Kamis, 04 Maret 2010

“Kualitas” seorang Marzuki Alie Ketua DPR-RI, dalam memimpin Sidang Paripurna.


Oleh : Abdul Muin Angkat
Hiruk pikuk Rapat Paripurna DPR RI tgl 2 Maret 2010 menyebabkan kekisruhan didalam Sidang ditambah denganidalam Sidang dan Demo anarkis di luar sidang Gedung dimana 'water canon' disemprotkan ke massa Demonstrasi dan tembakan-tembakan dari Polisi yang diarahkan keatas untuk menghalau para Demonstran. Bentrok itu tak terhindarkan karena semula Para Demonstran yang berjumlah sekitar 500 sd 1000 orang dari berbagai elemen itu, dihalangi masuk gedung oleh barisan pagar betis polisi. Pada akhirnya mahasiswa terprovakasi, melempari para petugas dengan batu dan menarik kawat penghalang gedung.
Ketika Ketua Pansus Century selesai membacakan hasil Penyelidikan yang menawarkan dua opsi ke Sidang Paripurna, secara langsung muncul interupsi bertubi-tubi yang disampaikan oleh Floor; pertama mengusulkan agar dibagikan hasil Pansus kepada anggota agar ada waktu utk mendalaminya. Kedua, jadwal yang dua hari di persingkat saja dengan menghilangkan acara pembacaan pendapat fraksi karena sudah dilaksanakan pada Rapat Pleno Pansus beberapa hari sebelumnya. Menurut Bambang Susetyo berdasarkan usulan Pansus yang telah disampaikan sebelumnya maka Sidang Paripurna yang tadinya di agendakan dua hari bisa diselesaikan satu hari saja. Hal itu disetujui oleh Akbar Faisal, Maksudnya Sidang bisa memilih opsi yg ditawarkan Pansus dan segera mengambil keputusan.
Interupsi berlanjut, dan salah seorang dari fraksi PKB ibu Lily Wahid yang sampai berteriak tidak diberi kesempatan untuk berbicara oleh pimpinan Sidang. Secara langsung Pimpinan memberi penjelasan bahwa telah ada kesepakatan di Forum Bamus bahwa agenda persidangan hari ini hanya dua acara saja yaitu pelantikan wakil ketua DPR yang baru, dan pembacaan hasil Pansus; dengan serta merta Pimpinan mengetuk palu mengahiri Persidangan Paripurna, dan langsung berdiri, ingin meninggalkan tempat, padahal hujan interupsi masih berlangsung tanpa di respons.
Hal inilah yang memicu ketidak puasan anggota dan salah seorang menghampiri meja pimpinan dan memprotes keras, sambil memukul meja pimpinan. Setelah itu, pimpinan sidang dikerumuni, dan pimpinan diam terpaku sebelum akhirnya pimpinan digiring meninggalkan ruangan. Penutupan sidang paripurna secara sepihak sangat mengejutkan, dan pimpinan sidang diteriaki, agar wkl ketua mengambil alih pimpinan dan melanjutkan persidangan. Akhirnya pk 12.45 pengumuman 3 wkl ketua bahwa mereka akan mengadakan rapat khusus. (Ternyata 3 wakil ketua, pada konferensi Pers pk 15.00 di Metro, menegaskan bahwa Rapat khusus batal, karena tidak disetujui oleh ketua DPR).

Etika Persidangan
Setiap aktivis organisasi mahasiswa pernah mengikuti latihan dasar kepemimpinan yang di dalamnya diberikan pengenalan memimpin persidangan dan etika persidangan. Hal esensial yang harus dilakukan dengan bijak adalah bagaimana menjaga 'palu' agar tidak pernah dilakukan sewenang-wenang karena ia akan menjadi otoriter. 'Palu' adalah symbol atau bingkai dan asesoris demokrasi, yang merupakan pilar penting dimana seorang pimpinan sidang yang berfungsi sebagai moderator ,penjaga lalulintas pembicaraan wajib bersikap 'tengah' dan adil memberikan dan mengatur arus pembicaraan. Di dalam organisasi modern dan bergengsi seperti DPR RI,tentu kapasitas dan kompetensi seorang pemimpin dituntut lebih tinggi, performance yang lebih elegan dan berwibawa, mempunyai sikap bijaksana, menguasai ilmu pengetahuan dan mempunyai visi kedepan. Kalau di dalam sebuah pelajaran awal seorang pemimpin tidak mampu untuk menjaga 'palu' demokrasi, maka asas musyawarah dan mufakat yang termaktub didalam Pancasila sejak tahun 1945 akan terdistorsi dan terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu dan ditengarai berbau 'vested interest' menyembunyikan sesuatu maksud lain, yang sukar dimengerti.
Bukankah dalam Tata tertib persidangan telah diatur, bahwa Rapat Paripurna lebih tinggi kewenangannya dari Rapat Badan Musyawarah?(pasal 221) Mengapa dengan alas an bahwa agenda rapat telah disepakati oleh Bamus, menjadi alasan untuk menutup persidangan, sementara di floor interupsi bertubi-tubi ingin diberi hak berbicara? Bukankah usul perubahan agenda acara masih bisa diatur dan disesuaikan apabila ada usul perubahan?(pasal 255). Dengan kasat mata pemirsa dapat melihat gaya 'otoriternya' seorang pimpinan Sidang dan atau sekaligus melihat 'kebingungan' yang tiada tara karena mungkin belum pernah menghadapi situasi yang begitu gemuruh didepan sekitar 500-an anggota DPR, dalam suatu persidangan yang membutuhkan kepiawaian, kewibawaan, kecermatan, rasa keadilan dan jiwa democrat. Alangkah sayangnya suatu perhelatan demokrasi yang begitu mulia dan strategis, yang membutuhkan keputusan yang tepat dan cepat( baca; efisien) dirusak oleh seorang pemimpin sidang yang tidak aspiratif dan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai Demokrasi.

Mekanisme persidangan
Pimpinan sidang seyogianya bersifat kolektif-kolegial dan mempunyai hak yang sama untuk memimpin sidang.Tentang hal ini sudah disampaikan oleh peserta sidang tapi dari dua sesi yang dibuka yaitu sesi pertama dengan 14 penanya dan sesi dua dengan 20 penanya tidak pernah di jawab apa yang menjadi pokok masalah dan juga tidak ada rumusan dari pimpinan sidang. Apakah dimungkinkan untuk melakukan pergantian pimpinan sidang secara bergilir? Alasan pergantian tersebut secara jelas dinyatakan agar supaya tidak adanya kesalahan seperti pada sidang hari pertama, karena kurang akomodatifnya pimpinan sidang menjalankan fungsi nya guna merespon interupsi peserta sidang.
Satu hal yang tidak lazim adalah disela-sela masih berjalannya interupsi, pimpinan sidang menyela dengan mengatakan bahwa perlu dibacakan agenda rapat sesuai dengan Tata Cara pengambilan keputusan sesuai keputusan no 1/2009, pasal 170 ayat 2, yaitu 1) pandangan akhir fraksi, 2) Pengambilan keputusan. Apakah seorang pimpinan sidang ketika membuka persidangan bisa lupa untuk membacakan materi agenda acara? Mengapa para wakil ketua tidak ada yang mengingatkan hal tersebut? Sama halnya ketika sesi kedua berjalan dimana para peng interupsi sedang bergiliran ingin menyampaikan, tanpa meminta persetujuan peserta sidang langsung memotong dan memberi waktu kepada masing-masing juru bicara untuk menyampaikan pandangan fraksi; padahal justeru penjelasan terhadap usul agar tidak diperlukannya pandangan akhir diabaikan, atau usul-usul dalam interupsi tidak dikerucutkan dan diberikan rasionalisasi dan bila diperlukan dilemparkan ke floor untuk meminta solusi dan akhirnya di putuskan oleh pimpinan sidang.
Satu hal lagi yang perlu di-klarifikasi adalah mengapa konotasi interupsi tidak diletakkan secara proposional? bukankah interupsi berarti penyelaan atau pemotongan pembicaraan ketika pimpinan sidang sedang berbicara, tetapi sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu alasan tertentu karena adanya perbedaan pandangan? Akan tetapi yang terjadi adalah seorang peserta meng-interupsi (baca; memutus atau menyela) hanya karena ingin diberi waktu untuk berbicara.Oleh sebab itu diperlukan kecepatan seorang pimpinan sidang membaca situasi untuk memberikan waktu agar peserta di akomodir menyampaikan pendapat,melalui beberapa sesi yang dibuka untuk itu. Hal ini untuk menghindari hujan interupsi yang mengganggu jalannya persidangan. Sebab, penggunaan interupsi yang proporsional terjadi ketika seorang pembicara mengemukakan idenya apabila terdapat benang merah persamaan atau perbedaan dengan pendapatnya terdahulu. Dalam posisi ini, seseorang lalu memohon izin meng-interupsi, agar diberi waktu untuk menjelaskan kembali benang merah tersebut.
Apa yang terjadi pada Sidang Paripurna kemarin? Interupsi dijadikan kesempatan untuk berbicara dengan gagasannya tanpa ada sangkut paut dengan pembicaraan awal. Mengapa pimpinan sidang tidak membuka saja sesi untuk mendengarkan pendapat para peserta? Untunglah perubahan cara memimpin sidang pada hari kedua telah terjadi perubahan sehingga hasil akhir Drama Century mebawa happy ending.

Ketegasan dan Integritas
Seorang ketua DPR RI seyogianya memiliki integritas pribadi yang kuat, objektif, rasional taat azas, rendah hati. Ketika peserta meminta agar ketua sidang meminta maaf atas kejadian persidangan pada hari pertama yaitu menutup persidangan secara sepihak, seolah-olah tidak didengar oleh sang pimpinan, dan tidak di respon secara elegan. Ketika ada peserta yang menyanyi, dan berteriak dengan suara-suara usil, tidak pernah diperingatkan dan di stop pembicaraanya. Ketika pembicara melewati batas waktu menyampaikan pandangan (3 menit) tidak diberi kode bahwa untuk segera mengakhiri pembicaraan.
Dapatlah disimpulkan bahwa seorang pimpinan sidang paripurna DPR terlalu banyak tidak menerapkan kaidah-kaidah persidangan, termasuk etiket dan etika persidangan yang ideal. Dampaknya kepada generasi muda menjadikan pembelajaran yang kurang elok, entah kalau ada indikasi yang secara politis ada maksud mengulur waktu agar terbuka lobby politik yang mengarah transaksi politik yang sekaligus mengubah prinsip- prinsip kebenaran. Kalau ini yang terjadi maka seperti yang dikatakan Bung Ichsanuddin Noorsy ketika diwawancarai oleh Metro, telah terjadi Political disorder dan political distrust.

Drama Politik Century
Pada hari kedua Sidang Paripurna dalam pembacaan hasil Akhir masing-masing fraksi terjadiskor-5:2:2 dimana 5 fraksi(Golkar,PDIP,PKS,Hanura, Gerindra) tidak setuju Bail out karena mengandung dugaan korupsi, 2 fraksi (PD,PKB) Setuju Bail Out, dan 2 fraksi lainnya (PAN,PPP) abstain.Dalam posisi yang demikian, seyogianya tawaran dua opsi dari Pansus untuk segera melaksanakan voting, namun pimpinan siding masih memberikan waktu mengadakan loby kepada masing-masing fraksi guna mencari titik temu atas perbedaan selama berlangsungnya waktu jeda atau skorsing sidang. Karena alotnya loby tersebut, sehingga menghabiskan waktu sampai 7 jam,dan tiba-tiba pada saat Skors dicabut pimpinan sidang melaporkan bahwa hasil loby telah menyepakati satu scenario yaitu; A)Voting A dan C, B)Voting AC. Mengapa Voting A dan C sebagai opsi dari Pansus tidak segera dilaksanakan dengan mekanisme one man one foot padahal masing-masing fraksi sudah mengemukakan pilihannya? Dan ini, Voting AC yang ingin menggabungkan antara yang setuju dan tidak setuju, antara air dan minyak disatukan?Logika apa yang menyertai sehingga pimpinan siding ikut memprakarsai, dan justeru tidak memberikan pemahaman berdasarkan kaidah logika? A dan C berbeda tidak mungkin disatukan. Salah seorang peserta siding malah memberikan ilustrasi cara pengambilan keputusan yang salah berdasarkan silogisme yaitu: Manusia berkaki dua/ burung berkaki dua/oleh sebab itu burung adalah manusia. Memang di dalam ilmu Logika terdapat ratusan silogisme yang salah yang menjadikan sesat pikir didalam pengambilan keputusan; itu kalau tidak menggunakan premis mayor, premis minor, dan konklusi yang benar.
Dan apa yang terjadi, tanpa merangkum 16 pembicara yang mendaftar dan menawarkan kepada floor apakah skenario tambahan yaitu opsi AC layak diterima, langsung saja pimpinan siding menanyakan persetujuan peserta, dan ketok palu. Sebagai penggagas opsi AC, peserta tidak pernah diberitahu apa reasioning dari hasil loby yang sebenarnya tidak punya legalitas untuk menjadi pertimbangan utama. Maka dilakukanlah 2 kali voting yaitu pertama untuk memilih 2 opsi yaitu 1)opsi A dan C, 2)opsi AC, serta kedua, setelah kemenangan opsi satu, dilakukan kembali pemilihan voting, opsi A atau B. Berakhirlah drama menegangkan karena usaha-usaha loby yang tidak kenal lelah dari sang pimpinan sidang yang - - - "selalu menyebut kehadiran Partai Demokrat 100%(148 anggota)" dibandingkan dengan fraksi lainnya. Saya kurang paham apakah ini sekedar "guyon" atau bahasa bersayap karena kecewa opsi A mengalami kekalahan. Sebagai pimpinan sidang yang berdiri di semua pihak, tentu kurang elok kalau terkesan terlalu memihak. Sepantasnyalah berlaku elegan berdiri dan tegak dengan sikap independen, menjunjung kelembagaan DPR RI.
Ke depan, alangkah indahnya bila ketika memilih seseorang Ketua DPR maupun MPR, dilakukan seleksi yang ketat termasuk mempelajari track record dan riwayat pengalaman organisasi dari setiap Partai, sehingga kita bisa mendapatkan sosok pimpinan sidang yang ber level nasional yang ideal, berwibawa, cermat, adil, antisipatif, rendah hati ; yang memenuhi persyaratan dan atau standar mutu seperti yang kita dambakan dan harapkan. Wallahu alam bissawab.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar