Minggu, 22 Januari 2012

Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945


 

Kalam;

    Ada rasa rindu kembali ke UUD 1945 khususnya pasal 33, karena disana semua hak-hak azasi rakyat terrealisasikan. Masyarakat yang sejahtera, adil dan terpenuhinya hajat orang banyak. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

    Dalam penjelasan tentang UUD 1945 telah disebutkan; Bahwa perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak harus dikuasasi oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.

    Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ditangan orang seorang.

    Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat sebab itu harus dikuasasi oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

    Demikian gamblangnya bunyi pasal 33 UUD 1945, tetapi di dalam pelaksanaannya sangat sulit untuk dilaksanakan. Apakah tidak ada 'political will' dari pemerintah?Sebagai contoh misalnya, mengapa subsidi minyak untuk kepentingan rakyat harus menjadi momok, yang sering di embuskan di- masyarakat?Bahwa Negara lainnya tidak mencantumkan pasal 33 di dalam Undang-Undang Dasar mereka itu adalah persoalan lain. Akan tetapi subsidi di hilangkan demi kepentingan asing, agar pertamax yang dijual oleh petronas, Sheel, dan SPBU milik asing lainnya bisa survive?

    Tulisan diharian Kompas seperti judul di atas, oleh anonim, sangat menarik untuk dijadikan perbandingan dan satu lagi ; 53 persen garam, 60 persen kedelai, 30 persen daging, dan 70 persen susu harus di-impor yang mengakibatkan harga beras naik 120 persen, kedelai 85 persen telur 100 persen, cabai 120 persen, daging 90 persen dan jagung 700 persen. Masihkan kita memimpikan rakyat merasakan kemakmuran?


 

Dengan mencontoh Negara-negara tetangga yang mendahulukan kepentingan pembangunan ekonomi kerakyatan dari tingkat terbawah seperti Jepang, Korea, China, Singapura, dan Malaysia, Indonesia, sudah sepatutnya melakukan hal yang sama sejak semula.

    Namun, kenyataannya tidak demikian. Sistem ekonomi Imdonesia sejak kemerdekaan, yang sudah 66 tahun umurnya, praktis sama saja dengan kita selama sekian abad` berada dibawah penjajahan asing. Sistem ekonomi yang berkembang sampai saat ini masih bersifat liberal- kapitalistik –pasar bebas, sekaligus dualistic.

    Padahal, UUD 1945 menyatakan, "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan" (pasal 33 ayat 1); "cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara" (pasal 33 ayat 2): "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,(pasal 33 ayat 3); dan "perkonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan serta kesatuan ekonomi nasional" (pasal 33 ayat 4).

    Lalu disambung lagi dengan pasal 34 ayat 1; "fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara" ayat 2. "Negara mengembangkan system jaminan sosial\bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan", dan ayat 3" Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak".

Ekonomi dualistic

    Semua itu hanya angin surga yang diimpikan para penggagas dan pendiri republic ini. Sementara yang berjalan dan dipraktekkan selama ini justru sebaliknya. Selain karena terlalu lama dijajah, juga karena system sosial budaya yang dimiliki oleh bangsa ini yang dominan adalah feodalistik, hierarkis vertical, sentripetal, etatik, nepotik, dan bahkan despotic.

    Alhasil itulah yang berlanjut sampai hari ini, yaitu system ekonomi yang dualistic. Terbentuklah jurang menganga antara 90 persen penduduk yang merupakan rakyat asli – pribumi yang sejak semula hidup dalam kemiskinan dan kebodohan dan terbelakang - - dan penyertaan sekitar 5 persen dari ekonomi nasional yang bergedumpuk disektor nin formal. Sementara 5 persen lainnya umumnya nin pribumi - - menguasai sekitar 98 persen kekayaan ekonomi negeri ini; dari hulu sampai ke muara, di darat, laut dan bahkan udara di Negara kepulauan terbesar di dunia ini.

    Antara harapan seperti dituangkan dalam dalam pasal 33 dan 34 UUD 1945 dan kenyataan yang dihadapi bagaikan siang dengan malam. Orang Jepang, China, Korea, Singapura dan Malaysia bangga dengan negeri dan tanah airnya karena mereka sendiri yang punya dan menguasai bumi, air, dan segala isinya dan dinikmati oleh rakyatnya sendiri. Kalaupun ada orang luar yang ikut serta, mereka adalah tamu dan tunduk kepada ketentuan ketentuan yang berlaku. Di kita Indonesia sebaliknya. Kita malah bagaikan tamu atau orang asing di rumah sendiri. Tanah, air bahkan udara yang kita jawat secara turun temurun dari nenek moyang kita hanya namanya kita yang punya, tetapi praktis seluruhnya mereka yang kuasai.

    Padahal, alangkah luas, kaya dan indah Negara ini sehingga menempati empat terbesar di dunia. Akan tetapi, kita hanya menguasai secara dejure diatas kertas, defacto dikuasai kapitalis mancanegara dan konglomerat non pribumi yang sudah mencengkeramkan kukunya sejak dulu. Lihatlah, hampir semua warga Indonesia terkaya ukuran dunia adalah mereka, diselingi satu dua elite pribumi yang hidup sengaja mendekat dan/atau bagian dari api unggun kekuasaan itu.

    Untuk mengembangkan usaha makro di bidang perkebunan, kehutanan, galian alam misalnya, pemerintah bahkan mengambil alih tanah ulayat milik rakyat yang dipusakai turun temurun. Tanah itu lalu diserahkan berupa hak guna usaha, yang bisa diperpanjang setelah 30 tahun ke kapitalis mancanegara dan konglomerat.

    Sekali tanah ulayat menjadi tanah Negara, kendati sudah habis masa pakai ataupun tak lagi dipakai, tak juga bisa dikembalikan kepemiliknya; rakyat! Hal itu hanya Karena penafsiran ayat 3 pasal 33 UUD 1945 yang sangat Negara centris, harfiah, bahwa "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

    Kata "dikuasai" secara harfiah tentu saja tidak sama dengan 'dimiliki'. Pemiliknya tetap adalah rakyat yang meng-ulayati tanah itu secara turun temurun.

    Jelas sekali bahwa Negara sama sekali tak berpihak kepada rakyat, tetapi pada kapitalis multinasional dan konglomerat non pribumi yang sekarang menguasai bagian terbesar dari tanah rakyat itu. Sekarang yang namanya tanah ulayat dimana-mana habis. Tandas sudah!

    Alangkah tragis mengingat semua ini terjadi di alam kemerdekaan.Ukuran keberhasilan pembangunan bagi penguasa Negara jadinya bukan "siapa" dan seberapa besar hasilnya dinikmati oleh rakyat, melainkan 'berapa' dari target yang diinginkan tercapai dalam angka-angka statistic. Percapaian target itu dalam kenyataannya nyaris diborong habis oleh para kapitalis yang sesungguhnya menggerakkan roda ekonomi nasional.

    Penduduk asli pribumi? Kelompok ini hidupnya masih seperti itu juga dari waktu kewaktu, rezim berganti rezim. Sementara rakyat pribumi rata-rata memiliki tanah kurang dari setengah hektar per keluarga. Jutaan tanah ulayat diserahkan oleh Negara kepada para pengusaha kapitalis-multinasional dan konglomerat.

    Kerjasama triumvirat kapitalis multinasional dan konglomerat pribumi dibawah lindungan elite penguasa Negara yang pribumi inilah yang menggelindingkan ekonomi imdonesia selama ini. Sementara rakyat pribumi yang merupakan ahli waris sah republic ini tetap saja hidup melarat dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

    Walau janji-janji dilontarkan oleh penguasa reformasi yang sudah jilid dua pula sekarang ini, masih ada saja yang tertulis di atas kertas yang tak segera terlihat ada implementasinya, seperti program kredit usaha rakyat dan entah apa lagi namanya itu. Jangan-jangan itupun hanya janji gombal karena sebentar lagi pemilu akan datang pula.

Akibat salah urus

    Bagaimana kedepan? Akan seperti ini juga tanpa perubahan structural yang berarti, yang sifatnya harus fundamental, mendasar, atau seperti selama ini juga, sekedar tambal sulam di permukaan, yang esensinya itu ke itu juga.

    Kuncinya ada pada diri kita sendiri, terutama pada kelompok elite pribumi yang secara politis mengendalikan negeri dan Megara ini. Seperti kita lihat, selama ini mereka (para elite pribumi) sekadar menumpang di biduk ke hilir. Mereka lebih suka menerima daripada member, lebih suka dilayani daripada melayani sesuai tugas mereka sebagai abdi negara.

    Tanpa bersusah-susah mereka menerima upeti berbagai macam, yang jumlahnya bisa tak termakan di akal sehat kita. Mereka datang dari semua lapisan birokrasi; dari eksekutif, legeslatif dan judikatif, polisi maupun militer; dari orang pertama ditingkat atas sampai ditingkat bawah; di pusat maupun di daerah.

    Dengan kebebasan pers yang kita nikmati sekarang, semua borok ini jadi terbuka. Tahukah kita betapa sakit Negara ini sehingga dunia menjulukinya sebagai salah satu Negara terkorup di dunia.

    Kita sesungguhnya sedang berada ditepi jurang kehancuran sebagai Negara akibat salah urus dan akibat dari system sosial dan budaya politik yang kita anut selama ini, yang berbeda antara yang di ucapkan dan dilakukan. Pilihannya tinggal satu; kembali kepangkal jalan dengan mempraktikkan UUD 1945, khususnya pasal 33 dan 34 secara jujur dan konsekwen ; atau kaput, habis kita!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar