Selasa, 16 April 2013

Memilih Pemimpin Indonesia


 

    Di area Bandara Internasional Sukarno-Hatta dan di kota Jakarta terpampang banyak Baliho kepala daerah. Dengan pilihan dua lokasi strategis itu, jelaslah bahwa Baliho tersebut tidak hanya iklan promosi daerah, tetapi juga ekspresi bahwa daerah merupakan bagian dari Indonesia.

    Kepala Daerah juga pemimpin Indonesia, hanya saja dalam skala kota, kabupaten, atau propinsi. Memang idealnya kota, kabupaten atau propinsi adalah miniature Negara bangsa Indonesia.

    Realitas Indonesia tegak oleh oleh empat pilar ; Pancasila, (stat fundamental norm: bukan pilar) UUD 45,NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Berhasil menegakkan keempat pilar tersebut berarti tegak juga bangunan bangsa Indonesia dan akhirnya Indonesia tegak di mata dunia. Batu uji kepala daerah pun sejauh mana keempat pilar itu tegak dalam kepemimpinannya.

Melampaui primordialisme

    Sejatinya kepala daerah adalah sosok pemimpin Indonesia yang amanah dengan tugas pokoknya mengayomi dan menyejahterakan seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Ia membangun karena dipercaya oleh rakyat, membangun bersama dan untuk rakyat. Pemerintah tak diskriminatif dalam kebijakan maupun implementasi. Kepala daerah tampil lebih sebagai pemimpin seluruh rakyat, bukan penguasa.

    Namun, realitas politik Indonesia sering memperlihatkan pemimpin berpolitik di luar koridor keIndonesiaan. Ia tak peduli apakah kepemimpinannya merusak kesatuan rakyat sebab tujuan utama nya adalah kekuasaan.

    Alih-alih memosisikan
diri sebagai bagian dari pemimpin Indonesia, kepemimpinannya berlindung dibalik isu kesukuan ataupu keagamaan. Padahal, Undang-Undang hanya mengamanatkan kualifikasi utama kepala daerah adalah warganegara Indonesia dengan kualitas kepemimpinan yang dapat memajukan daerah yang dipimpinnya.

    Kesempitan jiwa calon pemimpin membuat dirinya tak peduli apakah rakyat yang akan dipimpinnya terkotak-kotak didera saling rasa curiga oleh isu-isu primordial. Ia tak peduli apakah warga tenggelam dalam hiruk pikuk primordialisme. Yang terpenting adalah mendulang suara ketika pemungutan suara digelar, tak peduli apakah cara meraih populeritas itu mencederai keIndonesiaan dan keutuhan masyarakat.

    Alhasil rakyat memilih pemimpin, tetapi yang muncul adalah penguasa. Hitung-hitungan politik yang memenuhi benak penguasa bagaimana melunasi hutang untuk ongkos membiayai perjalanannya menuju singgasana kekuasaan. Saat memerintah pun ia merasa tak terganggu dengan korupsi birokrasi sejauh kepentingan dirinya tak terganggu.

    Faktor primordial begitu saja memang tidak jelek sebagai identitas pertama yang langsung dihayati manusia pada umumnya. Pilihan politik berdasarkan factor primordial pun tidak salah. Yang salah adalah ketika factor primordial menutupi kualifikasi kepemimpinan yang seharusnya ada. Yang salah adalah jika karena alasan primordial warga menerima intimidasi dn perlakuan diskriminatif.

    Perkawinan primordialisme dan politik di Indonesia membuat sila Ketuhanan di salah artikan dan membiarkan sila keadilan social dilanggar. Hari hari ini, di era otonomi daerah, justru rakyat Indonesia menderita karena langkanya sosok pemimpin demikian. Warga tidak merasa hidup dan dilindungi konstitusi yang sama.

    Salah satu warisan kepemimpinan Gus Dur adalah ia tidak segan-segan memasang badan dan menghadapi oposisi, termasuk dari pendukungnya. Dalam jiwanya bergelora ke Indonesiaan, dan kemanusiaan. Kepemimpinannya yang singkat sebagai kepala Negara melahirkan terobosan terobosan besar yang menguatkan fondasi Negara bangsa Indonesia.

Keutamaan Politik

    Dari Surabaya berembus khabar baik. Kota ini baru baru ini mendapat penghargaan internasional dengan predikat ramah dan layak huni. Selain partisipasi warga, itu juga semua berkat kerja keras walikotanya yang tidak kenal lelah. Kepala daerah yang unggul dalam visi, integritas, kemampuan manajemen, kesadaran social dan ekonomi, serta kemampuan melindungi warga, dan memberikan rasa aman.

    Belum banyak kepala daerah seperti itu. Salah satu hambatan menjadi pemimpin yang meng Indonesia adalah sempitnya wawasan kebangsaan kepala daerah. Calon kepala daerah kerap menempuh jalan pintas dengan memainkan isu-isu primordial sebagai jalan pintas menutupi kekurangan kualifikasi kepemimpinan yang seharusnya ada.

    Al hasil, era reformasi yang menjanjikan masa depan Indonesia yang lebih baik justru menghasilkan kepala daerah dengan keIndonesiaan yang dangkal. Setelah terbebas dengan represi Negara di era orde baru, kini represi datang dari sesama warga atas nama primordialisme.

    Parlemen yang seharusnya mengawal kesatuan bangsa dalam praktiknya memberikan kesempatan kepada petualang politik mengaduk-aduk kolam kebangsaan dan memancing diair keruh. Kemiskinan keutamaan politik (political
virtue) membuat kepentingan pribadi ataupun kelompok ditempatkan di atas kepentingan bangsa. Kegaduhan politik pun tidak berkolerasi dengan perbaikan kualitas kehidupan berbangsa dan kesejahteraan rakyat.

    Politik kita dibatasi sebatas arena pertarungan kekuasaan mengandalkan kapitalisasi modal, kolusi penguasa dan pengusaha serta politik uang. Demokrasi yang tak berporos keutamaan moral itu mengotori politik. Politik penguasa akhirnya berujung pada siapa yang layak dikorbankan.

    Gerbong demokrasi kita sedang disusupi penumpang gelap. Memang a
country deservers its leader. Pemimpin terpilih adalah cermin kualitas masyarakat pemilih.

    Semoga demokrasi dan otonomi daerah membuat rakyat semakin tercerahkan dan dewasa sehingga hasil Pilkada pun dipilih kepala daerah dengan kepemimpinan yang melampaui kelas partai, pemimpin rakyat, pemimpin Indonesia. (Kompas 19 september 2012, Yonky Karman, pengajar STT Jakarta)


 

    
 


 


 


 


 


 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar