Kamis, 01 September 2011

Dua Tulisam; “Ketagihan Utang Yang Akut”dan “Akar Krisis Utang AS”


 


 

Kalam;

    Benarkah keputusan Standard & Poor's yang menurunkan peringkat AS dari AAA menjadi AA+ akan menghantam jantung perekonomian global? Econom Capital Economics Paul Dals, menghawatirkan penurunan peringkat itu akan memicu perekonomian Negara maju dan terancam akan terkena resesi lagi.

    Dua tulisan dibawah ini akan menjelaskan bahwa situasi psikologis perekonomian telah mengguncang pasar financial global. Terutama dengan tingginya spekulasi, maka investor akan bingung menyelamatkan assetnya. Walaupun ada jaminan bahwa obligasi poemerintah AS sebagai investasi yang paling kuat di dunia, akan tetapi segi kemanannya masih perlu dipertanyakan.

    Dua tulisan, A. Tony Prasetiantono dan Christianto Wibisono (Kompas 8/8 2011) saya masukkan di dalam Blog saya, muin-angkat blog spot. Com untuk memberikan visi yang lebih luas apakah berdampak kepada perekonomian Indonesia dimana AS telah menyerap 11 % eksport Indonesia yang bernilai sekitar 200 milyar dollar AS? Bukankah Indonesia dirasuki ketagihan ber-utang padahal penggunaannya tidak efisien? Pada posisi sekarang ratio utang Indonesia per-juli 2011, tercatat 26, 9 persen, dimana PDB Indonesia sebesar Rp6,422,9 triliun. Sebesar Rp 249 triliun dari APBN akan terkuras untuk membayar bunga dan cicilan. (a.m.a)


 

                        I

    Untuk pertama kalinya dalam sejarah, sejak tahun 1941 Lembaga Pemeringkat terkemuka Standard & Poor's menurunkan peringkat utang Amerika Serikat dari AAA menjadi AA+, Jumat (5/8) malam. Meskipun tetap mengejutkan, hal ini merupakan konsekuensi logis dari krisis fiscal AS. Meski Kongres AS mengizinkan pemerintahan Barack Obama menambah utang 2,1 triliun dollar AS dan harus mengurangi utang 2,5 triliun dollar AS dalam sepuluh tahun kedepan, sesungguhnya krisis utang masih berat.

    Hingga saat ini, akumulasi utang AS mencapai 14,29 triliun dollar AS, batas tertinggi yang diizinkan undang-undang. Jumlah ini setara produk domestic bruto (PDB) AS senilai 14,6 triliun AS. Pada akhir periode Presiden Bill Clinton, utang pemerintah 5,63 triliun dollar AS (tahun 2000). Jumlah ini berlipat menjadi 9,99 triliun dollar AS pada akhir era Presiden Goerge Bush Jr (tahun 2008). Hanya dalam tiga tahun, era presiden Obama (tahun 2009 -2011) menambahnya dengan 4,3 triliun dollar`AS.

    Mengapa Pemerintah AS sampai terjerat utang ?. Pertama, sejak krisis financial tahun 2008, Pemerintah AS terpaksa mengandalkan kebijakan fiscal untuk menyelamatkan perekonomiannya. Kebijakan moneter memang dilakukan dengan memangkas suku bunga menjadi mendekati nol persen. Suku bunga acuan (Fed rate) ditekan menjadi 0,25 persen. Pencetakan uang baru juga dilakukan hingga 600 miliar dollar AS. Namun, hal itu tidak bisa mendongkrak perekonomian. Konsumsi dan investasi tetap lesu.

    Fenomena ini bisa dianalisis dengan teori atau paradigm "angsa – angsa terbang (flying geese) yang dikemukakan Kaname Akamatsu (tahun 1962). Intinya, , banyak pabrik atau perusahaan yang direlokasi ke Asia karena di Negara-negara Barat tidak kompetitif lagi. Akibatnya, sektor swasta berkurang kemnampuan untuk mendorong perekonomian.

    Dalam situasi ini, mau tidak mau harus berpaling kepada kebijakan fiskal - - sesuai doktrin ekonomi Inggris, John Meynard Keynes, (tahun 1936) saat menghadapi depresi ekonomi dunia tahun 1930-an. Artinya, AS harus menbaikkan belanja APBN untuk menstimulus perekonomian. Dari mana uangnya ? Dari kenaikan pajak? Bagaimana mungkin pajak dinaikkan dalam krisis ekonomi? Karena itu, pilihannya hanya lah menaikkan hutang. Itulah sebabnya utang AS meningkat tajam pada era Presiden Obama. Setiap tahun AS menambah utang lebih dari 1 triliun dollar AS.

    Kedua, struktur penduduk AS kian berat kearah usia lanjut. Subsidi untuk jaminan social (social security) meningkat. Hal yang sama juga terjadi pada pembiayaan pengobatan penduduk (Medicare da Medicaid).

    Ketiga, AS terus 'asyik' membiayai perang. Jumlah tentara mereka di Afganistan saja 100 000 orang. Biaya total perang disana dan di Irak sekitar 4 triliun dollar AS.

    Kondisi AS mirip Jepang. Perekonomian Jepang juga ditandai dengan suku bunga rendah hamper nol persen (suku bunga acuan sekitar 0,1 persen) dan utang pemerintah mencapai 200 persen atas PDB. Utang AS kini 100 persen atas PDB, sementara Yunani 117 persen, Italia 100 persen, Irlandia 85 persen, dan Portugal 80 persen.

    Adapun di Spanyol, meski ratio utangnya rendah (51 persen), penganggurannya besar (19 persen). Sebagai perbandingan, ratio utang Indonesia adalah 26 persen. Turun dibandingkan 100 persen saat krisis 1998. Batas aman sesuai dengan konsensus para ekonom adalah 60 persen.

    Situasi ruwet tersebut mendorong pelemahan dollar AS. Sementara itu, dampak penurunan peringkat utang AS belum diketahui. Secara teoritis imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS akan naik, yang selanjutnya akan berimbas pada kenaikan suku bunga. Pelemahan dollar AS akan baik bagi daya saing produk AS, tetapi kenaikan suku bunga akan berdampak sebaliknya. Tarik menarik ini yang masih ditunggu. Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia? Rupiah akan menguat seiring dengan pelemahan dollar AS. Namun, ini bisa berbahaya jika keterusan sehingga melebihi kecepatan apresiasi mata uang Negara-negara emerging market lainnya (Cina, India, Brasil dan Korea Selatan). Tahun ini, kita akan deficit 6 milyar dollar AS atas Cina karena rupiah menguat jauh lebih cepat dari Yuan.

    Dampak positip dari menguatnya rupiah adalah bisa membantu mengurangi tekanan inflasi. Bagi produsen, melemahnya dollar AS membuat lebih murahnya barang impor, terutama barang modal dan bahan baku. Itulah sebabnya, selama semester I, inflasi hanya 1,74 persen. Target inflasi 5,3 persen tahun 2011 rasanya bisa dicapai jika harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan .

    Bagaina soal arus modal masuk (capital inflow)? Modal masuk masih akan datang , tetapi kemungkinan dalam arus lebih lemah. Indonesia masih menarik, tetapi dibayangi kekhawatiran terjadinya 'gelembung ekonomi' (economic bubble). Hal inilah yang bisa menjelaskan kenapa index harga saham kita yang pernah mencapai 4.200 terkoreksi tajam menjadi 3.921 pada jumat(5/8). Ketika index 4.200, banyak investor yang merasa inilah saatnya merealisasikan keuntungan lewat aksi jual.

    Ada pendapat yang menyatakan, meski perekonomian AS babak belur dan peringkat Standard Poor's menurun, pasar finasial AS tetap atraktif karena skalanya masih yang terbesar di dunia. Karena itu sesekali masih akan terjadi aliran modal balik dari emerging market ke AS. Itulah juga yang terjadi saat ini di Indonesia; sebagian dana 'mudik' ke AS sehingga IHSG terkoreksi. Namun, saya duga hal itu bersifat sementara.

    Masa depan perekonomian AS tetap tidak jelas. Sekalipun AS diizinkan menambah utang, itu akan segera terserap dalam dua tahun anggran. Setelah dua tahun, AS masih butuh uang baru lagi. Ibaratnya, AS sedang menderita "ketagihan utang" yang akut. Gali utang, tutup utang. Persoalan AS benar-benar bersifat sangat structural dan fundamental. Mustahil bisa cepat diatasi.

    Bagaimana pun, perekonomian AS tidak bisa dibiarkan bangkrut karena terlalu berisiko (too big to fail). AS menyerap 11 persen ekspor Indonesia, yang tahun ini akan menembus 200 milyar dollar AS. Apalagi Cina menjadi eksportir ke AS terbesar (265 milyar dollar AS) dan pemegang obligasi pemerintah AS terbesar (1,16 triliun dollar AS). Tampaknya ketidak pastian global masih berlanjut.

    Rupiah masih tetap menguat, tetapi diharapkan tidak terlalu tajam karena berbahaya jika nilainya terlalu mahal. Adapun harga saham di Jakarta masih dalam batas wajar menurun hingga 3.900-an. Namun juga jangan berharap kenaikan besar-besar-an seperti sebelumnya karena berisiko gelembung. Kalau terlampau menggelembung akan berbahaya jika kelak terkoreksi tajam. Bakal terlalu menyakitkan. (ATP; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM)


 

                    II


 

    Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Partai Republik sepakat menaikkan pagu hutang dari 14,3 triliun dollar AS menjadi 16,7 triliun dollar AS sambil mengurangi deficit sebesar 2,1 triliun dollar AS dalam sepuluh tahun mendatang.

    Masalah kunci AS adalah besar pasak daripada tiang. Sekarang ini ratio utang AS terhadap produk domestic bruto (PDB) sudah mendekati 98,5 persen, sedangkan penerimaan pajak hanya 30,5 persen dan pembelanjaan 46,5 persen.

    

    Utang AS sebesar 14,3 triliun dollar AS nyaris setara PDB 14,8 triliun dollar AS. Membebani setiap penduduk AS 46,826 dollar AS, sedangkan bagi pembayar pajak 130 000 dollar AS per kapita. Kata kuncinya adalah mengurangi belanja konsumsi, dan menambah pendapatan Negara.

    Namun, dua partai, Republik dan Demokrat punya rekam jejak sama, tidak bisa menghindari deficit dan menambah utang sejak dijalankannya perekonomian yang lebih di dorong sisi suplai Reagan tahun 1980. Ketika Obama menggantikan Bush tahun 2009, utang AS hanya 10,6 triliun dollar dan membengkak 14,6 triliun dollar pada 4 agustus 2011.

Besar pasak daripada tiang

    Utang AS dimulai sejak perjuangan kemerdekaan dan januari 1791 tercatat 75,5 juta dollar, tapi tahun 1796 – 1811 tercatat 14 APBN surplus dan hanya dua deficit. Perang 1812 menambah utang, tapi 18 dari 20 tahun berikutnya masih surplus dan melunasi 99,97 persen utangnya. Pembengkakan utang kedua adalah akibat perang saudara dari 65 juta dollar AS (1860), melampaui 1 milyar dollar pada 1863 dan 2,7 milyar dollar di akhir perang saudara.

    Pada 47 tahun berikutnya AS mengalami 36 surplus dan 11 defisit sambil melunasi 55 persen utang. Inilah era yang oleh Anatole Keletsky disebut sebagai capitalism 1.0 yang berakhir dengan depresi global 1929. Kegagalan pasar yang tak terkendali oleh system capitalism 1.0 berbasis Adam Smith murni melahirkan revisi berupa Keynesianisme yang di teorikan ekonom Inggris, John Maynard Keynes dan dipraktikkan Presiden AS Franklin Delano Rosevelt. Negara tetap harus mengintervensi karena kegagalan pasar absolute. Inilah era Capitalim 2.0 dengan konsekwensi utang AS berlipat 16 kali dari 15 milyar dollar (1930). Jadi 260 milyar (1950). Ketika Roosevelt terpilih, 1930, ratio utang AS 20 milyar dollar, adalah 20 persen dari PDB dengan deficit 2-3 persen PDB. Pada akhir term I-1936 utang mencapai 33,7 milyar dollar atau 40 persen PDB.

    Setelah Perang Dunia II, utang terus naik sesuai laju inflasi dunia dari 260 milyar dollar (1950) jadi 909 milyar dollar saat Regan terpilih 1980. Secara nominal utang di era Reagan dan Goerge W Bush Sr berlipat empat kali dari 1980 ke 1992 . Perang dingan yang membengkakkan utang sehingga ratio utang terhadab PDB yang pada decade 1970-an sekitar 26-28 persen, pada decade 1980-an nail ke-41 persen. Pada era Clinton, ratio utang turun dari 50 persen ke 39 persen meski secara nominal utang naik dari 3 triliun dollar (1992) jadi 3,4 triliun dollar (2000).

    Goerge W Bush Jr melipatgandakan utang dari 5,7 triliun dollar AS pada januari 2001 menjadi 10,7 triliun dollar AS pada akhir masa jabatan keduanya (2008).Obama tetap terjerat utang yang meningkat sampai 14,6 triliun dollar AS. Atau menyamai PDB AS. Ratio utang/PDB juga meningkat terus dari 35 persen (2000), 40 persen (2008), dan 62 persen (2010).

    Era Reagan bersamaan dengan PM Margaret Thatcher adalah era capitalism 3.0 yang meliberalkan pasar keuangan internasional dengan produk derivative, dan mulai lepasnya keterkaitan sector financial global dengan sector riil produsen manufaktur barang dan jasa yang tangible. Capitalism 3.0 ini akan mengalami krisis dari Asia Timur 1998 dan setelah sepuluh tahun malah merasuk ke jantung capitalism, Wall Street. Karena itu, Negara kembali mengintervensi seperti nasionalisasi General Motors oleh Obama.

    Menarik untuk dicacat, system yang mendewakan otoriterisme Negara bangkrut lebih dahulu 1989 ketika Tembok berlin runtuh dan uni Soviet bubar. Cina dengan cerdik mengubah substansi dari Ideologi Komunis menjadi kapitalisme, konglomerasi, dan konfusianisme.

Akar masalah ekonomi

    Akar masalah ekonomi sebetulnya sederhana. Anda harus berproduksi dan menghasilkan nilai tambah, barulah anda bisa kaya , menikmati hidup, dan membelanjakan penghasilan anda yang halal sesuai kemampuan kantong anda. Ini berlaku untuk pribadi, keluarga perusahaan dan Negara. Kalau orang hidu diluar kemampuan, maka harus berutang kepada orang lain, atau merampok orang lain dan menikmati pemerasan, penipuan atau penggelapan harta milik orang lain.

    Dewasa ini produsen barang manufaktur konkret adalah Cina dan Asia Timur, sedangkan Eropa dan AS mengalami kemunduran dan tak bisa bersaing. Namun, AS punya produk 'imajiner' derivative financial yang beromzet triliunan dollar AS, mengawang di bursa sedunia tanpa menyentuh sector riil.

    Setelah Komunisme bangkrut dan krisis kapitalisme, yang menang eklektisisme. Kapitalisme tetap perlu kendali Negara, tetapi Negara tidak boleh mencekik seperti dictator proletar yang tak mampu menyediakan bahan pokok. Dunia juga tak bisa dilepas tanpa pengarah yang dalam abad ke-20 dijalankan oleh AS. Namun, kemerosotan AS dan kebangkitan Asia Timur mengisyaratkan sudah waktunya dunia dipimpin konsorsium seperti G-20, bukan lagi di dominasi Pax Amerikana.

    Di masa depan tidak bisa lagi didominasi satu kekuatan, termasuk oleh Cina atau 'khalifah islam'. Kita harus menyongsong Pax Consortis G-20.

    Namun, AS juga baru lolos dari lubang jarum politicking dengan kesepakatan menaikkan utang AS antara Kongres dan Obama. Kata kunci tetap satu there is no
free lunch in the world , you have to pay for your lunch. Dunia perlu arsitektur keuangan dan system perimbangan kekuatan yang menghargai multipolarisme, kesetaraan antar kekuatan yang lebih berimbang dan bukan dominasi super power dan satu mata uang. Era pound sterling Inggris selesai pada Perang Dunia ke II, era supremasi dollar AS juga berakhir dengan krisis moneter 2008 yang bersumber dari jantung kapitalis Wall Street. Kita sedang menuju era konsorsium multipolar.

    Kebetulan sudah ada wadah G-20 untuk mengelola. Karena itu, sayang kalau elite Indonesia hanya hiruk pikuk disandera Nazarudin, tetapi tidak menyadari kekuatan riil yang kita miliki secara potensial yang justru dikagumi pengamat global dalam Conference Futurology baru-baru ini. Sayang kalau kita tidak asertif dalam mengelola sumber daya alam dan perekonomian sector riil yang menjadi kunci keberhasilan Cina dan rahasia kebangkrutan AS karena tak sinkronnya sector financial dan sector riil di AS serta penyakit klasik ; besar pasak daripada tiang.(CW adalah CEO Global Nexus Institute).


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar