Kalam;
Mengapa sampai Menkopolhukham Djoko Suyanto, atas nama pemerintah menanggapi pernyataan 17 tokoh agama, bahwa kebohongan public yang di alamatkan kepada pemerintahan SBY, tidak beralasan. Semua dokumen dan data tentang penyelenggaraan kenegaraan yang menyangkut kebijakan disertai data yang akurat oleh masing-masing Kementerian, dilakukan secara professional. Bahwa terjadi analisis lain dari data yang berbeda, tentu ini bisa di koreksi secara terbuka.
Sabam Sirait tokoh PDIP di dalam wawancara oleh Metro TV sabtu (15/1) tentang 18 kebohongan pemerintah SBY, yang disampaikan oleh pimpinan lintas agama adalah valid. Integritas keilmuan para tokoh tidak diragukan. Sabam menilai bahwa para Menteri di dalam cabinet justru tidak membantu Presiden,mereka banyak menambah keterangan yang justru memicu masalah baru. Bagaimana kelanjutan Lapindo? Krakatau Steel?
Yang menarik dari wawancara ini ketika Sabam memberi contoh adanya satu gebrakan Pemimpin Cina, Deng shioping yang secara tegas dan dingin memperbolehkan anaknya sendiri harus ditembak mati. Mungkin contoh pemimpin yang berani memberantas korupsi sampai keakarnya, dengan menghunus pedang perang, oleh seorang Presiden adalah satu tindakan yang sangat ditunggu masyarakat.Sungguh suatu tindakan yang kesatria dan dramatis.
Dari ketatnya kompetisi global, untuk memajukan negaranya ternyata pemimpin Cina unggul dalam segala hal, bayangkan dari tahun 1981 penduduk miskin di Cina sebanyak 64 %, tahun 2004 berkurang menjadi 10 %, dan pada tahun 2010 menurun lagi sampai 7%. Ini dengan perhitungan index layak hidup yang ditetapkan PBB sebesar 2 dollar/hari. Bandingkan dengan penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data Statistik nasional, pendapatan percapita @12 rb /bln atau rp 7000 perhari . Kalau disamakan dengan index layak hidup sebesar 2 dollar perhari, maka sebesar 100 jt penduduk miskin di Indonesia masih menjadi ancaman terjadinya frustasi sosial. Bukankah ini merupakan kegagalan satu Rezim pemerintahan yang tidak pro rakyat?
Gus solah ketika ditanyakan tentang latar belakang munculnya kritik para tokoh agama menjelaskan, bahwa banyak janji pemerintah yang belum ditunaikan, seperti janji memberikan telepon seluler kepada TKI, kasus TKI yang terlantar di bawah kolong jembatan di Arab Saudi, melanggar Pembukaan UUD '45 bahwa Negara melindungi segenap rakyat Indonesia. Kasus Mafia hukum Gayus Tambunan yang keluar masuk tahanan sebanyak 68 kali, serta joki tahanan yang ditukar, dengan imbalan tertentu. Ini, justru melanggar Amandemen pasal 1 ayat 3, bahwa Negara kita adalah Negara Hukum. Kasus musibah banjir di Wasior Papua yang ditengarai akibat penebangan hutan justru dibantah oleh pemerintah. Banyak hal yang menjadikan kegelisahan dari teman2 LSM, menjadikan kritik membangun tersebut disampaikan secara terbuka oleh para tokoh agama.
Staf ahli Presiden bidang politik, Daniel Sparringa mengatakan tuduhan berbohong yang ditujukan kepada SBY merupakan hal serius karena menyangkut kredibilitas. "pecah kongsi antara fakta dengan realitas, inkonsistensi, apapun itu lebih nyaman daripada berbohong - - gagal sekalipun lebih baik" ( MI 16/1). Mungkin Daniel benar, karena skandal Watergate telah mengajarkan kepada kita, Presiden Nixon mundur karena dalam karikatur majalah Time dilukiskan sebagai Pinokio, sang pembohong.
Para pemimpin dan atau Petinggi Negara di negeri ini, dituntut untuk menjadi panutan ditengah oase keteladanan dan degradasi moral pasca reformasi. Apabila dalam realitasnya mereka lebih takut berbicara jujur daripada bohong, maka suka atau tidak suka, maka sendi-sendi ketatanegaraan akan hancur, karena martabat dan rasa kemanusiaan sudah tergadaikan. Mengutip Hamdi Moeloek, seorang pakar Psikologi politik (UI) ;"Tidak ada kebohongan yang bertahan lama. Semuanya ada batas toleransinya".
Akankah pertemuan dan dialog, antara Presiden SBY dengan para tokoh lintas keagamaan bisa menghasilkan win-win solution?Apakah inkonsistensi antara apa yang pernah di katakan dan apa yang dilakukan pemerintah masih terdapat kesenjangan dengan realitas kehidupan rakyat di grass root?
Tajuk Rencana Kompas (12/1) sesuai dengan judul diatas, saya copy paste dan memasukkannya ke Blog saya agar menjadi bahan analisis sejauh mana implikasinya terhadap kebebasan berpendapat di negeri ini. Dan mampukah pemerintah melakukan pendekatan persuasive kesemua lapisan masyarakat sehingga terbangunnya kohesifitas nasional agar kesejahteraan rakyat dapat terwujud? Semoga. (a.m.a)
Keresahan sejumlah tokoh agama mengawali tahun 2011 bukan tanpa alasan.Mereka menyuarakan keresahan ummat. Pamrihnya kepentingan public. Oleh karena itu, pertemuan para tokoh agama yang digagas Maarif Institute, Senin (10/1), itu bermakna profetis. Di antaranya jauh dari muatan politik praktis, kecuali sesuai dengan fungsi kenabian agama-agama menyarakan apa yang dirasakan ummat. Dan, justru dalam konteks fungsi itu, seruan mereka syah secara etis dan moral, sepantasnya mendapatkan perhatian .
Seruan profetisnya jelas. Pemerintah mengadakan kebohongan-kebohongan public, menyitir istilah Ahmad Safyii Maarif. Kekuasaan atas nama rakyat dikelola tidak terutama untuk kebaikan bersama. Seruan itu terdengan sarkastis, yang menggambarkan gentingnya keadaan. Kebohongan tidak saja dilakukan eksekutif, tetapi juga yudikatif dan legeslatif – tiga lembaga Negara demokratis.
Peristiwa actual-heboh pelantikan terdakwa kasus korupsi walikota Tomohon Jefferson Rumajar dan penanganan terdakwa kasus mafia pajak Gayus Tambunan sekadar dua contoh. Legalitas pelantikan berbenturan dengan rasa keadilan public. Kasus plesir Gayus ke Bali, Makau,dan entah kemana lagi mungkin hanya aberration (penyimpangan) kasus raksasa masalah mafia pajak.
Dua contoh di atas merupakan puncak gunung es sikap dasar (optio fundamentalis) tidak jujur, tertutup praksis politis yang menafikan kebaikan bersama sebagai acuan berpolitik. Media massa sudah nyinyir menyampaikan praksis kebohongan yang seolah-olah majal berhadapan dengan kerasnya batu karang nafsu berkuasa.
Begitu liat- rakusnya kekuasaan sampai kebenaran yang menyangkut data pun dinafikan . kebohongan demi kebohongan dilakukan tanpa sadar sebagai bagian dari praksis kekuasaan tidak pro-rakyat. Jati diri sosiologis praktis para tokoh agama adalah menyuarakan seruan profetis, representasi keresahan dan keprihatinan umat. Kita tangkap dalam ranah itulah kritik atas kebohongan public para tokoh agama. Hendaknya disikapi sebagai seruan profetis, seruan mengingatkan rakusnya kekuasaan, dan ajakan elite politik kembali kepada jati diri sebagai pelayan masyarakat.
Kritik atas kebohongan niscaya disampaikan semata-mata karena rasa memiliki atas masa depan negeri bangsa ini. Seruan mereka tidak dengan maksud mengajak ber revolusi, tetapi menyuarakan nurani etis moralistis. Mereka pun tidak bermaksud membakar semangat revolusioner, tetapi penyadaran bersama tentang gawatnya keadaan. Suara kenabian mengajak laku otokritik, bersama-sama melakukan evaluasi dan refleksi. Bahwa kekuasaan atas mandate rakyat perlu dikelola untuk bersama-sama maju.
Pluralitas Indonesia sebagai realitas yang sudah niscaya perlu terus dikembangkan, dimanfaatkan sebagai sarana memajukan rakyat. Sekaligus menghentikan 'pat gulipat' apologetis atas nama rakyat. Rakyat seharusnya menjadi titik pusat dan batu penjuru atas praksis kekuasaan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar