Selasa, 27 April 2010

REORIENTASI KOALISI


Kalam

Manuver Hayono Isman, sebagai sekretaris Dewan Pembina, Partai Demokrat, secara gamblang menekankan perlunya jiwa kesatria para politisi yang terhimpun di dalam mitra koalisi dari partai yang duduk di dalam cabinet SBY, jilid dua. Mereka diminta mundur dari jabatan Menteri, karena menyalahi etika koalisi maupun etika oposisi. Mengapa para politisi Golkar, PKS, dan PPP bersikap oposisi kepada Pemerintahan SBY di dalam Skandal Bank Century, padahal mereka telah meneken kontrak politik sebagai pendukung Pemerintahan SBY?

Nyatanya mereka berpihak pada Opsi C yang memenangkan voting dengan jumlah suara 325 ketimbang Opsi A,yang di dukung oleh Partai Demokrat, PAN dan PKB. Ditengarai, pilihan Voting yang menyatakan bahwa terdapat dugaan penyalah gunaan wewenang oleh Menkeu. Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia yang kala itu dijabat oleh Boediono, di dalam memutuskan Bailout Bank Century yang merugikan Uang Negara sebesar 6,7 Triliun rupiah, harus di usut melalui penyidikan hukum.

Partai-partai koalisi yang pro Opsi C, dituduh sebagai ‘penghianat’ padahal mereka menjalankan fungsi ‘amar ma’ruf nahi mungkar’ di dalam melakukan penyelidikan kasus Bank Century secara transparan dengan temuan fakta di lapangan. Alasan lainnya mereka ingin memperkuat Pemerintahan SBY, yang mereka dukung bersih dari perbuatan penyalahgunaan wewenang dan dugaan korupsi. Yang oleh SBY sendiri Meminta, agar dibuka “secara terang benderang”.


Mengapa Partai koalisi menerapkan sistem ‘parlementer’ di dalam pemerintahan yang Presidensial? Mengapa partai-partai koalisi melakukan politik dua kaki? Tulisan sdr Hanta Yuda AR, diatas sangat menarik dan sengaja saya copy paste dari harian Kompas terbitan selasa, 13 april 2010, pada halaman 7, dan saya tampilkan di Blog ini. Salam (A.M.A).



Tiga partai mitra koalisi- Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan - berdiri di dua kaki, berkoalisi dengan pemerintah sekaligus berperan menjalankan peran oposisi di DPR.

Meskipun ketiga partai ini telah menandatangani kontrak koalisi dan mendapatkan jatah Posisi menteri di cabinet, tetapi mengambil posisi diametral dengan pemerintah dalam voting Rapat Paripurna DPR tentang Angket Bank Century. Fenomena koalisi politik dua kaki seperti ini juga kerap dijumpai pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla (SBY –YK) lima tahun silam.

Walaupun secara kuantitas persentase koalisi partai-partai pendukung pemerintahan SBY- Boediono sangat gemuk – didukung 75 persen kekuatan di DPR – tetapi sangat rapuh dan mudah retak. Kasus Century menjadi potret paling anyar tentang kerapuhan itu. Koalisi ini tentu memunculkan pertanyaan : mengapa koalisi mudah retak (terancam pecah), padahal usia pemerintahan belum genap setengah tahun?.


Sumber keretakan.

Paling tidak ada empat jawaban - sumber keretakan koalisi dalam menyikapi kasus Century - yang bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, imbas dari kerentanan kombinasi sistem presidensial – multi partai. Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi sistem presidensial justru menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam situasi multi partai. Kebutuhan akan koalisi inilah yang menjadi pemicu awal sistem presidensial sering tampil dengan gaya parlementer (presidensialisme setengah hati), dan pemerintah kerap terserimpung oleh manuver politik dua kaki partai-partai, seperti hal nya sikap Golkar, PKS, dan PPP dalam kasus Century.

Kedua, efek dari lemahnya ideologi partai dan kuatnya kepentingan pragmatism untuk investasi politik 2014. Hal inilah yang menyebabkan karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin, sangat opportunistis, dan pragmatis. Akibatnya koalisi yang terbangun akan selalu rapuh dan cair, karena koalisi dibangun di atas fondasi kepentingan pragmatism kekuasaan ketimbang kedekatan ideologi atau kesamaan platform.

Ketiga, akibat dari lenturnya kontrak koalisi, kontrak politik yang seharusnya menjadi pengikat sekaligus pedoman dalam berkoalisi terlalu normative dan general. Karena itu pula tidak mengherankan jika partai-partai anggota koalisi memiliki tafsir berbeda dan masing-masing mengklaim melaksanakan kontrak koalisi.

Keempat, implikasi dari akumulasi beberapa kekeliruan komunikasi politik SBY dan Partai Demokrat dengan mitra koalisi. SBY patut diakui sangat terampil membangun komunikasi publik – politik pencitraan- tapi kurang pandai dalam mengelola komunikasi elite. Fungsi kominikasi elite yang sebelumnya sering diperankan JK kini menjadi celah kelemahan SBY. Hal ini diperparah beberapa pernyataan kontroversial - kurang bersahabat - dan gertak reshuffle yang dilontarkan beberapa politisi Partai Demokrat yang justeru semakin merusak hubungan komunikasi dengan mitra koalisi.

Reorientasi,

Karakter personal SBY yang sangat mementingkan keseimbangan (harmoni politik) dan ingin memuaskan semua pihak mendorongnya merangkul hampir semua partai kedalam kabinet. Hal ini menyebabkan SBY dan Partai Demokrat terperangkap pada logika kuantitas, yaitu lebih sibuk memperbesar jumlah anggota koalisi ketimbang membina soliditasnya. Padahal, sebesar apapun koalisi tanpa membina soliditas dan memperbaiki aturan main dalam berkoalisi, partai-partai tetap berpotensi menjalankan politik dua kaki.

Inilah salah satu kekeliruan orientasi koalisi yang dibangun SBY dan Partai Demokrat selama ini, terlaqlu terfokus kepada orientasi kuantitas (merangkul partai-partai sebanyak-banyaknya, tetapi tidak solid) ketimbang kualitas (kohesifitas dan soliditas koalisi). Karena itu kedepan, orientasi untuk memenuhi kebutuhan pengaman pemerintahan (politik sekuritas) perlu direvisi, dari orientasi kuantitas (persentase) ke orientasi kualitas (soliditas). Untuk konteks ini, me reshuffle cabinet dan melibatkan PDIP perjuangan ke dalam koalisi tak begitu relevan karena tak ada jaminan koalisi akan lebih solid.

Reorientasi koalisi ini juga perlu diikuti beberapa langkah praktis. Pertama, kontrak koalisi (MOU) perlu direvisi agar lebih konkret, jelas dan disertai sanksi. Kedua, diperlukan forum koordinasi anggota koalisi yang bersifat permanen dan dipimpin langsung oleh SBY atau setidaknya oleh petinggi Partai Demokrat. Peran ini tidak lagi diserahkan kepada Hatta Rajasa (Ketua Umum PAN), yang justeru dapat membuat ‘ketersinggungan’ partai-partai lain.

Ketiga, mengubah strategi komunikasi ‘gertakan’ dan ‘ancaman’ menjadi lebih kompromistis dan dua arah (komunikasi simetris), dengan memperlakukan mitra koalisi sebagai pihak yang saling membutuhkan (simbiosis politik mutualisme). Di titik inilah sangat diperlukan keterampilan berkomunikasi dan seni berkompromi dalam membina soliditas koalisi.

Sikap kompromistis SBY, yang dianggap sebagian pengamat sebagai kelemahan, justeru akan menjadi kekuatan dalam memimpin koalisi. Memang hal ini akan mereduksi prinsip sistem presidensial, tetapi inilah konsekwensi yang harus ditempuh oleh Presiden yang berkuasa dalam sistem berdemokrasi yang belum sempurna (Presidensialisme setengah hati). Kata kuncinya terletak pada tiga hal. Komunikasi, koordinasi dan kompromi.
HANTA YUDA AR. (Analisis politik The Indonesian Institute).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar