Jumat, 25 September 2009

MENGAPA SAYA HARUS MEMILIH SURYA PALOH MENJADI KETUA UMUM GOLKAR?

Oleh: Abdul Muin Angkat

Problem utama yang dihadapi oleh Partai Golkar menjelang Munas Golkar di Pekanbaru awal oktober nanti adalah problem mencari "jati diri" walaupun pada Munas luar biasa tanggal 9 – 11 juli 1998, dengan semangat reformasi , paradigma baru Partai Golkar telah berubah menjadi "Golkar baru bersatu untuk maju". Bagaimana mengubah Golkar menjadi partai modern yang fokus terhadap masalah inovasi dan 'karya' tapi sebagian dirinya masih dibayangi oleh sejarah masa lalu? Misalnya Visi Misi Ormas pendiri adalah pro rakyat kecil dan pro kesejahteraan justru pelaksanaannya tidak terbukti di masyarakat? Di sisi lain, bukankah RenStra 5 tahunan untuk memenangkan Pemilu 2014 perlu strategi "over houl" untuk menjawab makna golkar baru bersatu, apakah perwujudan federative dengan Orsosmasinal/eks kino atau hanya thematic?

Apakah tidak berisiko dengan strategi maju kedepan, tanpa harus menoleh kemasa lalu dimana 7 kino sebagai pendiri Sekber golkar pernah mengukir sejarah memenangkan Pemilu 1971 dengan dukungan 62,8 %? Dan ternyata setelah 'paradigma' baru dicetuskan 2 (dua) kali Pemilu berturut-turut suara Golkar anjlok sampai 14,5 %? Lebih malang lagi turun sampai 12% pada saat Pilpres dimana sang Ketua umum 'dibiarkan' bertarung sendiri tanpa bantuan mesin politik? Masih punyakah para ketua-ketua DPD Golkar nilai-nilai etika politik, tatkala Ketua umumnya kalah, bukannya minta maaf malah menuntut diadakannya Munas luar biasa dipercepat? Dimana solidaritas kekaryaan dan rasa kekeluargaan yang selama ini melekat di dalam keluarga besar? Ini artinya bahwa thema 'Golkar baru bersatu' perlu dikoreksi karena yang diharapkan 'maju' justru mundur. Bersatu dalam komponen apa dan untuk siapa?


Paradigma Baru yang Setengah Hati

Mengapa Partai Golkar tidak pernah merasa perlu untuk membicarakan masa lalu? Oleh karena para pimpinan partai tidak mau terlibat secara 'emosional' maupun struktural dengan dengan 'ormas pendiri'/ eks kino? 7 kino cukup dikenang dalam catatan sejarah agar tidak merepotkan pimpinan partai. Alasan lainnya bahwa 'Sekber golkar' sudah dilebur ke dalam Golkar sejak tahun 1971, ketika terjadi perubahan nama di dalam Musyawarah kerja Sekber Golkar itu sendiri.

Pada kenyatannya eksistensi Ormas pendiri/eks Kino tetap terpelihara dengan baik walaupun mempunyai kepengurusan ganda. Dimana posisi kader Orsosmasinal/eks kino yang duduk di kepengurusan Golkar? Kenapa mereka tidak peduli sama sekali menjadi faktor mediasi untuk menjembatani kepentingan kelembagaan?

Dari aspek organisatoris seyogianya mereka adalah 'personal' yang tidak lepas dari tanggung jawab meng integrasikan kepentingan 'partai' dengan ormas pendiri, tapi pada kenyataannya 'hubungan kelembagaan' tersebut tidak pernah di sosialisasikan secara serius, mereka lepas tanpa kendali 'bercokol' menjadi orang "Golkar tulen" tanpa ada pengawasan berjalannya pola regenerasi dan rekrutmen politik. Kader kader "jenggot" inilah yang sebenarnya merusak Golkar dari dalam sehingga terjadi pembusukan politik.

Hilangnya 'link' antara orsosmasinal dengan Partai Golkar berakibat tidak berjalannya komunikasi intensif yang digalang oleh orsosmasinal terhadap kontituen. Sebagai ujung tombak pembinaan program-program kemasyarakatan, tidak tampak kegairahan dan semangat kebersamaan yang dulu pernah hidup di masyarakat. Secara individual kader kader orsosmasinal yang sekarang menjadi pimpinan Golkar, hanya sibuk mengamankan posisi nya di dalam golkar tetapi mengabaikan tugasnya membina konstituen di grass root. Mereka telah ikut didalam lingkaran kekuasaan orde baru dan sejak lama telah memanfaatkannya sebesar kepentingan pribadi.


Brand Image Sebagai Partai Rakyat

Apakah lambang partai telah menjadi brand image sebagai partai rakyat yang membela rakyat kecil, miskin, pengangguran dan tertindas, sebagai satu tuntutan sederhana dari masyarakat tentang visi dan misi partai, seperti juga yang menjadi cita-cita ormas pendiri Sekber Golkar, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani, nelayan buruh dan karyawan. Menjadi partai modern dengan label liberal, kapitalis, tidak anti korupsi justru akan menjauhkan diri dari simpati rakyat.

Tiga Kandidat Ketua Umum

Dari sekian banyak tulisan di situs internet menyongsong Munas Partai Golkar di Pekan baru pada awal bulan oktober mendatang, issue yang berkembang hanya berkisar kepada 'siapa' menjadi ketua umum partai. Hal lainnya yang merupakan strategi pengembangan partai kedepan tidak tersentuh untuk dibahas. Persoalan ketua umum menjadi sangat menarik karena figur figur yang dijagokan adalah para saudagar kaya yang ditengarai akan 'menghamburkan' uang nya untuk kepentingan mendapatkan dukungan suara. Kita akan sangat menyayangkan apabila di dalam momentum yang sangat strategis ini issue money politic tetap marak sebagai praktek jual beli suara. Kalau ini yang terjadi maka 'kiamat' kecil akan terjadi dimana reputasi dan wibawa sebuah partai tua akan jatuh sampai ke titik nadir.

Pergeseran nilai solidaritas yang semula berkembang di Ormas pendukung sebagai 'kebijakan' pimpinan pusat membantu ongkos transportasi para utusan dari daerah, telah berubah menjadi dukungan financial yang dihargai sebagai akibat one man one foot, sebuah transaksi demokrasi yang disalah artikan dan disalahgunakan. Benarkah pembelian suara secara massal akan dipertontonkan dengan kasat mata untuk memenangkan sebuah pertempuran meraih jabatan ketua umum? Lalu apa jadinya organisasi semacam ini yang akan kehilangan elan dan semangat kejoangan yang telah diwariskan oleh para pendahulunya?

Perubahan kearah pragmatism politik di dalam 10 tahun terakhir ini menjadikan setiap pertemuan nasional menjadi ajang jual beli dukungan suara, tidak terkecuali pada saat konvensi nasional Golkar sebelum Pemilu 2004. 'Berkecamuknya' uang siluman dengan alasan bantuan kepada DPD, orsosmasinal, maupun personal menjadikan partai Golkar layak dijadikan 'guru' oleh parpol lainnya di dalam soal yang satu ini.

Kembali kepada judul tulisan diatas, mengapa saya mendukung Surya Paloh?

Surya Paloh adalah kader yang merangkak dari bawah. Ia tumbuh dari pengurus ormas FKPPI dan sangat paham tentang perjalanan Sekber Golkar sebagai cikal bakal Partai Golkar. Strategi untuk kembali membesarkan Golkar yang didukung oleh Orsosmasinal dan orsinalmas akan lebih mudah, karena figur tersebut diterima secara acceptable di dalam keluarga besar 'sekber golkar'.

Sebagai sosok nasionalis Surya Paloh sangat mobile untuk membangun dan membesarkan kembali kekuatan Golkar yang terserak. Beliau adalah seorang organisatoris yang telah teruji kemampuan manejemennya mengelola bisnis media nya. Kemampuan komunikasi partisipatoris yang dipunyainya dan rasa kekeluargaan yang tinggi agar dapat menggerakkan kembali kekuatan ormas pendiri, dan ini merupakan prioritas utama dalam rangka konsollidasi internal, untuk lima tahun kedepan.

Figur Abu Rizal Bakrie atau yang sering disebut 'ical', adalah tokoh pengusaha sukses yang pernah menjadi ketua umum HIPMI sebagai organisasi pengusaha muda. Mungkin gaya dan model kepemimpinannya tidak berbeda jauh dari Yusuf Kalla ketua umum Partai Golkar sekarang. Tapi karena motif kekuasaan pada dirinya lebih besar, kelihatannya tidak akan punya waktu cukup untuk mengurusi partai. Pelaksanaan Munas yang dipercepat adalah salah satu indikasi untuk mengejar waktu guna memperbesar bargaining position terhadap 'SBY' untuk melakukan transaksi kekuasaan politik di dalam penyusunan cabinet hasil Pemilu tahun 2009. Ini berarti 'Ical' masih haus kekuasaan, menjadikan Golkar sebagai tunggangan demi ambisi politik tertentu.

Dipihak lain, kekecewaan rakyat Jawa Timur tentang kasus Lapindo yang selama 3 (tiga) tahun belum juga selesai, akan menjadikan Partai Golkar terseret menjadi 'sandera politik' untuk mengamankan kepentingan bisnis keluarga. Tidak ada tanda tanda penyelesaian pembayaran ganti rugi tahap kedua yang sangat didambakan oleh masyarakat setempat, ini merupakan pelanggaran hak azasi manusia yang sangat memprihatinkan karena menyangkut kerugian material, moral, dan harga diri sebagai manusia. Ini merupakan bukti bahwa 'kepentingan bisnis' lebih dominan daripada kepentingan umum sebagai tanggung jawab mahluk individu maupun mahluk sosial. Di sini 'merek' sebuah kepemimpinan menjadi kalis terhadap kekuasaan.

Figur Tommy Soeharto sebagai putra mahkota Cendana, seandainya 'diloloskan' oleh SC Munas secara terpaksa karena kepentingan politis, akan menjadi pesaing 'Ical' dalam hal tawar menawar dan kesiapan menggelontorkan 'dana politik'. Persaingan antara kedua tokoh ini akan 'memecah' suara perolehan dukungan peserta Munas, dan seandainya Tim kampanye Surya Paloh jeli, secara jitu akan memenangkan peperangan ini.

Semoga skenario ini akan menjadi kenyataan sebab tidak bisa dibayangkan apabila Partai Golkar akan ambruk di tahun 2014, terjun bebas hilang dari peredaran di bawah kepemimpinan yang tidak amanah dan mempunyai resistensi yang tinggi sebagian masyarakat Jawa Timur karena sarat akan konflik kepentingan. Kalau ini yang akan terjadi sungguh disayangkan, kita semua akan kehilangan "Partai Kebangsaan," Partai Pejoang, yang senantiasa mengawal Pancasila dan keutuhan NKRI.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar