Kalam;
Pada abad ke-20 ini barangkali
tidak ada seorang filsuf pun yang bisa menandingi popularitas Jurgen habermas. Ketenaran Herbert Marcuse, seniornya di mazhab Frankfurt, boleh dibilang 'tidak seberapa' bila dibandingkan dengan kemasyhuran Habermas. Popularitas dan gagasan Marcuse hanya terbatas di Eropa Barat dan Amerika pada era 1960-an dan 1970-an, lalu berakhir tatkala "sang nabi"menolak ikut dalam suatu proyek rencana aksi. Gagasan Marcuse mengenai "manusia satu dimensi"dan masyarakat industry modern pun kini mulai dilupakan orang.
tidak ada seorang filsuf pun yang bisa menandingi popularitas Jurgen habermas. Ketenaran Herbert Marcuse, seniornya di mazhab Frankfurt, boleh dibilang 'tidak seberapa' bila dibandingkan dengan kemasyhuran Habermas. Popularitas dan gagasan Marcuse hanya terbatas di Eropa Barat dan Amerika pada era 1960-an dan 1970-an, lalu berakhir tatkala "sang nabi"menolak ikut dalam suatu proyek rencana aksi. Gagasan Marcuse mengenai "manusia satu dimensi"dan masyarakat industry modern pun kini mulai dilupakan orang.
Habermas tak Cuma dikenal di Eropa dan Amerika. Namanya merambah secara global hingga ke Asia dan Australia. Gagasannya sangat memikat minat dikalangan luas dan diperbincangkan dalam wilayah tak terbatas, apakah itu universitas-universitas, pusat-pusat kebudayaan, lembaga-lembaga penelitian, kantor-kantor LSM, atau kedai-kedai (café) kopi tempat para seniman berkumpul. Publikasi tulisannya pun beredar dimana-mana dan dalam berbagai bahasa pula - - termasuk dalam bahasa Indonesia. Maka tak aneh jika cukup banyak muncul komentator atau 'ahli' tentang Habermas- - termasuk dari Indonesia (F.Budi hardiman dan Franz magnis Suseno).
Habermas dikenal sebagai filsuf yang rajin berdialog dan berdebat mengenai berbagai perihal dengan para filsuf dan pemikir sezamannya. Misalnya, sekadar beberapa contoh, perdebatan 'Rasionalisme Kritis' dengan (Karl R. popper dan Hans Albert), diskusi "Harmeneutik" (dengan Hans-Georg Gadamer), dan kritik terhadap "Dekonstruksi dan Post Modernisme" (dengan Jacques Derrida). Meski kini orang sedang gandrung pada gerakan Post modern, kejayaan Habermas belum berakhir. Itu sebabnya, menjelang akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, kita barangkali bias menyodorkan pertanyaan: mungkinkah ia menelorkan pemikiran-pemikiran baru, atau ia akan merevisi ulang ide-ide terdahulu yang pernah dihasilkannya?
Tulisan di atas adalah kalam enam dari Naskah asli, Buku "menggugat Ideologi abad ke XX"; Kritik Atas Pembangunan Manusia, yang pernah diterbitkan Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, (1997), ditulis oleh Alm. Ricardo I. Yatim, sahabat alumnus Fak. Filsafat UGM, yang juga wartawan Majalah Matra. Saya masukkan kedalam Blog ini untuk memperkaya visi para pemikir-pemikir kemanusiaan untuk masa depan bangsa.(a.m.a)
Magnis Suseno mengemukakan komentarnya bahwa tak dapat diragukan lagi habermas merupakan filsuf terpenting dewasa ini. Selama 20 tahun lebih pemikiran –pemikirannya dibicarakan di fakultas-fakultas filsafat Eropa. Dan sejak tahun 1970-an karya-karyanya semakin banyak diterjemahkan. Pendapat lain datang dari Thomas McCarthy, yang mengatakan bahwa tidak ada bidang kemanuasiaan atau ilmu-ilmu social yang tidak merasakan pengaruh pemikiran Habermas. "Dia adalah master, baik dalam keluasan maupun kedalaman.
Konntribusinya pada filsafat maupun psikologi, ilmu politik dan sosiologi, serta sejarah ide-ide dan teori social dibedakan bukan hanya dalam keleluasaan atas bidang itu, melainkan dengan kesatuan perspektif yang termuat di dalamnya." Demikian ditulis McCarthy, seorang komentator dan spesialis tentang Habermas. Akhirnya, komentar George Lichtheim agaknya layak dikemukakan disini. Menurut Lichtheim, tidak mudah untuk menilai karya seorang sarjana yang punya kemampuan yang membentang dari logika ilmu pengetahuan hingga sosiologi pengetahuan, melalui Hegel, Marx, dan tradisi metafisika Eropa. "Ketika banyak kawan sejawatnya disudutkan pada satu bidang, ia menjadikan dirinya sebagai penguasa segala bidang…"
Konntribusinya pada filsafat maupun psikologi, ilmu politik dan sosiologi, serta sejarah ide-ide dan teori social dibedakan bukan hanya dalam keleluasaan atas bidang itu, melainkan dengan kesatuan perspektif yang termuat di dalamnya." Demikian ditulis McCarthy, seorang komentator dan spesialis tentang Habermas. Akhirnya, komentar George Lichtheim agaknya layak dikemukakan disini. Menurut Lichtheim, tidak mudah untuk menilai karya seorang sarjana yang punya kemampuan yang membentang dari logika ilmu pengetahuan hingga sosiologi pengetahuan, melalui Hegel, Marx, dan tradisi metafisika Eropa. "Ketika banyak kawan sejawatnya disudutkan pada satu bidang, ia menjadikan dirinya sebagai penguasa segala bidang…"
Riwayat Kehidupan.
Jurgen Habermas lahir pada tanggal 18 juni 1929 di Dusserdorf, Jerman, dan dibesarkan di Gummersbach. Ia berasal dari golongan menengah atas. Ayahnya sempat menduduki jabatan kepala Jawatan perdagangan dan industry. Tatkala Perang Dunia ke II berakhir, Ia - -saat itu berusia 15 tahun - -mengalami guncangan luar biasa atas adanya penemuan yang mengerikan akibat rezim nazi. Hal ini ternyata membekas dalam dirinya, bahkan kerap menjadi sentral karya-karyanya. Habermas menulis , "Pada usia 15 atau 16 tahun, saya duduk di depan radio dan merasakan apa yang sedang diperdebatkan di pengadilan Nuremberg. Sedangkan yang lain....mulai mempersoalkan keadilan pemeriksaan pengadilan, masalah-masalah procedural dan yurisdiksi, disitulah pertama kali muncul jurang yang masih menganga....saya tidak menutup diri pada fakta ketidakmanusiawian yang disadari secara kolektif dalam kadar yang sama dengan mayoritas mereka yang lebih tua dari saya.
Pada tahun 1949 Habermas masuk Universitas Gottingen dan mendalami bidang susastra jerman, ekonomi, psikologi, sejarah dan filsafat (antara lain pada filsuf Nicolai Hartmann). Ia sempat tercatat sebagai anggota Partai Sosialis nasional, terutama gara-gara hangatnya perdebatan tentang persenjataan kembali di Jerman. Gelar Doktor filsafat diraihnya pada tahun 1954 dari Universitas Bonn, setelah ia menyelesaikan disertasi berjudul Das Absolute Und Die Geschichte. Dua tahun kemudian ia bergabung dengan mazhab Frankfurt dan mejadi asisten Theodore W. Adorno sampai tahun 1959. Pada tahun-tahun awal di Mazhab Frankfurt, Habermas menyiapkan habilitationsschrift berjudul Strukturwandel der offenlichkeit agar bias mengajar di Universitas. Ia sempat mengajar filsafat di Universitas Heidelberg (1961 – 1964) sebelum menggantikan Max Horkheimer dan Adorno sebagai guru besar sosiologi dan filsafat di Universitas Frankfurt (1964 – 1971). Pada saat yang sama. Ia juga sempat menjadi dosen di universitas J. von Goethe di Frankfurt am Main.
Seperti anggota Mazhab lainnya, habermas sangat popular dikalangan mahasiswa dan Sozialistischer Deutsche Studentbund. Karena gerakan protes mahasiswa pada tahun 1960-an itu mulai memakai kekerasan, ia mulai melancarkan kritik. Akibatnya, seperti Horkheimer dan Adorno, ia mengalami konflik dengan para mahasiswa. Ia sering didemonstrasi dan menerima banyak gangguan dari mahasiswa saat mengajar. Karena tidak kerasan diteror terus menerus, pada tahun 1971 Habermas menerima tawaran untuk bekerja sebagai peneliti di Max Planck Institut di Stanberg. Setahun kemudian ia diangkat sebagai direktur institute itu.
Disitu ia terus mengintensifkan studi tentang ilmu-ilmu social dan merekonstruksi teori kritis sebagai teori komunikasi. Pada bulan september 1980 Habermas menerima Adorno Prize di Frankfurt. Dalam pidato ilmiah berjudul Die modern ein Unvollendetes Projekt, ia melancarkan kritik awal atas merebaknya isu postmodernisme yang dicetuskan Jean-Franqois Lyotard setahun sebelumnya. Pada tahun 1982, setelah serangkaian perdebatan dengan kolega-koleganya, Habermas mengundurkan diri sebagai direktur Max Planck Institut dan kembali mengajar di Universitas Frakfurt sampai sekarang.
Beberapa karya penting Habermas perlu disebut di sini. Theorie und praxis (1963) memuat naskah-naskah teoritis tentang para teoritikus social dan politik klasik dan kontemporer. Kemudian, pada tahun 1967, ia menulis Zur Logik der Sozialwisshenschaften, yang berisikan perdebatan dalam ilmu-ilmu social kontemporer. Lalu, ia menulis Erkenntnis und interese (1968), mengenai pengetahuan dan kepentingan, yang menjadi topic utama tulisan saya pada naskah ini. Tulisan itu merupakan naskah pidato Habermas, sesaat setelah ia dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Frankfurt pada 28 juni 1965. Beberapa tulisan lainnya misalnya Toward a Rational Society (1968), Technik und Wissenschaft als 'ideologie' (1968), yang sudah di indonesiakan, Arbeit-Erkenntnis-Forschritt (1970) dan Hermeneutik und Ideologiekritik (1971). Buku-buku Habermas era 1980-an antara lain Die Moderne ein Anvollendetes project (1980), Theories des Kommunikativen Handelns (1981), yang disebut-sebut sebagai karya Magnum Opus- nya dan Nachmetaphysisches Denken (1988).
Filsafat Jurgen Habermas meliputi wilayah perbicangan yang sangat luas, kaya, dan amat berwarna. Boleh dikatakan hampir semua tema filsafat keluar dari gagasan-gagasannya. Ia menyintesiskan pikiran para filsuf terdahulu sebagai upaya untuk menyusun landasan filsafat kritisnya. Proyek ini dimaksudkan agar menghasilkan suatu tujuan praktis bagi masyarakat. Itu sebabnya gagasan Habermas cukup banyak bersentuhan dengan macam-macam aliran filsafat. Dan akhirnya, sebagaimana telah disinggung di atas, ia juga melakukan aneka ragam perdebatan dan dialog kritis dengan para pemikir dan filsuf sezamannya.
Melawan Hans Albert, Hebermas melanjutkan apa yang disebut perdebatan "Rasionalisme Kritis" versus "Teori kritis". Diskusi tentang metodologi dan epistemology (positivisme) mula-mula dilancarkan Popper dan Adorno pada bulan oktober 1961 di Tubingen , Jerman. Pertemuan itu diselenggarakan Deutsche Gesellschaft fur Soziologie, yang diketuai Ralf Dahrendof, dengan menampilkan penceramah popper dan penanggap Adorno. Positivismusstreit ini mempersoalkan metode dalam ilinu-ilmu social. Di satu pihak, Popper dan Albert menuduh Teori kritis sebagai teori yang totaliter dan penuh mitos; sedangkan dipihak lain, Adorno dan Habermas menganggap Rasionalisme Kritis sangat positivistis.
Perdebatan dengan Gadamer
Disitu diperlihatkan bagaimana pentingnya hermeneutic dipakai sebagai landasan bagi teori-teori ilmu social. Habermas mengkritik anggapan Gadamer atas otoritas mengenai sifat hermeneutic yang universal. Sedangkan gadamer sendiri menolak pengandaian Habermas antara tradisi cultural dan factor-faktor real yang menentukan kehidupan. Kemudian, diskusi yang masih hangat adalah perdebatan Habermas dalam rangka postmodernisme - - - baik dengan Lyotard dan Richard Rorty maupun dengan Michel Foucault dan Derrida. Postmodernisme, yang mendapat inspirasi dari Freidrich Nietzsche, Martin Heidegger, dan dialektika pencerahan mazhab Frankfurt, cukup lantang menentang rasionalitas modern dan emansipasi. Hal ini berarti sekaligus melancarkan serangan terhadap revisi terhadap masyarakat industry modern Habermas yang menyarankan masyarakat komunikatif. Menanggapi postmodernisme, Habermas dalam essay berjudul; Modernity; an incomplete Project (1980) mengemukakan bahwa teori post modern merupakan satu bentuk serangan atas modernitas. Ia juga menyatakan bahwa ideology yang menjadi kekhasan berbagai kelompok irasionalitas dan estetis bertentangan dengan teori-teori zaman pencerahan. "Postmodernisme secara pasti menghadirkan diri sebagai antimodernitas," tulis Habermas.
Masalah utama yang dihadapi Habermas ialah Teori kritis sebagai teori yang bermaksud praktis, yakni memberikan suatu landasan rasional agar tidak menjadi ideologis. Karena itu, perlu dilihat hubungan antara kepentingan dan pengetahuan, antara teori dan praxis, dan - - sehubungan dengan teori dan praxis itu - - perlu ada suatu basis yang rasionalistis. Hubungan antara kepentingan dan pengetahuan harus merupakan dasar antropologis bagi kegiatan manusia. Di sini Habermas membedakan tiga macam kepentingan dalam aktivitas keseharian manusia, masing-masing menjadi landasan (ilmu) pengetahuan, yaitu kepentingan teknis, kepentingan praktis dan kepentingan emansipatoris.
Pertama, manusia bekerja untuk mempertahankan eksistensinya. Di situ, ada kepentingan untuk mencari pengatahuan supaya memungkinkan manusia mengontrol dan memanipulasi alam semesta. Kepentingan ini disebut sebagai "kepentingan teknis". Hubungan dengan kepentingan ini ialah pengetahuan empiris –analitis, ilmu-ilmu alam yang mencari hukum-hukum yang pasti (nomologis). Kedua, antara sesama manusia ada interaksi social yang terjadi dalam kontak komunikasi lewat bahasa (symbol). Kepentingan ini disebut sebagai "kepentingan praktis". Kepentingan ini menciptakan pengetahuan untuk mengatur hubungan komunikasi intersubjektif , yakni pengetahuan historis hermeneutis seperti ilmu sejarah yang bertujuan untuk menagkap makna. Dan ketiga, manusia mau menentang segala sesuatu yang dipaksakan kepadanya. Itu sebabnya Habermas mengkhususkan kepentingan ini dalam kelompok pengetahuan tindakan; membantu manusia dalam bertindak bersama. Hal ini disebut sebagai ´kepentingan emansipatoris" atau "kepentingan pembebasan diri". Kepentingan ini berhubungan dengan pengetahuan (ilmu-ilmu) reflektif, seperti filsafat , bidang psikologi (psikoanalisis), dan kritik ideology. Habermas juga memasukkan ilmu ekonomi, sosiologi, dan politik. Metode dasar ilmu-ilmu ini ialah refleksi kritis atas sejarah dan subjek kemanusiaan.
Dalam masyarakat industry modern, semua bidang kehidupan berada dibawah kepentingan teknis. Itu sebabnya, menurut Habermas, perlu ada suatu cara untuk membongkar 'ideologi' itu (Marcuse menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi ideology). Memang, Habermas mau meneruskan dasar-dasar Teori Kritis yang mandek dan jatuh pada pessimistis (Horkheimer, Andorno, dan juga Marcuse). Habermas meninggalkan pendahulu-pendahulunya yang selalu berbicara dalam tataran yang abstrak. Maka, untuk mengahadapi stagnasi tersebut, ia mencangkan suatu cara refletif atas sejarah pengalaman manusia. Lewat refleksi ini, manusia menyadari bahwa dirinya selalu terncam dan berada dalam saatu system yang penuh dengan tekanan dan paksaan. Melalui kesadaran emansipatoris inilah manusia baru bias keluar dari ketertindasan.
Menurut Habermas, dalam tradisi filsafat, hubungan anata teori dan praktek selalu berkaitan dengan hal-hal yang baik, adil, dan benar, dan dengan kehidupan individu dan masyarakat, baik perorangan maupun kolektif. Namun pada abad ke-18 filsafat sejarah mulai mengembangkan dimensi praxis kehidupan yang terarah secara teoritis. Sejak itu, teori yang mengarah ke praxis kehidupan, dan yang bergantung pada hal itu, tidak lagi menggunakan institusi dan esensial alami. Teori sibuk dengan tujuan pengembangan spesies manusiawi yang rumit, yang senantiasa menjamin diri sendiri, dan seakan-akan ditakdirkan menjangkau esensinya; kemanusiaan! Apa yang tersisa adalah tuntutan teori untuk memberikan orientasi tambahan pada kebenaran. Namun, keinsyafan akan kehidupan yang rasional semakin meluas, dengan dunia sebagai poros. Praxis diperluas sampai tahapan emansipasi. Praxis rasional diberi tafsiran sebagai suatu kebebasan secara eksternal. Maka, sebagai teori yang dituntun, keputusan ini menyebutnya "pencerahan", sebuah teori pencerahan kritis; ia mengandaikan pengalaman spesifik, sebagaimana diuraikan hegel dalam Phenomenology of Mind, persis seperti psikoanalisis Freud - - yaitu pengalaman emansipasi lewat pandangan kritis terhadap hubungan-hubungan kekuatan.
Positisme VS Dogmatisme
Akal dalam kontoversi antara kritik dan dogmatism bersikap memihak. Pada setiap tahapan emansipasi, akal senantiasa menang. Pada corak akal praktis semacam ini, pandangan dan pengertian yang tegas pada kebebasan bertemu secara reflektif. Refleksi pada level yang lebih tinggi berkonsidensi dengan tahapan lanjut dalam kemajuan. Pelepasan kearah otonomi individual, penderitaan, dan pelipat gandaan kebahagiaan akal menentang dogmatism. Ia tidak mendeteksi saat pengambilan keputusan ini sebagai hal di luar lingkungannya, karena keputusan-keputusan subjek secara rasional diukur sebanding dengan keputusan objektif yang dibutuhkan menurut kecenderungan akal. Sebab, akal belum mengingkari kehendak untuk menjadi rasional. Konstelasi dogmatism, akal, dan keputusan telah berubah lebih jauh lagi sejak abad ke-13; dimana ilmu-ilmu positif menjadi kekuatan produktif dalam perkembangan social. Maka, sebagaimana peradaban kita yang secara berangsur semakin ilmiah, dimensi di dalam teori yang mengarah ke praxis tersusun secara konsisten. Hukum-hukum reproduksi menuntut satu masyarakat industry maju yang mencari kelangsungan hidup pada alam.
Ilmu pengetahuan, teknologi, industry, dan administrasi saling mengisi dalam suatu proses melingkar. Sehingga, hubungan teori dan praxis hanya dapat menerangkan dirinya sebagai penerapan rasional dan aplikasi teknik yang sudah dijamin oleh ilmu-ilmu empiris. Ilmu-ilmu empiris dan analitis ini menghasilkan rekomendasi teknis, meski tidak menawarkan jawaban atas persoalan praktis. Tuntutan ini dimana teori tetap bertalian dengan praxis akhirnya menjadi cukup meragukan. Emansipasi dengan jalan pencerahan diganti dengan instruksi agar bisa mengontrol proses objektif atau proses yang diobjektifikasi.
Teori yang secara social cukup efektif tidak lagi mengarah kepada kesadaran akan keberadaan manusia yang hidup dan membahas berbagai soal bersama-sama, tetapi kepada perilaku hidup manusia yang kerap menyesatkan. Sebagai suatu kekuatan produktif dalam perkembangan industrial, ilmu pengetahuan memang mengubah basis kehidupan manusia, meski ia tidak lagi menjangkau secara kritis. Kesulitan utama dalam soal hubungan teori dan praxis tidak timbul dari fungsi baru ilmu pengetahuan sebagai satu kekuatan teknologis. Namun, dari kenyataan, kita sudah tidak mampu membedakan antara kekuasaan teknis dan kekuasaan praktis.
Sebenarnya suatu peradaban yang dilukiskan demikian ilmiah tak luput dari persoalan –persoalan praktis; sehingga akan muncul bahaya yang unik jika proses "pengilmiahan" telah melampaui batas persoalan teknis, tanpa menyimpang dari level refleksi atas rasionalitas yang membatasi horizon teknologis. Maka, tempatnya diambil alih oleh usaha menguasai control teknis atas sejarah dengan menyempurnakan administrasi. Manakala teori masih bertalian dengan praxis dalam arti yang murni, teori itu memberikan gambaran pada masyarakat sebagai suatu system tindakan dari kehidupan.
Manusia yang berkomunikasi lewat bahasa harus melaksanakan pergaulan social dalam konteks komunikasi yang disadari. Melalui komunikasi ini mereka harus membentuk dirinya menjadi subjek kolektif yang utuh. Nasib suatu masyarakat yang secara kaku dirasionalisasi berubah menjadi bagian-bagian yang hilang sebagai keseluruhan dari penggarapan, pemupukan rasional, yang sangat diperlukan. Dipihak lain, teori yang mengacaukan control dengan tindakan tidak sanggup lagi membawakan perspektif tersebut.
Dalam masyarakat industry maju, riset, teknologi, produksi, dan administrasi telah bergabung menjadi suatu system yang tidak bias diteliti sebagai satu keseluruhan. Sebab, system itu saling bergantung secara fungsional. Kita berhubungan dengan system itu dengan cara yang khas; intim, tapi sekaligus terasa asing. Di satu pihak, kita secara eksternal dibatasi oleh basis ini dengan kerangka kerja organisasi dan belenggu barang-barang konsumsi; dipihak lain, basis ini luput dari pengetahuan dan bahkan refleksi kita. Tentunya paradoks dalam perkara satu ini hanya dikenal lewat teori yang berorientasi praktek, meski paradoks itu sudah sedemikian terang. Pertumbuhan dan perubahan masyarakat yang deterministis ditentukan oleh rasionalitas proses-proses riset yang ekstrem, subjek pada pembagian kerja, dan kurangnya akar peradaban kita, sekarang, telah menjadi ilmiah dalam pengetahuan dan kesadaran warganya.
Habermas menegaskan, sebelum paham positivism lahir, pengetahuan kritis selalu bertautan dengan orientasi ilmiah yang sedang beraksi. Pengetahuan alam (fisika dalam pengertian klasik) memiliki peranan dengan praxis (dengan etika dan politik). Namun, setelah ilmu-ilmu empiris ini muncul, sejak Galileo Galilei, pengetahuan mencapai kesadaran diri pada positivism. Kemudian, setelah filsafat analitik, yang diilhami "lingkungan wina" (termasuk Charles S Peirce dan Jhon dewey), pemahaman pengetahuan menyesuaikan diri menurut syarat-syarat filsafat ilmu - - khusus pada karya –karya Rudolp Carnap dan Popper. Kini ilmu-ilmu modern yang diakui harus sesuai dan sarat dengan pernyataan – pernyataan tentang kesamaan-kesamaan empiris. Hukum-hukum hipotetis yang diperoleh dari hubungan deduktif di antara pernyataan-pernyataan eksperimen yang terkontrol selalu berkaitan dengan variabel-variabel empiris yang bisa diterima pengalaman secara intersubjektif. Itu sebabnya, menurut Habermas, hukum-hukum universal seperti ini selalu dipakai untuk penjelasan teoritis yang membolehkan adanya pengertian causal mengenai sebab akibat. Cara ini memungkinkan adanya perkiraan tentang hubungan causal terhadap teori-teori eksperimental. Aplikasi prediktif ini memperlihatkan bagaimana kepentingan pengetahuan bisa memantau ilmu-ilmu generalisasi tersebut.
Rasionalisme dan Kritisisme
Rasionalisme dan Kritisisme
Habermas juga menjelaskan bagaimana fungsi pengetahuan dalam ilmu modern harus dipahami dalam hubungannya dengan system kerja social, yaitu memperluas dan merasionalisasi kemampuan control teknis atas objek-objeknya. Pengetahuan yang diakui menjadi ilmu empiris ini menurunkan fungsi lain; hasil kritis (critical achievement). Jika ilmu-ilmu empiris ini mendapat hak monopoli dalam menuntun tindakan rasional, semua tuntunan lain yang mengajukan orientasi ilmiah bagi tindakan harus ditolak. Metodologi ilmu-ilmu empiris secara diam-diam mengakar ke dalam kepentingan koqnitif-teknis yang menyingkirkan semua kepentingan lainnya. Akibatnya semua hubungan dengan kehidupan praxis bias dirancang menurut slogan netralitas-etis atau bebas nilai. Sesuai dengan prinsip filsafat ilmu, masalah-masalah empiris yang tidak dapat diajukan dan dipecahkan dalam bentuk tugas teknis tak bisa mengharapkan suatu jawaban teoritis yang dipercaya.
Dari semula seluruh persoalan praktis tidak bias dijawab sampai tuntas melalui preskripsi teknis. Jenis ilmu pengetahuan yang diakui lewat hampiran positivistis adalah yang tak sanggup menyelidiki persoalan-persoalan demikian secara rasional. Lewat criteria ini, teori-teori yang walaupun memberikan penyelesaian atas persoalan demikian dapat dicap dogmatism. Tujuan kritik ideology mau menanggapi semua pernyataan dogmatis dengan tesis yang menyatakan bahwa problem-problem praktis tak bias diperbincangkan secara meyakinkan. Kata magis yang bebas dari pesona dogmatism adalah "keputusan", yaitu keputusan yang dengan susah payah terpisah dari akal budi; persoalan praktis tidak "sanggup mencapai kebenaran". Filsafat nilai tidak lagi mengalami acuan makna yang sudah terpisah dari konteks kehidupan sebagai etika nilai objektif, yang menjadi kehidupan ideal, yang mentransendir pengalaman-pengalaman nyata. Ia begitu menuntut untuk menyatakan kembali eksistensi orde-orde nilai (Max Weber) dan kekuatan iman (glaubensmachte), atau sebagaimana ajaran Karl Jaspers dalam suatu lingkungan mulia di atas sejarah. Namun menurut Habermas, pengetahuan yang terkontrol secara ilmiah tidak dapat semata-mata dilengkapi dengan pengetahuan intuitif. Keyakinan filosofis merupakan jalan tengah antara komimen murni dan pengertian rasional. Ia harus mengabdikan diri pada salah sati diantara orde yang bersaing tanpa menghilangkan kebercampuran orde tersebut.
Dari semula seluruh persoalan praktis tidak bias dijawab sampai tuntas melalui preskripsi teknis. Jenis ilmu pengetahuan yang diakui lewat hampiran positivistis adalah yang tak sanggup menyelidiki persoalan-persoalan demikian secara rasional. Lewat criteria ini, teori-teori yang walaupun memberikan penyelesaian atas persoalan demikian dapat dicap dogmatism. Tujuan kritik ideology mau menanggapi semua pernyataan dogmatis dengan tesis yang menyatakan bahwa problem-problem praktis tak bias diperbincangkan secara meyakinkan. Kata magis yang bebas dari pesona dogmatism adalah "keputusan", yaitu keputusan yang dengan susah payah terpisah dari akal budi; persoalan praktis tidak "sanggup mencapai kebenaran". Filsafat nilai tidak lagi mengalami acuan makna yang sudah terpisah dari konteks kehidupan sebagai etika nilai objektif, yang menjadi kehidupan ideal, yang mentransendir pengalaman-pengalaman nyata. Ia begitu menuntut untuk menyatakan kembali eksistensi orde-orde nilai (Max Weber) dan kekuatan iman (glaubensmachte), atau sebagaimana ajaran Karl Jaspers dalam suatu lingkungan mulia di atas sejarah. Namun menurut Habermas, pengetahuan yang terkontrol secara ilmiah tidak dapat semata-mata dilengkapi dengan pengetahuan intuitif. Keyakinan filosofis merupakan jalan tengah antara komimen murni dan pengertian rasional. Ia harus mengabdikan diri pada salah sati diantara orde yang bersaing tanpa menghilangkan kebercampuran orde tersebut.
Dalam kritik ideology, pemahaman diri dalam bentuk primitive berusaha meniadakan proyeksi - - seperti yang berkembang sejak Ludwiq Feurebach hingga Vilfredo Pareto. Kritik ideology hanya sesuai bila terjadi perbedaan mendasar atas pembentukan realitas secara ilmiah dari "bentuk pandangan dunia yang sarat nilai yang mencari penafsiran tentang dunia dan penafsiran diri tentang manusia." Usaha-usaha mencerahkan kesadaran itu mengajukan satu tuntutan untuk mendemonstrasikan rasionalitas. Itu sebabnya kritik ideology menutup diri dari kemungkinan mempertahankan ikhtiar-ikhtiarnya secara teoritis. Sebagai kritik, niscaya ia tidak membentuk realitas, tidak menghasilkan teknik baru, dan paling banter mencegah agar teknik tidak salah kaprah atas nama teori yang melulu tidak dibuktikan. Maka, pertanyaan yang muncul adalah dari sumber apa kritik ini memperoleh kekuatannya, terutama jika akal budi yang terpecah dari komitmen harus benar-benar bersih dari kepentingan apapun dalam emansipasi kesadaran dari hambatan dogmatis.
Tentu saja ilmu harus melaksanakan fungsi pembenarannya sebagai pengetahuan atau, katakanlah, mengakui diri sendiri sebagai sebuah nilai. Fungsi ini dilaksanakan oleh kritik ideology dengan mengadakan pemisahan antara "usaha mengetahui" dan "komitmen." Tetapi ilmu dalam fungsi pengetahuan kritis yang menyerang dogmatism pada level positivistis hanya mungkin terjadi dalam bentuk ilmu yang merefleksikan diri sendiri dan menghendaki dirinya sebagai tujuan. Jadi, lagi-lagi semacam akal budi yang dipercaya, kemungkinan yang dibenarkan dari apa yang justru ditolak kritik ideology. Jika ilmu menyangkal pembenaran rasional, perselisihan antara akal budi dan dogmatism tetap merupakan masalah opini dogmatis; yakni ketidakmungkinan untuk menjelaskan dogmatism tidak diakui sejak awal. Di balik dilemma ini terbentang masalah bahwa kritik ideology secara diam-diam harus mengandaikan sesuatu yang justru diserang sebagai dogmatis, yakni titik pertemuan akal budi dengan komitmen konsep rasionalitas yang menyeluruh.
Konsep rasionalitas yang tersembunyi ini dipahami secara berbeda, bergantung kepada apakah refleksi yang menggerakkannya semata-mata diyakinkan dengan nilai teknik-teknik ilmiah atau juga dengan makna emansipasi ilmiah bagi otonomi yang matang. Jadi, apakah kritik ideology pada level pemahaman digerakkan oleh suatu kepentingan dalam ilmu-ilmu empiris yang berkembang dalam pengetahuan teknis, atau pada level akal budi digerakkan oleh suatu kepentingan pada pencerahan. Positivisme kurang mampu membedakan kedua konsep rasionalitas ini, tak sebagaimana ia mampu menyadari bahwa dirinya sendiri meliputi apa yang justru ditentangnya secara eksternal akal budi yang dapat dipercaya. Namun, hal ini, atau dalam pemilahan pokok antara kedua bentuk ini, tergantung pada hubungan teori dan praxis dalam peradaban ilmiah. Kritik ideology positivism tetap merupakan suatu bentuk akal budi yang dipercaya. Sadar atau tidak, kritik ideology positivism mengambil sikap memihak pada rasionalisasi progresif. Pokok bahasan semata-mata tertuju pada perluasan dan penyebaran pengetahuan teknis.
Dalam konfliknya dengan dogmatism, sebagaimana dipahami kaum positivis, kritik ini menyingkirkan rintangan-rintangan tradisional dan ideology. Ia dapat menghalangi kemajuan ilmu ilmu empiris- analitis serta proses penggunaannya yang tak terbatas. Kritik ini bukan suatu analisis yang bebas nilai; premis dasarnya adalah nilai teori-teori ilmu empiris yang bukan saja bercorak hipotetis melainkan juga normative. Maka, dengan langkah analitis, kritik ini secara normative sudah lebih dulu menerima bahwa perilaku yang sesuai dengan anjuran-anjuran teknis bukan hanya dikehendaki, tetapi juga 'rasional'. Konsep yang implicit mengenai akal budi ini tentu saja tidak dijelaskan lewat kekayaan konseptual positivism itu, meskipun konsep itu mengungkapkan maksudnya.
Menurut Habermas, dengan criteria positivistis, rasionalitas tindakan adalah suatu nilai yang semata-mata kita putuskan untuk ditolak atau diterima. Bersamaan dengan itu, pada criteria ini, juga dapat dibibuktikan bahwa rasionalitas adalah suatu cara untuk mewujudkan nilai, maka tidak dapat ditempatkan pada level yang sama pada semua nilai lainnya. Persiapan kritik ideology bagi tindakan rasional menganjurkan rasionalitas sebagai cara yang lebih disenangi jika tidak hanya sebagai kekecualian cara-cara untuk mewujudkan nilai. Sebab, rasionalitas menjamin efisiensi dan penghematan procedure. Kedua istilah ini tanpa sengaja memperlihatkan kepentingan pengetahuan menggiring ilmu-ilmu empiris menjadi ilmu teknis. Sejak awal "efisiensi" dan "penghematan" sudah menunjukkan bahwa rasionalisasi berada dalam batas-batas yang ditentukan oleh system kerja social. Apa yang dituju adalah menjadikan proses objektif dan proses objektivasi dapat diberlakukan. Dan dalam hal ini, kekuatan control teknis tetap tak peduli pada kemungkinan adanya system nilai dalam memenuhi apa yang harus digarapnya.
Suatu kritik ideology yang tujuan utamanya memberlakukan rasionalitas-teknologis tidak dapat mengelak dari dilema ini. Ia menginginkan rasionalitas sebagai sebuah nilai - - karena lebih menguntungkan disbanding dengan semua nilai lain yang ada secara implicit dalam model-model procedural rasional sendiri. Nilai ini dapat di-absyahkan dengan acuan proses penyelidikan ilmiah serta penerapan teknisnya. Karena tidak mesti dibenarkan dalam batas-batas komitmen belaka, ia memiliki status "lebih disukai" daripada semua nilai lainnya.
Bahan rujukan;
Hardiman (1990). Kritik Ideologi. "Kata Pengantar" dalam Magnis Suseno.
Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity(1987) "Introduction" dalam McCarthy.
Berstein (1985) (ed). Habermas and Modernity.
Bertens (1983). Filsafat Barat dalam Abad XX.
Magnis Suseno (1990). "Pengantar" dalam Habermas, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi
Habermas, Theory and Practice in a Scientific
Hardiman (1990). Kritik Ideologi. "Kata Pengantar" dalam Magnis Suseno.
Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity(1987) "Introduction" dalam McCarthy.
Berstein (1985) (ed). Habermas and Modernity.
Bertens (1983). Filsafat Barat dalam Abad XX.
Magnis Suseno (1990). "Pengantar" dalam Habermas, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar