Oleh : Abdul Muin Angkat
Mengapa daya saing bangsa dianggap sangat lemah bila dihubungkan dengan transformasi Ipteks, yang seharusnya menghasilkan nilai tambah bagi peningkatan mutu kehidupan anak bangsa? Mengapa juga inovasi, difusi, perekayasaan & alih teknologi masih tertinggal bila dibandingkan dengan Negara tetangga Thailand, misalnya? Bukankah diperlukan perubahan yang mendasar di dalam pengembangan kapasitas dan system manajemen perguruan tinggi?. Daya saing perguruan tinggi akan meningkat, apabila kesehatan organisasi baik ditingkat nasional maupun perguruan tinggi dapat diwujudkan.
Dalam HELTS (Higher Education Long Term Strategy) 2003-2010, Dikti telah merumuskan strategi pengembangan yang bertumpu pada 3 strategi utama, yaitu 1) peningkatan daya saing bangsa, (nation’s competitiveness), 2) Otonomi dan decentralisasi, (autonomy), dan 3) Kesehatan organisasi, (organizational health).
Daya saing bangsa. Perguruan tinggi dituntut untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan. Untuk meningkatkan daya saing lulusan harus dimulai dengan peningkatan mutu dan daya saing perguruan tinggi itu sendiri. Upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi secara nasional telah dimulai sejak awal tahun 1990, melalui kebijakan yang tertuang di dalam KPPTDJP 1995- 2005, dan seterusnya dilanjutkan dengan HELTS 2003 – 2010. Melalui kebijakan tersebut institusi pendidikan tinggi diharapkan mampu meningkatkan kualitasnya melalui berbagai program pengembangan antara lain; program university research for graduate education, (URGE 1990), Development Of Undergraduate Education,(DUE, 1994), Quality for Undergraduate Education, (QUE,1996), Semi-QUE, (1999), DUE-like (1999), Technological and professional skills Development Project (TPSD,2000), serta Program A1, A2, dan B (2004), khusus untuk program B, diharapkan munculnya perguruan tinggi yang mampu bersaing dengan perguruan tinggi luar negeri.Terakhir Program teranyar,adalah Percepatan Peningkatan Kualitas Mutu PTS sehat, Program kewirausahaan, dan program Soft skill mahasiswa. (2008-2009).
Otonomi dan desentralisasi. Di dalam rangka pembenahan kapasitas institusi pendidikan tinggi, telah dilakukan Pergeseran peran Ditjen Dikti, dari peran regulator ke peran fasilitator. Dalam hal ini kewenangan perguruan tinggi semakin diperluas melalui otonomi perguruan tinggi. Perguruan tinggi secara otonom menetapkan visi misi nya sesuai dengan potensi, dan kekhasan institusi regional yang dipadukan dengan tujuan pendidikan nasional.
Kesehatan organisasi. Intitusi pendidikan yang sehat, memenuhi persyaratan pelaksanaan akademik dengan melakukan restrukturisasi organisasi sesuai dengan fungsi, serta pengembangan organisasi mitra. Di tingkat perguruan tinggi Swasta sesuai dengan peningkatan akreditasi telah dilakukan program nurturing untuk memberikan inisiasi kepada perguruan tinggi lemah dengan mengirimkan dosen-dosen senior dari berbagai ilmu murni.
Secara khusus pemerintah mendorong dirumuskannya mekanisme dan tata cara meng-evaluasi kondisi kesehatan organisasi perguruan tinggi, dan menyiapkan dana khusus untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi tersebut. Mampukah perguruan tinggi memperbaiki kualitas institusi dan peningkatan sumber daya insane ditengah-tengah kompetisi antar bangsa, dengan memanfaatkan sepenuh-penuhnya rekayasa Ipteks bagi kemakmuran? Masihkah diperlukan kebijakan ‘merger’ bagi Perguruan tinggi yang tidak memenuhi Standar minimal kualitas mutu dari sekitar 2800 Perguruan tinggi di Indonesia?
Penelitian berbasis R&D
Perguruan tinggi sebagai ‘knowledge factory’, sebagai Pusat peradaban, dan Pusat Intlektual, diharapkan menghasilkan lulusan yang kreatif dan inovatif dengan keterampilan khusus yang dibutuhkan diberbagai sector kehidupan, termasuk bidang teknologi, ekonomi, hukum dan social budaya. Di dalam persaingan global, dimana pengembangan teknologi harus berbasis R&D, kiranya perlu didukung oleh stake holders.
Perguruan tinggi juga memiliki peran strategis guna menumbuhkan budaya meneliti serta meningkatkan mutu penelitian di semua perguruan tinggi sehingga mampu untuk melakukan transvers teknologi, memanfaatkan teknologi bagi kepentingan pembangunan bangsa guna mempercepat Pencapaian kesejahteraan serta keadilan social bagi seluruh bangsa Indonesia.
Dengan visi dan misi baru perguruan tinggi yaitu mendekatkan kerjasama yang bersifat ‘ kebijakan untuk melaksanakan simbiose mutualistis antara perguruan tinggi dan pihak industry, ini menandakan bahwa peran perguruan tinggi semakin strategis untuk meletakkan dasar-dasar serta pengembangan jiwa kewirausahaan dikalangan civitas academica. Pertumbuhan ekonomi berbasis penguasaan teknologi maju diharapkan akan memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Optimalisasi peran perguruan tinggi di dalam aktualisasi kapasitas sumber daya insani yang merata di seluruh Indonesia akan menghilangkan kesan sentralisme yang terpusat di dalam menajemen pengelolaan perguruan tinggi yang kuat dan mandiri.
MASALAH POKOK
Lima masalah pokok yang memerlukan dukungan pengambilan kebijakan di dalam Higher education long term strategy (HELTS) 2003 – 2010 yaitu 1)Governance, 2) Dana 3) SDM, 4)Peraturan Perundangan, 5)Penjaminan mutu akademik, sbb:
1. Governance. Tata kelola merupakan aspek penting di dalam organisasi, karena secara spesifik pengelolaan perguruan tinggi sangat berbeda dengan pengeloaan bisnis perusahaan atau pemerintahan. Secara universal bahwa perguruan tinggi mempunyai keunikan sendiri yaitu adanya system nilai berdasarkan norma kebaikan, kebenaran, kejujuran dan saling menghormati. Salah satu kebutuhan mendasar dari perguruan tinggi adalah kebebasan akademik, dan pengelolaan otonomi agar perguruan tinggi bisa berkembang didalam konteks peningkatan daya saing bangsa di dalam era globalisasi sekarang.
2. Dana. Sumber penerimaan dana serta system pengelolaan yang transparan yang memenuhi kaidah-kaidah transparansi dan melalui pertanggung jawaban yang akuntable adalah salah satu syarat agar kepercayaan masyarakat dan Negara memberikan citra yang baik terhadap pembinaan perguruan tinggi secara bertanggung jawab.Peningkatan sumber dana alternative selain dari dana RAPBN diperoleh dari masyarakat dan stake holder melalui hibah maupun kerjasama pendidikan.
3. Sumber daya insani sebagai asset nasional merupakan ‘moral force’ di dalam mencetak insane yang ber akhlakulkarimah guna pembangunan karakter bangsa. (Nation and Character building).
4. Peraturan Perundang-undangan mencerminkan adanya ‘political will’ Pemerintah untuk menata perguruan tinggi secara menyeluruh dan sistemik. Pola baru di dalam pengelolaan perguruan tinggi dilaksanakan secara desentralisasi.
5. Penjaminan mutu akademik. Dengan adanya peningkatan mutu Perguruan tinggi, maka masyarakat akan bisa menilai sendiri mutu sebuah perguruan tinggi guna tercapainya kesehatan organisasi.
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN TINGGI.
Dari lima masalah pokok di atas, dikerucutkan menjadi tiga kebijakan dasar yang disebut sebagai 1) Daya saing Bangsa, 2) Otonomi, 3) Kesehatan organisasi
1. Daya saing. Fungsi pendidikan tinggi yang merupakan landasan bagi pertumbuhan dan pengembangan peradaban Bangsa diharapkan menjadi suatu ‘kekuatan moral’ yang mendorong terciptanya a) insan yang ber akhlakul karimah mempunyai kecerdasan holistic yang merupakan integrasi kecerdasan IQ,EQ, dan SQ. Dalam hal ini Perguruan tinggi sebagai ‘knowledge factory’,serta Pusat Intlektual, harus mampu a) menanamkan nilai-nilai luhur Bangsa (kebenaran, kejujuran, keadilan), b) menjaga persatuan dan keasatuan Bangsa, c) mengawal pelaksanaan Demokrasi yang berkeadilan, dan d) memanfaatkan momentum reformasi untuk perubahan.
(Dari sumber ; www. Imd.ch/wcy/order farm), posisi Indonesia dalam peringkat daya saing diantara Negara-negara berpenduduk di atas 20 juta, masih bertengger pada peringkat 28, dari 30 negara. Perilaku inovatif, tanggung jawab dan profitabilitas perusahaan menduduki peringkat ke -30 dengan nilai 6,1. Sementara kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing juga masih rendah yaitu dengan nilai 16,9, pada peringkat 27. Sementara kontribusi Sains, teknologi, SDM terhadap dunia
Usaha masih pada posisi angka 9,6, terlemah diantara 30 Negara (yang berpenduduk diatas 20 juta).
2. Desentralisasi dan Otonomi. Sesuai dengan UU Sisdiknas dinyatakan bahwa pertama, Gerakan Reformasi di Indonesia secara umum menuntut dilaksanakannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak azasi manusia. Kedua, dengan perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat, maka diperlukan pembaharuan sistim pendidikan nasional yang diselenggarakan secara gradual. Ketiga, Yang dimaksud dengan Otonomi Perguruan tinggi sesuai dengan penjelasan UU Sisdiknas, adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri institusinya.
3. Kesehatan Organisasi. Perguruan tinggi diharapkan mampu berperan untuk mendorong pertumbuhan daya saing melalui inovasi Ipteks serta meningkatkan kreatifitas Ilmu pengetahuan. Organisasi yang sehat yang memungkinkan Perguruan Tinggi menjalankan Visi Misi nya secara bertanggung jawab. Hal tersebut ditandai dengan ciri-ciri sbb; a)Berkembangnya kebebasan akademik, b) Terciptanya suasana akedemik yang inovatif, dan kreatif sehingga menciptakan ide-ide baru dan peradaban baru, c) Berkembangnya sistem nilai etis dan produktif, yang ditandai dengan tumbuhnya team building dan team spirit untuk melahirkan kelompok-kelompok kreatif, d) Terciptanya budaya organisasi yang kompetitif untuk menyaring pribadi unggul dan meritokratis, e) Berlangsungnya kerjasama yang berkesinambungan dengan memperluas jaringan, f)Transformasi jiwa kewirausahaan kepada mahasiswa, sehingga produk intlektual dan penelitian dapat dipasarkan.
PEMBAHASAN DAN EVALUASI.
Rencana Strategis jangka panjang (Strategic Plan ) adalah dokumen yang menerangkan tujuan organisasi dan menetapkan sasaran yang realistis dan objektif (konsisten dengan misi) dalam jangka waktu tertentu. Rencana strategis merupakan alat bantu yang kuat bagi institusi untuk meng-ekspresikan Visi yang dimiliki. Rencana strategis berfokus pada masa depan, dan perhatian utamanya adalah daya adaptasi organisasi terhadap perubahan dilingkungannya. Semakin sering terjadi perubahan di-sekitar organisasi, semakin sering pula proses peninjauan ulang terhadap Rencana Strategis harus dilakukan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia telah menyusun Strategi jangka panjang pendidikan tinggi yang dikenal dengan HELTS 2003 – 2010 (Higher Education Long Term Strategy). Dokumen ini menjadi acuan utama dalam upaya meningkatkan peran pendidikan tinggi di Indonesia dalam konteks persaingan global sehingga mampu memperkuat daya saing bangsa.
HELTS 2003 – 2010, memfokuskan 3(tiga) hal penting yaitu ; 1. Daya saing bangsa, 2. Otonomi, 3) Kesehatan organisasi.
1. Daya saing
Krisis multi dimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1998,menyebabkan negeri ini terpuruk daya saingnya di dunia internasional. Dari sector ekonomi disadari bahwa upaya untuk bangkit dari krisis, masih belum mencapai hasil yang memuaskan. Secara keseluruhan Bank dunia di dalam salah satu laporannya mencatat, bahwa posisi daya saing Indonesia diantara 30 negara yang berpenduduk diatas 20 juta menempati urutan ke -28. Seperti terlihat pada table 1. Tabel tersebut secara keseluruhan menyebutkan rendahnya daya saing Bangsa Indonesia dibandingkan dengan 30 negara lain. Parameter penilaian yang digunakan sangat erat kaitannya dengan kinerja perguruan tinggi, seperti misalnya masih lemahnya inovasi, difusi, perekayasaan & alih teknologi, lemahnya informasi teknologi hasil penelitian terhadap pelestarian SDA. Selain itu kontribusi Ipteks juga masih jauh terhadap kontribusi nasional, di dalam table tersebut, ‘Kualitas pendidikan tinggi’ terdapat angka 9,6 dan Indonesia masih berkutat di peringkat 30 di antara 30 negara. Dan ini, yang sungguh masih merisaukan. Indonesia termasuk salah negara dimana kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing masih rendah. Yaitu angka 16,9, artinya usaha pemerintah untuk mendukung percepatan pembangunan dengan kebijakan IT, masih setengah hati. Posisi Indonesia nomor 3 urutan dari bawah dari 30 negara.
Dipihak lain dari Sumber ADB, 2003, pada indicator dan outcomes (table 2) yang menunjukkan angka jumlah eksport yang berbasis teknologi tinggi, dari lima Negara di Asia, posisi Indonesia paling rendah dari Negara Filipina, Singapura,Thailand dan Malaysia. Didalam data tersebut, jumlah R&D Indonesia hanya 1, sedangkan Malaysia 67, dan Thaliland 119.( jumlah R&D /juta penduduk antara 1985-1995). Jumlah paten yang dihasilkan Indonesia 20, lebih rendah dari Singapura 88.
Data Peringkat Pendidikan Tinggi tingkat Dunia dan Asia. Untuk tingkat dunia, Indonesia belum berhasil memasukkan perguruan tingginya pada level ini. Dibandingkan dengan Taiwan yang memasukkan 5 perguruan tingginya, atau Singapura dan Turki yang memasukkan masing-masing memasukkan 2 perguruan tingginya dalam posisi 500 perguruan tinggi di dunia. Dari 100 perguruan tinggi di Asia, Taiwan dan Singapura memasukkan masing-masing 3 perguruan tingginya dan Indonesia masih belum berhasil memasukkan satu pun perguruan tingginya.(table 3)
Faktor lain yang menyebabkan ketertinggalan kualitas perguruan tinggi Indonesia, dibandingkan dengan kualitas perguruan tinggi Negara tetangga, bisa dilihat dari berapa jumlah dan perbandingan biaya seorang mahasiswa dihitung dari fasilitas yang diterima dari perguruan tinggi selama menyelesaikan perkuliahannya? (table 4 ).Coba bandingkan seorang mahasiswa dari Singapura biaya yang diperlukan berkisar antara Rp. 90 sd 400 juta, Jepang dan Inggris Rp. 85 juta, sedangkan seorang mahasiswa di Indonesia hanya sampai pada angka Rp 3.17 juta.
Angka Ideal untuk biaya seorang mahasiswa Indonesia menurut Dirjen Dikti Prof. Dr Satryo Brojonegoro adalah Rp. 18. Juta, dimana fasiltas yang diberikan pemerintah untuk mendukung proses pembelajaran termasuk fasilitas laboratorium dan fasilitas lainnya. Kalaupun angka ini bisa tercapai, maka masih jauh dari angka Rp 29 – 111 juta biaya seorang mahasiswa di Malaysia. Dengan adanya kenaikan biaya pendidikan sebesar 20 % RAPBN di Indonesia sekurang-kurangnya, merupakan langkah optimistis untuk bisa mensejajarkan kualitas perguruan tinggi Indonesia dengan Negara-negara tetangga. Namun apabila dibandingkan dengan Negara-negara Asia, misalnya Vietnam prosentase pendanaan untuk pendidikan sangat tinggi, mencapai 86, 10%, hampir sejajar dengan India 92, 50% tertingi di Asia.(lihat Table 5.)
Memahami hal ini, sejak awal tahun 90-an berbagai usaha mengembangkan kapasitas perguruan tinggi (capacity building), telah dilakukan oleh Dikti dengan pendekatan investmen based program menjadi pendekatan outcome based program yang dirancang dalam suatu competitive funding mechanism.
Terjadinya marginalisasi ketertinggalan pendidikan tinggi Indonesia di dunia internasional, mengakibatkan terlontarnya posisi Indonesia dalam kompetisi dunia. Oleh sebab itu pilihan alternative untuk memperbaiki posisi tersebut adalah dengan menetapkan bidang-bidang strategis sebagai area pengembangan yaitu pendidikan, kesehatan, pangan, IT, kelautan dan energy.
Dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa perlu dukungan sumber daya, dan focus kepada kualitas bukan hanya kwantitas semata. Dalam hal itu, Dana penelitian untuk meningkatkan mutu dan relevansi harus dicari sumber pendanaan yang bukan dari pemerintah. Pengembangan daya saing tersebut sekaligus untuk menyosialisasikan program soft skill agar mahasiswa mempunyai ketrampilan hidup tidak semata-mata terfokus kepada pendidikan yang bersifat kognitif.
2. Otonomi perguruan tinggi.
Di dalam terdapatnya disparitas kualitas perguruan tinggi tersebut, untuk mencapai kondisi ideal yang diharapkan, maka dilakukan perubahan di mana selama ini kebijakan centralistic terlalu dipusatkan ke Dikti, maka sudah saatnya dirubah menjadi desentralisasi, sehingga perguruan tinggi mampu mengelola manajemennya secara otonom dan mandiri. Perubahan peran dan fungsi Dikti sebagai regulator dan fasilitator, akan membawa angin segar di dalam tingkat kompetisi perguruan tinggi, dimana tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta.
Pada perkembangan baru-baru ini dimana Majelis Konstitusi telah mengeluarkan ketetapan meng anulir UU BHP karena desakan yang kuat dari Asosiasi Perguruan tinggi swasta, atau kelompok-kelompok masyarakat yang menantang diberlakukannya UU BHP, maka diperlukan satu payung baru berupa PERPPU atau kembali kepada penerbitan sebuah PP baru tentang pengelolaan perguruan tinggi. Payung hukum ini sangat mendesak agar upaya mencari solusi tentang penyesuaian kembali posisi BHMN (Badan Hukum milik Negara), sebagai perguruan tinggi yang otonom akan mengalami perubahan peran yang signifikan. Dipihak lain, dengan perubahan itu maka pengaturan hubungan antara Yayasan Pendidikan dengan Perguruan tinggi swasta secara internal akan mencari momentum titik temu, sehingga fenomena perselisihan internal ini juga dapat di-reduksi dimana harmonisasi kemitraan yayasan dan lembaga pendidikan tinggi, dapat tercapai.
Berdasarkan UU no. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah kabupaten/kota memiliki kemandirian di dalam mengelola daerahnya masing-masing, termasuk mengelola pendidikan dasar/menengah. Akan tetapi khusus untuk pendidikan tinggi tidak diserahkan kepada Pemerintah daerah, karena menurut UU Sisdiknas, pasal 50 ayat(6), menyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakannya sendiri di dalam pengelolaan pendidikan dan lembaganya. Sangat diharapkan kontribusi Pemerintah daerah di dalam pemberian fasilitas, akses kerjasama ke sector produktif maupun pengelolaan sumber daya alam di dalam pengembangan modal capital sumber daya isani.
3. Kesehatan organisasi
Perguruan tinggi diharapkan mampu mendorong pertumbuhan daya saing melalui pemanfaatan dan pengembangan Ipteks,melalui penyelenggaraan perguruan tinggi, membentuk insane yang bermoral / ber akhlakul kharimah, menjaga pelaksanaan demokrasi yang bermartabat serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Organisasi yang sehat memungkinkan perguruan tinggi menjalankan kegiatannya sesuai dengan visi misi yang ditetapkan serta memenuhi kebutuhan stake holders.
Faktor-faktor manejerial yang mendukung terwujudnya organisasi perguruan tinggi yang sehat antara lain adalah:
a. Lembaga yang bertanggung jawab terhadap kualitas maupun integritas civitas akademika.
b. Kepemimpinan yang kuat yang dihasilkan dari sitem pemilihan Meritokrasi.
c. Pengelolaan keuangan yang terbuka dan akuntable.
d. Pengambilan keputusan yang berdasarkan informasi data yang akurat.
e. Evaluasi kinerja dan perencanaan sumber daya manusia.
f. Sistem kendali internal dalam aspek akademik, pengelolaan asset maupun financial.
Sifat perguruan tinggi yang nirlaba akan akan menjamin pemberian peluang yang sama kepada peserta pendidikan tanpa diskriminatif. Oleh sebab itu tujuan mencerdaskan anak bangsa sebagai cita2 yang menjadi tanggung jawab pemerintah telah termaktub di dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Dengan telah di anulirnya UU BHP maka orientasi pendidikan selama ini yang dianggap bergeser dari pengertian di atas seyogianya di kembalikan kepada orientasi pendidikan yang adil dan pro rakyat.
Oleh sebab itu yang merupakan kebutuhan mendesak sekarang adalah untuk merumuskan pembuatan UU pendanaan ‘/lembaga korporat nirlaba milik pemerintah, karena sesuai dengan UU Sisdiknas, bahwa tanggung jawab pendidikan secara umum bukan hanya dibebankan kepada pemerintah akan tetapi merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan stake holders. Dan satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah perlunya amandemen tentang UU perpajakan agar ada pembebasan pajak bagi dosen pelaksana penelitian di perguruan tinggi sehingga kegairahan untuk meneliti bagi peneliti muda lebih meningkat.
Untuk menjawab tantangan masa depan, perguruan tinggi seyogianya menggunakan pendekatan shared and participatory approach di dalam penyelenggaraan pengelolaan perguruan tinggi. Pendekatan tersebut mempunyai 2 hal penting yaitu;
a. Rasa pemilikan dan tanggung jawab yang tinggi
b. Penggalangan partisipatif dari seluruh civitas akademika.
Di masa datang, penjaminan mutu di suatu perguruan tinggi menjadi suatu indicator kesehatan organisasi dan kinerja akademik suatu perguruan tinggi. Kualitas suatu perguruan tinggi tidak hanya karena diakui oleh pemerintah, akan tetapi lebih karena hasil akreditasi penilaiannya diakui oleh masyarakat dan stake hoders, sebagai hasil implementasi penjaminan mutu.
Dari ketiga aspek HELTS diatas, maka pertama, diperlukan satu strategi untuk menggalang kerjasama dan kemitraan dengan pihak lain dengan melakukan benchmarking, yang diarahkan kepada penggalangan sumber daya yang berbeda. Secara khusus kemitraan tersebut juga dilakukan dengan Lembaga pemerintah, industry dan dunia usaha. Kedua, melakukan program nurturing untuk membantu perguruan tinggi yang lemah namun memiliki keinginan yang kuat untuk berkembang.
Untuk menentukan Program formulasi, yang perlu ditindak lanjuti adalah penggabungan lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat menjadi Litbang yang berbasis R&D, menumbuhkan budaya meneliti dikalangan civitas akademika serta melindungi hasil penelitian oleh HAKI dan memasarkannya pada masyarakat pengguna.
EVALUASI. Evaluasi kinerja untuk mengetahui tingkat kemandirian perguruan tinggi terlebih dahulu merumuskan indicator kinerja sbb;
Ø Peringkat mutu penelitian (Tranver of Knowledge, adaption, innovation, invention, discovery).
Ø Cakupan bidang penelitian.
Ø Dana
Ø Hasil penelitian. Produk unggulan yang memperkuat R&D, telah dihasilkan oleh Program Hibah bersaing yang dilaksanakan oleh ITB, 1). Berupa penelitian sisa debu
Terbang yang dihasilkan oleh produksi/industry tertentu, yang dimodifikasi menjadi bahan batuan yang dapat digunakan untuk bangunan di Bulan oleh NASA (daya tahan s.d 100 tahun), 2). Bantalan kereta api yang terbuat dari campuran semen.
Ø Produk unggulan lainnya seyogianya mendapatkan respons dari pihak Industri yang berdampak kepada pemberian royalty kepada perguruan tinggi yang mendapatkan paten HAKI guna menunjang pengembangkan mutu penelitiannya untuk masa depan di perguruan tingginya masing=masing.
Meningkatkan kapabilitas penelitian ;
Ø Untuk memberikan kersempatan seluas-luasnya kepada dosen muda maka dikeluarkan kebijakan penelitian agar dosen yang sudah mencapai starata S3 tidak diperkenankan mengikuti Penelitian yang diperuntukkan kepada pembinaan Dosen muda. Akan tetapi justeru dana penelitian untuk Doktor lebih ditingkatkan.
Ø Perlu penggalangan kerjasama dengan stake holder termasuk perguruan tinggi di luar negeri.
a) Internal scanning. Masih lemahnya inovasi, difusi, perekayasaan &alih teknologi dan masih kurangnya kontribusi ipteks terhadap produktivitas nasional. Perlu penguatan jaringan penelitian antar lembaga litbang dan sector swasta.
b) Eksternal scanning. Perlunya transver teknologi dengan pembagian imbal jasa. Masih rendahnya investasi pengembangan SDM dibanding Negara lain. Ketertinggalan perekonomian nasional (tingkat pertumbuhan ekonomi masih satu digit berdampak kepada lemahnya daya saing bangsa).
c) Sembilan langkah strategic planning ( 1.business vision, mission, 2.internal environmental analysis, 3.eksternal environmental analysis, 4. Goal formulation, 5.strategy formulation, 6. Program formulation, 7. Implementation, 8. Evaluation,9.feed back ), dilaksanakan secara konsisten di dalam rangka pencapaian manajemen yang ber orientasi hasil.
d) Di dalam rangka evaluasi program, pemantauan dan umpan balik dapat dilihat apakah disebabkan kesalahan implementasi ataukah kesalahan kebijakan. Di dalam rangka evaluasi dan pemantauan dapat memberikan masukan terhadap penyusunan rencana masa datang.
KESIMPULAN DAN SARAN.
1. Pendidikan tinggi lebih bersifat sebagai barang privat (privat goods) daripada barang public ( public goods ). Oleh sebab itu tanggung jawab pembiayaan pendidikan seyogianya dipikul oleh tiga pihak yaitu a).pemerintah, b) masyarakat, c) sector produktif nasional. Untuk menghasilkan lulusan program sarjana yang dapat bersaing dengan lulusan perguruan tinggi luar negeri seyogianya dapat menaikkan dana rata-rata yang di-alokasikan pemerintah yang selama ini senilai Rp. 3,17 juta/mahasiswa/tahun ditingkatkan menjadi Rp. 18,1 juta/mahasiswa/tahun.
2. Sesuai dengan misi pendidikan yang diamanatkan oleh UUD 1945, Bab XIII, pasal 32 ayat (4 ), tentang peran strategis perguruan tinggi untuk membangun fondasi meningkatkan daya saing bangsa, perlu adanya dukungan pemerintah dalam hal sbb;
a) Perlu diterbitkannya UU/PP tentang Pendanaan bagi korporat nirlaba untuk mengatur bentuk hibah blok.
b) Ketentuan perpajakan yang dikhususkan bagi penyelenggaraan pendidikan dan atau penelitian.
c) Perlu dorongan Pemerintah agar R&D Industri berkaloborasi dengan Litbang Perguruan tinggi.
d) Pendidikan dan pengajaran yang bersifat kognitif di Perguruan tinggi, lebih di fokuskan kepada pengembangan soft skill mahasiswa untuk meningkatkan kreatifitas, inovasi, tim building serta kepemimpinan mahasiswa.
3. Dengan telah di anulirnya UU BHP oleh Mahkamah konstitusi RI, maka diperlukan adanya payung baru secara konstitusional yaitu PP tentang Pendidikan tinggi untuk menggantikan PP no. 60, th 2000 dan PP no. 61 th 2000.
4. Untuk mencapai hasil yang optimal didalam penyelenggaraan kinerja organisasimenuju good governance, diperlukan paradigm baru dari orientasi proses menuju orientasi hasil. Di dalam era keterbukaan sekarang ini diperlukan akuntabilitas public yang mampu melakukan penilaian dan kritik terhadap berjalannya manajemen birokrasi secara efektif dan efisien.
5. Masih diperlukannya HELTS ( Higher education Long Term Strategy ) terbarukan, tahun 2010 – 2015. Yang difokuskan kepada dua hal utama yaitu a) Masuknya Perguruan Tinggi Indonesia pada 500 PT dunia maupun 100 PT Asia, b) Terlaksananya Transfer teknologi kepada bidang-bidang Teknologi terapan, Teknologi madya, yang hasilnya dapat meningkatkan nilai tambah bagi pendapatan masyarakat, utamanya kesejahteraan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003 – 2010 (HELTS)
(Meningkatkan peran serta masyarakat)
Oleh; Dirjen Dikti, Prof DR. Satryo Soemantri Brojonegoro
Jakarta April 2004.
2. Idem, (mewujudkan perguruan tinggi yang berkualitas).
3. Idem, (Menuju sinergi Kebijakan Nasional.)
4. Manajemen Strategik “Menganalisis Strategi untuk Southwest Airlines”
DR. Gatut L. Budiono MBA, ( Bahan kuliah).
5. Strategic Planning Process, DR. Gatut Buiono MBA, (Bahan kuliah).
Kualitas pdd Tinggi (lampiran 1.)
Parameter | Nilai Max 100 | Peringkat dari 30 negara |
Daya saing Bangsa | 13,3 | 28 |
Ø Indicator ekonomi mak Ro. | 28 | 24 |
Ø Kebijakan pemerintah menigkatkan daya saing. | 16,9 | 27 |
Ø Perilaku inovatif, tanggung jawab dan profitabilitas lembaga. | 6,1 | 30 |
Ø Kontribusi sains, teknologi dan SDM ter Hadap dunia usaha. | 9,6 | 30 |
(POSISI INDONESIA DALAM PERINGKAT DAYA SAING
DIANTARA NEGARA-NEGARA BERPENDUDUK DIATAS
20 JUTA)
-------------------------------------------------------------------------
INDIKATOR DAN OUTCOMES LITBANG
(SUMBER : ADB, 2003) Lampiran 2.
Negara | Jumlah R & D/juta pdd (’85-’95) | Jumlah paten yang dihasilkan (’96). | Jumlah jenis eksport(tekn. Tinggi/manufaktur) ’97. |
Indonesia | 1 | 20 | - |
Malaysia | 87 | 12 | 67 |
Filipina | 1299 | 4 | 12 |
Singapura | 2728 | 88 | 71 |
Thailand | 119 | 11 | 43 |
PERINGKAT PENDIDIKAN TINGGI TINGKAT DUNIA & ASIA. ( Lampiran 3. )
Negara | 500 PT Terbaik dunia | Negara | 100 PT Terbaik asia |
1. AS 2. Inggris 3. Jerman 4. Jepang 5. Kanada 6. Perancis 7. Australia 8. Belanda 9. Cina 10. Korsel 11. Hongkong 12. Taiwan 13 India 14. Selandia Baru. 15. Singapura 16. Turki 17. Indonesia | 159 42 41 36 24 22 13 12 9 8 5 5 3 3 2 2 0 | 1. Jepang 2. Australia 3. Cina 4. Korsel 5. Israel 6. Hongkong 7. Taiwan 8. India 9. New zaeland 10. Singapura 11. Turki 12. Indonesia | 36 13 9 8 6 7 3 3 3 2 2 0 |
BIAYA MHS/TAHUN, PERBANDINGAN ANTAR NEGARA. (INDONESIA = 3,17 JUTA).Lampiran 4.
NEGARA | Biaya/mhs/tahun | Eq. rupiah |
Amerika dan Kanada | US $ 20. 000 | Rp. 170 juta |
Jepang dan Inggris | Us $ 10. 000 | Rp. 85 Juta |
Perancis dan Italia | Us $ 6000 - 7000 | Rp. 51- 60 juta |
Malaysia | Rp. 29 – 111 juta | |
Singapura | Rp. 90 -400 juta |
PERBANDINGAN PENDANAAN PT DI DUNIA
(Lampiran 5.)
NEGARA | Prosentase alokasi |
1. Cina | 69, 30 |
2. India | 92,50 |
3. Malaysia | 53,60 |
4. Filipina | 14,80 |
5. Srilangka | 64,00 |
6. Vietnam | 86,10 |
7. Indonesia | 12,30 - 20 |
Dengan mengejar ketertinggalan ini dengan sistematis mungkin fakta ini bisa dirubah. Semoga bangsa melahirkan pemikir-pemikir unggul yang berperan untuk pembangunan indonesia..!!
BalasHapusSetuju dibutuhkan pememimpin kuat dan pro rakyat untuk membangun Indonesia baru dimana kabinetnya terdiri dari para ahli dibidangnya (zaken cabinet)bukan kader partai yg asal2an tidak punya kompetensi. Syarat lainnya adalah berantas korupsi sampai keakar2nya, dan perbaiki total sistem perekonomian yang berbasis pasal 33 UUD 1945. Go !! (Thanks komennya)
BalasHapus