Sabtu, 06 November 2010

Perspektif Etika dan Relevansi Kunjungan DPR ke Yunani.

Oleh: Abdul muin angkat
 
Kalam

Akibat ribut-ribut pada Sidang- sidang DPR, terutama pada Sidang paripurna DPR RI yang dipimpin oleh Marzuli Ali dimana kelihatannya secara tidak etis, ketua Sidang menutup persidangan secara sepihak, tanpa meminta persetujuan kepemimpinan kolektif, terjadi keributan kecil di mana beberapa anggota DPR yang tidak puas mengerumuni meja pimpinan untuk melakukan protes keras, dengan memukul meja sidang.Sang Ketua DPR di anggap telah melakukan tindakan yang anti demokrasi. 

Akhir-akhir ini ketika Goncangan gempa dan Tsunami melanda kepulauan Mentawai Sang Ketua mendapat banyak cercaan bahkan makian di Face book, menanggapi pernyataannya - -" yang menyalahkan penduduk tinggal di Pantai dan menyarankan untuk pindah ke Pulau". Terlihat bahwa Sang Ketua kurang peka dan tidak mempunyai kepedulian sosial, padahal beliau adalah wakil rakyat yang seyogianya memperjuangkan aspirasi konstituennya, rakyat Sumatera selatan yang sangat dekat dengan Kepulauan Mentawai. 

    Kasus kedua terjadi ketika 'si poltak' panggilan akrab Ruhut Sitompul mengucapkan kata-kata tidak senonoh pada saat 'interupsi' meminta waktu berbicara kepada pimpinan Gayus Lumbun di Komisi III. Dengan meneriakkan kata 'bangsat'! semua orang terperangah, dan Gayus mengancam akan mengeluarkan Ruhut dari persidangan. Kosa kata yang 'sarkastis' mengemuka di ruang sidang terhormat, yang ditonton jutaan rakyat sambil ngedumel. . ." anggota DPR kasar, dan gak tahu sopan santun" - - mereka sangat menyayangkan perilaku orang terdidik yang bergelar Profesor, Doktor dan Sarjana- - terlibat adu mulut tanpa mengindahkan etika persidangan. Bukankah mereka juga adalah mantan pengacara yang telah mengerti seluk beluk ber-acara di pengadilan?

    Kasus ketiga, dengan telah terhukumnya empat orang terpidana anggota DPR periode 2004-2009, dan menyusul 26 orang tersangka yang sekarang masih dalam proses penyidikan oleh KPK. Terbukti bahwa telah terjadi degradasi moralitas para penyelenggara Negara, khususnya para anggota parlemen yang seharusnya menjadi panutan kepemimpinan di negeri ini, justru terperangkap oleh tindakan tidak etis, disuap untuk menggoalkan terpilihnya seorang Deputi Bank Indonesia Miranda Goeltom.

Etika
 
    Etika merupakan cabang aksiologi yang intinya membicarakan masalah-masalah predikat nilai, 'benar' atau 'salah', 'susila' (moral), atau 'tidak susila' (immoral). Etika juga membicarakan sifat-sifat yang menyebutkan seseorang susila atau bajik. Kualitas atau atribut yang disebut kebajikan (virtues) yang dilawankan dengan kejahatan-kejahatan (vices) yang menyebabkan seseorang disebut sebagai 'tidak susila'.Masalah kesusilaan dan ketidak susilaan menurut Kattsoff ternyata tidak jumbuh hanya dengan seks. Artinya, seseorang yang tidak susila bukan berarti selalu dibidang seks. Orang yang mencuri, yang tidak adil atau yang kejam juga dapat dipandang sebagai orang yang tidak susila.

   Makna 'Etika' dipakai dalam dua macam arti. Yang pertama apabila dikatakan "saya pernah belajar etika" maka maksudnya adalah bahwa Etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Yang kedua, apabila dikatakan Ia bersifat etis, atau Ia seorang yang jujur, atau korupsi merupakan tindakan tidak susila. Atau 'kebohongan' adalah tindakan yang tidak susila; maka ' 'bersifat etik' dalam hal ini setara dengan 'bersifat susila'.Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa perbuatan korupsi dan kebohongan adalah tindakan tidak etis.

   Konsep yang pokok dalam etika adalah moralitas, yaitu suatu gagasan yang relative formal tentang apa yang merupakan perilaku benar dan salah, baik dan buruk, nilai moral, asas moral, aturan moral, pertimbangan moral yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan sosialnya. Salah satu turunannya adalah etiket sopan santun, dimana seseorang seharusnya berkata santun apabila berada pada forum-forum terhormat, atau di perkantoran. Maka ketika kita mendengar seorang anggota DPR, si 'Poltak" menuding si Gayus, bangsat! Maka tindakan ini betul-betul melanggar etiket sopan santun, apalagi kalau dipertontonkan di dalam forum terhormat sidang-sidang komisi di DPR. 

   Etika deskriptif, merupakan cabang sosiologi untuk mengetahui apa yang dipandang betul atau tidak betul. Pengetahuan ini dapat mencegah berkembangnya rasa kedaerahan. Namun perbedaan yang besar dalam adat istiadat juga telah menimbulkan pendirian bahwa tanggapan-tanggapan kesusilaan bersifat nisbi, misalnya saja bagaimana kebiasaan menerima tamu pada suku tertentu yang belum tentu sama persepsinya dengan suku lainnya.

   Etika normative, sebagai ilmu pengetahuan yang menetapkan ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah yang mendasari adanya penilaian terhadap perbuatan manusia.Apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang patut dan tidak patut, Dalam hal ini ditetapkan apa yang seharusnya dikerjakan, dan apa yang seharusnya terjadi, dan yang memungkinkan orang untuk menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. William Frankena menjelaskan bahwa etika normative berusaha pertama-tama untuk memperoleh suatu kumpulan pertimbangan yang dapat diterima 1) tentang kewajiban moral, (pertimbangan deontis) 2) tentang nilai moral (pertimbangan aretaic) dan 3) tentang nilai non moral.Sedangkan metaetika membuat suatu teori tentang arti dan pembenaran dari ketiga jenis pertimbangan di atas. 

   Etika kefilsafatan meng-analisis makna apakah yang terkandung oleh predikat kesusilaan, dengan menyelidiki penggunaan predikat dalam pernyataan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sebagai mahluk individu, mahluk sosial serta mahluk Tuhan, maka tanggung jawab etis yang di dalamnya tumbuh kesadaran etis akan tetap mempertahankan eksistensi manusia mencapai titik equilibriumnya di dalam gerakan bandulnya, antara apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang tidak seharusnya dikerjakan, atau apa yang patut dan tidak patut untuk dikerjakan.

Anggota DPR belajar Filsafat Etika?

    Seandainya anggota DPR RI mau belajar dan kuliah Etika di Sebuah fakultas Filsafat UGM, atau Fakultas Budaya di UI, atau STF Drijkarkara Jakarta, mungkin tepat sasaran dan tepat tujuan, karena dapat ditempuh dalam dua sampai tiga semester. Tapi coba bayangkan studi banding selama tiga sampai empat hari ke Yunani, makna apa yang di dapat dari kunjungan tersebut? Atau hanya ingin menyaksikan sisa-sisa reruntuhan bangunan, semasa Socrates 400 SM?atau hanya ingin membaca sejarah tentang Yunani sebagai pusat peradaban dunia?

    Istilah Yunani philosophia berasal dari dua kata, philein = mencintai ( to love) dan sophos = bijaksana (wise), atau Sophia = kebijaksanaan (wisdom). Dari definisi tersebut dapatlah di simpulkan bahwa filsafat adalah 'mencintai sifat bijaksana' maka, filsuf hanyalah teman yang mencintai kebijaksanaan.Menurut sejarah filsafat Yunani kuno, Pythagoras (580-500SM) adalah orang yang pertama kali memakai kata philosophia. Ketika Ia ditanya apakah ia orang yang bijaksana, pythagoras dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai philosophos, yaitu pencinta kebijaksanaan (lover of wisdom).

    Para filsuf tidak hanya puas dengan pertanyaan apa (what) atau mengapa (why) tetapi para filsuf melakukan refleksi tentang apa yang mereka perbuat dan mengadakan pemeriksaan secara kritis terhadap dasar pengetahuan. Socrates (469-399 SM); tidak hanya tertarik untuk memperoleh pengetahuan tentang jenis kehidupan yang dianggap paling bernilai, namun juga ia mengadakan pemeriksaan tentang dasar suatu kehidupan yang lebih bernilai dibanding dengan kehidupan yang lain.

    Plato (427-347 SM), menulis tentang masyarakat yang dicita-cita kan(ideal society), dimana terwujud keadilan yang sempurna dan juga meneliti makna 'keadilan', serta meneliti pelbagai cara untuk menetapkan apakah sesuatu masyarakat dikatakan adil ataukah tidak. Aristoteles (384-322 SM), sebagai murid Plato, tidak hanya menulis buku tentang fisika, biologi dan psikologi, tetapi juga menulis tentang logika, dan juga epistemology (teori pengetahuan).

    Untuk memperoleh jawaban yang berupa kebenaran, para filsuf mengadakan dialog (Tanya jawab). Kata dialog berasal dari kata Yunani dialectic yang berarti bercakap-cakap. Dalam filsafat Yunani, dialectic berarti kemahiran (art) untuk mencari kebenaran melalui percakapan. Menurut Socrates, dialog merupakan kegiatan kefilsafatan yang pokok dan penting. Kebenaran tidak pernah selesai, sehingga perlu mendengar pendapat dan buah pikiran orang lain. Karena itu, dalam melaporkan dan menerangkan filsafat, Socrates dan Plato menggunakan bentuk dialog.

    Satu pelajaran penting yang perlu di rewind kembali, adalah ketika komisi III DPR-RI melakukan Fit and proper test kepada calon Kapolri Timur Prodopo. Dalam Tanya jawab dan dialog yang dilakukan tidak tergambar proses dialog yang sebenarnya dimana penggalian informasi sedalam-dalamnya, dan jawaban yang diberikan sama sekali tidak menuju kepada pencarian hakekat kebenaran. Ketika Sudding dari Hanura bertanya tentang reformasi cultural di tubuh Polri, Pradopo hanya menyinggung sedikit tentang grand design Polri tanpa menjelaskan paradigm baru pengembangan staf, profesionalisme dan budaya organisasi yang sudah lapuk dan perlu direformulasi . Ketika ada pertanyaan tentang dimana posisi Pradopo sebagai Kapolres Jakarta barat, ketika kasus Trisakti pecah, hanya di jawab sebagai pembelaan diri atas perintah atasan, sama sekali tidak memberikan makna jawaban , dan tidak diteruskan dengan pertanyaan penyelidikan lainnya. 

    Tentu, yang dijadikan kambing hitam adalah persoalan minimnya waktu. Akan tetapi bagi kita yang menyaksikan proses dialog tersebut, terkesan bahwa proses dialog yang dilaksanakan sangat datar, dan hampir-hampir tidak berimplikasi terhadap pencarian kebenaran yang mencerahkan. Ternyata, Fit and proper test tidak di disain untuk menggali atau menyelidiki keterangan yang sedalam-dalamnya seperti yang dikemukakan oleh Poedjowiyatno, tentang filsafat. Apa yang dikemukakan di dalam usaha mengkritisi dan menggali performance kepemimpinan, dan tanggung jawab sebagai pejabat public, tidak tampak secara jelas. Atau, lebih jauh lagi semua jawaban yang dipaparkan, sangat normative, dan dalam kapasitas yang biasa-biasa saja. Padahal, bukankah pada era globalisasi sekarang sangat dibutuhkan kepemimpinan yang tranformatif, cerdas dan ber visi jauh kedepan?

Etika penyelenggara Negara

    Etika adalah aturan tingkah laku manusia mengenai tindakan benar dan salah, baik dan buruk yang merupakan aturan moral atau pertimbangan moral. Kalau dihubungkan dengan sebutan 'penyelenggara negara' sekurang-kurangnya terkait dengan fungsi legeslatif, maka aturan tingkah laku ini sangat berhubungan dengan anggota DPR/DPD. Di dalam system ketatanegaraan Tryas Politika, bahwa pembagian kekuasaan antara eksekutif, legeslatif dan judikatif tidak dilakukan secara sendiri-sendiri akan tetapi saling mengisi dan berjalan harmonis, dimana tidak di mungkinkan antara satu kekuasaan dengan lainnya, saling meng-intervensi.

    Sebutan 'semangat penyelenggara negara' terdapat di dalam Pokok pikiran yang keempat yang terkandung di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, ialah Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Oleh karena itu Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah (eksekutif) dan lain-lain penyelengara Negara (legeslatif dan judikatif) untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. 'semangat pemimpin pemerintahan'yang dimaksudkan bukan 'perseorangan' tetapi secara dinamis meliputi tanggung jawab berbangsa dan bernegara. "Semangat' dimaksud berkonotasi menjaga dinamika dan momentum pelaksanaan UUD sesuai dengan pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, tanpa henti. 

    Kalau Etika politik dihubungkan dengan 'semangat penyelenggara negara' maka secara individual akan berimplikasi kepada performance setiap anggota DPR, yang menurut Kant, bersifat Imperatif kategoris. Artinya seorang anggota DPR, diwajibkan untuk berperilaku sesuai dengan budi pekerti kemanusiaan yang luhur yang terkadung dalam Pancasila, al; 1)Menjalankan syariat agama sesuai Ketuhanan YME, 2) menjauhi tindakan asusila 3) menghargai HAM, 4)menghargai hak-hak politik, 5)menghargai hak-hak hukum, dan penegakan hukum 6) menjaga persatuan dan kesatuan, 7) menjaga asas musyawarah dan menghargai pendapat orang lan, 8)bersikap adil, 9)mementingkan kepentingan umum daripada kelompok/golongan , 10)berwawasan kebangsaan, 11) mempercepat proses pencapaian tujuan Negara, 12) memberantas korupsi 13) membantu pemerintah memerangi kemiskinan. 

    Memegang teguh cita-cita moral rakyat, dimaksudkan adalah bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.Oleh sebab itu didalam melaksanakan UUD 1945 dengan segala UU. Dan peraturan derifatnya guna mencapai tujuan bernegara mencapai kebahagiaan nasional lahir dan bathin, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (segenap bangsa dan seluruh tumpah darah), nilai-nilai Pancasila sebagai Pokok kaidah Negara yang fundamental ( staat fundamental norm) seyogianya dilaksanakan secara murni dan kosekwen. Pancasila adalah asas cultural, asas religius, asas kenegaraan Bangsa Indonesia, sekaligus merupakan asas kerohanian bangsa, karena masing-masing sila merupakan satu kesatuan bulat dimana antara sila yang satu dengan sila lainnya saling mengkualifikasi.

    Dengan penjelasan diatas secara personal, setiap anggota DPR selayaknya bersikap etis dalam melaksanakan tanggung jawab bernegara sesuai dengan tuntunan kelima sila Pancasila secara utuh. Peta geologis perpolitikan di Indonesia, sekarang ini, telah dibedah oleh Rocky Gerung dalam sebuah tulisannya di Prisma (2009), Intlektual dan kondisi politik. Pertama, adalah politik 'dagang sapi' adalah susunan kualitas yang paling dangkal, karena di dalamnya terdapat transaksi politik, tanpa visi ideologis, mengumpulkan kekuasaan dengan cara pragmatis, tanpa tahu akumulasi kekuasaan ditujukan untuk apa. Kedua, pelembagaan 'negara hukum',diselenggarakan secara rutin untuk tujuan demokrasi menjamin stabilitas politik dan sirkulasi elite melalui regularitas suksesi. Ketiga, politik adalah perjuangan keadilan diselenggarkan dalam distingsi ideologis yan jernih dan melalui kesadaran etis yang tinggi. 

   Selanjutnya dikatakan, perlunya pembenahan konstruksi etis politik kita, dimana Politikus dipahami sebagai sekedar 'binatang politik', yaitu mahluk tanpa etika, yang mengejar kepentingan dengan, 'menghalalkan segala cara'. Padahal istilah itu bertentangan dengan pengertian etis Aristotelian, yaitu bahwa manusia berbeda dengan binatang, justru memiliki kualitas menjalankan keadilan. Karena itu istilah manusia sebagai zoon politicon, hendaknya diterjemahkan sebagai 'binatang (mahluk) yang berpolitik'. Politik adalah kualitas yang tidak dimiliki binatang, dan karena itu manusia justru meninggikan wawasan dan kualitas antropologisnya melalui politik.

   Pancasila sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistimatikanya melalui Inpres no. 12 th 1968, tersusun secara hirargis pyramidal. Setiap sila (dasar/asas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenaran pada sila-sila lainnya adalah tidakan sia-sia. Usaha untuk memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat menyebabkan Pancasila akan kehilangan esensinya sebagai dasar Negara.

Pelanggaran Etika bernegara

    Apa yang dilakukan oleh empat orang terpidana anggota DPR yang telah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan negeri, tentang kasus korupsi, dan kepada 26 anggota DPR lainnya yang diduga menerima suap pada saat pemilihan Deputy Gubernur Miranda Gultoem, merupakan tindakan yang tidak etis, melanggar norma-norma ketidak patutan yang bertentangan dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan sila kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

    Sebuah pertanyaan lain. Ketika terjadi letusan 'Merapi' yang ketiga kalinya 5 november 2010, dan mengakibatkan 109 orang tewas dan 78 orang terkena luka bakar masuk rumah sakit akibat tumpahan 'whedus gembel', sebaran awan panas 1000 derajad celcius, yang yang meluncur dari puncak Merapi, meluluh lantakkan perkampungan dibawahnya, serta korban Tsunami di Mentawai yang telah mencapai korban diatas angka 445 orang, padahal belum mendapatkan bantuan, mengapa justru ditinggal pergi oleh para pemimpinnya? 

   Bukankah seharusnya para 'penyelenggara negara' mentaati tanggap darurat sebagai sebagai peringatan agar semua pejabat public focus kepada tugas dan fungsinya untuk menahan diri tidak bepergian ke Luar negeri? Dimana perasaan empati dan rasa solidaritas dalam konteks menjaga kohesifitas rasa kebangsaan di dalam Negara Pancasila? Dan ternyata bukan hanya komisi III yang bepergian ke Luar negeri, tetapi komisi VIII DPR pun ikut rame-rame, (bersama keluarga) berangkat ke Arab Saudi, untuk mengawasi pelaksanaan haji yang dikoordinir boleh Departemen Agama. Bahkan Gubernur Sumatera barat tega meninggalkan rakyatnya. Pergi ke Jerman road show untuk sebuah kegiatan pameran budaya. 

   Apakah etis meninggalkan Negara yang sedang mengalami bencana justru di tinggalkan oleh para pemimpinnya memprioritaskan tugas lain, padahal Tupoksi nya adalah masalah bencana? Persoalan patut, dan tidak patut, pantas dan tidak pantas adalah persoalan etika kenegaraan yang seharusnya sudah dipahami oleh seorang politisi dari partai-partai yang duduk didalam parlemen. Apabila kader partai tidak bisa memahami persoalan etika, maka patutlah dipertanyakan bahwa telah terjadi degradasi moral dan hilangnya rasa kebangsaan.
    
   Terlanggarnya sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, sangat nyata dan seharusnya tidak akan pernah terjadi, kalaulah kaderisasi anggota partai dilakukan secara baik dan benar. Seorang kader partai sebelum dicalonkan sebagai anggota legeslatif, seyogianya sudah lulus tahap-tahap kaderisasi berjenjang, sebagai prasyarat untuk lolos calon dan terutama, sudah memahami wawasan kebangsaan, dan tugas-tugas pokok sebagai anggota parlemen meng-agregasi kepentingan rakyatnya. 

   Setelah duduk dan terpilih sebagai anggota parlemen, maka seketika itu loyalitas nya kepada Negara lebih menonjol dan diatas segala-galanya, daripada memperjuangkan kepentingan golongan bahkan kepentingan pribadi, loyality to my party end, when loyality to my country begins. Kalimat ini pernah diucapkan ketika SBY, memberikan ceramah umum kepada politisi muda se-Indonesia, dibawah 30 tahun, kamis 4 november di Pekan Raya Jakarta, Kemayoran.

Kesimpulan

    Dari paparan di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa 
1. Anggota DPR yang bersumber dari Partai politik belum memahami secara utuh etika  bernegara terutama etika persidangan yang seharusnya menjadi basic awal yang telah diberikan dalam kurikulum pengkaderan sebagai anggota partai. 

2) Lemahnya wawasan kebangsaan para anggota parlemen, menandakan perlunya kursus Lemhannas yang diwajibkan kepada setiap anggota DPR agar mampu menerjemahkan kepentingan nasional diatas kepentingan golongan.

3)Pelaksanaan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan Ideologi Negara tidak dijalankan secara konsekwen oleh para penyelenggara Negara.

4) Keberangkatan anggota DPR ke Yunani tidak lebih dari perjalanan rekreatif ketimbang studi banding karena sebenarnya belum pernah dilakukan survai nasional mengenai etika dan tugas masyarakat adat di dalam setiap permusyawaratan suku apabila seseorang di tuduh 'melanggar adat istiadat'.

Saran
  1. Percepatan peningkatan mutu anggota Partai dimasa depan dengan melakukan kaderisasi internal mutlak dilakukan, agar memahami prinsip-prinsip dasar ber-organisasi, memahami etika persidangan, memperkaya wawasan kebangsaan.
  2. Seleksi calon-calon legeslatif harus dilakukan secara transparan, adil , dan dengan menitik beratkan semata-mata kekuatan kognitif, melainkan harmoni antara IQ,EQ dan SQ. Dengan criteria yang demikian, diharapkan anggota DPR memiliki performance dan standar mutu minimal yang layak dibanggakan dan memenuhi harapan rakyat sebagai penyelenggara Negara yang berbudi luhur dan mempunyai moralitas yang tinggi.
  3. Anggota Badan kehormatan DPR, yang melakukan evaluasi etik terhadap anggotanya, seyogianya di pilih dari para anggota yang mempunyai martabat, dedikasi dan telah teruji didalam kinerja partai tanpa memiliki cacat politis.
  4. Sependapat dengan Daniel dhakidae, dalam Prisma, (2009) Diperlukan 'political engineering baru', untuk mengontrol kuasa parlementarisme dimana perlemen mensub-ordinasi kekuasaan eksekutif, atau sebaliknya politik kehilangan independensi menjadi sub-ordinasi kepada fungsi kenegaraan yang khas, l' unique lieu 'etatique. (am.a).


    
    


  

    
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar