Kalam;
Betapa gemuknya birokrasi diseantero tanah air dapat di lihat dari belanja pegawai pemerintahan pusat sebesar Rp 215 triliun, yang apabila ditambahkan dengan belanja pegawai di daerah akan membengkak. Menurut perhitungan Litbang Kompas estimasi belanja pegawai tahun 2011 mencapai 60 persen dari total APBN plus APBD.
"Tahun 2007 masih terdapat 4o dari total 420 daerah yang mengalokasikan lebih 50 persen APBD-nya untuk belanja modal (pembangunan). Pada tahun 2010 menyusut drastic hanya 4 dari 497 daerah, dan tahun 2011, 7 dari 497 daerah. Itu pun masih dipertanyakan apakah belanja modal pembangunan tersebut benar di alokasikan di dalam pelaksanaan di lapangan atau hanya parkir di Bank, dipergunakan untuk urusan lain yang tidak jelas. Bila memang seluruh daerah hanya membelanjakan 7 persen dari RAPBD nya untuk belanja pembangunan, itu artinya zero untuk sebuah pemerintahan! 13 tahun pasca reformasi, sia-sia.
Malangnya nasib rakyat Indonesia yang luput menjadi perhatian para pemimpin bangsa yang korup, sungguh mencemaskan masa depan Negara bangsa, NKRI tercinta. Apa yang telah di nukilkan di dalam tinta emas, sila ke-lima Pancasila 'keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia' masih jauh dari cita-cita dan harapan rakyat.
Potret bangsa setelah 66 tahun kemerdekaan mari kita renungkan kembali. Mengapa kemajuan Ilmu Pengetahuan di Indonesia yang di dibentengi oleh beberapa perguruan tinggi terkemuka di Indonesia seperi UGM,UI,ITB,IPB,Unair, Unhas dan USU, kalis memanfaatkan pakar-pakar ekonomnya untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi kemajuan perekonomian bangsa? Apakah acuan penyusunan prinsip-prinsip dasar memajukan Negara dan memakmurkan negeri, sudah tercerabut dari akarnya? Mengapa?
Laporan kompas 19 agustus dibawah ini saya masukkan di dalam muin_angkat blogspot.com agar menjadi pencerahan bagi pemikir-pemikir memajukan peradaban dan keadilan bagi Indonesia. Salam. (a.m.a).
Kepentingan birokrasi, mulai pusat hingga daerah, mendominasi postur anggaran Negara. Seberapapun besar kenaikan pendapatan, belanja birokrasi terus menyedot mayoritas anggaran. Sementara anggaran pembangunan yang benar-benar menggerakkan perekonomian dan sector riil tetap kecil. Akibatnya, hasil pembangunan di lapangan tak signifikan.
Demikian pandangan sejumlah ekonom yang dihubungi di Jakarta, kamis (18/8), menanggapi Rancangan Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta.
Dalam RAPBN 2012, pendapatan Negara dan hibah ditargetkan sebesar Rp 1.292,9 triliun atau 15,9 % terhadap produk domestic bruto (PDB). Adapun rencana anggaran belanja Negara sebesar Rp 1. 418,5 triliun atau 17,5 % terhadap PDB. Defisit anggaran diperkirakan Rp 125,6 triliun atau 1,5 persen terhadap PDB. Jumlah deficit ini turun Rp 25,2 triliun dari target deficit dalam APBN-P 2011 sebesar Rp 180,8 triliun atau 2,1 persen terhadap PDB.
Direktur Institut for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan, seiring naiknya anggaran dalam RAPBN 2012, alokasi belanja rutin yang lebih banyak digunakan untuk membiayai urusan birokrasi juga membengkak menjadi 80,43 persen. Sementara ruang gerak fiscal sebagai stimulus perekonomian tetap rendah. Anggaran untuk belanja modal hanya 17,62 persen dan belanja social hanya 6,67 persen.
Tidak masuk akal
Ekonom Indef, Didik J Rachbini, menambahkan, belanja untuk keperluan pegawai negeri sipil di pusat yang meliputi belanja barang dan pegawai sebesar Rp 353 triliun. Hal ini tidak masuk akal.
Hal sama, Didik melanjutkan, terjadi pada transver dana dari pusat kedaerah. Mengacu pada pengalaman, mayoritas dana transver kedaerah dihabiskan untuk kepentingan birokrasi, seperti membangun gedung-gedung pemerintah dan membeli fasilitas birokrasi lainnya.
"Pegawai negeri adalah kerajaan terburuk di negeri ini. Dalam survei internasional tentang iklim investasi, Indonesia di urutan ke-115. Pelayanan birokrasi kita tergolong paling buruk di dunia walaupun anggarannya naik terus. RAPBN 2012 dari sisi penerimaan bagus, tetapi dari sisi belanja tidak karu-karuan. Jadi, dalam proses penyusunan anggaran berlaku hukum pasar gelap. Tidak ada leadership. Ini problem terbesar dalam RAPBN 2012" kata Didik.
Ekonom prof Rudi Wibowo dari Institut pertanian Bogor menyatakan, pemerintah Yudhoyono tidak memberikan prioritas pada pembangunan sector pertanian dan pangan. Ini tercermin dari tidak adanya dukungan penuh pada riset.
Padahal, riset yang bagus, yang menghasilkan benih-benih berkualitas, akan menjadikan pertanian lebih produktif. "kalau memang itu tidak dikerjakan Kementerian pertanian, dikerjakan riset yang lain. Tetapi ini pun tidak tampak", katanya.
Begitu pula dengan infrastruktur pertanian, seperti jaringan irigasi. Jaringan infrastruktur yang baik akan mendukung peningkatan produktivitas pertanian.
Tahun 2012, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk Kementerian pertanian sebesar Rp 17,8 triliun. Diluar itu, RAPBN 2012 mengalokasikan Rp 41,9 triliun untuk ketahanan pangan. Pemberian bantuan langsung pupuk Rp 675 milyar dan bantuan langsung bibit unggul Rp 1,8 triliun. ( MAS/LAS). ama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar