Kamis, 18 April 2013

Sesat Pikir ; Samakan Pancasila sebagai pilar


 

    Wacana penyebar luasan konsep empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945,NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, dapat sambutan.

    Tak kurang UU tentang Partai Politik (UU no 27 tahun 2008) mengamanatkan agar anggota DPR perlu memasyarakatkan empat pilar itu. Malah ada perguruan tinggi suasta yang menganugerahi gelar doctor honoris causa kepada seorang pejabat Negara yang dipandang berjasa memasyarakatkan empat pilar tersebut.

    Setiap orang memahami bahwa pilar tak sama maknanya dengan dasar. Pilar berarti tiang penyangga tentu berbeda dengan dasar atau fundamen. Dengan demikian, menyamakan Pancasila sebagai pilar merupakan sesat pikir.

    Salah satu bapak bangsa Indonesia Soekarno (Bung Karno) dalam pidato pada 1 juni 1945 di depan sidang BPUPKI (kemudian dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila) menyatakan, "sekarang banyaknya prinsip kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya."

    "Namanya" lanjut Bung Karno "bukan Pancadharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, Pancasila. Sila artinya asas, atau dasar, dan di atas kelima dasar itu kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi"

Dasar bukan Pilar

    Sebagai asas, dan dasar Negara, Pancasila merupakan Philosophische
gronslag atau dasar filosofis bagi suatu Negara dan bangsa yang bernama Indonesia. Bila Negara Indonesia diibaratkan sebagai wadah, tegas Bung Karno, "…..Dan wadah ini hanyalah bisa selamat dan tidak retak jakalau wadah ini di dasarkan diatas dasar yang kunamakan Pancasila. Dan jikalau ini wadah dibuatnya daripada elemen elemen yang tersusun daripada Pancasila" (pidato 17 juni 1954).

    Bagaimana itu dipahami?Mungkin penjelasan Prof. Drijarkara SJ bisa menolong pemahaman bertolak dari eksistensi manusia Indonesia. Dijelaskan karena manusia itu hidup atau "berada" manusia mengakui keberadaannya sebagai keberadaan yang kontinggen (yang tergantung) kepada keberadaan yang mutlak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena "manusia Indonesia" berada bersama "manusia Indonesia yang lain" maka Ia harus berprikemanusiaan yang adil, beradab, bersatu untuk tidak terpecah belah agar mampu membangun manusia Indonesia sebagai masyarakat yang sejahtera secara social.

    Bertitik tolak dari dasar itu, tatanan bernegara –baik dengan UUD, UU, konvensi maupun budaya – yang mengejawantahkan dasar atau fundamen kehidupan bagi kelompok yang menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia dapat hidup. Bagi Bung karno, bangsa - - dengan menyitir Ernst Renan - - adalah kehendak untuk bersatu (le desir d'etre ensamble) sehingga atas dasar Pancasila dirancanglah konstitusi, yaitu UUD 1945 ; bentuk Negara kesatuan dan bukan Negara federal (NKRI); dan hasrat bangsa untuk menghadapi keberagaman dalam moto "Bhineka Tunggak Ika". Semua itu menjadi sarana untuk membangun kebersamaan sebagai warga bangsa untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur.

    Dengan demikian, pola pikir yang salah dengan menyamakan Pancasila hanya salah satu pilar harus dibuang jauh. Pola pikir yang keliru akan menghasilkan tindakan dan praksis hidup yang keliru pula. Pancasila adalah dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (Kompas, 12 april 2013, Harry Tjan Silalahi, peneliti senior CSIS)


 


 


 


 


 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar