Selasa, 09 April 2013

DARURAT KORUPSI


 

Rentetan kasus korupsi yang telah terbongkar menyentuh seluruh jajaran pemerintahan, eksekutif hingga tingkat menteri, kegeskatif, ataupun judikatif. Puluhan gubernur maupun bupati /walikota tekah menjadi terpidana ataupun tersangka.

    Akibat kangsung korupsi amat kasat mata. Banyak proyek yang dibiayai dari anggaran Negara cepat rusak, bahkan roboh sebelum digunakan sehingga merugikan keuangan Negara triliunan rupiah.

    Kerugian lebih besar lagi harus dipikul oleh konsumen karena membayar mahal kebutuhan hidupnya. Contoh teranyar adalah skandal impor daging sapi. Pada tahun 2012, jumlah penduduk Indonesia sekitar 249 juta orang dan konsumsi daging per kapita 1,9 kilogram. Dengan demikian konsumsi daging nasional sekitar 473,1 juta kilogram dua kali lebih mahal daripada harga 90.000 per kilogram, konsumen harus membayar tambahan paling tidak Rp 21,9 triliun. Itu baru daging semata.

    Kerugian nagi perekonomian tentu lebih besar lagi. Korupsi membuat kualitas indra struktur kian buruk. Ongkos produksi naik, biaya angkut jadi kebih mahal, biaya siluman merajalela. Ujung-ujungnya risiko bisnis meningkat dan daya saing produk-produk Indonesia tergerus. Terbukti, berdasarkan laporan Doing business 2013 terbitan Bank Dunia dan International Finance Corporation, derajad kemudahan berbisnis Indonesia dalam tiga tahun terakhir masih saja bertengger di urutan ke 120-an dengan skor yang memburuk. Ujung-ujungnya daya saing kita pun merosot dari urutan ke-46 tahun 2011-2012 menjadi ke 50 pada tahun 2012-2013.(world economic forum the global competitiveness report 2012-2013).

    Korupsi juga telah menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan yang amat parah akibat eksploitasi sumber daya alam berlebihan dan ugal-ugalan. Alih-alih memakmurkan rakyat, pengusahaan tambang dan perkebunan justru menimbulkan derita rakyat berkepanjangan. Sumber daya alam yang melimpah tidak membawa berkah, tetapi kutukan. Kepala daerah menjadikan sumber daya alam sebagai modal politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Mereka mengobral konsesi pengerukan sumber daya alam kepada para pengusaha dan calo untuk memperoleh dana haram demi meraih kekuasaan. Intensitas pengerukan kekayaan alam sudah mencapai tingkat yang mencengangkan. Tengok, misaknya ekspor bauksit yang pada tahun 2004 baru 1 juta ton melesat menjadi 27 juta ton pada 2010 dan 40 juta ton pada 2011. Padahal, sumber daya alam yang tak terbarukan ini juga merupakan hak generasi mendatang tetapi sudah dikuras habis oleh ulah penguasa sekarang. Penerimaan Negara dari hasil tambang tak seberapa dibandingkan dengan kerusakan lingkungan dan kemerosotan moralitas bangsa.

    Walaupun sudah banyak kasus korupsi yang terbongkar, agaknya baru sedikit potensi kasus korupsi dan pemburuan rente yang tersibak. Kita tak pernah mendengar pemerintah bersungguh-sungguh mereformasi tata niaga minyak dan gas bumi (migas). Untuk ekspor impor minyak mentah dan produk minyak saja, nilai transaksinya mencapai 56 milyar dolar AS. Ditambah dengan ekspor impor gas aenilai 23,6 milyar dollar AS. Sudah barang tentu bisnis perdagangan migas sangatlah menggiurkan. Volimenya hampir mencapai cadangan devisa yang dikelola Bank Indonesia sebesar 108,8 milyar dollar AS per akhir januari 2013. Belum lagi jika memasukkan volume perdagangan migas di dalam negeri.

    Tak heran kalau Indonesia masih bertengger dikelompok Negara yang paling korup. Dari 16 negara Asia Fasifik yang di survei oleh Political and economic Risk Consultancy yang berbasis di Hongkong. Indonesia menyandang status Negara terkorup pada tahin 2009 dan 2010. Pada tahin 2011, posisi Indonesia satu peringkat lebih baik, tetapi dengan skor yang tetap diatas 9 (o untuk skor terendah atau paling bersih dan 10 untuk tertinggi atau paling korup)

    Pemilihan umum 2014 sebentar lagi. Ada puluhan orang yang mengisyaratkan minat menjadi Calon Presiden, puluhan ribu calon anggota legeslatif (DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). Mereka mulai gencar mengumpulkan dana untuk kasak kusuk dan sudah barang tentu akan berlipat ganda lagi kebutuhannya kala memasuki medan laga.

    Agar pemilihan umum tak menghasilkan politisi-politisi korup yang bergandengan tangan dengan pengusaha pengusaha pemburu rente sebagai bandarnya, tak ada pilihan lain kecuali mendeklarasikan Darurat korupsi. Sebagai pendiri dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengambil langkah tegas. SBY sebagai Presiden tentu saja memiliki otoritas melakukan langkah serupa untuk menghentikan praktik-praktik korupsi yang kian menjamur.

    Jika Presiden meluangkan waktu berkunjung ke Pualau Buru, dengan kasat mata akan terlihat kerusakan dahsyat akibat eksploitasi tambang emas. Pulau itu seperti wilayah tak bertuan, Negara tak hadir disana. Rakyatnya tetap terbelakang. Hanya segelintir orang yang menguasai perekonomian di pilai tersebut. Sudah pilihan orang tewas akibat eksploitasi tambang yang sembarangan. Tak hanya di pulau Buru, tetapi juga di pulau-pulau besar seperti jawa dan sumatera.

    Saatnya di sisa masa pemerintahan ini Presiden mewariskan sesuatu yang bernilai bagi generasi sekarang dan generasi mendatang. Betul betul melaksanakan semboyan pro poor dan pro green yang sering di dengung dengungkan.

    Untuk jangka menengah dan panjang tak ada pilihan lain kecuali membangun institusi ekonomi dan politik yang inklusif, yang mampu menegakkan pagar-pagar kokoh. Dengan demikian demokrasi tidak menghasilkan segelintir elite yang dengan leluasa merampok kekayaan alam dan menciptakan pemusatan sumber daya politik.

    Presiden jangan lekas puas dan terbius oleh kinerja makro ekonomi yang cemerlang. Pembaruan harus terus dilanjutkan, bahkan harus lebih dalam lagi. Jika tidak, sewaktu waktu perekonomian bisa terjun bebas lagi karena keadilan semakin jauh dari hati sanubari rakyatnya.

    Jangan sia siakan momentum emas bonus demografi karena ia tidak dating dua kali.(Faisal Basri, ekonom, Kompas senin 11 februari 2013)


 


 


 

      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar