Kalam :
Ketika saduran tulisan Bambang Soeharto WM ditampilkan di Blog ini, ada satu pertanyaan penting yang harus kita jawab; pelajaran apa yang ditimba dari jatuh bangunnya sistem liberalism ? kenapa perubahan paradigm tata kelola ekonomi Indonesia tidak mampu menuntun kita pada cita-cita nasional, keadilan sosial? Atau dengan kalimat terang, mengapa setelah 65 tahun kemerdekaan kesejahteraan sosial belum terwujud?
Begitu sulitkah untuk mendisain ekonomi nasional yang menitik beratkan 'pemerataan dan keadilan' daripada pertumbuhan? Keberpihakan Boediono sebagai pemikir ekonomi yang pro privatisasi, dan berbau Neolib, bukan tanpa alasan. Dalam satu dialog dengan Karni Ilyas, 25/5/2009 di TV One secara tegas beliau mengatakan perlu membatasi campur tangan pemerintah membantu pihak swasta di dalam urusan subsidi kepada masyarakat (contohnya liberalisasi pendidikan).
Berita Kompas dalam judul tulisan di atas,(24/3/2010), masih sangat berkaitan dengan dampak yang terjadi di segala bidang kehidupan. Apabila paham liberalism tetap diterapkan di Indonesia. Padahal, 'founding fathers' telah mencanangkan Trisakti (mandiri dibidang politik, berdikari dibidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan)sampai kapan ketidak pastian ini berlangsung? (a.m.a)
Fundamentalisme pasar sebagai prinsip dalam tatanan sosial dan masyarakat dapat mereduksi makna kebebasan dan hak asasi manusia. Kebebasan pilihan diri yang menjadi jantung hak asasi menusia tidak lagi dilihat sebagai hak dasar yang melekat pada warga Negara, tetapi diukur atau dilihat berdasarkan mekanisme pasar, yaitu sejauh mana warga Negara memiliki kemampuan daya beli.
Hal itu diungkapkan pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Herry Priyono, dalam kuliah umum yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) di Jakarta, Selasa (23/3).
"Apa yang salah dari fundamentalisme pasar? Tidak ada yang salah jika setiap warga Negara memilii daya beli. Namun dalam fundamentalisme pasar, apa yang disebut sebagai 'hak' tidak melekat pada status warga Negara, melainkan melekat pada kemampuan daya beli," kata Herry.
Dengan kondisi seperti itu, lanjutnya, kebebasan yang dimiliki warga Negara dilihat sebagai kebebasan yang memiliki makna negasi atau 'bebas dari' daripada kebebasan yang memiliki makna afirmasi atau 'bebas untuk'. Misalnya, hak atas hidup dipahami sebagai hak untuk tidak dibunuh, bukan hak atas pangan atau hak atas pekerjaan.
Oleh karena itu, ujar Herry, hak-hak warga Negara, seperti di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, juga semakin sulit diperhatikan dan dilaksanakan. Peran Negara yang regulative untuk mengatur apa yang menjadi hak-hak dasar warga Negara pun menjadi melemah.
Herry menjelaskan, fundamentalisme pasar merupakan proyek atau agenda yang mengatur semua tata kehidupan seperti politik, hukum, budaya, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, berdasarkan mekanisme pasar. Mekanisme pasar menjadi prinsip tertinggi diantara prinsip-prinsip lain. Ia menambahkan, perdagangan bebas, privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi merupakan instrumen penting dalam proyek fundamentalisme pasar. (FER)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar