Selasa, 01 November 2011

Dua Tulisan; Krisis dan ‘Jalan Buntu’ Kapitalisme, dan China Tinggal Selangkah Lagi.



Kalam;  
     Labirin kesulitan ekonomi akibat tumpukan utang sedang melanda daratan Eropa dan AS. Diperlukan bantuan 'kegotong royongan' antar sesama Negara Eropa penganut mata uang euro untuk menyelamatkan perekonomian dari ancaman kebangkrutan. 
    Kapitalisme global yang muncul pada abad ke-18 oleh Adam Smith, ternyata tidak memberikan berkah kepada umat manusia, karena di dalam prakteknya 'manusia bukan untuk kemanusiaan' tapi secara individual, cinta kepada diri sendiri. Apa yang dikatakan Wilson, bahwa neo liberalism dan kapitalisme menciptakan kemiskinan dan penindasan baru, telah menjadi kenyataan. Puluhan ribu demonstran anti Wall street dan telah mewabah ke kota-kota di eropa dan AS, sebanyak 700 pendemo telah ditangkap. Mereka menentang keserakahan korporasi, yang menyebabkan hanya 1 % warga AS yang hidup super mewah sementara 99 % hidup jauh dibawah kemewahan (kompas 3/10).
    Lebih ironis lagi gerakan korporasi itu mendapatkan pembebasan pajak, tetapi para eksekutifnya hidup kaya raya ditengah kelesuan ekonomi yang melanda warga AS. Benarkah Bank sentral AS turut menjerumuskan perekonomian AS ke dalam kriris financial? Apakah dengan bangkrutnya 100 lebih Bank-Bank di AS menandai jatuhnya hegemoni system kapitalisme pasar bebas di dunia?
    Krisis jalan buntu Kapitalisme di tulis oleh Syamsul Hadi (kompas 19/10) dan China Tinggal Selangkah merupakan teropong buku "When China Rules the World" yang ditulis Martin Jacques, dan di resensi Pieter P.Gero, (kompas 24/10). Kedua tulisan tersebut saya masukkan ke dalam Muin-angkat.blogspot.com
    Krisis fiskal yang melanda Eropa berkombinasi dengan ancaman resesi kedua ekonomi AS telah menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kesinambungan sistem kapitalisme global dewasa ini. Persoalan krusialnya episentrum krisis ekonomi yang beruntun hadir sejak 2007, justru berada di AS dan Eropa, 'jantung' kapitalisme global itu sendiri. Ketika krisis terjdi di wilayah pinggiran (periphery), seperti Thailand, Indonesia, dan Meksiko, Negara-negara ini disalahkan lalu 'didisiplinkan' lewat tekanan lembaga-lembaga keuangan global. Mereka diwajibkan mengikuti resep pahit Washington consensus, seperti pengetatan anggaran, privatisasi, dan penghapusan subsidi sosial.

Propasar
    Resep-resep kebijakan propasar itu mendapat topangan inteltual dari narasi-narasi yang dikembangkan penganjur globalisasi, seperti Kenichi Ohmae dalam the end of nation state (1992). Ia mengibaratkan Negara (nation state) 'dinosaurus yang menbunggu mati'. Tidak hanya kegagalan mengontrol dan melindungi nilai mata uang, tetapi juga karena tak lagi melakukan aktivitas ekonomi riil.
    Tesis provakatif Ohmae, diteruskan Thomas L. Friedman dengan The Lexus and The olive Tree (1999) dan The World is Flat (2006), yang mengabarkan hadirnya dunia abad ke-21 yang telah 'didatarkan' untuk menjadi arena mata rantai produksi global,dimana setiap orang, perusahaan, dan pemerintah harus memikirkan peluang yang menguntungkan untuk perbaiki nasib.
    Seiring hadirnya krisis global, sinyalemen dua peraih Nobel, Joseph E. Stiglitz, (Free Fall 2010) dan Paul L. Krugman (the return of economic depression, 2010) telah menggugurkan tesis Ohmae dan Friedman. Bagi Stiglitz, keruntuhan Lehman Brothers pada September 2008 menandai berakhirnya kapitalisme pasar bebas. Bagi Krugman Negara yang selama ini dianggap pangkal masalah justru menjadi solusi krisis global. Sebaliknya pasar yang selama ini dianggap menjadi solusi justru bergeser menjadi sumber masalah.
    Sayang, warna kapitalisme seperti apa pada masa depan belum terlukis jelas. Stiglitz menunjukkan kekaguman pada China dan Negara-negara Asia Timur, yang bersendikan kekuatan Negara, sukses menjalankan kebijakan industry berorientasi ekspor dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, keunggulan kapitalisme China dan Asia Timur, justru terhadang menurunnya kemampuan AS dan Eropa menyerap produk ekspor mereka.
    Stimulus ekonomi yang dianjurkan Krugman untuk menggerakkan kemvbali ekonomi kemudian terlihat hanya menjadi obat sementara yang menimbulkan beban baru 'mega stimulus' yang dikeluarkan pemerintah AS telah membengkakkan utang AS jadi 14,3 Triliun dollar AS, setara dengan produk domestic bruto AS. Kebijakan pengetatan anggaran lewat penurunan belanja pemerintah dan peningkatan penerimaan pajak diprediksi memperburuk kondisi ekonomi rakyat dengan meluasnya kemiskinan dan pengangguran, yang akhirnya mendorong instabilitas sosial.
    Jumlah penganggur di AS mendekati 10 persen (14 juta orang), Jerman 9,1 persen, Spanyol 45,7 persen, dan Yunani 38,5 persen.
    Dari ekonomi makro, Uni Eropa sedang dihadapkan pada dilemma yang lebih mirip jalan buntu. Proporsi utang Yunani terhadap produk domestic bruto mencapai 140 persen. Dari 400 milyar dollar AS utang Yunani sekitar 100 milyar dollar AS dibeli Jerman dan Perancis, dua Negara yang sebenarnya menjadi penopang utama ekonomi zona euro. Masalah menjadi rumit karena AS juga banyak memegang obligasi Spanyol, Irlandia dan Italia.
Apalagi, untuk menjaga stabilitas mata uang, China dan negara Asia Timur lain juga menjadi pemegang sejumlah besar obligasi AS dan Eropa. Artinya, imbas krisis Eropa dan AS pada akhirnya juga berdampak ke Negara seperti China dan India, yang kini mulai kesulitan karena melambungnya inflasi domestic dan terbatasnya kemampuan pasar eksternal menyerap produk ekspornya.

Masih ke makro
    Dalam konteks Indonesia, kita saksikan para pengamat dan pejabat terus mengingatkan pentingnya mempersiapkan diri terhadap imbas krisis global 'jilid dua' terhadap ekonomi nasional. Sayangnya, tak seperti di Eropa dan AS, diskusi yang dihadirkan berhenti pada kesiapan di bidang ekonomi makro, kelembagaan dan moneter. Tak menyentuh narasi dasar (basic narrative) yang bersifat alternative. Padahal, meminjam Dani Rodrik (globalization paradox, 2011) sangat perlu meletakkan fondasi ekonomi yang lebih berkelanjutan.
    Padahal, para penyusun konstitusi republic ini sesungguhnya telah belajar serius dari dampak depresi 1930-an sehingga tercermin jelas kesadaran membatasi dampak kesemena-menaan mekanisme persaingan bebas dalam kapitalisme. Bacalah ulang pasal-pasak terkait ekonomi UUD 1945 yang 'asli' (sebelum amandemen) dan anda akan menemukan pemikiran mendalam tentang tanggung jawab sosial Negara dalam hal pekerjaan dan penghidupan rakyat, nasionalisme ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kewajiban Negara melindungi kelompok lemah, dan seterusnya.
    Inikah saatnya bangsa ini kembali kepada jati dirinya, dengan lebih berupaya menunjukkan hormat kepada pendiri bangsa yang telah menorehkan prinsip-prinsip penyelenggaraan ekonomi yang humanistic, berkeadilan dan visioner, tetapi semakin jauh dari realitas ekonomi keseharian di negeri ini?


China Tinggal Selangkah Lagi.
    Perkembangan di pasar saham dunia beberapa pekan terakhir ini memperkuat perkiraan banyak pengamat ekonomi dunia bahwa China tinggal selangkah lagi menjadi kekuatan ekonomi dunia. China praktis juga akan menjadi penguasa dunia, peran yang diemban sebelumnya oleh Eropa, Jepang dan Amerika serikat.
    Eropa kini praktis hanya puing-puing ekonomi setelah Yunani,Spanyol, irlandia, dan Italia nyaris bangkrut. Majalah Time edisi 22 agustus 2011 bahkan member judul utama "The Decline and fall of Europe" dengan judul kecil 'and maybe the west'. Kondisi ekonomi yang jatuh dalam membuat tidak saja Eropa berakhir, tetapi juga dunia barat (orde tua).
    Kondisi yang praktis setali tiga uang dialami AS. Krisis utang ASmembuat Negara yang menyandang predikat kekuatan ekonomi nomor satu dunia ini harus diturunkan peringkat utangnya. Rasio utang dan Produk Domestik Bruto (PDB) AS kini 100 persen. Utang dan PDB mencapai 14,7 triliun dollar AS. AS tidak bisa menolong dirinya sendiri, apalagi menolong Eropa, mitra kentalnya.
    Babak belur yang dialami Eropa dan AS memunculkan China sebagai kekuatan ekonomi dunia. Dengan PDB sekitar 5,8 triliun dollar AS, China sudah melampaui Jepang yang memiliki PDB sekitar 5,6 Triliun dollar AS sebagai kekuatan ekonomi nomor dua dunia. Meski masih jauh dari total PDB AS, China dengan posisi sebagai motor kekuatan ekonomi di Asia Timur bakal melejit cepat mendekati AS, bahkan suatu waktu bisa melampauinya.
    Kondisi factual China sebagai kekuatan ekonomi dunia mendatang kian jelas duduk perkaranya setelah membaca dan menyimak isi buku When China Rules The World karya Martin Jackques. Di dalamnya bahkan ikut disebutkan, peran Indonesia mendatang cukup menonjol di Indonesia Timur dan dunia (halaman 3 dan 11).
    Melalui buku ini, Jacques mempertegas pandangannya soal China dengan mengutip proyeksi Goldman Sachs bahwa China akan menjadi kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2050. Perekonomian AS akan menempel ketat,disusul India yang berada agak jauh dibelakangnya. Brasil, meksiko,Rusia dan Indonesia menempati urutan berikutnya setelah India. Hanya dua Negara Eropa yakni Inggris dan Jerman, yang ikut masuk dalam sepuluh besar kekuatan ekonomi dunia.
    Seiring dengan China yang memimpin kebangkitan dunia timur, Jacques juga menegaskan analisis pricewaterhouseCoopers yang membenarkan peran nomor satu China serta Negara-negara seperti Rusia, Meksiko,dan Indonesia yang masing-masing bisa lebih besar dari perekonomian Jerman, Perancis dan Inggris pada tahun 2050.

Belajar dari Barat
    Menarik disimak bahwa buku ini juga mengungkapkan bagaimana belajar dari pengalaman drastic yang dialami barat (baca; AS dan eropa) bagaimana Eropa yang muncul dengan modernisasi menyusul revolusi industry antara tahun 1780 dan 1840. Begitu juga AS yang tumbuh pesat menyusul imigrasi warga Eropa yang kemudian mengembangkan industry-industri hebat disana.
    Eropa praktis mengandalkan wilayah jajahannya yang memasok bahan baku yang praktis gratis. AS juga mengembangkan industry dengan mengandalkan tenaga kerja murah (budak). Jacques lantas mengingatkan manajemen anggaran yang keliru. Di samping itu Eropa dan AS juga tidak membawa serta pertumbuhan ekonomi di Negara-negara sekitarnya yang bisa menjadi pendukung ekonominya, sedikitnya akan menjadi pasar produk yang dihasilkan industrinya.
    Belakangan ini, manajemen anggaran "besar pasak dari tiang" membuat Eropa bangkrut, disusul AS membiayai perang dimana-mana, terutama pada masa pemerintahan Presiden Goerge Bush Senior dan junior, membuat semua dana AS terkuras dan harus membiayai diri dengan utang, yang sebagian besar berasal dari China dan Jepang dengan membeli surat berharga AS (halaman 428).
    Eropa dan AS memang mengembangkan teknologi dan infrastruktur yang memadai. Hal serupa dilakukan China. Bahkan China jauh lebih pesat dalam melakukan kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan. China pun telah berada di posisi kedua setelah AS dalam soal penelitian dan pengembangan ini. China memiliki 6,5 juta mahasiswa tingkat sarjana dan 0,5 mahasiswa pasca sarjana yang menekuni sains,tehnik serta keokteran (halaman 429).
    Tidak mengherankan China juga akan unggul dalam bidang sains dibandingkan dengan Eropa, AS dan Jepang yang kini praktis mandek karena kehabisan dana. China sudah mengejutkan dunia dengan melakukan dua misi penerbangan luar angkasa berawak pada 2003 dan 2005. Bahkan, China sukses menghancurkan salah satu satelitnya dengan rudal balistiknya pada 2007. Supremasi diangkasa luar China sudah menyemai atau mengungguli AS (halaman 429).

Kekuatan ala China
    Martin Jacques mengungkapkan, China yang menguasai dunia nanti akan berbeda dengan penguasaan oleh Barat selama ini yang berupaya mengenyahkan semua saingannya. China tetap berupaya mengharapkan pertumbuhan pada Negara-negara sekitarnya. Semua karena perekonomian yang bertumpu pada perniagaan; ada hubungan dagang dan ada saling pengertian yang saling menguntungkan.
    Hanya saja, China tidak mutlak mendikte sebagaimana Barat yang menuntut dunia menyesuaikan diri dengan prosedur dan prioritasnya. China memang dominan secara ekonomi dan teknologi, tetapi kawasan sekitar dibiarkan tumbuh, yang nantinya memberikan "upeti" berupa pasar, pasokan bahan baku, dan energy bagi industrinya.
    Kedepan, China tentunya akan memainkan peran lebih fundamental ketimbang kekuatan global baru lain mana pun dalam dua abad terakhir. Modernisasi China akan berbeda dengan modernisasi Barat. China akan memainkan peran dengan menekuni permainan yang panjang dengan terus meyakinkan Negara-negara lain di dunia bahwa China tidak akan mengubah banyak kondisi yang ada sekarang.
    Sebagaimana Eropa, AS dan Jepang menguasai dunia setelah mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, China juga memperlihatkan betapa pertumbuhan ekonomi memainkan peran sentral untuk juga untuk juga bisa mendominasi teknologi serta sains untuk selanjutnya menjadi kekuatan dunia. Namun, semoga saja ini tidak diikuti dengan upaya menimbun senjata dan kekuatan militer yang kemudian menakutkan pihak lain.
Suatu hal yang perlu dicatat, kebijakan China yang meningkatkan kemampuan militer dan sikap tanpa kompromi dikawasan sengketa kepulauan spratly di laut China selatan membuat Negara-negara sekitar tetap menaruh curiga pada China. Anggaran militer China kini 119 milyar dollar AS, nomor dua setelah AS, yang anggaran militernya mencapai hamper enam kali lebih besar, yakni 698 milyar dollar AS (Time 22 agustus 2011). Namun, AS yang lagi bangkrut jelas akan membuat China dapat segera menyalip.
    Buku ini ditulis saat krisis melanda AS dan Eropa pada 2008. Krisis utang yang kini melanda Eropa dan AS semakin meyakinkan bahwa China segera jadi kekuatan ekonomi dunia. Semua ini karena masa transisi ekonomi dan teknologi yang relative singkat disbanding dengan dengan Eropadan AS.
    Menarik menyimak buku karya Martin Jacques ini untuk membuktikan (membenarkan) apa yang segera
terjadi.(ama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar