Sabtu, 13 Maret 2010

Sembilan Ketidak–Otentikan Yudhoyono

Kalam;
Merosotnya kepercayaan publik kepada SBY terutama pasca Pidato Presiden, yang secara langsung menanggapi Rekomendasi DPR RI yang memilih opsi C, secara gamblang dimentahkan, dengan mengatakan - -"bahwa keputusan politik hak angket tidak bisa dijadikan Bukti hukum - -sesuai UU no. 6 /1954." Secara awam bila kita menghubungkan dialog dan Tanya jawab, selama proses penyelidikan yang dilakukan Pansus DPR secara intensif selama kurang lebih enam puluh hari, maka isi pidato tersebut dapat kita kategorikan memihak opsi A, dimana bailout yang dilakukan oleh KSSK, adalah benar (dan tidak ada pelanggaran), akibat adanya krisis finansial yang berdampak sistemik.
Dengan perbedaan yang sangat mendasar antara pandangan Presiden dan DPR, maka sekarang yang terjadi adalah adanya jurang ketidak percayaan (political distrust) antara lembaga eksekutif dan legeslatif. Entahlah, apabila Surat dari DPR tentang hasil rekomendasi Pansus Hak Angket Bank Century bakal diterima Presiden dan sesuai dengan janjinya akan dipelajari kemudian, mungkin masih ada solusi baru agar gonjang-ganjing Politik di negeri tercinta ini berhenti. Mengapa seorang Presiden SBY berani berseberangan dengan DPR? Apakah karena adanya legitimasi kepemimpinan yang kuat didukung oleh lebih 60 % suara rakyat berdasarkan Pemilu Presiden?
Mungkin tulisan Eep Saefulloh Fatah dibawah ini, yang saya sadur dari harian Kompas, selasa 9 maret 2010 lebih memberi analisis yang terang benderang, seberapa kuatkah kepemimpinan SBY selama ini? (a.m.a).

Mengapa dalam beberapa bulan terakhir dinamika politik Indonesia berkembang dengan begitu mencemaskan? Beberapa kasus, seperti kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah serta Bank Century, tidak terkelola secara layak.
Ada banyak faktor yang terlibat dan ada banyak kemungkinan jawaban atas pertanyaan itu. Namun, salah satu factor yang berperan besar adalah absennya kepemimpinan yang kuat yang mampu menyelesaikan segenap urusan dengan tegas dan lekas.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belakangan ini tampil secara kurang meyakinkan . Sekalipun bukan penentu semua hal. Presiden berperan membuat sejumlah kasus berkembang menjadi meriam liar yang mengancam kita.
Sebagai warga Negara yang berhak memiliki harapan kepada pejabat public setingkat Presiden, saya menyaksikan Yudhoyono terancam oleh krisis kepemimpinan dan krisis otentisitas. Keduanya saling sokong membangun postur politik Presiden yang kurang meyakinkan.
Popularitas dan etika
Ada setidaknya Sembilan ketidak otentikan Yudhono. Pertama, pada awal masa kerjanya (2004), Yudhoyono menegaskan, "Saya tidak peduli pada soal popularitas." Nyatanya, ia amat sangat peduli pada popularitas sepanjang kepemimpinannya. Untuk kebijakan tak popular, sekalipun sangat diperlukan secara teknokratis, ia cenderung membiarkan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla maju pasang badan. Untuk kebijakan popular, ia lekas-lekas memasang badannya sendiri.
Kedua, ditengah ramainya rapat Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century, Yudhoyono mengatakan, "Demokrasi memerlukan kesantunan." Nyatanya, ia biarkan ketidak santunan dilakukan secara permanen, oleh politisi partainya sendiri, Partai Demokrat, seperti diperlihatkan Ruhut Sitompul. Padahal, kendali atas partainya itu hampir sepenuhnya ada di tangan Yudhoyono.
Ketiga, menghadapi berbagai tantangan terhadap pemerintahannya, ia kerap menegaskan bahwa ia tidak perlu reaktif terhadap pengkritiknya. Nyatanya, ia sangat rektif terhadap banyak kasus. Presiden Yudhoyono kerap merespons secara kurang matang berbagai persoalan.
Keempat, Yudhoyono kerap mengajak masyarakat untuk bersandar pada etika. Nyatanya, sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan ia kerap melakukan pelenggaran etika yang sangat elementer, terutama dengan membiarkan pejabat dibawah kewenangannya untuk bertanggung jawab atas kebijakan eksekutif yang pembuatannya jelas-jelas melibatkan kewenangan dan tanggung jawab presiden. Dalam kasus Bank Century, pidato Yudhoyono selepas Rapat Paripurna DPR yang menegaskan bahwa dirinya bertanggung jawab adalah sebuah sikap tegas dan kasip.

Mafia peradilan
Kelima, ditengah maraknya kasus Bibit-Chandra, Presiden menyerukan "Ganyang mafia peradilan." Nyatanya ia tidak melakukan langkah sigap dan tegas selepas terungkapnya mafia peradilan melalui penayangan rekaman percakapan pengusaha Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Bahkan, ketika namanya beberapa kali disebut dalam percakapan itu, ia bergeming seolah-olah memandang itu bukan persoalan.
Keenam, masih segar dalam ingatan kita, Yudhoyono menangis mendengar laporan wakil korban luapan lumpur Sidoarjo. Nyatanya, ia tidak membuat langkah yang tegas dan lekas untuk menyelesaikan kasus luapan lumpur ini.
Ketujuh, Yudhoyono kerap menandaskan bahwa langkah-langkah yang diambilnya adalah langkah yang matang, penuh pertimbangan, terukur, dan saksama. Nyatanya, ia sering berputar-putar seperti orang tersesat serta terkesan ragu-ragu dan lamban. Contoh paling krusial dan actual soal ketidak matangan langkahnya adalah ketika kantor kepresidenan mempermalukan Presiden, secara tandas dalam kasus batalnya pelantikan dua wakil menteri (Anggito Abimanyu dan Fahmi Idris). Sementara penanganan kasus Bibit- Chandra dan Bank Century menggaris bawahi keragu-raguan dan kelambanannya.
Kedelapan, Yudhoyono kerap menyebut perlunya pemerintahan yang bekerja secara professional berbasiskan kompetensi. Nyatanya, Kabinet Indonesia bersatu II - - sebagaimana dikritik banyak sekali kalangan - -gagal mencerminkan itu.
Kesembilan, Susilo Bambang Yudhoyono kerap menyebutkan bahwa reformasi birokrasi adalah salah satu agenda kerja yang hendak ia prioritaskan dan segerakan dalam termin kedua pemerintahannya. Nyatanya, ia menjadi Presiden Indonesia era reformasi yang paling 'sukses' menambunkan birokrasi pemerintahan. Bagaimana public bisa berharap lebih jauh jika agenda reformasi birokrasi yang elementer ini saja gagal diwujudkan
Itulah catatan saya. Boleh jadi anda bertanya mengapa saya seperti tukang keluh berhadapan dengan Presiden; mengapa saya senang benar mengkritik Yudhoyono. Saya mengkritik Yudhoyono bukan lantaran membencinya, melainkan karena ia Presiden saya.
Yudhoyono adalah seorang pejabat public. Sebagai bagian dari public, saya berhak untuk berharap kepadanya. Adalah tugas saya untuk membantunya dengan mengingatkan hal-hal yang belum tercapai. Sebab, disekeliling Yudhoyono sudah terlalu banyak orang yang terus menerus mencatat dan melaporkan (hanya) keberhasilannya.

Catatan tentang penulis:
(Eep Saefulloh FatahCEO Polmark Indonesia, Political Marketing Consulting).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar