompas 30 mei 2013).


 


 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar