Selasa, 12 Februari 2013

Negara Tanpa “Recht”


 


 

    Apa yang kita sebut krisis multidimensi sebetulnya bersimpul satu, yaitu tiadanya Rechsstat. Kata recht disini menghimpun semua kebajikan atau moralitas public ; benar,adil, beradab, patut, syah, dan berharkat. Para pemikir politik mulai dari Aristoteles, Rousseau-Kant-Hegel, hingga ke Jhon Rawls,Ian Shapiro, dan Michael Sandel selalu menekankan moralitas ini.

    Sejak pengujung abad ke-18, moralitas public bertumpu pada kolektivitas politik egaliter nernama Bangsa, atau Nation yang lahir dari solidaritas kesejarahan dan kesatuan cita-cita besar politik.Serempak moralitas public juga lahir dari tuntutan peradaban akan niscayanya menghormati setiap harkat individu warga nation. Perpaduan antara rasa ber-nation dan penekanan pada harkat tiap warga nation inilah yang melahirkan Negara dengan system demokrasi. Aktualisasi sistemik dari moralitas public ini kemudian juga dikukuhkan di atas prinsip transparansi dan akuntabilitas, begitupula prinsip pemisahan kekuasaan dan kesetaraan di depan hokum. Sejak pengujung abad ke-18 itu, Negara-negara nation pelopor demoktasi modern di Amerika dan Eropa Barat kurang lebih berkiprah, bertumbuh maju, dan bersinar dengannya.

    Baik moralitas public maupun Negara hokum sama sekalu bukanlah milik eksklusif peradaban barat. Jepang sedari awal peradabannya dan terlepas dari sejumlah kekurangannya adalah co0ntoh cemerlang dari tangguhnya akar serta kiprah moralitas public menurut kaidah-kaidah kulturalnya sendiri. Di zaman kita, pancaran sinar moralitas pub lik di jepang mungkin adalah yang paling cemerlang di dunia.

    Di Nusantara, prinsip "raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah", adalah bagian sentral dari moralitas yang sama –"raja" adalah otoritas pertama dan utama dari semua urusan public. Merujuk pada kesaksian Profesor Matulada dan Profesor Anthony Reid, berabad sebelum kuku-kuku colonial mencengkram Sulawesi Selatan pada abad ke-20, pangngadereng dalam kultur politik Bugis jelas merupakan bangunan moralitas public dan sekaligus bangunan hokum yang sangat berwibawa.

    Rechsstat lazim diterjemahkan sebagai Negara konstitusional atau Negara hokum. Ia representasi dari dari bersatu dan bersenyawanya politik dan hokum. Disini politik dan hokum adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Persenyawaan ini niscaya lantaran konstitusi yang merupakan pedoman dan atau rangkaian patokan politik tertinggi Negara sekaligus menjadi hokum tertinggi. Ia menjadi tiang pancang sebab tujuan utamanya memang tak lain dari pemihakan dan penjunjungan nyata pada upaya bersama menuju kesejahteraan, kemajuan, dan kebahagiaan sebangsa.

    Lazimnya, entitas ataupun ideal-ideal Rechsstat merupakan kepanjangan dari ideal-ideal nation dan demokrasi. Dan konstitusi, Rechtsstat, adalah cetak biru nation dan demokrasi sekaligus. Konstitusi adalah maklumat nasion, bukan maklumat Negara. Itulah sebabnya maka Js Mill menekankan bahwa konstirusi haruslah disusun oleh the best minds of the nation.

Nation tegak di atas prinsip-prinsip solidaritas,inklusivisme keadaban, kesaling percayaan, dan pluralitas. Demokrasi bertumpu pada prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, kebebasan, rasionalitas politik dan supremasi hokum. Kuatnya kohesi, affinitas bahkan ketumpangtindihan antara prinsip-prinsip nasition dan prinsip-prinsip demokrasi membuat nasion dan demokrasi dengan sendirinya terjalin kedalam suatu hubungan simbiosis – konstruktif. Begitulah, maka tiap demokrasi sehat bertujuan untuk memelihara berlakunya kesepuluh prinsip di atas agar semua warganegara bisa terus melangkah maju guna meujudkan ideal-ideal kemerdekaan dan peradabannya. Dengan konstitusi nation mengontrol dan mengarahkan Negara ataupun masyarakat.

Janji Yang Diingkari

    Pada zaman kita sulit membayangkan konstitusi atau Rechsstaat diluar konteks nation, dan demokrasi. Toh kerap dilupakan bahwa baik Negara (staat) maupun hokum (Recht) sama-sama berinduk pada dan merupakan derifat nasion dalam paradigm demokrasi. Sejatinya, kedaulatan Negara hanyalah pinjaman dari kedaulatan nasion. Bisa dikatakan bahwa Negara melangkah maju atau terpuruk mundur secara berbanding lurus dengan pasang surut penyantunan serempaknya atas nasion dan demokrasi.

    Atas dasar nalar ini, suatu Negara berhenti menjadi Rechsstaat manakala para pelaksana Negara dan/atau aparat hukum tak lagi mengindahkan nation, dalam paradigm demokrasi. Tanpa berpatokan kepada nation, dalam konteks itu, bukan hanya Recht yang akan lenyap, melainkan staat sendiripun akan kehilangan induk dan tujuan dasarnya. Tanpa induk dan tujuan dasar, Negara akan menjadi liar dan seketika akan menjadi mangsa para perakus kuasa dan harta dalam pemerintahan. Ia juga menjadi mangsa para pemodal besar nasional maupun internasional yang semata-mata di dikte oleh hasrat menggaruk untung yang sebesar-besarnya tanpa memedulikan akibat-akibat buruknya pada Negara, masyarakat dan negeri di mana mereka berkiprah.

    Ketika para pelaksana Negara mencampakkan nasion induknya, ketika itu pulalah Negara konstitusional batal. Disitu Negara kehilangan pijakan untuk memihak dan menjunjung ideal-ideal berbangsa. Begitu konstitusionalitas lenyap, kinerja politik dan hukumpun ikut meliar. Keterpaduan antara keduanya sirna. Sebab dibawah Negara tak berinduk dan nihil moralitas, baik praktik politik maupun praktik hokum tak lagi bertumpu pada Recht. Dari sini tinggal dua opsi yang menunggu Negara; Machstaat atau hokum rimba !

    Rapor atau kinerja seluruh rezim dan/atau pemerintahan di tanah air sejak proklamasi kemerdekaan bisa diukur dan dijelaskan dari penalaran dan patokan –patokan Rechsstaat di atas, termasuk rezim orde reformasi yang kemurnian cita-citanya telah dipelintir sedari awal. Dari sini kita mengetahui bahwa satu-satunya rezim yang menegakkan Rechsstaat hanyalah apa yang disebut Herb Feith, demokrasi konstitusional. Itu berlangsung hanya sekitar delapan tahun. Rechsstaat mulai dihianati sejak demokrasi terpimpin.

    Kita juga tahu bahwa penghianatan terbesar atas Rechsstaat berlaku mpada Orde Baru dan Orde Reformasi. Tsunami nasional dari ketiadaan hokum bermula di bidang politik pada 1965 saat Negara kita menjelma Machstaat. Hingga akhir orde baru, gelombang besarnya yang berulang berkali-kali juga melanda bidang ekonomi. Lalu Tsunami itu pecah lagi secara jauh lebih luas di awal Orde reformasi. Ini menggerogoti sendi-sendi politik, hokum dan ekonomi secara sama masifnya. Sebab, dipelintir sedari awal hingga kini, Orde Reformasi benar-benar mendekati situasi hokum rimba—total lawlessness—terlepas dari pernak-pernik perubahan system pemerintahan dipermukaan.

    Kesalahan terbesar selanjutnya adalah dijadikannya gerilya dictum impunitas sebagai patokan orde reformasi hingga kini. Dalam konteks inilah munir –pahlawan nasional sejati pembela rakyat kecil - - dibantai begitu biadab. Disini kesalahan terbesar Presiden SBY adalah penolakan umumnya untuk melakukan terobosan terobosan eksekutif ditengah realitas Negara dalam keadaan semi darurat. Padanya hingga kini tak kita temukan gut kepemimpinan . Lakunya ingkar janji dan sama sekali tidak presidensial ditengah tengah kerinduan nasional untuk mengakhiri kondisi Lawlessness dan kegilaan korupsi.

Itikad baik pemimpin

    Disini pulalah kita mempertanyakan itikad baik pimpinan dan anggota DPR yang secara kicik berusaha melemahkan KPK lewat revisi Undang-Undang dengan alas an konyol. Mereka mencampakkan kenyataan betapa parahnya kanker korupsi di Tanah Air dan betapa Ia tiada hentinya dilemahkan dari atas dengan pelbagai muslihat selama ini. Ibarat para psikopat, orang-orang yang mengaku terhormat di DPR buru-buru mengusung dalih kembali ke system hokum normal sementara Negara kita masih tetap kental diharu biru oleh korupsi sebagai extraordinary crime dari para extraordinary bastards!

    Sikap yang sama juga kita tujukan kepada jajaran pimpinan kepolisian. Bagaimanakah mereka bisa memelihara wibawa aparat penegak hokum jika mereka sendiri pun menempatkan diri diatas hokum lewat tindakan duplikasi penyelidikan yang siapa pun tahu bersifat pengecut? Kemanakah mau ditaruh butir ketiga missi polri untuk " menegakkan hokum secara professional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hokum dan hak azasi manusia menuju kepada adanya kepastian hokum dan adanya rasa keadilan"?

    Disini, perilaku kalangan DPR dan saudara saudara kita di kepolisian tak ubahnya dengan pepatah; "tiba di mata dipicingkan tiba diperut dikempiskan" Dalam kaitan ini, apresiasi yang tulus mesti kita berikan kepada pimpinan Mahkamah Konstitusi ketika menegaskan bahwa upaya pelemahan KPK lewat revisi undang-undang sama sekali tak bisa dibenarkan. Sama halnya, kita pun sungguh terwakili oleh suara resi KH Said Agil Siraj, pemimpin nahdatul ulama, yang bari-baru ini memberikan peringatan kepada instansi perpajakan serta mencanangkan imbauan "hukuman mati" bagi para koruptor kakap di Tanah Air. Pada peringatan dan imbauan itu terbersitlah kerinduan kita bersama bagi kebangkitan harkat bangsa dalam rangka mewujudkan ideal-ideal kenerdekaan kita.

    Kita mensyukuri integritas, kompetensi, keberanian dan keterpaduan jajaran pimpinan KPK. Bisa dikatakan bahwa KPK dibentuk untuk mengakhiri praktek dictum impunitas pada orde reformasi. Para pemimpinnya sedang berjuang keras untuk menegakkan Rechsstat pad titik sentral.

    Semua komponen masyarakat beradab di Tanah Air waJib bahu membahu mendukung tugas suci KPK untuk memberantas penggila korupsi sistemik ditubuh Negara kita hingga keakar-akarnya. Di Negara manapun wabah korupsi adalah maha kutukan! Sangatlah mendesak bahwa seluruh energy nasional haruslah pertama-tama dikerahkan pada pemberantasan kejahatan luar biasa ini. Untuk itu, kita kembali harus menegaskan eksistensi nation serta kemutlakannya sebagai induk dan junjungan Negara.

    Kita tahu bahwa hamper semua pelanggaran Rechts atau penyalahgunaan kekuasaan yang menciptakan krisis multidimensi bermuara pada korupsi. Maka pemberantasan korupsi merupakan cara paling efektif bukan hanya untuk mengakhiri krisis multidimensi itu, melainkan juga untuk menegakkan Negara hokum - - Rechtsstat - - dalam artikata yang sesungguhnya. Tanpa Negara hokum, nation tak akan bermartabat. Dalam konteks kehalusan tutur kata pada kultur jawa, peringatan dan imbauan para pemimpin NU sesungguhnya laik dibaca sebagai seruan teramat keras kepada kawanan extra ordinary bastards intra Negara yang terus bersekongkol menggarong dana Republik kita: "kami sudah lama jijik pada kalian! Enough is enough!" dan secara tegas, kita semua beserta mereka. (Tulisan Mochtar Pabottingi, Kompas tgl 4 0ktober 2012)




 

Selasa, 15 Januari 2013

“Blusukan”


 


 

Kalam;

    Fenomena Jakowi yang blusukan ke masyarakat feriferal, masyarakat kumuh yang tidak tersentuh oleh pembangunan kemanusiaan, sangat menggembirakan hati 'wong cilik' karena selama ini 'kekuasaan' yang kita kenal adalah 'pangreh praja' pejabat yang ingin dilayani mereka adalah sosok pejabat yang membuat jarak dengan rakyat, berjiwa 'feodal' dan sangat 'aristokrat' dan sinis terhadap 'wong cilik'.

    Terobosan Jakowi yang 'blusuk' ke daerah-daerah kumuh adalah model kinerja baru yang berfokus kepada pengenalan lapangan. "Ia naik turun bus reyot, memandangi tumpukan sampah di kali, masuk riol, menyapa rakyat ; malah melantik sang walikota di tengah gubug kumuh".Ia melayani masyarakat dengan ramah, sangat familiar, dan menyentuh rasa.Ia mentransformasikan nilai-nilai kepamongan yang 'men-wong-ke' sesama, Ia melayani dan berbagi rasa, sekaligus mendengarkan aspirasi mereka secara genuine.

    Blusukan, kosa kata baru semoga menjadi kunci perubahan gaya pelayanan masyarakat yang tidak berjarak. Semoga bisa ditiru semua pejabat di negeri ini terutama bagi SBY yang hanya sibuk dengan pencitraan. Tulisan Wijayanto Samirin, Deputi Rektor Universitas Paramadina yang dimuat di harian Kompas tanggal 12 januari 2013, sangat menarik untuk dipahami, selamat membaca.(a.m.a)

***


 

Beberapa bulan terakhir, kata "blusukan" tiba-tiba menjadi sangat popular di telinga kita. Harus diakui peran Jakowi sebagai media darling sangat kental dalam hal ini.

Kalau kita goegle kata tersebut dalam 0,19 detik muncul 1,37 link. Kata "blusukan" seolah naik kasta, dari sekadar bahasa informal dikampung-kampung jawa menjadi istilah penting kebijakan public.

Dalam bahasa jawa "keblusuk" berarti 'tersesat'. Maka "blusukan" berarti 'sengaja menyesatkan diri untuk mengetahui sesatu'. Fenomena ini menjadi semakin menarik ketika Presiden SBY melakukan hal serupa beberapa hari yang lalu. Meskipun diberi istilah turun kebawah, atau turba, esensinya tetap sama bertemu langsung dengan rakyat dan melihat keadaan di lapangan.

Dalam konteks kebijakan public, pertemuan tersebut sangatlah penting.Ia berperan sebagai wahana bagi pemimpin untuk menangkap aspirasi rakyat secara langsung. Ia bisa mengurangi panjang rantai birokrasi sebagai penyebab agency problem saat anak buah sebagai agent di lapangan berupaya mengambil keuntungan untuk dirinya ketika pimpinan tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.

Agency problem, dalam keseharian tidak menampakkan diri dalam bentuk manfaat financial, tetapi bisa juga berwujud burreucracy inertia atau keengganan birokrasi untuk melakukan tugasnya, birokrasi yang malas dan santai.

Dalam konteks good governance, turba atau blusukan juga mengurangi peran para policy entrepreneur, yaitu mereka yang hidup seperti benalu dalam pohon bernama proses pengambilan kebijakan. Entrepreneur jenis ini berperan sebagai penghubung antar kelompok kepentingan dengan para pengambil keputusan. Dengan mengatas namakan kepentingan rakyat, mereka berupaya mengegolkan berbagai kebijakan yang menguntungkan kelompoknya.

Awal dan Akhir

    Meskipun penting blusukan hanyalah puncak sebuag gunung es. Ia merupakan bagian kecil di awal dari proses mendapatkan inspirasi untuk menyusun rencana kerja dan di akhir sebagai ajang untuk memantau hasil kinerja birokrasi di lapangan. Namun, permasalahan pemerintah lebih dari itu.

Dalam siklus perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan (planning, organizing, actuating,controlling), blusukan hanya merupakan bagian sangat awal dari proses perencanaan dan sangat akhir dari pengontrolan. Ia menjadi masukan awal untuk menyusun rencana sekaligus bagian akhir untuk melihat hasil di lapangan.

Dalam konteks ini, masih banyak pekerjaan yang harus dituntaskan. Dari penyusunan anggaran, pelaksanaan di lapangan, hingga proses pemantauan memerlukan peran para elite, baik itu tokoh partai politik, birokrasi, maupun kalangan bisnis. Dialog dengan para elite tersebut perlu dibangun. Dalam konteks ini, selain melakukan blusukan tipe satu, (blusukan ke masyarakat), pemimpin juga harus melakukan blusukan tipe dua, yaitu blusukan tipe dua, yaitu blusukan kepada para elite untuk mendapatkan dukungan.

Di Amerika Serikat, tugas utama Presiden Obama adalah menelpon para politisi agar gagasannya mendapat dukungan. Misalnya untuk memuluskan kebijakan terkait debt ceiling , fiscal cliff, dan Obamacare, dia secara aktif melobi para lawan politiknya dengan menelpon para anggota kongres satu-persatu.

Di Indonesia, apa yang dilakukan Jusuf Kalla (JK) perlu menjadi catatan penting. Dari informasi yang saya terima, JK tidak hanya sangat aktif blusukan di lapangan, tetapi juga dikalangan para elite.

Dalam satu kesempatan, JK pernah menyatakan dukungan jutaan rakyat diperlukam untuk memenangi pemilu dan menjadi pemimpin, tetapi untuk menjalankam roda pemerintahan denganefektif diperlukan dukungan sekitar 500 elite saja. Maka JK pun memiliki nomor kontak para elite tersebut dan secara rutin blusukan melalui pembicaraan telpon dan SMS, terkadang dilalanjutkan dengan sarapan pagi.

Dampaknya, berbagai permasalahan besar seperti perdamaian di Aceh, Ambon dan Poso, juga harga kenaikan BBM dan konversi minyak tanah ke Elfiji bisa diselesaikan tanpa keributan.

Dalam komteks ini, blusukan tipe satu yang dilakukan pak SBY atau pun pak Jakowi perlu dilanjutkan dengan blusukan tipe dua. Sayangnya, hal tersebut belum dilaksanakan optimal sehingga berbagai ide bagus blusukan belum tentu masuk rencana kerja pemerintah.

Manfaat Besar

    Manfaat blusukan sebenarnya tidak kecil, tetapi cukup banyak pihak yang buru-buru mencap blusukan sebagai upaya pencitraan. Mungkin sebagian besar masyarakat sudah jenuh dengan ulah para politisi dan calon kepala daerah yang hanya mendekati kointituen mereka menjelang pemilihan. Setelah terpilih rakyat tidak lagi dihampiri.

    Fenomena blusukan saat ini sedikit lain karena terjadi saat periode kepemimpinan berlangsung. Apakah aktivitas itu sekadar pencitraan atau benar mewujudkan aspirasi rakyat, bisa di deteksi melalui tiga hal berikut. Pertama, politisi dan pejabat public mempunyai path dependence, tidak mudah bagi mereka mengubah gaya. Apabila pada masa lalu ia tidak dekat dengan rakyat, saat blusukan pasti ada yang aneh. Misalnya bahasa tubuh dan bahasa tuturnya tidak pas dengan situasi. Kalau ini yang terjadi, bisa jadi yang dilakukan Cuma pencitraan.

    Yang kedua, ada keterkaitan kuat antara bidang yang menjadi tanggung jawabnya dan aktivitas blusukan yang dilakukan. Apabila tidak terlalu terkait, patut di duga tidak lebih dari membangun citra.

    Yang terakhir upaya pencitraan biasanya hanya berhenti di media tanpa relitas nyata. Berbagai janji pejabat saat blusukan, apabila tidak diikuti dengan program yang jelas dan terukur, tentu bisa ditebak arahnya. Manusia tidak hidup di atas tumpukan sensasi tetapi prestasi.

    Blusukan menjanjikan hal positip bagi perbaikan pemerintah dan birokrasi. Ia tidak saja menjadi sumber inspirasi para pemimpin sebagai "seniman kebangsaan" yang harus mencari inspirasi dari rakyat dan mewujudkannya untuk rakyat, tetapi juga berpotensi memperbaiki birokrasi kita yang cenderung malas dan tidak memosisikan diri sebagai abdi rakyat.

    Sayang, justru blusukan sebagai upaya pencitraan terasa semakin kuat sehingga tidak terlalu banyak tokoh yang memanfaatkannya sebagai aktivitas demi kepentingan public.

    Para pemimpin dan pejabat sudah selayaknya tidak ragu lagi meniru langkah Jakowi, JK ataupun SBY. Tidak perlu terlalu khawatir jika upaya tersebut dicurigai sebagai pencitraan karena terdapat perbedaan yang jelas antara pencitraan dan kerja keras untuk memakmurkan rakyat. Waktu akan membuktikan, mereka yang blusukan untuk tujuan pencitraan semata akan keblusuk atau tersesat betulan.


 


 


 


 


 


 


 

Minggu, 13 Januari 2013

Penganugrahan The Best Achievement For The Higher Dedication in Public Services Award 2013 oleh Drs Abdul Muin Angkat MM, Wakil Ketua Umum PPK Kosgoro


 

Para hadirin hadirat para undangan yang kami hormati, ; Assalamualaikum Warrahmatullahi wabarakatuh. Selamat Tahun Baru 2013, semogasemakin sukses.

Pertama-tama izinkan saya menyampaikan selamat atas terpilihnya bapak/ibu sekalian di dalam acara penganugrahan "The Best Achievement For The Higher Dedication in Public Services Award 2013" oleh yayasan Citra Insani dibawah pimpinan Ibu Endang Giriwati. S

Award ini adalah suatu penghargaan yang diberikan bagi orang-orang yang ber-dedikasi tinggi dan berprestasi dan unggul dalam pengabdian Pelayanan Publik yang dipantau oleh Yayasan secara khusus.

Disamping Teori motivasi oleh Maslow, ada tiga kebutuhan dasar manusia yang diperkenalkan oleh Mc Clelland yaitu, N-Ach ( need for achievement ) adalah salah satu motif kebutuhan untuk berprestasi dan diakui oleh masyarakat. Kedua, Need for
power, Keinginan untuk mendapatkan kekuasaan. Beberapa factor kelemahan yang harus diwaspadai adalah orientasi status,gengsi,dan sikap pragmatis,dan korupsi. Ketiga, Need for affiliation ( hasrat untuk dicintai ). .Secara umum Need for Achievement, adalah hasrat untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dan efisien di dalam pekerjaannya daripada yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa "The Best Achievement for The higher Dedication in Public Services Award 2013" = Suatu anugrah dan penghargaan atas dedikasi yang tinggi prestasi terbaik didalam Pelayanan Publik.


 

Dari Studi Mc Cleland dalam "The Achieving Society" mengatakan bahwa dorongan psikologis memotivasi masyarakat utk mencapai kemajuan adalah dengan mengubah sikap mental. Selanjutnya Mc Clelland menemukan bahwa prestasi unggul dapat diketahui dari hal-hal sbb;

1). Punya hasrat menyelesaikan hal terbaik dengan rasa tanggung jawab tinggi, 2) Mampu memecahkan masalah dan menemukan feed back atas kinerja 3) Mempunyai visi kedepan. "The Best Achiavement", adalah mereka peraih prestasi tinggi, bukan penjudi yang spekulatif, Mereka adalah pekerja keras yang suka tantangan dan mencari solusi, dan suka peluang sukses 5o% : 50%.

Dalam Era kompetitif sekarang, The Best Achievement for The Higher Dedication in Public Services Award
2013, semakin relevan, ditengah krisis multidimensi yang melanda negeri ini dimana daya saing Indonesia terpuruk di Dunia internasional.

Dalam sebuah laporan Bank dunia mencatat bahwa posisi daya saing Indonesia diantara 30 negara menempati urutan ke 28. Pada problem yang sama Indonesia menempati urutan ke 27 ; kurangnya usaha pemerintah untuk mendukung percepatan pembangunan dengan kebijakan IT..

Semoga usaha keras Yayasan Citra Insani guna mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang cerdas dan mumpuni dapat merangsang pemerintah untuk meningkatkan daya saing bangsa kearah yang lebih kompetitif.

Sebagai oleh-oleh dari Jakarta kami patut direnungkan, fenomena Jakowi yang blusak-blusuk menyapa masyarakat feriferal, masyarakat yang terpinggirkan, adalah suatu dedikasi kemanusiaan yang patut diapresiasi. Mereka adalah kaum miskin papa yang terkena dampak pembangunan kemanusiaan yang tidak adil. Jakowi adalah sosok pamong yang melayani masyarakat, mengayomi dan dekat dihati rakyat. Dia bukan 'pangreh praja' yang bergaya feodal, dan jauh dihati rakyat.

Akhirul kalam semoga penganugrahan Award yang diberikan pada malam yang berbahagia ini, berdampak positip bagi peningkatan mutu Sumber Daya Manusia, dan daya saing Indonesia di masa mendatang., Wabillahi taufiq walhidayah wassalamu alaikum warrahmatullahi wabarakatuh..

Terimakasih.


 

Rabu, 09 Januari 2013

Rasa Sukses

Seorang teman yang menduduki posisi cukup tinggi dalam organisasi, selalu terlihat ceria dan mencintai pekerjaannya. Temannya sampai berkomentar bahwa terkadang Ia terlihat lebih happy dari owner perusahaan, yang jelas-jelas lebih berada dan lebih powerful daripada dia.
Cukup surprising, ketika ditanya apa rahasianya, teman ini mengatakan, "saya sukses terus" padahal, kita tahu persoalan yang dihadapinya tidak sedikit. Selain beban kerja yang tinggi atasannya pun kelihatan menuntut banyak. Jadi, kita bisa melihat bahwa kesuksesan itu sangat subjektif dan sangat tergantung bagaimana orang melihatnya.
Sebaliknya, seorang teman lain yang pintar dan berprestasi, begitu jarang merasa sukses, bahkan tidak pernah terlihat merasa puas dengan apa yang ia kerjakan. Selalu saja ia melihat banyak kekurangan yang harus diperbaiki dari dirinya. Komentar dan pujian orang di sekitarnya yang meyakinkan bahwa hasil kerjanya baik, seolah tidak mempan. Apakah begitu sulit untuk mempercayai apresiasi atasan dan rekannya sehingga ia tetap menganggap bahwa "pekerjaannya belum apa-apa"? Mengapa orang merasa berjarak dengan sukses, bahkan tidak bisa melihat kesuksesannya sendiri? Rasa sukses yang sering tidak kita pikirkan ini,seakan hal sepele, tetapi tentu saja besar dampaknya bagi self esteem kita, juga bagi "happiness". Tanpa memelihara rasa sukses dan happiness,bagaimana kita akan mendorong semangat untuk memacu produktivitas dan mencetak sukses-sukses lain?
Dunia kerja memang bukan seperti dunia olahraga di mana "kalah menang" sukses tidak selalu sukses sangat nyata. Kesuksesan dalam dunia kerja sangat relative dan subjektif, mengingat dalam dunia kerja banyak kegiatan kita yang terkait imajinasi, konsep,ide-ide, kepuasan customer. Pengembangan diri, penguatan kecerdasan emosi, pengembangan anak buah, dan bukan semata pengembangan fisik yang kuantitas dan kualitasnya langsung bisa terasa.
Apalagi bagi banyak orang yang berpikir ia memang "makan gaji", sukses atau tidak dalam bekerja itu nomor dua, yang penting ini adalah mata pencaharian. Di era kompetitif, di mana beban kerja bisa ditumpuk dalam hitungan detik, kita betul betul juga harus mempertimbangkan wellness management, bukan secara defensive, tetapi juga secara pro aktif. Kita perlu aktif membangun rasa happy di pekerjaan karena kerja demikian, penting bagi hidup kita, mengisi sebagian besar waktu kita sehingga tidak bisa kita berlalu dalam keadaan galau atau terbebani. Tanda kesuksesan sekarang sudah berubah, kita tidak selamanya mengukur apa yang kita "punya" dan "dapat" lagi, tetapi lebih ke apa yang kita rasakan di pekerjaan.
Musuh-musuh sukses
    Mari kita cermati hal-hal yang bisa membuat kita menumpuk emosi negative sehingga kita begitu sulit merasa sukses atau merasa happy.Kita kerap mengeluhkan pekerjaan yang berat, atasan yang tidak fair , perusahaan yang kulturnya negative sehingga kita seolah merasa selalu berada dalam posisi sulit. Sebenarnya pertanyaannya, apakah ini sekedar fenomena menjebak diri sendiri dalam situasi mengeluh, menggerutu, dan berbicara "dibelakang" secara berkelanjutan? Padahal kita semua tahu, bahwa pikiran negative ini pasti membuat kita tidak produktif, dan tidak memungkinkan perasaan sukses. Tanpa kita sadari, kita tetap memelihara perasaan "menjadi korban" dari pihak-pihak yang sebenarnya tidak perlu membuat kita menjadi korbannya.
    Hal yang memperburuk keadaan adalah bila kita m,encari teman senasib, yaitu teman berbagi rasa tidak happy , pessimis, dan mencerca diri sendiri. Kelompok orang frustrasi ini biasanya juga berbagi cerita-cerita yang dibumbui konspirasi bahwa manusia memang selalu berlatar belakang buruk.Pilihan untuk mencari teman yang lebih optimis sebenarnya selalu ada, tetapi si pesimis umumnya akan segera menemukan pesimis lainnya sehingga mereka justru akan lebih terjebak dalam perasaan "tidak berarti" yang lebih dalam. Apalagi kalau kita berkonsentrasi pada hal hal yang tidak bisa kita control, seperti situasi politik yang "seram", serta korupsi yang merajalela.
    Namun, bukankah sesungguhnya banyak hal didunia kerja kita yang memang lebih mudah dikontrol dan lebih mudah diperbaiki daripada situasi-situasi itu? Seorang atasan yang merasa frustrasi karena punya bawahan yang tidak bisa diandalkan 100 persen, sebetulnya bisa melihat bahwa banyak orang di tempat lain menghadapi situasi yang sama. Bukankah dalam situasi ini kita lebih baik berpikir untuk "work with what we got" daripada berfantasi untuk mendapatkan bawahan yang lebih bermutu?
    Manusia memang dilengkapi dengan defence mechanism psikologis yang akan menjaga agar kita tidak terlalu depresip. Terkadang, pilihan mekanisme diri kita adalah kebiasaan mencari kesalahan di luar diri kita. Kita bisa dengan mudah menyalahkan atasan yang serakah, pelanggan yang penuntut, kompetisi yang tidak fair, tanpa ada sebersit perasaan bahwa kita pun berpartisipasi dalam menciptakan situasi tertentu.
    Demi menghalau galau dan merasa sukses, hal yang perlu kita kembangkan sesungguhnya adalah belajar untuk bersikap jantan melihat kedalam diri dan bertanya, apakah kita sudah berusaha sekuat-kuatnya untuk mencari solusi yang "workable"? Sudahkah kita mengambil pelajaran dari situasi sulit yang dihadapi pekerjaan, serta sekuat tenaga berfokus untuk produktif dan happy di pekerjaan? Success is not the key to happiness,Happiness is the key to success, if you love what you are doing, you will be successful.(albert Schweitzer).
 Temukan Cinta
Kita tidak mungkin happy bila kita membenci pekerjaan. Kita perlu ingat bahwa bekerja itu tidak lagi identik dengan membanting tulang dan memeras keringat saja. Kita perlu mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari pekerjaan kita, dan pekerjaan seharusnya membuat seseorang bergembira.
Tidak seperti zaman dulu, di mana perusahaan mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari pekerja, sekarang, pekerjaan perlu membuat seseorang gembira. Bila rasa simbiosis mutualistis antara perusahaan dan karyawan tidak terjadi, karyawan tidak akan melakukan usaha ekstra untuk bekerja dengan hatinya. Semua pekerjaan bersifat multifaceted dan pasti terdiri dari elemen yang kita sukai maupun tidak kita sukai. Kitalah yang perlu secara kreatif mengembangkan hal-hal yang kita sukai dari pekerjaan kita dan meningkatkan job content kita. Kita bukan lagi perlu menegoisasikan pengurangan beban kecil atau pengurangan tanggung jawab, tapi yang perlu kita perjuangkan adalah bagaimana mendapatkan pekerjaan yang benar-benar kita cintai. 
Kemudian, kita pun perlu mengupayakan agar kita dalam sehari bisa merasa happy berkali-kali.`Hanya dengan menciptakan small wins di dalam pekerjaan kita, kita bisa merasakan sukses itu. Nothing is perfect and everything can be improved. Agar selalu merasa sukses,perbaikan itu bukan kita lakukan sekali-sekali, tetapi setiap hari, bahkan setiap saat. Excellence akan menjamin kesuksesan. Karenanya hal ini harus menjadi mindset. Obsesi untuk selalu "lebih baik lagi" akan mempengaruhi cara kita melihat dunia, bagaimana kita mempertimbangkan isinya, dan bagaimana kita bersikap di dalamnya. Excellence akan menjamin konsumsi kita terhadap rasa sukses.
(dikutip dari Eileen Rachman &Sylvina Savitri – EXPERD; Hogan Career Coach Certification, Kompas 15 desember 2012)