Sabtu, 15 Januari 2011

Pembonsaian Kesultanan Yogyakarta dan Pragmatisme Politik

Oleh ; Abdul Muin Angkat
                                                               
          Kalam :
                Pernyataan Presiden SBy  selepas rapat cabinet Indonesia bersatu jilid dua,tentang monarki yang bertabrakan dengan demokrasi  sangat kontraversial, beliau meminta agar fungsi beliau sebagai kepala Negara dan sebagai ketua dewan Pembina partai (democrat), bisa dibedakan. Hal itu justru ditanggapi oleh berbagai kalangan secara beragam.Ada yang mengatakan bahwa terjadi persaingan pengaruh untuk memberi peluang kepada calon tertentu pada Pemilu 2014, dimana saingan terberat  adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang sekarang sedang menggalang kekuatan bersama Suryo Paloh, tokoh Ormas Nasional Demokrat(Nasdem) yang ditengarai akan berujud partai politik baru, satu dua tahun mendatang.
                Oleh pemerintah hanya disebutkan bahwa pelaksanaan demokrasi di dalam Negara republic Indonesia dilakukan secara seragam, seorang Gubernur  sebagai kepala daerah harus  dipilih,  sesuai dengan undang-undang, bukan ditetapkan.
                Daerah Itimewa Yogyakarta, dimana rakyatnya sedang ditimpa musibah berkepanjangan, karena letusan merapi  yang dimulai tanggal 26 oktober 2010, telah menghancurkan infrastruktur  desa-desa disekitar Gunung Merapi  melalui erupsi  ‘wedhus gembel’ yang memakan korban jiwa ratusan orang. Menanggapi desakan pemerintah, mereka mengatakan ; …”kalau belum bisa mensejahterakan, janganlah menyakiti hati rakyat”, keluhan ini, terdengar miris dan sangat manusiawi.
                Kenapa negeri yang adem ayem dari  hingar  bingar  politik itu, dikejutkan dengan issue yang tidak terduga, pada saat titik lemah psikologis para warganya sampai di titik nadir? Apakah  ini satu pertanda bahwa Sultan tidak diinginkan oleh saingan-saingan politiknya untuk berkiprah secara bebas dalam dunia politik, sementara kraton dianggap hanya berfungsi sebagai pelestari budaya dan pernak-pernik kesenian? Bukankah  hubungan antara ‘ngarso dalem’ dan rakyatnya  merupakan  pengejawantahan simbolis jawa, manunggaling kawulo gusti? Dan mengapa Sultan  harus dipisahkan dari rakyat nya?

               
Demokrasi  Liberal.
Walaupun Gamawan selaku Mendagri menyebutkan bahwa  di dalam pembahasan RUUK Daerah Istimewa Yoyakarta,  nilai  konstitusi, demokrasi dan sejarah menjadi tolok ukur pembahasan, akan tetapi secara subjektif beliau juga mengungkit masalah suksesi dan hak singgasana yang turun temurun, baik  sebagai pengganti Sultan maupun sebagai pengganti Paku Alam. Malah pengandaian karena semua keturunan Sultan adalah putri,  apakah  seorang putri berhak  untuk menjadi Sultan kelak? Mengapa Negara terlalu jauh mengurusi kraton? Bukankah itu hak prerogative para pewaris  kraton? Manuver  Ditjen Otda yang mengklaim hasil penelitian kementerian Dalam Negeri, bahwa  71 % rakyat yogya mendukung dilakukannya pemilihan langsung untuk pemilihan Gubernur, terbantahkan oleh politisi Golkar Setya Novanto (rakyat merdeka, 8/11/’10), yang mengatakan bahwa hasil survai yang dilakukan oleh Golkar sebaliknya, menunjukkan bahwa 60- 70 % rakyat yogya menginginkan gubernurnya ditetapkan. Sedangkan data lainnya yang terdapat pada hasil Pemilu 2009, yang menetapkan Ratu Hemas sebagai anggota DPD, didukungan rakyat DIY sebesar 80%, bukankah kontradiktif dengan penelitian Kemendagri?
Akhirnya kita akan membaca kearah mana issue sensitive ini akan bergulir, apakah kepentingan politik atas nama parpol koalisi sangat berkepentingan untuk memanfaatkan peluang Gubernur  DIY, sebagai lahan baru memperluas kekuasaannya, atas nama ‘demokrasi’? atau secara konsisten mengakui factor kesejarahan , konstitusi, asal usul,  dan Peraturan pemerintah yang mengakui eksistensi Daerah Istimewa Yogyakarta?
 Sebagaimana peta dukungan yang bergulir, bahwa yang tegas membela penetapan Gubernur adalah PDIP, sedangkan Partai Demokrat, PAN, PPP, dan PKB biasanya berakhir sebagaimana anak manis, mendukung sikap pemerintah, meskipun kadernya di Parlemen bersuara lain. Sungguh ironis, demi kepentingan golongan dan Partai politik, misi partai, yang seyogianya memperjuangkan  kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, diselewengkan secara sistematis.
Demokrasi liberal yang dikenal selama ini dengan system pemilihan suara terbanyak (1/2 + 1), ternyata di adopsi persis system pemilihan di Amerika. Apa yang selama ini telah disepakati  dan tertuang dalam  Pancasila, sebagai ideology Negara, pada sila keempat, …”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan  dalam permusyawaratan /perwakilan” justru memberi arti penting bahwa pemilihan langsung, bukanlah satu-satunya cara pemilihan yang sesuai dengan demokrasi Indonesia. Aklamasi, sebagai satu kesepakatan hasil musyawarah dan permufakatan juga merupakan pelaksanaan demokrasi yang konstitusional. 

Etika Politik.
Pemahaman nilai-nilai etis di dalam dunia politik seyogianya mengacu kepada pertanyaan, apakah pantas seorang kepala Negara sebagai pimpinan tertinggi  rakyat Indonesia dan dipilih oleh 60% penduduk masih juga merangkap sebagai ketua dewan Pembina  sebuah partai? Bukankah lebih etis apabila seorang pimpinan Negara apabila terpilih menjadi  Presiden secara otomatis meletakkan jabatannya di dalam struktur kepemimpinan partai? Implikasi negatifnya adalah terjadinya standar ganda dan  conflict of interest untuk kepentingan partainya. Dan mengapa hal ini tetap dipertahankan semenjak rejim Orde baru Soeharto, sampai kepada Megawati, Gus Dur, dan sekarang SBY?.
Pendapat Agun Gunanjar Sudarsa dari Partai Golkar yang mengatakan, agar pejabat yang duduk di dalam lembaga eksekutif agar melepaskan jabatannya di Parpol mendapat sambutan dari Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK), termasuk dari beberapa pengamat politik dari LIPI. (Rakyat Merdeka 5/12 2010).
Hubungannya  dengan gonjang ganjing pembahasan RUUK-DIY, bahwa pendapat SBY yang sangat kontoversi tersebut  ditengarai terlalu dipolitisasi, untuk kepentingan tertentu, bukan sebagai pernyataan seorang Presiden yang bijak dan mengayomi rakyatnya. Terbukti penjelasan tentang ‘monarki’ tidak dijelaskan secara rinci maksud dan analisisnya. Malahan Gamawan selaku Mendagri yang dituskan untuk memberi penjelasan pemerintah, di dalam berbagai dialog di TV, dianggap oleh dosennya sendiri, Saldi Isra guru besar Universitas Andalas sebagai orang yang tidak mengerti sejarah. Sejak itu puasa bicara pun dilakukan sampai kini, mungkin sudah ditegur oleh Sang Presiden SBY.
Pragmatisme Politik.
Dalam Elements  of philosophy, LO Kattsoff menjelaskan bahwa  Penganut pragmatism, memegang teguh pada praktek. Mereka memandang bahwa hidup manusia sebagai perjuangan untuk hidup yang berlangsung  secara terus menerus, yang di dalamnya terpenting ialah konsekwensi-konsekwensi yang bersifat praktis.Konsekwensi-konsekwensi yang bersifat praktis tersebut erat kaitannya dengan makna dan kebenaran. Sedemikian dekatnya sehingga seorang penganut pragmatism menganggap dua hal tersebut merupakan ketunggalan.
Sama hal nya dengan C.S Peirce sang peletak dasar Pragmatisme mengatakan, untuk memastikan makna apakah yang dikandung oleh sebuah konsepsi akali, maka kita harus memperhatikan konsekwensi-konsekwensi praktis apakah yang niscaya akan  timbul dari Kebenaran konsepsi tersebut. Jika tidak menimbulkan konsekwensi-konsekwensi praktis, maka sudah tentu tidak ada makna yang dikandungnya. Semboyan yang menarik dalam penjelasan ini adalah; . . .”apa yang tidak mengakibatkan perbedaan tidak mengandung makna”.  
Secara umum  bagi pragmatism pengetesan atas pengetahuan yang benar adalah a) kemanfaatan kegunaan (utility), b)dapat dikerjakan (workability),c)akibat yang memuaskan (satisfactory consequences). Nilai suatu kosep tergantung pada penerapannya yang konkrit dalam masyarakat. Pragmatisme adalah suatu pemikiran yang mendasarkan aspek praktis, kemanfaatan, akibat yang ditimbulkan dari sesuatu, atau pendekatan situasi untuk memecahkan suatu problem.
Sebaliknya bagi John Dewey, yang  terpenting bukan benar atau tidaknya pengetahuan, melainkan sejauh mana manusia dapat memecahkan masalah yang muncul di masyarakat  dalam kehidupan yang nyata. Suatu ide yang dianggap  benar dalam rangka proses penggunaannya (penerapan )oleh manusia. Oleh sebab itu kebenaran harus diverifikasi secara eksperimental, dan bukan hanya berguna secara pribadi. Kebenaran adalah public bukannya privat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, yang dikeluarkan oleh Balai Pustaka (2003), politik nasional di artikan sebagai tindakan Negara dalam rangka pembinaan serta penggunaan potensi nasional yang digunakan secara efektif untuk tujuan nasional, maka apa yang dikemukakan  oleh SBY selepas Rapat Kabinet tentang benturan antara Monarki dan Demokrasi, dalam konteks pembahasan tentang RUUK DIY, bisa di kategorikan sebagai konstatasi pragmatism politik.
Monarki adalah system kerajaan yang turun temurun sesuai dengan silsilah keluarga kerajaan yang ditetapkan secara otomatis menjadi Raja atau Sultan. Bukankah ini bertentangan dengan system Demokrasi, dimana kedaulatan dipegang sepenuhnya oleh rakyat? Dari,dan untuk rakyat adalah prinsip utama didalam system ketatanegaraan di mana seorang pemimpin  dipilih secara langsung secara bebas umum  dan rahasia.

Dalam pemikiran pragmatism, soal issue,  ‘Monarki’ di dalam suatu pemerintahan demokratis tentu dianggap bertentangan secara in concreto. Atau terdapat contradictio interminis  di dalamnya. Oleh sebab itu suatu kebenaran harus di veryfikasi secara eksperimental. Lebih daripada itu menurut pemikiran pragmatism apakah keistimewaan yang diberikan kepada suatu Daerah, sekalipun telah dinyatakan  bahwa Negara telah mengakui keberadaan berdasarkan  asal usul kesejarahan nya, diterima  oleh seluruh rakyatnya? Hal ini  masih bisa di analisis sesuai dengan factor kegunaan praktis, dan sejauh mana konsekwensi kepuasan masyarakat terhadap pilihan penetapan seorang Sultan yang secara otomatis berperan sebagai Gubernur, dan kenapa bukan pemilihan secara demokratis.  Itulah mungkin yang menjadi dasar pertimbangan seorang Presiden sebagai seorang pemikir akademis melontarkan wacana  monarki tersebut, terlepas dari berbagai tanggapan masyarakat yang kontraversial.

Pragmatisme kebenaran,  menurut William James dapat dibuktikan  a) secara empiris, b) ada  kesesuaian atau koherensi dengan fakta sebelumnya dan c) mempunyai nilai yang lebih tinggi, yang merupakan kemajuan. Apabila ketiga postulat tersebut  terpenuhi, maka dapatlah disimpulkan bahwa penerimaan keistimewaan suatu daerah adalah valid. Pertanyaan selanjutnya, benarkah pemikiran pragmatism ingin menembus fakta kearah perubahan dunia? Atau,  apakah keinginan  ini tidak terlalu ambisius, kalau diterapkan di Indonesia?

Keniscayaan sebuah keputusan Negara.
Dalam persfektif keaslian Penjelasan UUD 1945, sebelum diamendemen sebanyak 4(empat) kali, tahun 1999,2000,2001, dan 2002  maka beberapa hal yang positip yang tertulis pada pasal 18 bagian 2 rumawi, berdasarkan  nilai historis dan visi kedepan,  yang dirancang oleh founding fathers (BPUPKI dan PPKI), dan yang di syahkan tanggal 18 agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan RI, terdapat hal- hal yang fundamental.
Pertama, bahwa NKRI terdiri dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa NAD, dan Daerah khusus ibukota Jakarta yang berdasarkan konstitusi. Daerah lainnya  yang tertulis dalam Penjelasan UUD tersebut, seperti desa di jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di  Palembang, dan sebagainya, ternyata berpotensi untuk mendapatkan penghargaan. Dan  dengan pertimbangan tertentu,  dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Di dalam  Penjelasan UUD 1945  tersebut, tertulis  kalimat yang berbunyi, . . .oleh karenanya  dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa ternyata telah dihilangkan  di dalam amandemen, dan diganti dengan pasal 18 B,berbunyi,  …“Negara  mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undangTerhadap perubahan fundamental ini, maka peluang sebuah daerah yang seperti yang disebut diatas, mempunyai kekhususan atau keistimewaan tertentu tertutup kemungkinannya untuk diakui pasca kemerdekaan Indonesia.
Kedua, Di dalam Penjelasan pasal 18 bagian 2 romawi, alinea kedua, dinyatakan; …”Negara RI menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu  akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebutSedangkan pada pasal 18 B butir (2) hasil amandemen, telah berubah menjadi ; …” Negara mengakui dan menghormati kesatuan – Kesatuan  masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang.
Dengan bunyi pasal 18 B, butir (2) hasil amandemen, maka pengertian akan kepastian tentang penghormatan atas kedudukan DIY yang semula bersifat pasti dan mengikat, dirubah menjadi pengakuan yang sumir dan penuh interpretative, dengan kalimat ; …”mengakui dan menghormati - - sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip NKRI diatur dalam Undang-Undang.
Apa indikasi bahwa campur tangan pemerintah terlalu jauh untuk mengobok-obok keistimewaan tersebut tercermin di dalam rancangan  RUUK DIY yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR.  Pada Bab VI Rancangan  tentang Tata Cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur disamping yang berasal dari  Sri Sultan dan Sri Paku Alam  dan kerabat, (ayat 1 dan2) selanjutnya  tertulis pada ayat 3, masyarakat umum. 
Tentang calon dari masyarakat umum, diuraikan selanjutnya di dalam pasal 19, bahwa mekanisme pencalonan calon dari parpol atau gabungan parpol, berlaku ketentuan perundang-undangan tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan adanya dua kategori yaitu Gubernur utama dan Gubernur biasa di dalam rancangan tersebut maka telah terjadi pemisahan antara manajemen kesultanan yang mengurusi adat istiadat, dan manajemen pemerintahan yang mengurusi administrasi serta pembangunan.
Inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapatkan banyak pengikut (john Maxwell). Tentu terjadi perdebatan mengapa ada dua leader di dalam suatu daerah? Apakah ada Gubernur biasa tidak kalah pamor dengan Gubernur utama( karena mempunyai charisma yang tinggi ) di dalam mempengaruhi rakyatnya? Atau apakah Gubernur biasa yang dianggap berfungsi sebagai manager, yang diartikan sebagai orang yang secara khusus, senantiasa memikirkan kegiatan perencanaan, koordinasi dan memimpin kegiatan, untuk mencapai suatu tujuan pemerintahan?
Pada hakikatnya kepemimpinan mempunyai arti yang luas daripada manajemen. Seandainya Gubernur biasa bertindak selaku manajer, padahal wibawa  kepemimpinannya rendah, maka bagaimana mungkin tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien karena tidak didukung sepenuhnya oleh staf ?Dengan kata lain, bahwa pemimpin adalah inti manajemen. Artinya  tercapainya tujuan manajemen apabila ada pemimpin. Tapi dengan dua pemimpin? Bukankah ini justru menimbulkan friksi terpecahnya dua kubu pendukung dari sebuah birokrasi?

Sikap politik Rakyat Yogya 
Pada apel akbar yang dihadiri oleh 5000 orang di lapangan candibinangun Sleman Yogyakarta (29/12/2010), digagas oleh Geram (gerakan rakyat mataram), bersama paguyuban luruh-lurah di kabupaten Sleman. Sebuah bendera warna kuning dengan lambang haba, yang merupakan lambang  Kraton Ngayogyakarta hadiningrat dikibarkan ditengah lapangan berdampingan dengan bendera Merah Putih sebagai lambang republik Indonesia.
Mereka melatih Satgas penetapan.  - - kami meminta penetapan, bukan pemilihan baik langsung maupun tidak langsung melalui DPRD kata Sukiman. Sementara bunyi spanduk di dalam apel tersebut terdapat tulisan, Istimewa atau referendum.  Apa makna di balik pernyataan ini?

Tunda pembahasan RUUK DIY.
Founding fathers telah menetapkan Pancasila sebagai ideology Negara, dan membreak down inti isi Pancasila kedalam UUD 45 secara konstitusional. Pada penjelasan UUD 45 secara tegas telah dinyatakan kedudukan Daerah Istimewa dan Daerah Khusus. Ini merupakan ketentuan konstitusi sebagai amanat yang seyogianya di patuhi dan taat asas. Adapun amandemen terhadap UUD 45 yang telah dilakukan sebanyak empat kali secara realitas telah merubah inti isi penjelasan UUD 45. Dan yang paling memprihatinkan parlemen telah menghilangkan penjelasan UUD 45 secara dipaksakan, dan tidak diikuti oleh penjelasan baru mengapa di dalam amandemen tersebut tidak diberikan rasionalisasi  bahwa penjelasan tersebut perlu  dihilangkan. Padahal di dalam setiap amandemen yang dilakukan oleh negara super power sekali-pun, alasan pembenar terjadinya suatu perubahan yang principal selalu di ikuti oleh hukum logika.
Ditinjau dari segi historis, kejadian pasca Proklamasi 17 agustus 1945, persisnya tanggal 25 agustus 1945, Jakarta diserang oleh sekutu, dimana NICA ikut memboceng masuk ke Indonesia. Dengan bubarnya pemerintahan pusat, maka seluruh aparatnya di boyong ke Yogyakarta dengan menaiki kereta api, dan ditetapkan bahwa Yogyakarta sebagai ibukota republic Indonesia. Selama  tiga setengah tahun pemerintahan pusat berada di yogya, maka yang memfasilitasi adalah Sultan HB IX.
Amanat pengakuan merdeka dan bergabung dengan  RI yang ditegaskan oleh Sri Sultan pada tanggal 5 September secara defacto dan dejure merupakan kontrak politik antara dua Negara yaitu Kesultanan Yogyakarta dengan RI. Kesultanan Yoyakarta tidak pernah dijajah Belanda, dan adalah suatu wilayah kesultanan atau Negara, yang sudah merdeka dan di akui oleh dunia internasional, sebelum Indonesia merdeka. 
Maklumat Sri Sultan HB IX, berbunyi; …”(3) perhubungan antara negeri ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintahan pusat NRI, bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik IndonesiaArti statemen di atas, bahwa terjadi negosiasi, dengan masuknya Yogya  kedalam struktur RI, maka kekuasaan dan eksistensi Kesultanan Yogyakarta seyogianya di jamin oleh Undang-Undang.
Dengan pertimbangan diatas, seyogianya pembahasan tentang RUUK-DIY, ditunda karena lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Disamping itu ada beberapa alasan mengapa pembahasan tersebut harus ditunda; 1)menjaga harmoni NKRI sebagai satu kesatuan pemerintahan yang kuat dan berwibawa, 2)menghindari friksi diantara pendukung penetapan, dan pemilihan, oleh DPRD sehingga mengganggu stabilitas politik, 3)menghargai pandangan para pembentuk Negara yang telah memikirkan jauh kedepan tentang kedudukan NKRI sebagai satu pemerintahan baru yang nasionalis sebagai gabungan system kerajaan dan Negara bagian, 4)Komitmen kenegaraan yang tinggi secara jujur dilaksanakan dengan ikhlas karena tanpa bantuan Kesultanan Yogya Indonesia Indonesia merdeka hanya mimpi,5) pragmatism politik yang menjadi dasar lahirnya RUUK DIY  dengan melakukan  verifikasi- eksperimental, pengujian, dan mencari tahu konsekwensi dan kegunaan praktis segala sesuatu,  tidak sesuai dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa, dan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. karena kemerdekaan RI plus minus,  adalah berkat rahmat Tuhan YME, dan budi baik manusia sebaiknya dibalas dengan setimpal, 6)Pidato Presiden Soekarno jangan sekali-kali melupakan sejarah adalah  adagium yang seyogianya ditaati oleh para pemimpin politik agar tidak tergelincir di dalam pengambilan kebijakan yang salah, 7) Penerusan pembahasan RUUK –DIY akan menjadi pemicu konflik berkepanjangan yang mengancam keutuhan NKRI, 8) Diperlukan amandemen ke lima untuk mengembalikan penjelasan pasal 18 (I&II), UUD 45 secara murni dan konsekwen.
              

  



     
               

               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar